Humanika Lampung Laporkan Kejanggalan Jual Beli Aset Alay ke Jaksa Agung

Bandar Lampung (SL)-Ketua Umum Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Provinsi Lampung periode 2020-2025 Rudi Antoni, SH, MH, mengadu ke Kejagung RI, terkait kejanggalan penjualan aset milik terpidana Tindak Pidana Korupsi (TPK) Sugiarto Wihardjo Alias Alay Tripanca yang telah diletakkan sita Eksekusi berdasarkan Penetapan Sita Eksekusi Nomor : 09/Eks/2009/ PN.TK. 26 Mei 2009.

Terutama mengenai aset berupa tanah Pantai Queen Artha/Pantai Sahara di Kabupaten Pesawaran seluas lebih dari 8,8 hektare yang dijual tanpa melalui lelang. “Dalam waktu dekat, kami akan kordinasi dengan Pengurus Humanika Pusat, serta pendiri Humanika Bapak Bursah Zarnubi, agar dapat membawa kasus ini ke Mabes Polri, Kejagung RI, maupun KPK RI. Kami yakin, jika beliau yang menyampaikan, maka akan mendapat atensi dari aparat penegak hukum,” kata Rudi Antoni.

Menurut Rudi, andai Jaksa Agung RI, saat masih dijabat HM. Prasetyo, dia yakin perkara ini akan diusut tuntas. Pasalnya selama menjabat, HM. Prasetyo dikenal tidak pernah main-main dalam menyeret pelaku tindak pidana korupsi meski itu melibatkan jajarannya. Seperti saat Kejagung melakukan pengusutan terhadap Chuck Suryosumpeno, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku.

Jaksa Chuck Suryosumpeno ditetapkan tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi penyelesaian barang rampasan dan barang eksekusi. Diketahui, Chuck Suryosumpeno sebelumnya menjabat Ketua Tim Satgasus Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi Kejagung. Kasus ini bermula saat Tim Satgassus Kejagung telah menyita barang rampasan berupa tiga bidang tanah di wilayah Jatinegara, Puri Kembangan dan Cisarua terkait perkara korupsi pengemplang BLBI berkaitan Bank Harapan Sentosa (BHS) dengan nama terpidana Hendra Rahardja.

Penyitaan yang dilakukan Tim Satgassus Kejaksaan Agung itu dinilai tidak sesuai Standar Operational Procedur (SOP). Sebab, penyitaan lahan di wilayah Jatinegara yang di atasnya berdiri sejumlah rumah mewah dilakukan tanpa melalui pembentukan tim, bahkan Tim Satgassus langsung melelang aset tanpa sepengetahuan dari Kejagung.

Kemudian, hasil dari penyitaan aset berupa tanah di wilayah Jatinegara, Cisarua dan Puri Kembangan itu, negara juga tidak mendapatkan pemasukan yang maksimal. Aset di wilayah Jatinegara hanya dijual Rp 25 miliar dan itu pun tidak sesuai ketentuan. Aturannya, barang rampasan berupa tanah itu seharusnya disita terlebih dulu, baru kemudian bisa dilelang. Dari uang muka Rp 6 miliar, Tim Satgassus hanya menyetorkan Rp 2 miliar ke Kejagung dari hasil penyitaan dan lelang tersebut.

“Kasus penjualan aset Alay berupa tanah Pantai Queen Artha/Pantai Sahara di Kabupaten Pesawaran agak mirip dengan kasus yang dilakukan jaksa Chuck Suryosumpeno yang juga terkait penjualan aset tanpa melalui prosedur,” kata Rudi.

“Karenanya saya yakin, andai Jaksa Agung masih dijabat HM. Prasetyo, perkara ini pasti diusut. Tapi semoga saja, saya masih berharap Kejagung dibawah pimpinan ST. Burhanuddin, memiliki komitmen sama menyeret siapapun yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi meski melibatkan jajarannya sekalipun,” lanjut Rudi Antoni.

Sebelumnya anggota Komisi IV DPRD Lampung, Drs. H. Azwar Yacub, juga menyoroti kejanggalan penjualan aset milik Alay Tripanca yang telah diletakkan sita eksekusi berupa tanah Pantai Queen Artha/Pantai Sahara. Azwar meminta lembaga penegak hukum seperti Mabes Polri, Kejagung dan KPK RI harus mengusut masalah ini sampai tuntas.

Selain itu, lembaga lain seperti Kemenkeu, BPK RI, BPKP, PPATK, OJK juga turun menelisik dan mengaudit dugaan kejanggalan jualbeli aset yang berpotensi merugikan keuangan negara dari segi pajak yang masuk ke kas negara. “Mengapa ? “Karena saya yakin, aset itu memang milik Alay Tripanca yang harusnya disita jaksa dan dijual lewat lelang,” katanya.

“Alasannya, jika memang Pantai Queen Artha/Sahara bukan aset Alay tapi milik orang lain, pertanyaannya mengapa uang penjualan sebesar Rp10 miliar justru disetorkan pihak Alay ke Kejati Lampung sebagai cicilan uang pengganti atas uang yang dikorupsinya,” urai Azwar Yacub.

Karenanya, Azwar Yacub minta aparat hukum melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bisa diprioritaskan terlebih dulu. “Penyamaran aset milik terpidana korupsi dengan diatasnamakan orang lain, jelas merupakan kejahatan, semua pihak yang terlibat harus diusut dan dimintakan pertanggungjawabannya,” tegas Azwar Yacub.

“Selain itu saya setuju dengan pendapat penjual- pembeli aset terpidana korupsi yang masuk penetapan sita negara dapat dihukum. Setiap pembeli harus memiliki kehati-hatian dan meneliti keabsahan barang/properti yang ditawarkan kepadanya. Bukan serta merta membayar,” katanya.

Tak cukup hanya ikhtikad baik. “Sebab ada pasal yang mengatur soal Penadahan di KUHP serta pasal terkait syarat sahnya Perjanjian di KUHPdt. Indikasi dan unsur pidana, bisa terlihat dari harga beli aset Alay yang murah sekali,” pungkas Azwar Yacub.

Kejanggalan penjualan aset milik Alay Tripanca yang telah diletakkan sita eksekusi berupa tanah Pantai Queen Artha/Sahara di Pesawaran juga menarik perhatian Dr. Yusdianto, S.H., M.H. Staf pengajar Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila) mempertanyakan mengapa jaksa eksekutor tak melakukan penyitaan, jika memang itu harta terpidana Alay sehingga dapat dijual melalui lelang. “Tapi ini terkesan dijual “diam-diam” dan tak melalui lelang. Heran juga saya, mengapa bisa seperti ini,” tanya Yusdianto.

Menurut alumnus doktor Universitas Padjajaran, di putusan pidana korupsi biasanya ditegaskan tiap terpidana diharuskan membayar uang pengganti sesuai kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya. Biasanya terpidana diberi tempo waktu satu bulan melunasi. Jika “membangkang”, jaksa eksekutor diberi kewenangan menyita semua asetnya dengan seizin pihak pengadilan.

Setelah itu, baru dilakukan lelang yang hasilnya disetor kenegara guna menutupi kerugian negara sesuai isi amar putusan majelis hakim. “Tapi untuk kasus Alay unik. Harta terpidana tak disita dan dilelang. Tapi jaksa justru memberi kesempatan pihak Alay menjual secara pribadi. Jujur ini aneh dan wajar saja masyarakat curiga, karena bisa saja harga jual “dipermainkan” dan memberi celah oknum bermain hingga bisa menimbulkan kerugian negara,” tandasnya.

“Karenanya sudah benar masalah ini diangkat dan dilaporkan ke pihak berwenang, seperti Mabes Polri, Kejagung, dan KPK agar diusut. Selain itu lembaga terkait, seperti Dirjen Pajak, BPK, BPKP, PPATK, OJK juga dapat menelusuri kejanggalan proses penjualan aset terpidana koruptor ini, yang diluar kelaziman. Kita harusnya berterimakasih ke pihak-pihak yang berani mengungkap dan melaporkan praktek ini. Sebab, jika benar itu masuk penetapan sita negara, maka penjual dan pembeli aset Alay Pantai Queen Artha bisa dipidana,” kata Yusdianto.

Apalagi jika memang benar pembelian aset jauh diharga pasaran. Pembeli sudah seharusnya memiliki kehati-hatian menelaah dan meneliti keabsahan kepemilikan barang yang akan dibeli, apakah sedang bermasalah, bersengketa, atau justru barang milik negara.

“Tiap pembeli patut curiga terhadap semua barang atau properti yang ditawarkan bila jauh dibawah harga pasaran. Sebab jika tetap nekat membeli, di pidana umum kasus seperti ini lazim disebut “penadahan”. Namun karena ini aset negara, maka yang berlaku tindak pidana korupsi,” pungkas Yusdianto lagi.

Diberitakan aset milik Alay Tripanca yang telah diletakkan sita Eksekusi berdasarkan PENETAPAN SITA EKSEKUSI NOMOR: 09/Eks/2009/ PN.TK. 26 Mei 2009, yang kini telah beralih tangan, disamarkan dan diperjualbelikan. Terbaru soal penjualan aset Alay berupa tanah Pantai Queen Artha/Sahara seluas lebih dari 8,8 hektare yang dijual tanpa lelang. Yakni tercantum di Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 13 Tanggal 16 Maret 1990 seluas 34.650 M2 dan SHM Nomor: 14 Tanggal 30 April 1990, seluas 53.460 M2 atas nama PUNTJAK INDRA, berikut yang ada di atasnya di Kabupaten Pesawaran.

Dari informasi yang ada, tanah dibeli Donny, Pemilik Jatim Park, pengusaha asal Surabaya. Nilai jual mencapai Rp12 miliar lebih. “Pertanyaannya, benarkah nilai jual hanya Rp12 miliaran, saya yakin di atas itu,” ujar Kuasa Hukum Kantor Law Firm SAC & Partners Advocates and Legal Consultans, Amrullah, S.H. didampingi Irfan Balga, S.H.

Mengapa ? Karena tanah di kawasan itu jelas Amrullah, harganya sudah di kisaran Rp1 juta permeter persegi. Andai mengikuti harga termurah sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), minimal Rp300 ribu permeternya. “Jadi jujur saja saya curiga, ada keganjilan harga di perjanjian jual-beli aset Alay yang potensi merugikan negara dari pemasukan pajak. Jika ikut harga pasaran, aset tanah Pantai Queen Artha bisa mencapai Rp88 miliar lebih,” katanya.

“Andai itu dibeli seharga Rp300 ribu permeter persegi saja, maka harga totalnya capai lebih Rp26,4 miliar. Tapi mengapa yang didengungkan harga jual objek sita Alay Rp12 miliaran. Mirisnya lagi dari jumlah itu, hanya Rp10 miliar yang disetor pihak Alay ke Kejati Lampung sebagai dalih cicilan uang pengganti sesuai Putusan MA RI nomor: 510K/PID.SUS/2014, 21 Mei 2014,” tutur Amrullah.

“Coba jika aset itu dijual lewat lelang. Tinggal jaksa kordinasi dengan Pemkab Lampung Timur karena aset itu sudah di penetapan sita pengadilan. Pasti harga lebih tinggi. Tapi memang jika lewat lelang, semua pihak bisa ikut memantau. Harga tak bisa dipermainkan. Lalu semua uang lelang masuk ke kas negara. Tidak seperti ini, yang terkesan tak transparan,” tambahnya.

Diuraikan Amrullah, kedua SHM Pantai Queen Artha yang merupakan aset milik Alay yang telah masuk di penetapan sita PN Tanjungkarang, telah diperjualbelikan saudara Puntjak Indra dengan Donny melalui PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual-Beli) Notaris dan PPAT Andrianto, S.H.,M.Kn. di Bandarlampung.

Dari informasi saudara ALANDES Staff Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pesawaran yang meloloskan Balik-Nama adalah Jaksa dari Kejati Lampung, bernama Andrie Setiawan S.H. Dimana jaksa itu telah secara langsung ikut serta melakukan pengukuran batas atas kedua SHM dan menggaransi Notaris terus memproses Jual-Beli Obyek Sita Eksekusi dimaksud.

“Kami sesalkan mengapa Jaksa dari Kejati turut andil melakukan konspirasi dengan Staff BPN Pesawaran melakukan percepatan proses Balik-Nama Atas SHM Pantai Pantai Queen Artha berikut semua bangunan diatasnya yang telah diletakkan Sita Eksekusi Penetapan Sita Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk. Tanggal 26 Mei 2009,” kata Amrullah..

Harusnya jika pihak Kejaksaan Agung C.q. Kejati Lampung melakukan penyitaan, maka hal itu bukan dilakukan personal sebagaimana yang dilakukan saudara Andrie Setiawan, S.H., “Melainkan wajib meletakkan sita terlebih dulu dan bukan justru membiarkan atau membekingi terjadinya jual-beli antara Puntjak Indra dengan Donny. Dan uang kemudian diterima Sugiarto Wiharjo dan lalu diserahkan ke Kejaksaan yang konon kabarnya sebagai uang pengganti,” papar Amrullah.

Menambahkan pendapat dari Amrullah, anggota tim pengacara, Irfan Balga, S.H. mengatakan, terhadap Pantai Queen Artha, pihaknya sudah memperoleh penetapan sita eksekusi dari PN Tanjungkarang, dan PN Tanjungkarang sudah mendelegasikan ke PN Pesawaran agar melaksanakan. BPN Pesawaran juga sudah menyita eksekusi dan memblokir status tanah.

Tanah Pantai Queen Artha termasuk di sita jaminan dan sita eksekusi serta pemblokiran di perkara perdata, dan itu objek sita eksekusi tak masuk di Putusan MA-RI tentang TPK Alay Sugiarto Wihardjo. Lalu kewajiban Alay membayar uang pengganti dibatasi secara tegas dan jelas di amar putusan yaitu tentang kecukupan nilai aset-asetnya. Sedangkan diketahui si Alay kabur bertahun lamanya dan mengabaikan kesempatan yang diberikan amar putusan perkara.

“Putusan MARI tentang kasus TPK tak mencantumkan tanah Queen Artha sebagai objek sita. Lalu apa landasan hukumnya tanah itu diperjualbelikan dengan harga di bawah harga pasar dan kemudian uangnya tidak kunjung tunai disampaikan ke Kasda Lamtim?,” tanya dia.

Sementara itu, Jaksa Andre Setiawan, S.H., M.H., membantah tudingan dirinya terlibat “cawe-cawe” dalam penjualan aset milik Alay berupa tanah Pantai Queen Artha. Menurut Andre yang juga menjabat sebagai Kasi Penkum dan Humas Kejati Lampung tersebut, pihaknya sama sekali tak pernah terlibat penjualan aset seharga Rp12,5 miliar dan yang disetorkan sebesar Rp10 miliar oleh pihak Alay ke Kejati lampung.

“Dalam penjualan Pantai Queen Artha, kami tak terlibat disitu, karena kami tidak pernah menyita atau merampas sehingga kami tak melakukan lelang,” jelas Andri saat menjadi pemateri seminar bertema “Akta Damai dan Sita Eksekusi Aset Sugiharto Wiharjo alias Alay” yang digelar BKBH Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila) di Auditorium Prof. Abdulkadir Gd. A LT I, Selasa 15 September 2020 lalu.

Disisi lain, mantan Kajari Bandarlampung Yusna Adia, S.H., M.H., mengaku tidak tahu proses jual-beli aset Alay Pantai Queen Artha. “Kita tidak ikutan, yang pasti saat itu pihak Alay menyetorkan UP (uang pengganti) ke kejati Rp10 Miliar,” tulis Yusna dalam pesannya.

Amrullah, S.H, tak hanya melapor ke Mabes Polri soal kasus penggelapan dan jualbeli aset terpidana Alay. Amrullah juga mengadukan hal ini ke KPK RI terkait kasus TPPU. “Ada beberapa pihak yang kami adukan yang diindikasi merugikan keuangan negara ratusan miliaran rupiah,” terang Amrulllah.

Dia bersama pengacara Irfan Balga S.H. dan Biana Heikal, S.H., mendapat Surat Kuasa Khusus, 17 Oktober 2019, dari Hj. Rice Megawati. Kliennya ini isteri terpidana Tipikor APBD Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) Hi. Satono, SH. SP. Sebagai isteri Satono, kliennya ingin mengembalikan kerugian APBD Lamtim Rp. 117.000.000.000.00 (Seratus Tujuh Belas Milyar Rupiah) sebagaimana ada di 2 (dua) Putusan MA-RI. Yakni Nomor: 510K/PID.SUS/2014, 21 Mei 2014 atas nama Sugiarto Wiharjo alias Alay TRIPANCA dan Putusan Nomor: 253 K/PID.SUS/2012 Tanggal 19 Maret 2012, atas nama Hi. Satono, SH. SP. bin Hi. Darmo Susiswo. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *