Jakarta (SL)– Komisi Pemberantasan Korupsi dikabarkan akan memecat 75 pegawainya, termasuk penyidik KPK. Pemecatan ini merupakan buntut tes wawasan kebangsaan yang digelar lembaga tersebut. Tes ini merupakan bagian dari alih status pegawai KPK menjadi ASN yang diatur dalam Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Beberapa sumber mengatakan mayoritas yang dipecat adalah penyidik senior di lembaga antikorupsi tersebut. Salah satunya adalah Novel Baswedan. “Iya benar, saya mendengar info tersebut,” katanya lewat pesan teks pada Senin, 3 Mei 2021. Ia menduga tes itu sesungguhnya menjadi bagian dari upaya menyingkirkan pegawai independen, di antaranya penyidik dan penyelidik yang diangkat oleh KPK.
Tes wawasan kebangsaan para pegawai KPK itu berlangsung sejak Maret hingga 9 April lalu. Tes ini merupakan konsekuensi dari revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Hasil revisi itu mengharuskan seluruh pegawai KPK beralih status menjadi ASN. Selain itu, KPK dimasukkan dalam rumpun eksekutif.
Seperti dikutip dari Koran Tempo edisi 4 Mei 2021, sumber lain mengatakan rata-rata penyidik yang dipecat pernah menjadi kepala satuan tugas dalam penanganan sejumlah perkara korupsi kakap di KPK.
Perkara korupsi yang mereka tangani, antara lain, adalah kasus suap terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan yang menyeret Harun Masiku, kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sekarang masih buron.
Lalu kasus suap bantuan sosial dalam penanganan Covid-19. Perkara ini menyeret Menteri Sosial dari PDIP Juliari Peter Batubara. Dua politikus PDIP, yakni Herman Hery dan Ihsan Yunus, juga terseret dalam kasus ini.
Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri merespons hal itu. Isu yang beredar berkaitan dengan hasil tes wawasan kebangsaan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Hasil itu diterima Lembaga Antikorupsi pada 27 April 2021.
Plt juru Bicara KPK Ali Fikri mengakui sudah menerima hasil tes tersebut dari Badan Kepegawaian Negara atau BKN. Namun dia belum bisa menjawab terkait isu pemecatan Novel Baswedan.
“KPK benar telah menerima hasil assesment wawasan kebangsaan yang diserahkan pihak BKN (Badan Kepegawaian Negara) tanggal 27 April 2021,” kata Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 4 Mei 2021.
Kendati demikian, kata dia, hasilnya sampai saat ini belum diketahui. Ali memastikan lembaganya akan menyampaikan hasil tes tersebut kepada publik dalam waktu dekat.”Namun mengenai hasilnya, sejauh ini belum diketahui karena informasi yang kami terima data dimaksud belum diumumkan. KPK memastikan akan menyampaikan hasilnya kepada publik dalam waktu dekat dan akan kami informasikan lebih lanjut,” ucap dia.
Seperti diketahui, peralihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN memang imbas dari revisi Undang-undang KPK.
Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut bahwa Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara (ASN).
Selain itu, dalam Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 disebut pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk mengimplementasikannya juga perlu diperlukan peraturan teknis, yaitu melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
KPK pun bekerja sama dengan BKN menggelar asesment wawasan kebangsaan bagi seluruh pegawai tetap dan pegawai tidak tetap KPK yang menjadi salah satu rangkaian proses alih status tersebut.
Adapun materi dalam asesment wawasan kebangsaan, yaitu integritas berbangsa untuk menilai konsistensi perilaku pegawai apakah sesuai dengan nilai, norma, dan etika organisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, netralitas ASN untuk menilai ketidakberpihakan pegawai pada segala bentuk pengaruh manapun dan pihak siapapun.
Terakhir, antiradikalisme untuk menilai kesetiaan pegawai terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah.
Pimpinan KPK sendiri telah berkomitmen bahwa semua pegawai KPK telah menjadi ASN pada 1 Juni 2021 bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila.
Guru Besar Surati MK
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Emil Salim menyurati Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera membatalkan revisi UU KPK. Nama Emil tercantum bersama 50 guru besar yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia.
Revisi yang dimaksud adalah Undang-Undang 19 Tahun 2019 hasil perubahan dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Revisi yang dimaksud adalah Undang-Undang 19 Tahun 2019 hasil perubahan dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam surat tersebut para guru besar menilai banyak permasalahan muncul setelah penerbitan Revisi UU KPK. Selain itu, undang-undang tersebut juga dinilai melemahkan KPK.
“Jika ditarik sejak pembentuk undang-undang merevisi UU KPK, berturut-turut permasalahan datang menghampiri badan antikorupsi yang selama ini kita andalkan,” bunyi surat tersebut.
“Alih-alih memperkuat, eksistensi UU Nomor 19 Tahun 2019 justru memperlemah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK,” tambahnya.
Dalam surat tersebut, para guru besar berpandangan UU No. 19 Tahun 2019 secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu, baik dari sisi profesionalitas dan integritasnya.
Beberapa permasalahan yang mereka soroti di antaranya yaitu hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada alih status kepegawaian KPK ke aparatur sipil negara.
Mereka memberikan contoh salah satu kegagalan KPK yaitu gagal memperoleh barang bukti saat melakukan penggeledahan di Kalimantan Selatan, serta penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Selain itu, pelanggaran kode etik juga banyak ditemukan di KPK, pencurian barang bukti, dan praktek penerimaan gratifikasi serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani.
“Pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi barometer badan antikorupsi yang cukup ideal,” dikutip dalam surat tersebut.
Tidak hanya itu, mereka juga menilai proses pengesahan revisi UU KPK diwarnai dengan permasalahan serius, terutama ihwal proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Sebagaimana Bapak dan Ibu Hakim Konstitusi ketahui, Undang-Undang KPK hasil perubahan dikerjakan secara kilat (14 hari) oleh pemerintah dan DPR,” tulisnya.
Dalam waktu yang singkat itu, menurut mereka, dapat dilihat bahwa pembahasan regulasi itu juga telah mengabaikan partisipasi masyarakat karena prosesnya tertutup dan tidak akuntabel.
Mereka mengatakan jika praktik ini dinormalisasi maka bukan hanya isu tertib hukum saja yang dilanggar, namun masa depan demokrasi di Indonesia juga dipertaruhkan.
Terkait itu, mereka menilai MK harus mencabut revisi UU KPK dan mengembalikan KPK ke marwah yang lebih baik.
“Berangkat dari permasalahan yang telah disampaikan, kami menaruh harapan besar pada Mahkamah Konsititusi untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala,” tulis mereka.
Koalisi Guru Besar menilai MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum. Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Red)
Tinggalkan Balasan