Pasca OTT KPK di Inhutani V, Masyarakat Singgung PT BMM yang Beroperasi Puluhan Tahun Tanpa HGU

Bandar Lampung, sinarlampung.co – Kuasa hukum masyarakat adat dan tokoh muda Way Kanan mengapresiasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap jajaran direksi PT Inhutani V dan pihak swasta atas dugaan korupsi pemanfaatan hutan.

Di balik langkah KPK yang dinilai luar biasa itu, mereka menyoroti keberadaan PT Bumi Madu Mandiri (BMM) yang diduga beroperasi puluhan tahun di Way Kanan tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Isu ini diminta menjadi perhatian pemerintah dan aparat penegak hukum.

Hal tersebut disampaikan pengacara Gindha Ansori Wayka bersama tokoh muda Way Kanan, Ardo Adam Saputra. Keduanya memberikan keterangan pers di RM Begadang Resto, Jalan Diponegoro, Bandar Lampung, Kamis sore (14/8/2025).

“PT BMM ini beroperasi lebih dari 20 tahun tanpa HGU. Bagaimana mungkin HGU perusahaan itu tidak ada? Bagaimana mengukur pajak dan kerugian negara? Ini tidak bisa dibiarkan. Maka kita dorong APH untuk menegakkan hukum,” ujar Ardo Adam yang juga Ketua Bidang OKK DPD Arun Lampung.

Gindha Ansori menjelaskan, sejak 2006 PT BMM menguasai lahan eks PTPN I Regional 7 (dahulu PTPN VII) seluas 4.650 hektare di Negeri Besar, Way Kanan. Namun, perusahaan itu diduga hanya mengantongi izin lokasi sebagaimana Surat Keputusan Bupati Way Kanan Nomor: 141/B.103/01-WK/HK/2006.

Sebagai kuasa hukum, Gindha bersama masyarakat adat Marga Buay Pemuka Bangsa Raja (MBPBR) telah mengajukan permohonan ukur ulang. Permintaan ini untuk memperjuangkan hak tanah warga di tujuh kampung yang selama ini dikelola PT BMM.

“Kami berjuang sampai hari ini. Terakhir, surat ukur ulang dari Dirjen Pengukuran BPN Pusat sudah turun atas permintaan tujuh kepala kampung, namun PT BMM diduga enggan melaksanakan pengukuran karena lahan yang dikuasai diduga melebihi batas,” kata Gindha.

Ia menambahkan, selain tidak memiliki HGU, proses pelepasan lahan sejak 2006 juga bermasalah. Bahkan, jaksa pengacara negara Kejati pernah menerbitkan surat pembatalan kepada bupati, namun tidak direspons.

“Oleh karenanya, kami minta kepada Presiden Prabowo agar sejalan dengan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan, dilakukan reposisi. Masyarakat adat harus mendapatkan haknya agar tidak terus terjadi konflik agraria,” tegasnya. (Tama)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *