Bima Yudha vs Gubernur Lampung

Satu minggu ini media sosial ramai dengan seteru antara Bima Yudho Saputro dengan Gubernur Lampung, gara-gara pengguna TikTok dengan akun Awbimax Reborn karena video singkat dirinya yang berjudul “Alasan Lampung Enggak Maju-Maju.”

Konten video itu menyajikan pembangunan jalan di Lampung rusak berat, yang sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki. Kritik Bima atas kondisi Lampung tersebut bukannya direspons dengan argumen dan menawarkan solusi oleh Gubernur Lampung, tetapi malah gubernur memaki-maki ayah Bima Yudho Saputro melalui sambungan telepon.

Dalam hitungan hari kritik Bima memperoleh dukungan dari berbagai pihak antara lain Menkopolkam, Mendagri, KPK, aktivis pers, pegiat LSM bahkan berita terakhir Presiden akan segera memanggil Gubernur Lampung.

Apa yang di sampaikan Bima, subtansinya aspirasi dan kritik yang setiap warga negara mempunyai hak konstitutional untuk menyampaikan pendapat. Atas peristiwa ini, begitu dahsyatnya pengaruh media sosial dalam melakukan kontrol publik terhadap kebijakan pemerintah.

Kondisi beberapa ruas jalan rusak berat di Lampung yang seharusnya disuarakan oleh anggota Dewan dan diperjuangkan untuk memenuhi tuntutan rakyat, nyaris anggota Dewan tidak bersuara.

Justru suara dan keberanian seorang anak muda yang cerdas Bima Yudho memviralkan melalui vidieonya malah jauh lebih efektif dalam mengkritik kebijakan pembangunan infrastruktur yang gagal dalam memenuhi kepuasan masyarakat.

Sekarang menjadi nyata, dibalik kekuasaan kepala daerah yang superkuat dan peran anggota Dewan yang sangat lemah, kini muncul kekuatan alternatif yaitu media sosial yang bisa memporakporandakan kebijakan pemerintah yang menyimpang atau tidak efektif.

Kasus jalan rusak parah di Lampung yang sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki secara nyata akan menggelinding ketika menemukan momentum yang tepat dan akan berdampak pada para pengambil kebijakan. Bagaimana gubernur atau kepala daerah merespon kritik dan aspirasi publik melalui media sosial?

Bima Yudho mengkritik jalan hancur yang ditujukan kepada Gubernur Lamapung bukan masalah pribadi Gubernur Lampung tetapi melakukan koreksi dan mengekpresikan ketidakpuasan atas kinerja dan kepekaan gubernur terhadap pembangunan dan perbaikan jalan yang rusak parah.

Intinya, gubernur abai dan tidak sensitif terhadap penyediaan public goods. Respons gubernur seharusnya memberi harapan pada masyarakat, seperti menjelaskan apa adanya, mungkin karena keterbatasan anggaran, atau argumen lain.

Yang penting pak gubernur harus memastikan ada rencana kebijakan untuk menyelesaikan perbaikan jalan tersebut dengan agenda yang jelas dan pasti. Dengan jawaban tersebut, persoalan kritik Bima yang merepresntasikan kepentingan publik akan selesai dengan sendirinya.

Dalam kultur berdemokrasi cara-cara demikian yang seharusnya dipraktekan, bukan diserang secara personal dengan sangat emosioanal dan kemudian diadukan kepolisian dengan alasan melakukan penghinaan.

Demokratisasi kebijakan publik mengharuskan adanya sikap terbuka dalam menerima kritik dan koreksi dari masyarakat, sebaliknya pemerintah harus mengambil keputusan yang bijak, layak dan rasional.

Subtansi Kritik?

Esensi mengkritik pada dasarnya untuk memberi umpan balik terhadap kebijakan pemerintah. Ini berarti publik akan mempelajari dan memberi saran perbaikan, memberikan penilaian terhadap kebijakan pemerintah, bagaimana agar kebijakan itu memberi kepuasan bagi masyarakat luas.

Kebijakan publik dipandang sebagai sesuatu yang harus dikritik untuk dikoreksi, diperbaiki, atau diganti, ketika kebijakan itu menyimpang dari tujuan.

Jadi, kebijakan tidak diterima begitu saja sebagai sebuah produk keputusan pemerintah. Jadi yang dikoreksi adalah produk kebijakannya. Konsekuensinya dalam sistem yang demokratis maka akan ada pertarungan antara kekuatan pengkritik versus penerima kebijakan.

Pada kasus kebijakan yang memiliki kekuatan isu yang sensitif, seperti penyediaan public goods (antara lain jalan) , pelayanan kesehatan dan pendidikan atau isu kebijakan yang bersentuhan dengan masalah agama respon publik akan tinggi dan dalam konteks sekarang dibantu dengan kekuatan media sosial. Sehingga arus informasi begitu cepat mengalir ke masyarakat dan pengambil kebijakan.

Namun, dalam realitasnya mengkritik sering ditafsirkan oleh penguasa sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah dalam bentuk sikap penolakan dan sinisme sehingga bisa merusak citra keberhasilan pemerintah atau menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.

Dalam perspektif demikian, sang penguasa akan bersikap reaktif dan melakukan perlawanan terhadap sipengkritik melalui jaringan kekuatan politiknya bisa melalui buzzer atau diadukan melalui proses hukum ke kepolisian karena dianggap sebagai bentuk penghinaan.

Budaya anti-kritik terhadap penguasa sampai sekarang masih melekat sehingga segala bentuk protes melalui media sosial, aksi unjuk-rasa, dan aksi-aksi lainnya dianggap resisten, tidak produktif serta bisa menganggu pencitraan.

Gubernur sebagai petahana jelas akan dirugikan karena akan memberikan persepsi publik yang negatif. Biasanya munculah aksi pencitraan semu, dengan mengeksploitasi media sosial untuk mempertahankan perspesi positif bagi dirinya.

Pooling atau jajak pendapat, pemberitaan positif melalui twitter atau instagram tiap saat diproduksi untuk mencitrakan persepsi positif dihadapan publik.

Kasus kritik Bima terhadap Gubernur Lampung bisa jadi karena ada kehawatiran citra kepemimpinannya meorosot dihadapan publik, sehingga dianggap tidak menguntungkan dalam menjaga kesinambungan kepemimpinannya ke depan.

Padahal kalau kritik itu subtansinya didasarkan pada fakta kebijakan objektif dan diterima sebagai sebuah feedback untuk diperbaiki, maka bisa jadi akan menjadi hal positif untuk membangun pemerintahan yang baik.

*) Akademisi FISIP Universitas Lampung

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *