Lampung Timur (SL)-Sejak tahun 2008 lalu uang Rp119 miliar milik Pemerintah Daerah Lampung Timur masih menjadi tanggung Jawab terpidana Sugiarto Wiharjo alias Alay, yang dijaminkan dengan aset-aset sebagai gantinya. Namun hingga 2023 belum terlihat progres pengembalian.
Baca: Unjurasa Soal Raibnya Rp107 Miliar Uang APBD di BPR Tripanca Kampud Minta Dawam Raharjo Bersikap
Baca: Belasan Tahun Tak Satupun Aset Pengganti BPR Tripanca ke Lampung Timur, Pemda Ngadu Ke Kajagung
Ironisnya pemangku kebijakan daerah hingga tiga kepala daerah terkesan mendiamkan. hingga Gerakan masyarakat peduli pembangunan dan pelayanan publik (GEMA P4) mempertanyakan mengapa belum dikembalikannya uang milik pemerintah kabupaten Lampung Timur di BPR Tripanca itu.
“Mengapa pemerintah kabupaten Lampung Timur tidak mengambil langkah untuk mengembalikan uang senilai Rp119 milyar di Tripanca ke kas Daerah Lampung Timur,” kata Penggagas GEMA P4 Sopian Subing.
Menurut Sopian Sobing, jika itu dibiarkan bisa jadi adalah sebuah penghiatanan dan kejahatan yang nyata dari seorang pemimpin,”Apa lagi sudah di duga menerima suap. Kami heran sudah tiga kepala daerah berganti, tapi seperti diam,” ujar Sopian.
Sopian Subing menyebutkan mendiamkan anggaran ratusan miliar itu menjadi bukti jika Pemerintah Kabupaten Lampung Timur belum memahami permasalahan Lampung Timur terutama mengenai Kasus Korupsi yang dilakukan oleh Satono dan Sugiarto Wihardjo alias Alay.
“Ada 3 Putusan terkait Penempatan Dana Lampung Timur di BPR Tripanca Setiadana itu. Yakni 2 Putusan Mahkamah Agung tentang pemidanaan Satono dan Alay yang masing-masing dihukum 12 dan 18 tahun penjara,” katanya.
Keduanya juga dihukum untuk membayar uang pengganti masing-masing sebesar Rp10 milyar untuk Satono dan 106 milyar untuk alay.
Sedangkan pada THN 2009 Satono memenangkan perkara perdata dan memperoleh 100 Asset melakukan akta Van dading dan penetapan sita eksekusi no.9/eks/2009/PN TK tgl 26 mei 2009 dan berita acara eksekusi. “Waktu itu Satono melalui pengacaranya berhasil menyita 66 asset Alay yg berlokasi di Bandar Lampung” jelas Sopian.
Namun, setelah Satono dinyatakan bebas maka pengacara Satono melakukan pengangkatan sita atas 66 aset tersebut dan degan diangkatnya sita maka 100 aset tersebut beralih ke kroni alay.
Sopian berharap ke Pemerintah Kabupaten Lampung Timur mengambil langkah yang tepat dalam upaya mengembalikan Aset Lampung timur BPR Tripanca. ”Jangan terjebak pada perangkap yang sudah dibuat oleh para Mafia Hukum yang membegal upaya pengembalian Aset ini,” katanya.
Jejak Kasus Alay
Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis hukuman 18 tahun penjara terhadap Bos Tripanca Group, Sugiarto Wiharjo alias Alay, terkait kasus korupsi APBD Lampung Timur (Lamtim) senilai Rp108 miliar. Sebelumnya, Alay telah dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Tanjungkarang.
Alay lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Lampung. Pengadilan Tinggi Lampung menguatkan putusan PN, sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung (MA).
Dengan vonis 18 tahun artinya Alay harus kembali mendekam dalam penjara. Namun, upaya untuk mengeksekusi Alay agar masuk ke penjara bukan perkara murah. Sebab, seperti mantan Bupati Lampung Timur Satono yang terjerat kasus korupsi APBD Lampung Timur 2008-2009, keberadaan Alay hingga kini juga tidak diketahui.
Satono juga kabur beberapa saat setelah vonis dijatuhkan. Alay sendiri pernah kabur pada saat dia ditetapkan sebagai tersangka menyusul kolapsnya bank miliknya. Bersamaan dengan bangkrutnya Bank Tripanca milik Alay dan diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ratusan miliar uang nasabah –termasuk uang APBD Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Tengah yang didepositokan di Bank Tripanca tidak bisa ditarik.
LPS tidak bisa mengganti uang APBD Lampung Timur dan Lampung Tengah, karena ternyata uang APBD itu disimpan dengan cara di bawah tangan (under table), tanpa melalui pembukuan perbankan yang semesttinya.
Dilangsir teraslampung.com, berikut kronologi kasus Bank Tripanca dan APBD Lampung Timur yang melibatkan Alay:
15 Oktober 2008:
PT Tripanca Group terkena badai krisis global yang mengakibatkan turunnya harga komoditas ekspor perkebunan seperti kopi yang menjadi bisnis utama Tripanca Group.
1 November 2008:
Bank Tripanca Setiadana kesulitan likuiditas akibat banyaknya penarikan sehingga terjadi mismatch (kesenjangan pendanaan). Padahal, BI menilai per September 2008, Bank Tripanca masih sehat dengan total aset Rp800 miliar.
7 November 2008:
Alay dikabarkan mengasingkan diri ke Negeri Kanguru, Australia. Sebelumnya diberitakan berobat di Singapura.
14 November 2008:
Kapolda Lampung Brigadir Jenderal Ferial Manaf memerintahkan jajarannya memburu Alay.
17 November 2008:
Sebanyak 4.000 ton kopi titipan supplier (pemasok) ke PT Tripanca dikeluarkan dari gudang ASK, di Way Lunik, Bandarlampung. Pengeluaran kopi ditargetkan bertahap selama empat hari.
27 November 2008:
Bank Tripanca dalam pengawasan khusus.
3 Desember 2008:
Polda Lampung menetapkan Sugiarto Wiharjo alias Alay, pemilik grup Tripanca, sebagai tersangka dan masuk daftar pencarian orang (DPO) alias buron.
12 Desember 2008:
Bank Indonesia melaporkan BPR Tripanca karena kasus dana macet di bank tersebut dinilai termasuk tindak pidana perbankan.
9 Desember 2008:
Alay ditangkap saat turun dari pesawat Garuda Indonesia Airlines 0835 yang tiba dari Singapura di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
30 Desember 2008:
Alay dkk. yang diduga terlibat kasus tindak pidana perbankan diangkut ke Mabes Polri, Selasa (30-12), pukul 08.30.
13 Januari 2009:
Alay dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi terkait deposito dana APBD Lampung Timur danLampung Tengah di bank tersebut.
28 Februari 2009:
Polda Lampung resmi menetapkan Bupati Lampung Timur Satono dan mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurna Jaya sebagai tersangka kasus korupsi dana APBD yang mengendap di BPR Tripanca Setiadana.
24 Maret 2009:
BPR Tripanca resmi ditutup.
3 April 2009:
Markas Besar Polri dan Kepolisian Daerah Lampung merampungkan pemeriksaan Alay dan tujuh tersangka lain. Mereka dijebloskan ke Rutan Way Hui.
Juli 2009:
Alay divonis penjara 5 tahun 6 bulan untuk kasus kejahatan perbankan.
24 September 2012:
Alay divonis hukuman penjara 5 tahun oleh PN Tanjungkarang terkait kasus korupsi APBD Lampung Timur 2008-2009 senilai Rp119 M. Kaitan dengan hukuman penjara untuk kasus perbankan, Alay seharusnya bebas pada 18 Mei 2013.
21 Februari 2013:
Pengadilan Tinggi Lampung kuatkan PN Tanjungkarang terkait vonis 5 penjara untuk Alay dalam kasus korupsi APBD Lampung Timur.
11 Maret 2013:
Kejaksaan Negeri Tanjungkarang mengajukan kasasi ke MA. Namun, belakangan berkas yang diajukan Kejaksaan itu sempat bermasalah. Mahkamah Agung tidak pernah mencatatkan kasasi kasus Alay karena berkasnya tidak sampai ke MA.
Padahal, menurut Kejari, berkas sudah dikirim pada 8 Mei 2013 atau 10 hari sebelum Alay bebas, menggunakan jasa perusahaan pengiriman barang dan paket PT Intrasco. Hasil investigasi Pengadilan Tinggi Tanjungkarang menemukan kejanggalan. Dalam kasus hilangnya berkas memori kasasi ini, seorang pegawai Intrasco ditetapkan sebagai tersangka.
Juli 2014:
Mahkamah Agung menambah hukuman Alay menjadi 18 tahun penjara. Namun, dipastikan pihak kejaksaan akan kesulitan mengeksekusi Alay karena keberadaan Alay hingga kini belum diketahui. Jika Alay kabur, artinya dia sudah dua kali kabur terkait kasus yang menjeratnya. (Red)
Tinggalkan Balasan