Masalah kenakalan remaja atau yang disebut dengan Juvenile Delinquency akhir-akhir ini dirasa telah mencapai tingkat meresahan masyarakat. Berbagai tindakan ataupun perbuatan dilakukan oleh mereka dengan tujuan dan alasan serta latar belakang yang berbeda. Baik pelanggaran norma-norma sosial, agama hingga perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum.
Semua itu dilakukan sebagai suatu pengaktualisasian diri dalam masa perkembangan jiwa dan mental mereka. Juvenile Delinquency menurut Drs. Sudarsono, S.H dalam bukunya tentang Kenakalan Remaja, berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para juvenile delinquent atau pelaku kejahatan.
Yang tergolong kanakalan remaja adalah jika perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila dan melanggar norma-norma agama yang dilakukan oleh subjek yang masih berusia remaja yakni 14-21 tahun. Secara yuridis formal, kenakalan remaja berada pada dua alternatif, yakni apabila pelakunya di bawah umur 16 tahun, maka hal tersebut akan tunduk pada Pasal 45,46 dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sedangkan jika pelakunya berumur 16 tahun ke atas maka berdasarkan Pasal 45, 46 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, anak delinquent tersebut diberlakukan sama dengan para kriminal lain. Meski masalah Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja ini timbul karena perbuatan anak remaja yang cukup meresahkan masyarakat, namun hal tersebut adalah merupakan tanggung jawab bersama.
Anak-anak delinquent tidak harus dibenci ataupun dikucilkan karena sikap maupun perbuatan-perbuatannya, tetapi justru harus diarahkan agar mereka bisa menjadi anak yang lebih baik. Salah satu faktor penyebab anak melakukan kenakalan adalah karena sikap-sikap dari keluarganya yang kurang mendukung dan menghargai mereka.
Orangtua selalu menyalahkan anak, mengatakan mereka nakal dan urakan. Hingga hukuman kerap dijatuhkan, namun hukuman tidak merubah anak menjadi lebih baik, akan tetapi justru membuat mereka memberontak dan melakukan hal-hal yang justru dilarang.
Kenakalan hanya merupakan manifestasi kepuberan keremajaan tanpa ada maksud merugikan orang lain, hanya saja kadang mereka kurang bisa mengontrol diri dari pengaruh buruk lingkungan, juga kurang mampu mengatasi gejolak emosi yang mereka rasakan terhadap sesuatu hal.
Masalah kenakalan remaja juga dapat disebabkan karena ketidakmatangan emosi seseorang, hingga ia tidak mampu mengendalikan diri, emosi dan nafsunya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seorang anak melakukan kenakalan atapun perbuatan kejahatan antaranya adalah faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, emosi yang tidak stabil atau frustasi, rasa tidak puas, faktor ekomoni atau kemiskinan, tempat tinggal atau lingkungan kumuh, kurangnya pendidikan agama, perceraian orangtua, kepadatan penduduk, kesempatan kerja yang terbatas, konflik, kurang pengawasan orangtua, alkohol, narkotik dan lainnya.
Peranan orang tua dan keluarga sangat dibutuhkan dalam mengontrol dan menciptakan suasana serta komunikasi yang baik dengan putra-putrinya. Dengan memberikan rasa aman, tidak memaksakan kehendak, memberikan kepercayaan pada mereka, memberikan kebebasan berpikir serta memberikan pengakuan atas dirinya dan kemampuannya, sangatlah diperlukan mereka dalam menghadapi masa remajanya.
Pembatasan antara kenakalan remaja atau juvenile delinquency dengan kejahatan atau crime adalah apabila perbuatan anti sosial, melanggar kesusilaan, ketertiban dan norma hukum pidana itu dilakukan oleh orang berusia sebelas hingga dua puluh satu tahun, maka disebut dengan kenakalan atau delinquency.
Dan jika dilakukan oleh orang berusia diatas 21 tahun atau orang dewasa maka disebut dengan kejahatan atau crime. Suatu perbuatan dikatakan sebagai kejahatan, apabila melanggar norma lingkungan dimana anak tersebut tinggal, serta norma-norma umum yang berlaku.
Dan dalam mencari jalan keluar atau pemecahan untuk masalah kenakalan remaja, maka harus ditinjau atau disesuaikan dengan norma masyarakat yang berlaku. Delinquency berhubungan erat dengan adat-istiadat suatu masyarakat.
Berdasarkan psikologi perkembangan, anak-anak belum memiliki fungsi kejiwaan yang sempurna, seperti menghayati dan berpikir. Artinya, seorang anak yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat dikatakan sebagai “penjahat anak”, tetapi lebih sesuai jika dikatakan anak yang terlibat kepada situasi kejahatan yang karena faktor intern maupun ekstern.
Hal tersebut juga membedakan anak yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan orang dewasa yang melakukan perbuatan melawan hukum atau biasa disebut penjahat. Karenanya, pemasyarakatan untuk anak harus khusus, terpisah dari lembaga pemasyarakatan orang dewasa (UU No. 23/2002 Pasal 17 (1) point a).
Sayangnya, masih ada anak-anak yang tinggal dalam lembaga pemasyarakatan dewasa meski ada pemisahan ruangan tahanan atau sel. Di pengadilan pun untuk kasus-kasus anak yang melakukan perbuatan melawan hukum berbeda penerapannya dengan pengadilan orang dewasa.
Mulai dari prosedur pemeriksaan, harus dilakukan dalam situasi kekeluargaan, tidak boleh mengintervensi apalagi melakukan kekerasan terhadap anak tersebut (Pasal 16 ayat (1), UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak). Pasal 64 ayat (2) point a,b UU No. 35/2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak. Proses persidangan pun harus mengikuti peraturan yang berlaku.
Hakim dapat memutuskan seorang anak yang melakukan tindak pidana untuk diserahkan kembali ke orangtuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun, atau memerintahkan yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika perbuatan merupan kejahatan atau pelanggaran Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 514, 517-519, 526,531, 532, 536, dan 540 KUHP.
Yang harus diingat, bahwa pada prinsipnya pemberian hukuman bagi anak itu tujuannya bukan semata untuk menghukum, tetapi lebih untuk mendidik kembali dan memperbaiki anak dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Karena itu, sanksi yang dijatuhkan oleh hakim harus disesuaikan dengan kebutuhan pembinaan anak. Bagi anak-anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk memperoleh bantuan hukum (Pasal 17 ayat (1) point b UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak). (*)
Tinggalkan Balasan