Bandar Lampung, sinarlampung.co – Dugaan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp271 miliar dan melibatkan PT. LEB, anak perusahaan daerah PT. LJU yang berperan sebagai pengelola Participating Interest (PI) di PHE-OSES, menjadi sorotan tajam DPP Gamapela. Kasus ini terungkap Kejaksaan Tinggi Lampung beberapa waktu lalu, namun DPP Gamapela, melalui Ketua Umum Tonny Bakri, menyampaikan rasa pesimis terhadap kelanjutan kasus ini. Hal ini disampaikannya bersama Sekretaris Umum Johan Alamsyah, SE, dan Ketua Gamapela Institut Ahayat, SH, saat ditemui di Hotel SwissBell, Bandar Lampung.
“Ini hanya akan menjadi drama korupsi, dan kami ragu kasus ini akan diselesaikan di pengadilan. Sudah banyak kasus korupsi besar yang akhirnya mandek, hanya sekedar menjadi berita populer, lalu hilang tanpa kejelasan. Apalagi jika melibatkan pejabat berpengaruh di Provinsi Lampung. Kasus KONI Lampung , misalnya, sampai sekarang belum dibawa ke pengadilan meski sudah ada tersangkanya. Tersangka seolah ditetapkan untuk selamanya, tanpa ada kelanjutan proses hukum. Ini menjadi catatan buruknya penegakan hukum di Lampung,” ujar Tonny Bakri, didampingi Johan Alamsyah, SE dan Ahayat, SH.
Menurut Johan Alamsyah, Lampung yang termasuk dalam 10 besar provinsi terkorup di Indonesia menjadi indikasi lemahnya penanganan korupsi di daerah tersebut. “Padahal, Lampung pernah mendapat penghargaan sebagai salah satu daerah dengan komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Praktik korupsi di lingkungan pemerintah daerah masih terjadi, bahkan kini semakin pesat dan terorganisir,” tegas Johan.
Ahayat, SH, menambahkan bahwa lemahnya pengawasan internal dan eksternal Pemerintah Provinsi Lampung turut membantu keadaan. Menurutnya, pembentukan PT. LEB sebagai pengelola PI bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa pengelola PI seharusnya berbentuk perusahaan daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda), bukan hanya melalui keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Hingga kini, PT. LEB belum memiliki landasan hukum berupa Perda.
Penunjukan PT. LEB sebagai pengelola PI PHE-OSES dan penampung dana dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Ketua DPRD dan pimpinan Badan Anggaran Provinsi Lampung seharusnya ikut bertanggung jawab, karena mereka berperan dalam pengambilan keputusan ini. Dampaknya, dana yang hampir mencapai setengah triliun rupiah tidak bisa menjalar secara langsung oleh Pemerintah Provinsi Lampung maupun BPK RI, sehingga membuka peluang terjadinya pemborosan anggaran,” jelas Ahayat.
Ahayat juga mendesak agar Kejaksaan Tinggi Lampung rutin melaporkan perkembangan kasus ini sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. “Jangan sampai kasus ini mandek tanpa kejelasan. Kejati harus segera memanggil pejabat-pejabat terkait untuk mengklarifikasi proses pembentukan dan penunjukan PT.LEB. Kami yakin masyarakat Lampung mendukung Kejati untuk menuntaskan kasus ini sampai pengadilan,” tambah Ahayat.
Dalam penutupnya, Tonny Bakri menyatakan bahwa kasus ini adalah ujian bagi integritas Kejaksaan Tinggi Lampung. Gamapela meyakini bahwa kasus ini melibatkan tindak pidana korupsi yang terstruktur dan sistematis, dengan indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penyelesaiannya akan menjadi cerminan keberanian dan keagungan Kejati Lampung, khususnya Kuntadi sebagai Kajati. Kami berharap Kejati dapat membawa kasus ini hingga ke meja hijau demi keadilan dan transparansi hukum,” pungkas Tonny Bakri. (*)
Tinggalkan Balasan