Lampung Timur (SL)-Dian Ansori, pegawai Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, yang menjadi terdakwa kasus asusila terhadap anak dibawah umur, dituntut hukuman 15 tahun penjara Jaksa Penuntut Umum pada sidang Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung Timur, Rabu, 3 Februari 2021.
Terdakwa juga diwajibkan membayar denda Rp800 juta, karena menurut jaksa melanggar Pasal 81 ayat (1) Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 23/2002, jo UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 23/2002 jo Pasal 76D UU Nomor 35/2014.
Atas tuntutan tersebut, YLBHI-LBH Bandar Lampung meminta majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sukadana, Lampung Timur menghukum berat terdakwa Dian Ansori.
Direktur LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan mengatakan terdakwa diduga merudapaksa anak perempuan di bawah umur dan juga menjual bocah malang itu pada lelaki hidung belang berinisial BA dengan imbalan Rp200 ribu.
Padahal, Dian yang merupakan oknum petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur, harusnya melindungi korban.
Gadis cilik ini diketahui berlindung di bawah P2TP2A setelah kehormatannya dicemari sebelum dirinya bertemu terdakwa Dian. Atas dasar itu, YLBHI meminta dalam sidang putusan Selasa 9 Februari 2021, mendatang hakim menghukum berat terdakwa.
”Pidananya ditambah sepertiga menjadi 20 tahun penjara sebagaimana dimaksud Pasal 81 ayat (3) UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” kata Chandra Muliawan dalam press release yang diterima wartawan.
”Hal ini dipandang perlu sebagai bentuk efek jera terhadap tindakan terdakwa dan sebagai upaya pemberatasan kekerasan terhadap perempuan di Lamtim. Terlebih, demi terwujudnya keadilan di masyarakat, terkhusus kepada korban,” katanya.
Chandra, menilai Dian layak dihukum lebih berat karena sebagai wali atau pengasuh dia sejatinya justru melindungi NV. Bukan sebaliknya. Dian, bisa dihukum 20 tahun penjara.
Untuk itu, LBH menggunakan sarana hukum sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae) yang keberadaannya dijamin Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. Dengan demikian, sesuai surat yang dilayangkan kepada PN Sukadana, LBH memandang agar majelis hakim dapat menggali utuh keterangan korban dan menelusuri dugaan tindak pidana yang terjadi.
Majlis hakim dapat menggunakan haknya untuk memutus melebihi tuntutan jaksa. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 193 KUHAP. “Ini dipandang perlu sebagai bentuk efek jera terhadap tindakan terdakwa dan sebagai upaya pemberantasan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya. (Red)
Tinggalkan Balasan