Pasien HIV di Lampung Diduga Dipungli Rp15-Rp100 Ribu?

Bandar Lampung, sinarlampung.co-Para pasien HIV (Human Immunodeficiency Virus) di Lampung diduga dipungli, dengan nilai Rp15 ribu sampai dengan 100 ribu, setiap pengambilan obat ARV (Antiretroviral). Padahal pemerintah telah menggeratiskan program ARV dari pemerintah. ARV dapat diambil di Rumah Sakit Negeri dan Swasta hingga Puskesmas, termasuk kelinik.

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung mencatat terdapat sekitar 10.093 orang dengan HIV- AIDS (ODHIV) di Provinsi Lampung, namun hingga saat ini baru 6.570 orang (65%) yang berhasil ditemukan. Karena menjadi program dunia dan Nasional, program obat antiretroviral (ARV) gratis tersedia di beberapa rumah sakit dan puskesmas. Obat ARV tersedia di puskesmas terdekat.

Indonesia mendapat alokasi hibah The Global Fund sebesar USD 1,45 Miliar (Rp 20,89 Triliun) yang diberikan kepada Principal Recipient (PR) yaitu Kementerian Kesehatan dan komunitas (Yayasan IAC, Yayasan Spritia). Hingga saat ini investasi The Global Fund untuk Indonesia merupakan yang terbesar ke-2 di Asia setelah India. (Yayasan IAC, Yayasan Spritia).

Beberapa rumah sakit menyediakan obat ARV gratis, tetapi pasien harus memiliki resep dokter. Selain itu, peserta JKN yang terinfeksi HIV juga bisa mendapatkan obat ARV yang ditanggung pemerintah. Obat ARV harus terus diberikan kepada penderita HIV/AIDS (ODHA) seumur hidup.

Informasi sinarlampung.co menyebutkan, salah satu klinik Angsa Putih, di Ruko Springhill No. 25 BKP Kemiling Raya Bandar Lampung, yang melayani ratusan Pasien HIV Pengobatan Dalam Patuan (PDP) Obat ARV (Antiretroviral). Namun klinik itu sudah tidak melayani pasien umum karena tidak lagi berizin.

Pasien di klinik Angsa Putih, terbanyak adalah pasien dari RS Natar Medika, total adalah seratusan pasien HIV. Pemilik Klinik Angsa Putih, Ulik Umami Rofikoh, istri dari dr Virhat (ahli penyakit dalam RS Medika Natar,red) mengatakan benarkan klinik Angsa Putih, di Ruko Springhill No. 25 BKP Kemiling Raya Bandar Lampung adalah miliknya.

Ulik Umami Rofiqoh, menyebut sebelumnya memang kliniknya ada pelayanan home care atau pelayanan pasien ke rumah. Klinik yang berdiri sejak 12 Agustus 2018 tersebut melayani pengobatan anak dan dewasa, pelayanan KB, pemeriksaan kehamilan, khitan, perawatan luka diabetes dan luka pascaoperasi dan pelayanan PDP. “Tapi sekarang tidak lagi. Sudah kami tutup, dan sudah tidak ada pelayanan itu,” kata Ulik Umami Rofikoh, dalam konfirmasi Senin 25 November 2024 malam

“Klinik Angsa Putih tidak lagi beroperasi melayani pasien umum. Kami hanya berjalan lima tahun. Sudah tutup, aktivitas cuma senam saja. Soal pasien HIV pengobatan dalam pantauan (PDP), kami adalah Kelompok Dukung Sebaya (KDS), yang mayoritas pasien private,” tambahnya via phone.

Ulik Umami Rofikoh mengakui Pengambilan obat memang tidak gratis. Pengambilan obat ARV melalui pihaknya harus membayar Rp100 ribu rupiah. “Bayar pak, semua bayar. Memang selama ini orang Taunya gratis-gratis saja. Tanyakan saja, ambil obat ARV RS Medika Natar bayar Rp45 ribu, RS Abdoel Moeloek Rp65 ribu, di Puskemas bayar Rp15 ribu, itu kalo mau ambil sendiri, dan ngatri,” kata Ulik.

Menurut Ulik, pihaknya masih menggunakan nama Angsa Putih karena selama ini dikenal adalah Angsa Putih. Untuk menjadi pendamping pihaknya akan membuat Yayasan pendamping yang disebut KDS. “Bayar ke kami Rp100 ribu itu tiap pengambilan obat, yaitu setiap satu bulan. Untuk nebus obat di RS Medika Natar Rp45 Ribu. Sisa Rp55 ribunya ya untuk biaya operasional, gaji petugas. Kami hanya sosial aja mas. Jadi kami yang ambilkan, kami yang mengantar, itu pun bagi mereka yang tidak mau ambil sendiri, mungkin mereka menjaga privasi,” katanya.

Lampung Ada 10 Ribu Lebih Terjangkit HIV

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Lampung, Edwin Rusli, menyatakan penemuan kasus HIV di 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung masih perlu ditingkatkan dengan berbagai upaya. Berdasarkan estimasi, terdapat sekitar 10.093 orang dengan HIV- AIDS (ODHIV) di Provinsi Lampung, namun hingga saat ini baru 6.570 orang (65%) yang berhasil ditemukan.

“Penemuan kasus terbanyak berada di Kota Bandar Lampung, dengan 1.323 ODHIV yang menjalani pengobatan ARV. Selama tahun 2024 telah ditemukan kasus baru sebanyak 291 kasus di kota yang terdiri dari 249 laki-laki dan 42 perempuan,” ujar Edwin kepada wartawan Selasa 25 Mei 2024 lalu.

Untuk mengendalikan penyakit menular tersebut. Pihaknya melakukan pemeriksaan HIV pada populasi tertentu sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Seperti ibu hamil, pasien TBC, pasien IMS, warga binaan pemasyarakatan/napi, dan populasi kunci.

ARV Gratis

Sebelumnya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi memastikan pengobatan HIV/AIDS bisa diakses secara gratis di fasilitas kesehatan milik pemerintah.

“Orang Dengan HIV (ODHIV) itu masuk di dalam program pemerintah, jadi obat-obatannya semua kita suplai, dan mereka yang tidak punya BPJS kesehatan pun itu bisa mengakses, hanya saja kadang ODHIV tidak mau menggunakan BPJS-nya dengan alasan tertentu, misal takut privasinya,” kata Imran di Jakarta, Selasa 28 November.

Imran menegaskan, untuk memastikan pasien dengan HIV/AIDS tidak berhenti mengkonsumsi obat, ada dua hal yang mesti dilakukan, pertama yakni memperluas akses ODHIV untuk pengobatan serta menambah layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan (PDP) agar ODHIV dapat mengakses terapi antiretroviral (ARV) untuk mengendalikan infeksi HIV. “Sesuai dengan tata laksana, HIV tidak bisa lagi eksklusif, kalau dulu hanya di rumah sakit, sekarang harus diperbanyak sampai layanan primer, dan memang sudah ada layanan di puskesmas secara gratis,” ucap Imran.

Kemudian, langkah kedua yang mesti dilakukan menurut Imran yakni menguatkan peran komunitas, karena yang bisa lebih menjangkau ODHIV adalah teman-teman komunitas, mengingat keterbatasan tenaga kesehatan (nakes) yang ada, utamanya di wilayah-wilayah tepencil.

“Karena kalau nakesnya kan tidak dekat, tetapi komunitas lebih dekat, yang bisa ngomong (kepada ODHIV untuk berobat) itu komunitas, karena mereka yang pernah ada di titik itu, tetapi saya tegaskan, secara umum, obat untuk ODHIV itu gratis,” paparnya.

Ia juga menekankan bahwa Kemenkes atau pemerintah tidak dapat bekerja sendirian dalam mengatasi HIV/AIDS ini. “Tidak hanya HIV, semua penyakit itu tidak bisa Kemenkes sendiri yang bergerak, pasti kita akan melibatkan sektor-sektor yang lain, koordinasi kita lakukan terus dengan kementerian/lembaga yang lain,” kata dia.

Adapun Kemenkes mencatat cakupan testing HIV pada populasi dengan risiko terinfeksi HIV yakni 7.197.512 jiwa, dengan populasi yakni ibu hamil, pasien tuberkulosis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien infeksi menular seksual (IMS), lelaki suka lelaki (LSL), wanita pekerja seks (WPS), dan pengguna narkoba suntik (penasun).

Agar kasus HIV/AIDS dapat terus dikawal dengan baik oleh pemerintah daerah, Imran menyarankan agar penanganan penyakit tersebut bisa masuk dalam standar pelayanan minimal (SPM) kepala daerah, karena itu dapat dilihat sebagai rapor kepala daerah atas kepemimpinannya.

“Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana semua pihak bisa mengakses akuntabilitas dari pemda, karena itu memang harus dipertanggungjawabkan. Ada 12 indikator SPM Kemenkes, salah satunya adalah untuk HIV. Ini bisa menjadi salah satu upaya mengingatkan kembali, bahwa kepala daerah memiliki tugas untuk menangani HIV/AIDS di wilayah, sehinga mereka harus akuntabel,” ujar Imran Pambudi. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *