
FAMTRIP wartawan Indonesia. HPN 2018, Sumatera Barat. Berakhir di rumah makan sate khas Padang, Mak Sukur. Daerah Padang Panjang. Dikabarkan Presiden dan Ibu Negara, beserta rombongan juga akan mampir di rumah makan tersebut.
Selama di Bukit Tinggi. Para wartawan mengunjungi Lobang Jepang, goa buatan Jepang, menuruni 132 anak tangga, lalu ke Taman Kota Jam Gadang, yang dibangun sejak jaman penjajahan Inggris. Kemudian dilanjutkan kerumah Tokoh Nasional Moch Hatta yang kini dijadikan cagar budaya nasional. Disana wartawan sempat disambut Kabid Dinas Pariwisata Pemda Kota Bukit Tinggi.
Dari kediaman Moch Hatta, rombongan Famtrip, isoma di RM Eni, makanan khas Padang. Lalu melanjutkan ke puncak tertinggi ada Sumatera Barat. Lawang Part, dengan panorama Danau Meninjau, dikenal dengan Negri diatas awan, dan didampingi Asisten II Pemda Kabupaten Agam, Isman Agam.
Dari Lawang Part peserta Famtrip juga megunjungi lokasi perkampungan home industri gula merah bahan baku tebu, yang diperas dengan turbin, dan menggunakan tenaga Kerbau. Hari sebelumnya, Rombongan Famtrip mengelilingi Kota Padang, kemudian menyusuri jalan wisata Ke Bukit Tinggi, melintasi di kelok 9, Desa Terindah Dunia, Istana Pagaruyung, dan Lembah Harau.
Meski tanpa didampingi Panitia HPN, dan Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Barat, peserta Famtrip menikmati perjalanan Famtrip, yang dipandu tim agen tour, yang ramah dan harus sabar berhadapan dengan wartawan Se Indonesia. Rombongan Famtrip tiba kembali di Padang sekitar pukul 21,00, dan ditempatkan di Posko Keberangkatan.

Sejarah Istana Pagaruyung
Dari papan petunjuk di gerbang Istana menyebutkan, Istana Basa Pagaruyung berlokasi di Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar Istana Basa Pagaruyung adalah bangunan rumah udat Minangkabau berbentuk rumah gadang seperti Istana yang pernah ada sebelumnya.
Komplek Istana Basa Pagaruyung mulai dibangun pada Desember 1976, yang merupakan menjadi tempat tinggal Keluarga Kerajaan Minangkabau dan menjadi Pusat Kerajaan Minangkabau pada masanya. Konstruksi bangunannya berbeda dengan rumah tempat tinggal rakyat,
Dimasa Kerajaan Minangkabau Istana Basa Pagaruyung memainkan peran ganda, sebagai rumah tempat tinggal keluarga kerajaan dan Pomerintahan. Kerajaan Minangkabau yang dipimpin seorang raja yang dikenal atau Diraja Kerajaan Minangkabau “Kepimpinan Ralo Alam dikenal dengan Tali Tigo Sapllin dan Pemerintahannya dikenal dengan “Tungku Tigo Sajarangan”.
Rumah Gadang Minangkabau dibangun berdasarkan mufakat semua anggota kaum dan atas usulan Panghulu Nagal dan dibiayai oleh suku Gadang berfungsi sebagai tempat pelaksanaan adat dalam kehidupan masyarakat dan Rumah Gadang merupakan bukti nyata kemampuan adat dalam mempersatukan kopenlingan, Inspirasi dan kututuhan anggota kaum untuk menciptakan iklim dan kehidupuriyang damai, adil dan harmunis dibawah penghulu kaum Istana Basa Pagaruyung yang besar atau agung, yang kemudian pindah ke Ranah Tanjung Bungo Pagaruyung dan terakhir di Gudam.
Istana Basa Pagaruyung sekarang merupakan duplikat dari istana yang dibakar oleh Belanda tahun 1804 bortoinpul Gudam. Pada tahun 1976 istana Basa Pagaruyung dibangun kembali yang lahir dari pemikiran Pemerintah dan rakyat untuk melestarikan nilai nila adat, dan budaya serta sejarah Minangkabau bertempat di Balai Junggo Pagaruyung. Istana terbakar kembali tahun 2007 akibat disambar petir dan atas prakarsa semua pihak maka dibangun kembali, yang diresmikan tahun 2012. Istana Basa Pagaruyung terdiri dari 3 (tiga) lantai, 72 tonggak serta 11 gonjong.
Dilihat dari segi arsitekturnya bangunan Istana Basa Pagaruyung memperlihatkan ciri khas dibandingkan dengan bangunan Rumah Gudang yang terdapat di Minangkabau. khasan yang dimiliki bangunan ini terlihat dari bentuk fisik bangunan yang dilengkapi ukiran afah dan budaya Minangkabau. yang dilengkapi dengan surau, Tabuah Larangan, Istana Base Rangkiang Patah sambilan, Tanjung Mamut uih dan Pincu.

Makan Bajamba
Sebelum menelusuri Istana Basa Pagaruyung, para peserta famtrip mendapat jamuan makan bersama yang disebut makan Bajamba di Balairung Bodi Chaniago. Menurut Mohd. Syarkasi guide dari Degta Tour, makan Bajamba merupakan tradisi makan masyarakat Minangkabau. “Makan bajamba ini selain menjaga kebersamaan juga memiliki nilai-nilai Islam,” terangnya.
Menilik sejarah tradisi Makan Bajamba berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat sejak abad ke-7, tepatnya ketika awal masuknya Islam ke Minangkabau. Karena itulah, tradisi ini juga berkaitan dengan ajaran Islam. Sebelum makan bersama dilakukan, akan ada prosesi balas pantun antara si ale (tuan rumah) dan si tamu dan melakukan kesepakatan. Makan Bajamba bisa diikuti puluhan hingga ribuan orang sekaligus. Mereka nantinya dibagi dalam beberapa kelompok.
Aturan dalam prosesi makan Bajamba yaitu seseorang hanya boleh mengambil apa yang ada di hadapannya, duduk bersila untuk pria dan duduk bersimpuh untuk wanita. Saat makan, ketika tangan kanan menyuap nasi tangan kiri harus sudah ada dibawahnya guna menghindari tercecernya nasi ke dalam piring.

Jembatan Kelok Sembilan
Rombongan Famtrip HPN mengunjungi Jembatan Kelok 9, yang menjadi salah satu ikon wisata di Sumatera Barat. Kemegahan jembatan dengan jalan berkelok dan lokasinya di perbukitan bisa membuat kita kagum akan arsitektur teristimewa dari jembatan ini. Jembatan Kelok 9 adalah jalan yang menghubungkan Provinsi Sumatera Barat dengan Riau, tepatnya terletak di Payakumbuh Kabupaten Limapuluh Koto.
Pemadu Famtrip mengatakan, dahulunya, Jembatan Kelok 9 jadi salah satu jalan yang cukup menyeramkan bagi para pengendara karena bentuk jalan yang curam dan berbatasan langsung dengan jurang, namun sekarang justru banyak orang yang ingin melewati Jembatan Kelok 9 ini untuk menikmati keindahan dan kemegahan arsitektur jalan lintas ini.
Jalur ini merupakan jalur yang paling dekat untuk menghubungkan kota Padang dan Pekanbaru yang jaraknya 350 km. Kelok Sembilan sendiri berada pada jarak 180 km dari arah Pekanbaru, dan dari Payakumbuh berjarak 25 km. Jembatan Kelok 9 diresmikan tahun 2013. Ternyata Kelok 9 memiliki usia yang lebih tua dibanding Negara ini. Kelok 9 dibangun pada masa Kolonial Belanda tahun 1910 dan kurang lebih 104 tahun jauh lebih tua dibanding dengan negara Republik tercinta yaitu tahun 1945.
Usia memang sudah tua, namun bukan berarti konstruksi bangunannya juga tua, terlihat bahwa pembangunan ulang Kelok 9 semakin memperkokoh keberadaan Kelok 9. Jembatan Kelok 9 dibangun dengan panjang sekitar 2,5 km, tinggi tiang beton mencapai 58 m. Untuk lebar ruas jalannya sekitar 13,5 m. Untuk bangun jembatan yang menghubungkan Sumatera Barat dan Riau ini ternyata menghabiskan dana Rp600 Miliar Rupiah. Jembatan Kelok diklaim dapat menampung 14.000 kendaraan setiap harinya. Jembatan ini memang membentang meliuk-liuk, namun hal inilah yang menjadi ciri khas jembatan Kelok 9 tersendiri.
Jembatan Kelok 9 ini memang tak hanya berfungsi sebagai jalur penghubung antar dua provinsi saja, tapi juga menjadi lokasi wisata. Selepas melewati jembatan Kelok Sembilan ini ada spot menara pandang yang ramai dikunjungi turis. Dari atas menara, pengunjung bisa melihat jelas seperti apa bentuk Jembatan Kelok 9 dari ketinggian. Kelokan-kelokannya yang rumit pun terpampang dan tentunya bikin kagum.
Di sepanjang menara pandang, berjejer pedagang asongan yang menjual minuman dan makanan kecil. Jadi selagi melihat keindahan Jembatan Kelok 9 kamu bisa melepas lelah sejenak di sekitar menara sambil menikmati minuman hangat dan makanan seperti jagung bakar.

Lembah Harau
Famtrip HPN 2018 melanjutkan perjalanan menuju Bukit Tinggi, dan berhenti di Lembah Harau, yang menyuguhkan suasana alam pegunungan dihiasi jejeran air terjun setinggi sekitar 100 meter, sayangnya karena musim kemarau, air terjun menetes rintik, tak deras seperti hari pada biasanya. Kami lagi empat sungai bebatuan degan air yang jernih.
Lembah Harau merupakan lembah yang subur terletak di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Berada sekitar 138 km dari Padang dan sekitar 47 km dari Bukittinggi atau sekitar 18 km dari Kota Payakumbuh dan 2 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota. Tempat ini dikelilingi batu granit terjal berwarna-warni dengan ketinggian 100 sampai 500 meter. “Lembah ini juga menjadi salah satu lembah terindah di Indonesia,” kata pemandu Famtrip.
Harau diyakini berasal dari kata ‘parau’, istilah lokal yang artinya suara serak. Dulu, penduduk yang tinggal di atas Bukit Jambu sering menghadapi banjir dan longsor sehingga menimbulkan kegaduhan dan kepanikan. Penduduknya sering berteriak histeris dan akhirnya menimbulkan suara parau. Dengan ciri suara penduduknya banyak yang parau didengar maka daerah tersebut dinamakan ‘orau’ dan kemudian berubah nama menjadi ‘Arau’ hingga akhirnya penyebutan lebih sering menjadi ‘harau’.
Lembah Harau memiliki iklim tropis dan tanah yang subur, juga keindahan pemandangan alam yang menawan. Lembah Harau dijuluki Lembah Yosemite di Indonesia karena memiliki keindahan seperti Taman Nasional Yosemite yang terletak di Sierra Nevada California dan telah terkenal ke seluruh dunia.
Di Lembah Harau ini terdapat air terjun bernama Bunta Waterfall atau secara lokal disebut Sarasah Bunta. Air terjun ini mengalirkan air tawar segar dari dataran tinggi dengan tiga air terjun lainnya di lembah ini. Sarasah Bunta ini mempunyai air terjun yang berunta-unta indah apabila terpancar sinar matahari seperti bidadari yang sedang mandi sehingga dinamakan Sarasah Bunta.
Air terjun Sarasah Bunta pertama kali dibuka tanggal 14 Agustus 1926 oleh Asisten Residen Lima Puluh Kota, F. Rinner bersama Tuanku Laras Datuk Kuning Nan Hitam dan Asisten Demang Datuk Kodoh Nan Hitam. Prasasti penanda ini mengisyaratkan keindahan air terjun Sarasah Bunta.
Di Sarasah Aie Luluih, airnya mengalir melewati dinding batu dan dibawahnya mempunyai kolam tempat mandi alami yang asri. Ada kepercayaan konon mandi atau membasuh muka di sini dapat mengobati jerawat dan muka akan terlihat cantik dan awet muda. Di Sarasah Murai, sering pada siangnya burung murai mandi sambil memadu kasih sehingga masyarakat menamakan ‘Sarasah Murai ‘. Ada kepercayaan di tempat ini untuk berdoa dan mandi agar lekas mendapat jodoh.
Lembah Harau sebenarnya merupakan cagar alam seluas 669 hektar. Hasil survei tim geologi asal Jerman tahun 1980 menemukan jenis batuan yang ditemukan di daerah ini identik dengan yang ditemukan di dasar laut berupa batuan breksi dan konglomerat. Legenda masyarakat Sarasah Aka Barayunjuga menceritakan bahwa di sekitar Cagar Alam Lembah Harau dulunya adalah laut.
Lembah Harau ini terdiri dari tiga kawasan yaitu Resort Aka Barayu, Resort Sarasah Bunta, dan Resort Rimbo Piobang. Resort Aka Barayun memiliki keindahan air terjun dan kolam renang ditambah nuansa alam yang asri. Selain itu juga berpotensi untuk pengembangan olah raga panjat tebing karena memiliki bukit batu yang terjal dan mampu memantulkan suara (echo).
Di sini juga terdapat fasiltas penginapan berupa homestay lengkap dengan fasilitasnya. Penggemar olah raga panjat tebing banyak berunjung ke lembah ini dimana terdapat 300 lokasi panjat tebing. Di sisi lain, pagar tebing cadas yang curam telah menciptakan relief sekaligus menantang. Kecuraman tebing di tempat ini mencapai 90 derajat dengan ketinggian yang mencapai 150 hingga 200 meter. Para climbing menyebut Lembah Harau menjadi surga bagi pecinta panjat tebing dan menjuluki lembah ini sebagai Yosemite-nya Indonesia.

Kota Bukit Tinggi
Kota Bukittinggi adalah kota dengan perekonomian terbesar kedua di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Kota ini juga menjadi Kota Wisata yang juga terkenal di Manca Negara.
Dari buku sejarah dan berbagai sumber menyebutkan Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian setelah kedatangan Belanda, kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk melawan Kaum Padri, Pada tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit yang terdapat di dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng For The Kok, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota), dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, dan Bukit Batabuh, . Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah Kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera, dengan Gubernurnya Mr Teuku Muhammad Hasan. Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947. Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006. Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Tengah masa itu, yang meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau sekarang.

Lobang Jepang
Pukul 9.00, usai sarapan bermalam di Hotel Rocky Bukit Tinggi, Famtrip melanjutkan perjalanan. Pagi itu rombongan dibawa ke lokasi wisata panorama dan Lobang Jepang yang juga menjadi adalah salah satu obyek yang wajib dikunjungi bila bertandang ke Bukittinggi. Ini adalah gua bawah tanah yang dibangun oleh tentara Jepang saat menduduki Bukittinggi. Pengunjung umum, dikenakan biaya tiket masuk Rp5000, untuk bisa menyusuri gua sepanjang 1.470 meter ini.
Membawa pemandu lebih disarankan, agar kita tidak tersesat di lorong-lorong yang semuanya terlihat sama persis itu. “Rasanya saya terharu melihat lorong-lorong yang seperti labirin di dalamnya. Indonesia, kita ini yang kaya luar biasa,” ujar wartawati asal Jogja, dengan mata berkaca kaca, saat menyusuri Lobang Jepang.
Dari pintu masuk, pengunjung harus menuruni 132 anak tangga menuju gua datar yang berada 40 meter di bawah permukaan tanah dan 40 meter di atas dasar Ngarai Sianok. Jalan masuk ini dulunya hanya seukuran ban mobil, karena dulunya merupakan lubang pengintaian, bukan pintu masuk. Tapi uniknya, udara di dalam gua terasa sejuk dan tidak pengap.
Kalau diperhatikan, dinding-dinding gua tersebut bentuknya tidak rata, melainkan bergelombang. Memang sengaja dibuat demikian untuk meredam gema. Pada masa lalu di cekungan-cekungan dinding itu banyak dihuni oleh kelelawar dan burung wallet, tapi sekarang tampaknya tidak ada lagi.
Tepat di dasar anak tangga, terdapat jalur utama yang memiliki 6 lorong di sisi kanan. Jalur ini masih sama dengan bentuk aslinya, hanya sudah dilapisi semprotan semen. Pemandu mengatakan, lapisan semen itu justru berbahaya, karena tidak menyatu dengan tanah di sekitarnya. Ketika terjadi gempa bumi, misalnya, yang rontok adalah lapisan semen tersebut, sementara struktur asli gua tetap utuh.
Konon, di jalur utama ini dulunya terdapat lubang panjang yang berfungsi sebagai jebakan jika ada musuh yang berhasil menyusup masuk. Disebut jebakan, karena di dalam lubang panjang tersebut tentara Jepang menanam banyak bambu runcing. Musuh yang masuk ke sana bisa dipastikan berakhir riwayatnya.
Sementara keenam lorong di sisi kanan jalur utama itu berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata. Semuanya sama persis bentuknya. Ada satu lorong yang dibiarkan seperti aslinya, yaitu memiliki ketinggian yang minim —seukuran tubuh orang Jepang masa itu yang umumnya pendek-pendek, sehingga kita harus berjalan membungkuk di dalamnya. Jalur utama dulunya juga memiliki ketinggian yang sama. Tapi ketika dibuka sebagai tempat wisata pada tahun 1986 (gua ini ditemukan pada tahun 1946), telah dilakukan penggalian sekitar 0,5 meter agar orang dapat berjalan tegak di dalamnya.
Ada banyak gua Jepang serupa di Bukittinggi, tapi hanya gua ini yang dijadikan obyek wisata. Akibatnya, orang Bukittinggi tidak dapat membangun gedung lebih tinggi dari 10 tingkat. Konon, tentara Jepang memang berencana membuat semacam kota bawah tanah dengan menyatukan gua-gua tersebut. Tetapi pemboman Hiroshima dan Nagasaki memupus rencana tersebut.
Di ujung jalur utama, pengunjung akan bertemu dengan jalur kedua yang posisinya melintang di ujung jalur utama. Sepanjang jalur kedua ini ada 15 lorong yang juga memiliki bentuk serupa. Lorong terdekat di kanan dan kiri persimpangan tersebut dulunya digunakan sebagai ruang makan para pekerja romusha. Ini diketahui dari banyaknya peralatan makan yang ditemukan di sana, meskipun sudah dalam keadaan rusak karena terbuat dari bambu.
Lorong kedua di sebelah kiri merupakan ruang pertemuan tentara Jepang. Sementara keduabelas lorong lainnya adalah ruang tidur tentara. Di ujung paling kiri terdapat penjara untuk menghukum para pekerja romusha, dan tepat di sebelah kanannya terdapat ruangan penyiksaan, dan di ruangan itulah tentara Jepang menganiaya para pekerja romusha, tak jarang sampai mati, dan jasadnya dibuang ke lubang kecil di sudut bawah dinding. Menurut pemandu, lubang itu berakhir di sungai nun jauh di dasar ngarai, sehingga jasad yang dibuang tidak dapat ditemukan orang.
Di ujung atas ruang penyiksaan terdapat lubang pengintaian lainnya. Kalau berdiri menempel di dinding, pengunjung dapat melihat seberkas cahaya yang masuk dari lubang tersebut. Konon kontur tanah di dasarnya dibuat bertakik-takik seperti anak tangga, meskipun untuk menaikinya harus dalam posisi merayap. Tak jauh dari situ juga terdapat lubang penyergapan. Kalau ada orang yang tertangkap basah sedang berkeliaran di sekitar gua, ia akan segera disergap dan dibunuh. Apalagi, ratusan pekerja romusha itu tidak ada yang berasal dari daerah sekitar, sehingga penduduk sekitar tidak merasa kehilangan bila ada pekerja yang mati atau hilang.
Konon tentara Jepang mendatangkan pekerja romusha dari Jawa dan Kalimantan.mDengan cara itulah keberadaan gua tersebut tetap menjadi misteri bagi penduduk Bukittinggi, setidaknya sampai Jepang menyerah kepada Sekutu. Selain terhubung dengan jalur-jalur utama, lorong-lorong itu masih terkoneksi dengan jalur-jalur sekunder, sehingga sesungguhnya setiap lorong di gua itu saling berhubungan secara rahasia.
Membayangkan gua seluas itu dibangun oleh pekerja romusha, rasanya memilukan. Tentunya mereka saat itu tidak bekerja dengan peralatan memadai, bisa jadi mereka menggali dengan tangan. Makanan yang diberikan pun sangat tidak layak, sehingga banyak pekerja yang mati kelaparan atau mati karena sakit.
Pada tahun 2001, pernah muncul kabar bahwa ada salah seorang pekerja romusha yang selamat dari sekapan gua dan muncul di Bukittinggi. Dia tak keberatan menceritakan tentang seluk-beluk gua tersebut yang ternyata cocok dengan data yang ada. Namun orang tersebut tidak mau diajak turun lagi ke gua. Bukan karena tubuhnya telah renta dan tidak mampu secara fisik, melainkan karena trauma akibat penyiksaan yang pernah diterimanya di sana.

Jam Gadang
Rombongan Famtrip HPN kemudian menuju Jam Gadang, “Tidak lenngkap jika kita bertandang ke Kota Bukittinggi tanpa melihat dan mengabadikan bangunan yang menjadi simbol kota ini, yaitu Jam Gadang,” ujar pemandu Famtrip, didalam bus. Peserta hanya diberi waktu 20 menit untuk melihat lihat bangunan peninggalan era Hindia-Belanda, identik dengan kota yang dahulu pernah menjadi ibukota Provinsi Sumatera Barat ini.
Menara jam ini menjadi kebanggaan Masyarakat Sumatera Barat, dan terpampang di berbagai jenis souvenir khas kota ini. “Jam Gadang didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda atas perintah dari Ratu Wilhelmina dari Belanda. Jam ini merupakan hadiah bagi sekretaris (controleur) Kota Bukittinggi (Fort de Kock) yang menjabat saat itu yakni HR Rookmaaker,” katanya.
Konstruksi bangunan menara jam ini dibangun oleh arsitek asli Minangkabau, Jazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh. Pembangunannya secara resmi selesai pada tahun 1926 dengan menghabiskan dana mencapai 3.000 Gulden.
Monumen Jam Gadang berdiri setinggi 26 meter di tengah Taman Sabai Nan Aluih, yang dianggap sebagai patokan titik sentral (titik nol) Kota Bukittinggi. Konstruksinya tidak menggunakan rangka logam dan semen, tetapi menggunakan campuran batu kapur, putih telur, dan pasir.
Bangunan Jam Gadang memiliki 4 tingkat. Tingkat pertama merupakan ruangan petugas, tingkat kedua tempat bandul pemberat jam. Sementara pada tingkat ketiga merupakan tempat dari mesin jam dan tingkat keempat merupakan puncak menara dimana lonceng jam ditempatkan. Pada lonceng di puncak tersebut tertera nama dari produsen mesin jam ini.
Atap berbentuk gonjong di puncak menara yang kini dapat kita saksikan bukanlah bentuk asli dari bangunan tersebut pada masa awal pendiriannya. Desain awal puncak Jam Gadang berbentuk bulat bergaya khas Eropa, dengan patung ayam jantan di bagian atasnya.
Memasuki era pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dirubah mengikuti gaya arsitektur Jepang. Saat era kemerdekaan tiba, atap tersebut dirombak kembali menjadi bentuk atap bagonjong yang merupakan ciri khas dari arsitektur bangunan asli Minangkabau.
Mesin jam yang digunakan di dalam monumen ini merupakan barang langka yang hanya diproduksi dua unit oleh pabrik Vortmann Recklinghausen, Jerman. Unit kedua yang setipe dengannya hingga kini masih digunakan dalam menara jam legendaris Kota London, Inggris, yaitu Big Ben.
Sistem yang bekerja di dalamnya menggerakkan jam secara mekanik melalui dua bandul besar yang saling menyeimbangkan satu sama lain. Sistem tersebut membuat jam ini terus berfungsi selama bertahun-tahun tanpa sumber energi apapun. Mesin yang berada di lantai tiga ini menggerakkan jarum jam yang menghadap keempat penjuru mata angin. Diameter masing-masing area perputaran jarum jam tersebut adalah 80 centimeter.
Seluruh angka jam dibuat menggunakan sistem penomoran Romawi, akan tetapi angka empat ditulis dengan cara diluar kelaziman, yaitu dengan empat huruf ‘I’ (IIII) dan bukan dengan tulisan ‘IV’. Hal ini menjadi salah satu daya tarik yang menimbulkan rasa penasaran bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota ini. “Lihat apa yang unik dari jam itu,” kata rekan dari NTT yang lebih dulu tahu tentang Jam Gadang. “Itu angkat empatnya, tidak ditulis romawi,” katanya.
Rumah Moch Hatta
Dari lokasi Jam Gadang, rombongan Famtrip HPN, didampingi Kabid Dinas Pariwisata Bukit Tinggi diajak mengunjungi rumah kelahiran Bung Hatta “Sang Proklamator” tidak jauh dari Jam Gadang, landmark Kota Bukittinggi. Bung Hatta yang lahir dengan nama Muhammad Athar yang berasal dari Bahasa Arab berarti harum lahir tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha.
Dari keterangan Ibu Dessiwaty, honorer, Dinas Pariwisata, yang sudah 30 tahun menjadi pemandu rumah itu, menyatakan Bung Hatta menghabiskan masa kecilnya sampai 11 tahun dan pernah tinggal di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta dari tahun 1902-1913. Dari segi sejarah pendidikan, Bung Hatta dulu menimba pendidikan sekolah dasar di Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi, lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Padang dan Prins Hendrik School (PHS) di Batavia. Lalu tahun 1921-1932 melanjtukan pendidikan di Handels Hooge School, sekolah dagang di Rotterdam, Belanda.
Memasuki rumah kelahiran Bung Hatta dari luar kelihatan biasa saja tapi tampak seperti rumah tua dari zaman Belanda. Kamipun masuk kedalam rumah serta telah disambut ibu Dessiwaty sebagai pemandu Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta. Ibu Dessiwaty secara informatif membeberkan tentang sejarah Rumah Kelahiran Bung Hatta yang didirikan sekitar tahun 1860-an lalu di tahun 1994 direnovasi tapi tidak mengubah bentuk aslinya. Rumah Kelahiran Bung Hatta terdiri dari bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur dan kandang kuda serta kolam ikan dengan menggunakan struktur kayu.
Kami pun memasuki Rumah Kelahiran Bung Hatta di ruang depan terdapat ruang tamu serta dua kamar paman Bung Hatta. Di dalam ruangan terdapat silsilah keluarga Bung Hatta, serta koleksi foto-foto dan lukisan Bung Hatta. Keluar dari ruang tamu maka dibelakang terdapat beberapa kamar yang salah satunya kamar Bung Hatta dimasa kecil persis disamping lumbung padi. “Aku merasa seperti mimpi, berada di kamar Bung Hatta sang Proklamator,” Kata Ivan, PWI DKI, yang juga rombongan Famtrip HPN.
Disamping itu terdapat dapur yang berisi peralatan masak khas dulu serta terdapat tangga dari kayu jika ingin melihat ruang kelahiran Bung Hatta karena lokasi kamar kelahiran Bung Hatta berada di lantai dua. Di lantai 2 terdapat bangku, lukisan Bung Hatta serta kasur menjadi saksi bisu kelahiran Bung Hatta di tahun 1902.
“Serasa mengenal jauh tentang sosok Bung Hatta! Aku benar-benar merasa terbawa kemasa lalu sang Tokoh Proklamator, idolaku. Hebatnya sosok Bung Hatta tentang komitmen dirinya bahwa beliau baru mau menikah mau menikah setelah Indonesia merdeka,” kata Didis, wartawan Asal Riau
Walau perjalaan ke Rumah Kelahiran Bung Hatta singkat tapi menyenangkan mengenal sosoknya dari tempat lahirnya, sederhana dan cerdas. Untuk Museum Rumah kelahiran Bung Hatta sendiri sudah menjadi cagar budaya serta dikelola dan dirawat oleh pemerintah Kota Bukittinggi. Tak hanya itu di Museum Rumah kelahiran Bung Hatta juga terdapat buku bacaan Bung Hatta dan contoh pidato beliau. Rumah Bung Hatta di Jl. Soekarno-Hatta no. 37 Kelurahan Aur Tanjungkang Tengah Sawah, Kecamatan Guguh Panjang, Bukittinggi, Sumatera Barat.

Lawang Part
Rombongan Famtrip, kemudian melanjutkan perjalan untuk makan siang. Dan kemudina menuju Puncak Lawang, kini dikenal dengan Lawang Part. “Kami menyebutnya negeri diatas langit,” ujar pemandu menggoda rombongan. Kondisi siang itu sedikit mendung, dan tidak jarang juga tau-tau hujan gerimis turun. Kondisi yang mendung tersebut membuat foto-foto jadi susah karena jadi berasa gelap.
Meskipun mendung, decak kagum rombongan Famtrip terdengar karena menyaksikan keindahan pemandangan Danau Maninjau dari atas. “Awan-awan berasa sangat dekat dengan bukit di mana kita berdiri, dan rasanya pengen banget ngerasain megang awan,” kata Kiki, wartawan asal Banten.
Ada hutan pinus di dekat bukit lengkap dengan kabut tebal yang nyelip menyelinap di antara pepohonan. “Rasanya enak banget kalo bisa menikmati pemandangan tersebut sambil nongkrong ngopi-ngopi,” katanya.
Bentangan danau Maninjau terlihat dari ketinggian, tempat ini terkenal sampai ke mancanegara, yaitu Puncak Lawang.Puncak Lawang merupakan nama suatu puncak nan asri, sejuk, rimbun dan deretan pohon pinus yang berjajar rapi, yang terletak di dataran tinggi di Kecamatan matur, Kabupaten Agam Sumatera Barat, tepatnya di ketinggian 1.210 mdpl. Di zaman penjajahan, Puncak Lawang merupakan tempat peristirahatan bangsawan Belanda.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan yang memanjakan mata karena keindahannya. Kiri kanan jalan terhampar perkebunan atau persawahan dengan latar belakang Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Perumahan penduduk yang tersusun rapi dan unik karena didirikan di tanah dengan kontur naik turun, udara yang sejuk, serta perkebunan tebu Lawang.
“Di samping pemandangan yang indah, perjalanan itu sendiripun sangat menantang. Jalan yang naik turun, kadang landai kadang terjal, serta ditingkahi tikungan tajam dan dibatasi jurang yang dalam, benar-benar membuat kita berada dalam eforia, kagum dan syukur kepada sang Pencipta,” ucap tambah Kiki.
“Dari tempat ini, kita bisa melihat Danau Maninjau seutuhnya. Kalau cuaca cerah, akan terlihat danau yang biru tenang bagaikan kaca raksasa. Bahkan laut Pariamanpun akan terlihat dari celah bukit yang mengelilingi danau Maninjau,” kata Pemnadu Famtrip.
Tapi, tambahnya, kalau lagi berkabut, pemandangan lebih spektakuler lagi. Kita seakan-akan berada di negeri di atas awan. Danau yang seluas 99,5 km2 menjadi tidak terlihat dari atas sini. Pemandangan full putih. Tapi kabut di sini, secepat dia datang, secepat itu pula dia pergi. “Benar-benar luar biasa. Ketika kami sampai di sini, kabut datang dan pergi. Udara juga sangat sejuk. Sehingga benar-benar membuat betah,” ucap Kunni.
Di puncak Lawang ini ada tiga spot wisata. Yaitu Puncak Lawang, Lawang Park dan Ambun Tanai. Ketiganya berada di lokasi yang berdekatan. Ketiganya menawarkan pemandangan ke danau Maninjau yang Indah. Kecuali Ambun Tanai, Pundak Lawang dan Lawang Park memiliki resort buat yang ingin menginap dan bersantai di sini. Kalau akhir pekan apalagi liburan, tempat ini akan penuh oleh wisatawan yang berlibur.

Di samping sebagai destinasi wisata, Puncak Lawang juga menjadi tempat favorit untuk olah raga paralayang. Puncak Lawang terkenal sampai ke manca negara karena merupakan spot terbaik paralayang di Asia Tenggara. Sehingga Puncak Lawang sering digunakan untuk kejuaraan olahraga paralayang kelas internasional.
Setelah puas di puncak Lawang ini, jika turun ke Maninjau, kita melewati kelok 44 yang juga terkenal. Sebuah penurunan dengan 44 belokan tajam dengan pemandangan danau Maninjau. Disanlah kampong Buya Hamka. Banyak keramba apung tempat memelihara ikan Mas dan ikan Nila,” katanya.
Daerah Lawang ini juga merupakan sentra pembuatan gula merah dari tebu. Gula merah ini oleh penduduk setempat dikenal dengan nama saka Lawang. Pembuatan gula merah dari tebu ini, hingga kini masih mempertahankan cara traditional yaitu menggunakan tenaga kerbau. Kerbau memutar alat pemeras tebu untuk mendapatkan air tebu, yang kemudian diolah menjadi gula merah. Pengolahan tradisional ini, sangat menarik minat wisatawan asing untuk menyaksikannya.
Rombongan Famtrip sempat mampir ke lokasi pembutana gula tebu tradisional, bahkan mencoba pengolahan, dan mencicipi gula yang baru saja diangkat dari tungku api. Lalu melanjutkan pulang ke Padang, melanjutkan Puncak HPN. Kembali dengan rasa lelas berselimut sejuta kekaguman, tentang Sumatera Barat. Yang hingga kini bertahan menjadi satu satunya Daerah Provinsi tanpa ada toko Indomart, dan Alfamart. (Juniardi)
Tinggalkan Balasan