Lampung Tengah, Sinarlampung.co – Dunia jurnalistik kembali diterpa ancaman nyata di lapangan. Seorang pria bernama Ibrahim, yang mengaku sebagai pengurus perjudian koprok, nyaris menikam wartawan Wawai News saat dikonfirmasi terkait praktik judi terang-terangan di acara kuda kepang peringatan bulan Suro di Dusun 3, Kampung Karang Jawa, Kecamatan Anak Ratu Aji, Lampung Tengah.
Peristiwa menegangkan ini terjadi pada malam perayaan budaya yang semestinya sakral dan penuh makna spiritual. Namun, atmosfer religius tersebut ternoda oleh keberadaan empat lapak koprok yang beroperasi bebas tanpa sentuhan hukum.
Saat melintas di lokasi, wartawan mendapati kerumunan masyarakat yang menyaksikan kuda kepang diiringi denting dadu koprok di empat meja judi. Ketika dikonfirmasi, Ibrahim – warga Kampung Gedung Sari – tanpa ragu mengakui perannya.
“Ya, saya pengurusnya. Semua ada 4 lapak. Bagian Polsek 500 ribu, ngasih ke jaranan juga 600 ribu, ya semua kebagian,” ucapnya gamblang.
Namun, situasi berubah panas dalam sekejap. Ibrahim tiba-tiba menatap tajam wartawan dan melontarkan ancaman keras saat ditanya detail aliran setoran dan keterlibatan aparat.
“Gak usah aneh-aneh kamu! Kalau kamu butuh duit rokok ngomong, jangan nanya-nanya setoran. Apa pangkat kamu? Ngomong kamu!” hardiknya.
Seketika, pria tersebut mencabut badik dari pinggang dan berusaha menikam wartawan yang bertanya. Beruntung, wartawan berhasil menghindar dan menyingkir sebelum tragedi berdarah terjadi. Ibrahim, yang ditahan oleh beberapa warga di lokasi, tetap berontak dan melontarkan ancaman.
“Saya beri kamu ya, cari saya, biar saya beri kamu,” ujarnya sambil menatap tajam.
Potret Buram Kolusi Judi dan Aparat
Insiden ini menyingkap sisi gelap praktik judi yang berlindung di balik budaya tradisional. Selain pengakuan setoran kepada Polsek, ancaman kekerasan terhadap wartawan menjadi catatan hitam kebebasan pers di Lampung Tengah.
Jika benar ada pungutan kepada aparat penegak hukum, praktik semacam ini tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga menodai nama baik kepolisian di mata masyarakat.
Acara bulan Suro yang seharusnya menumbuhkan nilai spiritual, justru dijadikan topeng untuk bisnis haram. Ancaman penikaman terhadap wartawan pun menjadi alarm keras: bahwa upaya membungkam pers masih nyata dan terjadi di tanah air.
Pers tidak boleh ditakuti dengan badik atau intimidasi. Kebebasan jurnalistik adalah hak demokrasi yang dilindungi undang-undang, dan keberaniannya tak boleh dibungkam oleh premanisme berjubah budaya. (Wisnu/*)
Tinggalkan Balasan