Bandar Lampung, sinarlampung.co – Penasihat Hukum Syamsul Arifin menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya, Anta Kesuma bin Arifin, telah mengabaikan kebenaran materiil dan fakta persidangan di PN Kalianda, Lampung Selatan.
Menurutnya, JPU bahkan melanggar asas ultra petita. Tuntutan yang diajukan dinilai tidak memenuhi unsur inti pasal yang disangkakan, yakni kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa anak melakukan persetubuhan.
“Dalam persidangan, tidak ada satu pun saksi yang menerangkan bahwa unsur itu terjadi. Pertanyaan soal unsur tersebut sudah berulang kali diajukan baik oleh tim PH maupun majelis hakim,” tegas Syamsul Arifin, Rabu, 13 Agustus 2025.
Ia menambahkan, saksi yang disebut sebagai korban, RK, justru mengaku tidak pernah mengalami kekerasan, ancaman, atau pemaksaan dari terdakwa. RK bahkan kerap meminta perlindungan dan kasih sayang kepada kakeknya itu.
“RK mengaku didoktrin oknum penyidik agar mengatakan kakeknya orang jahat. Bukti chat, pesan suara, dan video sudah kami sampaikan di persidangan,” ujarnya.
Keterangan saksi lain, Heri Kurniawan, yang merupakan ayah RK, juga menguatkan pembelaan. Heri mengaku membuat laporan polisi karena dipengaruhi pihak kepolisian dengan alasan keselamatan dirinya.
Sementara saksi Boyman yang menjadi dasar pembenar tuntutan JPU dinilai memberikan keterangan berubah-ubah. Rekaman CCTV pabrik PT Ersindo Beton Abadi menunjukkan gerbang utama tutup pada waktu yang disebutkan saksi.
“Buku mutasi justru mencatat pabrik aman pada 6–7 Oktober 2024 dan tidak ada kejadian mencurigakan. Tapi JPU tetap menjadikan keterangan Boyman sebagai bukti,” kata Syamsul.
Ia juga membantah narasi JPU bahwa RK merasa takut hingga minta dijemput orang tuanya. Bukti pesan suara justru menunjukkan RK ingin kembali bermain ke rumah terdakwa dan menyebut kakeknya bukan orang jahat.
Syamsul menyoroti hasil pemeriksaan psikologis yang menunjukkan RK memiliki hambatan berpikir logis dan belum matang secara emosi. Menurutnya, kondisi ini membuat kesaksian RK tidak bisa dipertanggungjawabkan di pengadilan.
Selain itu, bukti pemeriksaan poligraf dinilai tidak layak dijadikan dasar utama. “Poligraf punya banyak kelemahan dan tidak akurat. Apalagi pemeriksaan dilakukan di hotel tanpa pendampingan PH,” ujar Syamsul.
Muhzan Zain, anggota tim kuasa hukum, menilai JPU kerap mengutip yurisprudensi yang tidak relevan dengan perkara.
Atas dasar itu, pihaknya meminta majelis hakim PN Kalianda yang dipimpin Galang Syafia Arsitama menyatakan tuntutan JPU cacat hukum dan membebaskan Anta Kesuma.
“Lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Bukankah kita semua kelak akan diadili juga?” pungkas Syamsul.
Sebelumnya, JPU Rio Dwiputra menuntut Anta Kesuma 16 tahun penjara atas dugaan pelanggaran Pasal 81 ayat (3) UU Perlindungan Anak. Ancaman maksimal pasal tersebut adalah 15 tahun penjara. (*)
Tinggalkan Balasan