Tokoh pemuda Lampung Selatan Kritik Maraknya Kegiatan Swakelola Pemkab Lamsel Dikerjakan Instansi Sendiri

Lampung Selatan, Sinarlampung.co-Banyak kegiatan (proyek,red) Pemerintahan Kabupaten Lampung Selatan yang dijalankan secara swakelola, dan dilaksanakan sendiri oleh satua kerja, terutama pada kegiatan pengadaan barang dan jasa (PBJ). Pelaksanaan kegiatan menggunakan skema swakelola tipe 1 Pemda Kabupaten Lampung Selatan tahun 2025 mengalokasikan lima kegiatan konstruksi tipe 1 senilai Rp15,8 miliar. 

Juga ada delapan kegiatan secara swakelola tipe 4, yaitu baik usulan, perencanaan, pengawasan hingga pelaksanaan dilakukan oleh Pokmas dengan anggaran Rp1,050 miliar. “Kegiatan secara swakelola yang dijalankan oleh satker ini seakan-akan legal dan lumrah dilakukan,” kata Tokoh pemuda Lampung Selatan Aqrobin AM, Rabu 18 Juni 2025. 
 
“Padahal ini bertentangan dengan kerangka hukum sektor konstruksi yang bersifat mengikat. Bukan hanya melanggar prinsip profesionalisme yang diatur undang-undang, tetapi juga membuka potensi pelanggaran hukum yang lebih serius,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Menurut Aqrobin, meski kegiatan secara swakelola memiliki payung hukum dalam bentuk peraturan presiden maupun peraturan lembaga LKPP, namun pelaksanaan kegiatan konstruksi secara swakelola bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

“Filosofi yang terkandung dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi bukan sekadar instrumen hukum yang bersifat administratif. UU ini, dibangun di atas asas tanggung jawab, keahlian, dan perlindungan keselamatan publik,” ujarnya.

Dalam setiap pembangunan infrastruktur, ujarnya, yang dipertaruhkan bukan hanya keuangan negara, tetapi nyawa manusia dan integritas lingkungan hidup. “Karena itulah, UU Jasa Konstruksi mewajibkan penyedia jasa memiliki sertifikasi badan usaha dan tenaga ahli.Tujuannya untuk menjamin setiap pekerjaan dijalankan oleh pihak yang memiliki kompetensi profesional dan pertanggungjawaban hukum yang jelas,” ucapnya.

Aqrobin menyatakan baik peraturan presiden maupun peraturan lembaga LKPP mestinya tidak mengkhianati hirarki hukum di atasnya. “UU jasa konstruksi mengatur dengan tegas, dan tidak ada satu pun pasal dalam UU nomor 2 ini yang mengakui entitas non-profesional seperti kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, atau perangkat daerah non-penyedia sebagai pelaksana konstruksi,” ujar Aqrobin.

Dengan demikian, masih kata Aqrobin, entitas seperti dinas atau instansi pemerintah (meskipun punya anggaran dan SDM), unit pelaksana teknis internal, organisasi kemasyarakatan (ormas), pokmas atau perangkat desa, tidak dapat dianggap sebagai pelaksana jasa konstruksi yang sah menurut hukum.

Aqrobin menyatakan jika pekerjaan konstruksi tersebut dibiayai dari keuangan negara namun dilakukan di luar kerangka hukum, maka praktik tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.

“Ini membuka pintu pada pertanggung jawaban pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pelanggaran ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut potensi sanksi pidana terhadap pelaksana teknis maupun pejabat yang menyetujui dan melaksanakan kegiatan tersebut,” ucapnya.

Ketidakharmonisan antara Undang-Undang, Perpres, dan Peraturan LKPP menciptakan ketidakpastian hukum dalam proses pemeriksaan keuangan oleh auditor seperti BPK, Inspektorat, maupun APH. Auditor lanjutnya, sering kali menggunakan perpres atau peraturan LKPP sebagai dasar pemeriksaan administratif tanpa merujuk pada ketentuan substantif dalam UU Jasa Konstruksi. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *