Bandar Lampung, sinarlampung.co-Pemerintah Provinsi Lampung selama ini tidak pernah transparan soal Dana bagi hasil (DBH) yang menjadi hak 15 kabupaten-kota hasil dari penarikan berbagai pajak yang dipungut dari masyarakat. Pemeerintah daerah se-Lampung tidak pernah mengetahui secara persis jumlah besaran bagiannya.
SK Nilai DBH dan peraturan Gubernur itu tidak pernah diberikan kepada daerah. “Karena tidak pernah diberikan SK berapa jumlah DBH yang dibayar atau yang diterima,” kata Kepala BPKAD Pemkot Bandar Lampung, M. Nur Ramdhan.
Menurut M Nur Ramdhan. karena tidak pernah mendapatkan SK yang biasanya berupa Peraturan Gubernur, maka Ramdhan juga mengaku tidak tahu persis berapa hutang DBH Pemprov ke Pemda Kota Bandar Lampung. “Yang jelas hingga saat ini pihak kami baru menerima DBH triwulan 1 tahun 2023 senilai Rp24 miliar. Pemprov berjanji akan membayarkan triwulan 2, 3, dan 4 di tahun 2024,” katanya.
“Pola semacam ini sama persis yang dilakukan di tahun anggaran 2022 lalu. Hitung-hitungan kami, sampai sekarang pemprov masih berutang Rp124 miliar ke Pemkot Bandar Lampung,” tambah Nur Ramdhan.
M Nur Ramdhan menyatakan sebenarnya tidak ada alasan bagi Pemprov Lampung untuk tidak membayarkan DBH kepada Pemkot dan Pemkab se-Lampung. “Kalau pemprov bilang mereka butuh uang untuk pembangunan, kami 15 pemkot dan pemkab ini kan juga sama-sama memerlukan dana untuk pembangunan. Dan DBH itu menjadi hak pemkab/pemkot se-Lampung lo,” ujarnya.
Nur Ramdhan menambahkan bahwa fakta hingga kini DBH pajak rokok senilai Rp9 miliar belum dibayarkan oleh pemprov. Uniknya lagi, lanjut Nur Ramdhan, Pemprov Lampung membuat ketentuan bagi Pemkot Bandar Lampung, di mana pada setiap pembahasan APBD hanya boleh menganggarkan DBH sebesar Rp133 miliar saja. Padahal, seharusnya bisa lebih.
Apa yang dialami Kota Bandar Lampung juga diamini para pejabat Keuangan di kabupaten lainnya. Mereka membenarkan pernyataan M Nur Ramdhan, dan menyebut Keuangan Pemprov Lampung itu penuh dengan misteri.
“BPKAD Pemprov Lampung itu kayak penuh misteri. Padahal, ini kan uang negara dan hak kabupaten/kota. Entah kenapalah mereka harus nunjukin kesan disembunyiin seperti itu. Kalau hal ini nyangkut uang pribadi, yo monggo saja disembunyiin, bukan urusan kita juga,” kata pejabat keuangan yang keberatan dituliskan namanya ini, Selasa 14 Mei 2024.
Dia menyebutkan pihaknya harus menarik mantan pegawai di Keungan Pemprov Lampung ke institusi yang dipimpinnya guna memudahkan dalam memantau dan mengurus DBH. Dan langkah yang dilakukannya memang bermanfaat bagi kepentingan pemerintah kabupatennya terkait pembagian dana hasil tarikan berbagai pajak tersebut. “Alhamdulillah, sejak pola itu saya lakukan, belum lagi dikirim DBH-nya saja, kita sudah dapat informasinya. Kalau sebelumnya, sudah bolak-balik ke BPKAD Pemprov Lampung juga sia-sia saja,” ujarnya.
Hal yang sama diungkap oleh seorang Mantan Sekda salah satu Kabupaten. Dia mengaku bahwa mengurus DBH ke Pemprov Lampung tu sulitnya minta ampun. Apalagi, jumlah besarannya memang baru diketahui jika telah bertemu pejabat di keuangan Pemprov Lampung. “Untuk melihat total besaran DBH saja, harus ketemu pejabat berwenang di keuangan Lampung. Tidak bisa sembarangan,” katanya.
“Kalau tidak, ya kita tahunya segitulah hak kabupaten seperti yang dikirimkan. Maka, saatnya media menayangkan pergub soal alokasi DBH cukai hasil tembakau dengan terinci besaran yang diterima masing-masing pemkab/pemkot. Sehingga semua pada mencatat untuk dicek kembali sesuai tidak yang mereka terima dengan pergub itu,” urainya.
Potensi Tipikor
Praktisi hukum, Novianti, SH, menilai, penahanan DBH oleh Pemprov Lampung senilai Rp 1,08 triliun, bisa dilihat sebagai upaya untuk melakukan menyimpangkan uang negara dan menjurus ke arah Tindak pidana Korupsi. Karena penahanan tersebut tidak didasarkan pada hukum yang jelas, dan tidak dilakukan dengan prosedur yang sesuai ketentuannya.
Alumnus FH Unila ini, menyebut penahanan DBH yang tidak sah dapat dikatakan sebagai mengelola uang negara secara tidak transparan dan dapat mempengaruhi jalannya program pembangunan serta kesejahteraan masyarakat. “Pemkab dan pemkot yang berhak menerima DBH dapat mengajukan gugatan, baik secara pidana maupun perdata terhadap Pemprov Lampung terkait dengan penahanan DBH ini,” katanya.
“Begitu juga dengan elemen masyarakat atau ormas. Jadi, ya sebaiknya ramai-ramai saja menggugat pemprov, agar DBH yang jelas-jelas memberi manfaat kepada 15 kabupaten/kota dan masyarakat Lampung bisa segera diberikan,” kata Novianti yang juga dikenal sebagai aktivis berbagai ormas, Senin (13/5/2024).
Menurut tokoh PEKAT-Indonesia Bersatu Provinsi Lampung ini, bahwa gugatan pidana dapat dilakukan karena penahanan DBH bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi, sedangkan gugatan perdata dapat dilakukan karena penahanan DBH tersebut berdampak pada tidak jalannya program pembangunan dan berimbas juga pada terhambatnya kesejahteraan masyarakat secara umum.
Mengenai bisanya elemen masyarakat atau ormas juga mengajukan gugatan terhadap Pemprov Lampung terkait dengan penahanan DBH, Novi memaparkan, gugatan dapat dilakukan berdasarkan asas-asas hukum yang berlaku, seperti asas keadilan, asas kesetaraan, dan asas kemanusiaan, maupun gugatan PTUN.
“APH juga dapat melakukan penyelidikan langsung terhadap penahanan DBH ini, untuk mengetahui apakah penahanan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan tidak melanggar hukum,” kata praktisi hukum yang dikenal aktif di ormas Generasi Anti Narkotika Nasional (GANN) ini.
Sudah Dibayar Rp355,2 Miliar
Terkait DHB Rp1,08 triliun yang disampaikan Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama-KN) V BPK RI, Slamet Kurniawan, itu, Sekdaprov Fahrizal Darminto, menyatakan, dari DBH Rp1.080.039.816.800 yang menjadi catatan BPK tersebut, pada 8 Mei lalu telah dibayarkan sebanyak Rp355.217.240.881.“Sisanya Rp 724.822.575.919 akan direalisasikan di tahun anggaran 2024 ini,” ujar Fahrizal, Senin 13 Mei 2024.
Plh Kepala BPKAD, Syafriadi, belum memberikan konfirmasi terkait tidak transfarannya anggaran DBH tu. Salah seorang pegawai BPKAD Lampung menyebut Syafriadi yang jabatan definitifnya Sekretaris BPKAD memang tidak mau sembarangan menerima wartawan dan memberikan keterangan. (Red)
Tinggalkan Balasan