Bandar Lampung (SL)-Jajaran Direksi PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII) digugat di pengadilan oleh karyawan. Gugatan diajukan Tri Guntoro melalui kuasa hukumnya Ginda Ansori Wayka, terkait kebijakan yang menguntungkan pabrik justru di sangski. Dan gugatan telah sampai kepada manajemen PTPN VII, dan sedang bersidang di Pengadilan Negeri.
“Gugatan telah kami terima dan sedang menjalankan proses hukum. Perkembangan gugatan sudah masuk dalam persidangan. Dan manajemen akan taat dan menjalankan proses hukum dengan bukti-bukti yang dimiliki. Perkembangan persidangan dapat menanyakan langsung ke Pengadilan Negri Tanjung Karang. Sidangnya juga dapat meliput persidangan karena terbuka untuk umum,” kata Andi Sekretariat PTPN VII kepada sinarlampung.co, Selasa 01 September 2022.
Sebelumnya, jajaran Direksi PTPN VII di gugat oleh karyawannya bernama Tri Guntoro yang menunjuk Kantor Hukum Gindha Ansori Wayka-Thamaroni Usman & Rekan (Law Firm GAW-TU). Gugatan ke Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas I terkait keputusan Direksi, yang menyebut bahwa kerugian yang dialami PTPN VII Tahun 2020 terkait optimalisasi bahan baku untuk meningkatnya utilitas pabrik yang seharusnya memberikan margin positif untuk membantu perusahaan mengupayakan keuntungan, tetapi malah gagal dan menyebabkan PTPN VII mengalami Kerugian.
“Karena diputus oleh Direksi sebabkan kerugian dalam optimalisasi bahan baku tahun 2020, kami harus gugat ke Pengadilan dan gugatannya sudah kami daftarkan melalui e-court dengan nomor register PN TJK-102022M3S tanggal 03 Oktober 2022 yang tujuannya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum”, ujar Gindha Ansori Wayka yang didampingi Advokat Muda Ramadhani dan Ronaldo, Senin 3 Oktober 2022 di Bandar Lampung.
Menurut Gindha bahwa pada tahun 2010, kliennya Tri Guntoro menjadi Karyawan di PTPN VII dan pada tahun 2014 bertugas di Unit Tulung Buyut, yang pada saat itu Perusahaan sedang mengalami masalah berupa underweight (kekurangan berat) karet kering yang jumlahnya ratusan ton.
“Klien Kami sejak tahun 2014 sudah membantu pemulihan underweight di pabrik tersebut yang saat itu mengalami minus sebesar 450 (empat ratus lima puluh) ton karet kering dan hasilnya cukup positif karena telah memberikan margin positif dan membantu perusahaan menjadi untung pada saat itu,” jelas Pria Kelahiran Negeri Besar Way Kanan ini.
Gindha menjelaskan kondisi underweight di PTPN VII memang hampir terjadi setiap tahun buktinya sejak tahun 2014 hingga tahun 2020 Kliennya selalu membantu di Unit Tulung Buyut dan hasilnya dari tahun 2014 hingga 2020 sebelum dipindah tugas, Klien dan timnya mampu mengoptimalkan bahan baku untuk meningkatnya utilitas pabrik dan bahkan memberikan margin positif membantu perusahaan mengupayakan keuntungan hingga mencapai ± Rp. 85 (Delapan Puluh Lima) Milyar.
“Mencetak angka hingga ±Rp. 85 Milyar kinerja dari tahun 2014 hingga awal 2020 dari pengolahan bahan baku karet untuk menstabilkan keuangan PTPN VII itu bukan dilakukan dengan duduk berpangku tangan, Klien Kami menggunakan sistem Taksasi (beli karet basah) seperti dilakukan oleh Perusahaan-perusahaan swasta nasional lainnya, sehingga PTPN VII bisa menghasilkan surplus”, tutur Dosen Perguruan Tinggi Swasta di Lampung ini.
Namun kata Gindha, bahwa keberhasilan kinerja Klien selama di Unit Tulung Buyut dengan menghasilkan puluhan milyar tersebut tidak pernah diberikan reward (Penghargaan), bahkan kini Kliennya diberikan punishment (Hukuman) yang diharuskan mengganti kerugian PTPN VII karena dianggap merugikan perusahaan dengan konsepnya, saat yang bersangkutan telah di pindah ke unit kerja lainnya.
“Jangankan diberi reward atas keberhasilannya dalam mengumpulkan pundi-pundi untuk PTPN VII atas Kinerjanya yang menghasilkan puluhan milyar, malah kini Klien Kami di hadapkan dengan kewajibannya dalam mengembalikan kerugian Perusahaan yang menurut Direksi mencapai nilai Rp.3,2 Milyar, selain potong gaji dan tunjangan serta dipindah pada posisi yang jabatan yang tak berpengaruh,” ujar Ginda.
Ditambahkan Gindha, Kliennya di beri sanksi Pelanggaran Disiplin Tata Tertib dan Disiplin Karyawan PTPN VII sebagaimana Surat Keputusan Direksi Nomor: SDM/KPTS/270/2018 Tanggal 13 Juli 2018 yang mengakibatkan kerugian Rp3,1 miliar, yang menurutnya ada peran dan kesalahan besar jajaran Direksi dalam hal ini karena jajaran Direksi memindahkan Kliennya tanpa menyiapkan pengganti yang paham dengan sistem taksasi yang dijalankan Kliennya selama ini dan berhasil meraup puluhan milyar.
“Sanksi yang diberikan kepada Klien Kami tidak dapat diterima karena kerugian Perusahaan yang mencapai ± Rp. 3,2 Milyar yang menurut informasinya kerugiannya hanya ±Rp800 juta sesungguhnya disebabkan oleh jajaran Direksi yang memutasi Klien Kami. Buktinya sejak 2014 hingga awal 2020 Klien Kami dengan sistem yang sama digunakan dalam pengolahan bahan baku telah membuat PTPN VII mendapatkan surplus, seandainya Klien Kami tidak dimutasi sedang dalam proses pengolahan bahan baku kemungkinan Perusahaan tidak akan mengalami kerugian dan anehnya jajaran Direksi tidak memahami bahwa yang akan menggantikan Klien Kami tersebut diduga SDM penggantinya tidak mumpuni untuk hal itu,” tambah Mantan Ketua Hima Pidana FH Unila ini.
Gindha menyatakan kliennya saat Sidang Kode Etik pernah mengajukan dalam pemeriksaan untuk dikembalikan ke jabatan semula dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan untuk membenahi underweight dan menjanjikan surplus. Namun ditolak dan saat ini ditagih oleh Direksi atas kerugian yang diderita PTPN VII melalui kuasa hukumnya karena pernah menandatangani Surat Pernyataan Kesanggupan Pengembalian Kerugian Finansial sebagai dasar jatuhnya surat Sanksi Nomor: SDM/I/RHS/014/2021 tanggal 07 Januari 2021 perihal peringatan ketiga.
“Kalau ini yang menjadi dasar Direksi menagih klien Kami, kami tolak karena saat itu klien kami dalam kondisi tertekan karena pemeriksanya saat sidang kode etik dihadapkan dengan pemeriksa yang banyak dan berpangkat jauh tinggi dari Klien Kami. Klien Kami pun sudah menawarkan dan memohon untuk dikembalikan ke posisi semula dan akan membuat surplus, malah ditolak mentah-mentah permohonannya oleh Direksi melalui pemeriksa dan sikap Direksi inilah yang membuat rugi perusahaan semakin nyata dan sempurna”, Papar Wakil Ketua DPC Peradi Bandar Lampung ini.
Ditanya alasan melakukan gugatan ke Pengadilan, Gindha menjelaskan bahwa Kliennya tidak terkait lagi dengan kerugian tersebut karena sudah dipindah tugaskan oleh Direksi ke Unit lain, tetapi anehnya justru Kliennya yang dipaksa mengganti.
Selain itu menurut Gindha, proses penanganan penagihan somasinya ditembuskan dan disampaikan kepada Orang Tua dan Mertua Kliennya sehingga perbuatan yang diduga tidak profesional ini telah membuat ketidakharmonisan antara Klien Kami dengan Orang Tua dan Mertua.
“Klien Kami sudah dipindah, jika pengolahan bahan baku setelah sepeninggalannya menyebabkan kerugian yang salah ya Direksi dan Orang yang menggantikan jabatan Klien Kami tersebut karena tidak memahami sistem taksasi yang digunakan selama 5 (lima) tahun oleh Klien Kami sehingga PTPN VII Surplus,” katanya.
Direksi PTPN VII juga menunjuk Tim Hukum dan bagian Hukum PTPN VII untuk menagih Kliennya, juga diduga tidak profesional, karena Kliennya, telah cakap hukum atau tidak masuk dalam rumusan Pasal 330 KUHPerdata (anak dibawah umur, dibawah pengampuan atau orang gila). “Maka menyampaikan somasi ke Mertua dan Orang Tua Klien Kami juga merupakan perbuatan melawan hukum karena telah menyebabkan ketidakharmonisan antara Klien Kami dengan Orang Tua dan Mertuanya”, katanya. (Heny/Red)
Tinggalkan Balasan