Bandar Lampung, sinarlampung.co-Ratusan warga tujuh desa di Kecamatan Melinting, Lampung Timur menyambangi kantor BPN Wilayah Lampung. Massa dari delapan Desa Sripendowo, Bandar Agung, Waringin Jaya, Wana, Srimenanti, Giring mulyo, Sribhawono, dan Brawijaya itu meminta keadilan kepada ATR/BPN Wilayah Lampung, atas lahan yang telah mereka garap sejak 1968.
Para petani yang menggarap lahan seluas 401 hektar di Desa Wana, Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur. Lahan yang telah mereka kelola selama kurang lebih 20 tahun berturut-turut tersebut diterbitkan Sertifikat Hak Miliki (SHM) atas nama orang lain tanpa sepengetahuan para penggarap.
Didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, warga menuntut pihak aparat penegak hukum membongkar dugaan adanya mafia tanah dilahan garapan petani penggarap. Selanjutnya, warga meminta tegakkan keadilan bagi petani penggarap melalui penegakkan hukum yang berpihak pada masyarakat yang menjadi korban.
”Kami juga meminta hentikan segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat penggarap. Cabut status kepemilikan atas tanah atas nama orang lain yang terbit diatas lahan petani penggarap,” Kata direktur LBH Bandar Lampung Sumaindar Jarwadi SH.
Menurut Sumaindar, masyarakat telah menggarap lahan tersebut sejak 1968 secara turun temurun sampai dengan saat ini. Kemudian pada tahun 2021 terbitlah sertifikat atas nama orang lain tanpa sepengetahuan masyarakat penggarap.
Sementara, jelas Sumaindar, masyarakat tidak pernah merasa mengalihkan lahan tersebut kepada orang lain baik sewa menyewa maupun melakukan jual beli karena mereka paham bahwa tanah yang mereka garap merupakan wilayah kehutanan Register 38 Gunung Balak. “Bahkan masyarakat tidak pernah mengetahui dan melihat adanya aktifitas pengukuran yang dilakukan oleh BPN Lampung Timur” terangnya.
Masyarakat penggarap baru mengetahui lahan tersebut telah terbit sertifikat pada tahun 2021 ketika ada seseorang yang tidak dikenal datang membawa bukti SHM dan meminta penggarap untuk membayar SHM tersebut. Sebelumnya masyarakat mengira lahan yang mereka garap masuk kedalam kawasan hutan register 38 Gunung Balak.
“Sehingga, masyarakat tidak berupaya atau tidak pernah melakukan pengurusan secara administratif dengan melakukan pendaftaran tanah ke Kantor BPN Lampung Timur. Lebih dari 264 KK menjadi korban yang terdiri dari 8 desa yang menggarap di lahan tersebut. Bahwa yang menjadi mayoritas penggarap berasal dari Desa Sripendowo.” Kata Sumaindra.
Sumaindra mengatakan, Masyarakat penggarap juga kerap kali didatangi oleh oknum-oknum yang mencari lahan dengan menunjukan kepemilikan SHM yang terbit pada tahun 2021. Selain dari pada itu masyarakat juga menerima intimidasi dengan bentuk dipaksa untuk membayar sertifikat dengan nominal uang sebesar Rp150.000.000 hingga Rp200.000.000 sesuai dengan luas lahan yang digarap. ”Jika tidak membayar masyarakat penggarap diancam akan dilaporkan ke Pihak kepolisian atas penyerobotan lahan” pungkasnya.
Sebelumnya puluhan warga dari Desa Sripendowo juga menggeruduk kantor BPN Lampung Timur. Mereka mempertanyakan adanya penerbitan sertifikat atas lahan yang mereka garap selama bertahun tahun. (Red)
Tinggalkan Balasan