Lampung Selatan, sinarlampung.co-Polres Lampung Selatan menghentikan penyidikan (SP3) kasus dugaan pengrusakan tanam tumbuh di lahan Kota Baru, yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), yang dilaporkan pada 20 Maret 2024.
Baca: Kecam Penggusuran Tanaman Petani Kota Baru, Wahrul Minta Polda Lampung Atensi Laporan Petani
Baca: Gusur Tanaman Petani BPKAD Lampung Dilaporkan ke Polda
Kasus tersebut awalnya dilaporkan oleh petani Uun Irawati atau Bunda Tini bersama keluarganya itu ke Polda Lampung, yang kemudian dilimpahkan ke Polres Lampung Selatan, dan dinyatakan berhenti setelah kepolisian mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) pada 6 Oktober 2024.
Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas mengatakan penggusuran terhadap lahan tanam tumbuh milik Bunda Tini oleh Pemprov Lampung berlangsung pada 16 Maret 2024, menyebabkan kerugian besar bagi petani tersebut. Tanaman singkong yang digusur menjadi sumber penghidupan bagi keluarga petani, khususnya untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.
Bunda Tini dan petani lainnya melaporkan kasus pengrusakan tersebut ke Polda Lampung pada 20 Maret 2024. Laporan itu kemudian dilimpahkan ke Polres Lampung Selatan. Selama proses penyidikan, polisi telah memeriksa Bunda Tini sebanyak tiga kali bersama dua anaknya. “Tanpa penjelasan yang memadai, polisi memutuskan untuk menghentikan penyidikan, meskipun dampak pengrusakan terhadap kehidupan petani sangat jelas,” kata Prabowo Pamungkas, Senin 7 Oktober 2024.
Menurutnya, permasalahan ini bermula dari penggusuran lahan petani yang sudah digarap sejak tahun 1960-an. Pada 16 Maret 2024, Pemprov Lampung melalui BPKAD menggusur lahan tersebut dengan alasan penertiban, meskipun tidak ada surat peringatan sebelumnya atau kebutuhan mendesak untuk melakukan penertiban di lahan yang belum digunakan untuk pembangunan.
“Pemprov Lampung menggusur tanaman singkong yang baru berusia tiga bulan. Tanaman itu menjadi harapan para petani untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Kini, akibat penggusuran tersebut, anak-anak petani terancam putus sekolah karena sumber penghidupan mereka telah dirampas, dan keadilan tidak berpihak kepada petani,” ungkapnya.
LBH Bandar Lampung menilai polisi tidak objektif dalam menangani kasus ini. Prabowo menegaskan bahwa polisi gagal melihat bagaimana hak-hak petani dirampas, serta ketergantungan hidup mereka pada lahan dan tanam tumbuh yang mereka kelola. Di sisi lain, polisi terlihat aktif dalam kriminalisasi terhadap masyarakat, namun pada kasus ini penyidik tampak kurang mendalami persoalan hak kepemilikan tanah.
“Kasus ini juga menyentuh pada asas-asas penting dalam hukum agraria, yakni asas horizontal dan vertikal. Asas horizontal mengatur bahwa kepemilikan tanah dan benda-benda yang berada di atas tanah dapat dipisahkan, artinya pemilik tanah belum tentu menjadi pemilik tanaman atau bangunan di atasnya. Namun, dalam kasus ini, hak petani atas tanam tumbuh mereka tidak dipertimbangkan dengan layak,” katanya. (Red)
Tinggalkan Balasan