Bandar Lampung (SL)-Kerap terjadi banjir, dan genangan air ke jalan protokol di Kota Bandar Lampung setiap turun hujan bukan hanya karena persoalan penyempinan drainase, dan sampah. Tetapi juga akibat kebijakan “ngawur” pemberian izin pembangunan Hotel dan Mall di kawasan resapan air oleh pejabat Kota Bandar Lampung.
Baca: Hotel Horizon “Kebal Hukum” Warga Minta Walikota Cabut Izin Operasi
Hal itu diungkapkan Ketua DPD Ormas MKGR Lampung, Nizwar Affandi yang mengaku miris melihat kumuhnya Kota Bandar Lampung, dan lambannya penanganan mengatasi Banjir Kota Bandar Lampung selama ini. “Menurut saya ini konsekuensi akumulasi kebijakan ngawur yang membolehkan pembangunan hoel hotel dan mall,” kata Nizwar Afandi kepada sinarlampung.co, Sabtu 16 April 2022.
“Siap yang mengijinkan Hotel Horison, Hotel Swissbel (ex Hotel The 7th), Rasuna Hills Residence, Ciplaz Mall, Lampung Living Plaza dan tempat-tempat lain yang sebelumnya merupakan daerah resapan air alami. Silakan dicek pada masa walikota siapa-siapa saja izin-izin itu diberikan,” tambahnya.
Menurut Nizwar Affandi, sebelumnya kawasan Batu Putu, Kemiling dan perbukitan di pinggiran Kota juga sudah disulap menjadi begitu banyak perumahan, developer memanfaatkan dan mengikuti trend para pejabat publik yang duluan memberi contoh membangun hunian di sana.
Sementara normalisasi DAS 25 Sungai (termasuk Way Kuripan, Way Kuala, Way Balok, Way Awi dll) tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh dan menyeluruh selama 30 tahun terakhir. Justru izin-izin reklamasi yg diberikan sehingga secara hidrologi semakin memperburuk keadaannya. “Kondisi itu tidak bisa hanya diratapi apalagi berharap waktu dapat diputar kembali ke belakang agar semua kekeliruan kebijakan itu diurungkan,” katanya.
Affandi menjelaskan tidak ada pilihan yang paling realistis bagi Walikota saat ini atau Walikota berikutnya kecuali membenahi sistem drainase kota dan memperbaiki kecepatan laju buangan limpahan air ke muara-muara sungai. Dalam perspektif hidrologi, secara alami topografi yang dimiliki Bandar Lampung sesungguhnya memudahkan laju air turun ke muara sungai karena tidak flat seperti di Jakarta, Semarang atau Palembang.
“Dalam keterbatasan keuangan daerah, mau tidak mau Walikota harus lebih proaktif mengajukan berbagai program perbaikan ke kementerian teknis dan menggerakkan partisipasi aktif dunia usaha khususnya para pemilik bangunan dan pengembang perumahan yang di masa lampau telah terlanjur diberi izin membangun di tempat-tempat bermasalah itu. Selebihnya tentu istiqomah memastikan tidak ada lagi izin pembangunan tanpa kajian lingkungan komprehensif yg diberikan,” katanya. (Red)
Tinggalkan Balasan