Jakarta, sinarlampung.co-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap skandal korupsi besar di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp11,7 triliun. Modus yang digunakan dalam praktik haram ini adalah penggunaan kode “Uang Zakat” sebagai sandi untuk suap yang melibatkan direksi LPEI dan debitur dari PT Petro Energy.
Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo menyebut LPEI memberikan kredit kepada 11 debitur. KPK mengatakan potensi kerugian negara dari pemberian kredit kepada 11 debitur itu berjumlah Rp 11,7 triliun. “Di mana pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada 11 debitur ini berpotensi mengakibatkan kerugian negara, dengan total mencapai Rp 11,7 triliun,” kata Budi Sukmo dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin 3 Maret 2025.
Dalam kasus itu, KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yaitu Dwi Wahyudi (Direktur Pelaksana I LPEI), Arif Setiawan (Direktur Pelaksana IV LPEI), serta tiga petinggi PT Petro Energy: Jimmy Masrin (Pemilik PT Petro Energy), Newin Nugroho (Direktur Utama PT Petro Energy), dan Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan PT Petro Energy).
Mereka diduga terlibat dalam praktik korupsi yang melibatkan suap sebesar 2,5–5% dari kredit yang disalurkan. Alur korupsi ini dimulai ketika PT Petro Energy mengajukan permohonan kredit ke LPEI, meskipun tidak memenuhi syarat sebagai penerima pinjaman. Untuk meloloskan permohonan tersebut, direksi LPEI meminta jatah komisi yang dikemas dengan kode “Uang Zakat” kepada debitur.
Para tersangka belum ditahan karena KPK masih terus melengkapi alat bukti. Budi menyebut kredit tetap diberikan oleh para direktur tersebut walaupun debitur tidak layak. KPK juga menyebut PT Petro Energy diduga memalsukan dokumen purchase order sehingga pencairan fasilitas tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Selain itu, PT PE mengakali laporan keuangan. “PT PE melakukan window dressing terhadap laporan keuangan (LK). PT PE mempergunakan fasilitas kredit tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukan sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit dengan LPEI,” katanya.
PT Petro Energy kemudian melakukan pemalsuan dokumen, seperti kontrak dan invoice, guna meyakinkan pihak LPEI agar pencairan dana tetap berlangsung. Direksi LPEI, tanpa melakukan verifikasi ketat, menyetujui pencairan dana dalam jumlah besar.
Setelah dana cair, uang tersebut dialihkan untuk kepentingan lain yang tidak sesuai dengan tujuan awal pengajuan kredit. KPK menegaskan bahwa tindakan para tersangka telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar dan mencederai kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana ekspor nasional.
KPK berharap kasus ini dapat memberikan efek jera bagi pelaku lainnya serta mendorong peningkatan transparansi dalam pengelolaan dana publik. Saat ini, KPK masih terus melakukan pendalaman kasus dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain yang terlibat dalam jaringan korupsi ini. Para tersangka akan dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan terancam hukuman berat sesuai dengan tingkat keterlibatan masing-masing.
KPK telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung total kerugian negara akibat kasus ini. Saat ini, jumlah yang dapat dipastikan mencapai USD 60 juta hanya dari kredit PT Petro Energi. Penyelidikan terhadap 10 debitur lainnya masih berlangsung, dan KPK berjanji akan mengungkap lebih lanjut jika ditemukan pelanggaran serupa.
Dalam hal pemulihan aset, KPK menargetkan pengembalian dana sebesar Rp900 miliar dari PT Petro Energi guna meminimalkan dampak kerugian terhadap keuangan negara. “Terkait aset recovery untuk khususnya dari PTPE, sejauh ini memang secara perhitungan belum bisa mencapai, namun kami yakin itu akan mencapai, USD 60 juta itu akan tercover semua,” ujar Budi.
Kasus LPEI juga tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Polri, yang memiliki kewenangan dalam penyelidikan debitur lain di luar PT Petro Energi. KPK menyatakan telah berkoordinasi dengan kedua institusi tersebut untuk memastikan tidak adanya tumpang tindih dalam proses hukum yang sedang berjalan.
Terkait penangan kasus ini Budi mengatakan, “KPK sudah menerima sebelas ini, ya sebelas ini tentunya debiturnya untuk kita sidik di KPK juga. Sedangkan di Kepolisian dan Kejaksaan tentunya debiturnya lain, untuk debiturnya sendiri-sendiri, sedangkan untuk para kreditornya nanti akan kita koordinasikan lebih lanjut bagaimana proses penuntutannya.” katanya. (Red)
Tinggalkan Balasan