Ojat Sudrajat: Proyek SIMRS Dinkes Banten Berpotensi Melanggar Hukum

Banten (SL)-Ojat Sudrajat Pegiat kebijakan publik Banten sepakat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pemerhati hukum bahwa proyek paket pengadaan sistem manajemen Rumah Sakit (SIMRS) pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten senilai Rp 2,5 miliar dengan metode Penunjukan Langsung (PL) berpotensi melanggar hukum.

”Saya sepakat dengan KPK dan pemerhati hukum, jika proyek SIMRS di lingkungan Dinkes Banten itu berpotensi melanggar hukum dan diduga terjadi praktik monopoli,” tegas Moch Ojat Sudrajat

Untuk itu, pihaknya akan mengadukan masalah itu ke KPK dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar kasus yang sempat viral itu menemui ititk terang. Langkah tersebut dilakukan untuk melihat ada dan tidaknya pelanggaran hukum dan praktik monopoli.”Insya Allah hari Rabu (10/3/2021) nanti, saya akan membuat surat laporan ke KPK dan KPPU,” tuturnya

Ia mengungkapkna, pengadaan SIMRS RSUD Malingping berdasarkan data yang dia miliki diawali tahun 2016, dimana RSUD Malingpin membeli 11 Modul Aplikasi SIMRS yang senilai hamper Rp 400 juta yang bersumber dari APBD dan BLUD, dengan kontrak dan metode Pengadaan Langsung dimana kontraknya dengan PT TU selaku penyedia aplikasi SIMRS Medifirst 2000.

PT TU ini adalah mitra dari PT. JS, dimana PT TU ditunjuk oleh PT JS untuk memasarkan aplikasi SIMRS Medifirst 2000.Dan pada tahun 2020 RSUD Malingping kembali menambah 4 Modul aplikasi yang nilainya hampir mencapai Rp 200 juta dan melakukan kontrak dengan PT JS langsung tidak dengan PT. JU lagi,” ungkap Ojat.

Ia menambahkan,tahun 2021 karena RSUD Malingping ingin aplikasi SIMRSnya berbasis web serta memerlukan penambahan hardware dan infrastruktur yang mendukung aplikasi SIMRS Medifirst 2000 yang telah dipasang di tahun 2016 dan Tahun 2020.

Sedangkan pengadaan di tahun 2021 ini dan diduga kembali menunjuk PT JS dengan alasan sebagai pemegang hak paten dari modul aplikasi medisfirst 2000 dengan nomor pendaftaran IDM00206655,Artinya PT TU hanya memegang hak paten atas modul aplikasi tetapi tidak untuk hardware dan infrastruktur,” imbuh Ojat

Ojat mengatakan, pengadaan SIMRS senilai Rp 2,5 miliar dengan metode PL dengan menunjuk PT JS hanya selaku pemegang hak paten modul aplikasi,namun praktiknya PT TU juga ditunjuk langsung untuk pengadaan hardware dan infranstrukturnya.

Padahal, ketentuan Pasal 38 ayat (5) huruf (g) Perpres nomor 12 tahun 2021 hanya mengatur tentang pemegang hak paten modul aplikasi SIMRS RSUD Malingping.”Harga pengadaan seinilai Rp 2,5 milyar tu untuk 20 Modul Aplikasi.Dengan demikian, harga satu modul Aplikasi senilai Rp 100 juta dan Rp 500 juta lagi untuk hardware dan infrastrukturnya yang bukan hak paten dari PT TU,” kata Ojat.

Selain itu,menurut Ojat, jika melihat ketentuan pasal 38 ayat 5 huruf (g) yg dijadikan dasar RSUD Malingoing atas saran BPKP Banten dan Inspektorat Banten,dirinya pun tidak sependapat.

“Ada kalimat yang spesifik pada ketentuan tersebut,karena spesifik dalam kamus KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) diartikan sangat,sementara modul aplikasi SIMRS bukan katagori barang spesifik,banyak perusahaan selain PT. JU yg menjual Modul aplikasi SIMRS bahkan jika ditenderkan dapat dimungkinkan harganya akan lebih bersaing,” tukasnya.(Suryadi)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *