Penulis: Juniardi

  • Lampung Zona Merah Narkoba

    Lampung Zona Merah Narkoba

    Bandarlampung (SL)-Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung mencatat hingga bulan Juni 2017 terdapat 400 pengguna narkoba melakukan rehabilitasi. Kepala BNNP Lampung Brigjen Sukamso mengatakan hasil survei BNN usia rentan itu 10-15 tahun rentan terlibat.

    “Tahun 2015 hasil survei penyalahgunaan narkoba di Lampung sudah 75 ribu. Karena dalam survei itu tidak bisa diranking karena sampling. Dari 30 sekian Polda cuma 10 aja yang dijadikan sampling,” ungkap dia kepada awak media, Kamis (13/7).

    Di Lampung ini, lanjut dia, merupakan zona merah. “Kepala BNN menekankan ini memang harus diperketat. Karena ini jalur. Rehab dari awal hingga seribuan sampai dengan sekarang. Tahun ini ada 400 sampai dengan bulan Juni karena itu kaitannya dengan anggarannya juga. Rehab itu kan bukan sehari dua hari,” tuturnya.

    Menurutnya, meningkatnya klien yang mengalami rehab karena kesadarannya. “Memang yang rentan 10-15 tahun. Iya peningkatan klien yang direhab juga karena kesadaran masyarakat yang menjadi pengguna. Sebelum ditangkap atau pas ditangkap langsung lapor kita dan direhab,” terangnya.

    Sukamso memaparkan terdapat 75 persen usia sekolah yang menjadi pengguna narkoba. “Kalau dia diserahkan oleh sekolah dan orangtuanya kita lakukan rehab. Itu merata,” kata dia sambil menambahkan hingga saat ini telah menangani 17 kasus narkoba di Provinsi Lampung. “17 kasus tersebut ada penggunanya, pecandunya, pengedar, dan bandar,” tutupnya. (SC/nt)

  • Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    AHLI pemerintahan menyebutkan, salah satu esensi ciri negara demokrasi adalah adanya jaminan terhadap seluruh rakyat untuk menyampaikan pendapat, ekspresi dan aspirasi terhadap kelangsungan seluruh aspek kehidupan bernegara. Sesuai dengan pengertiannnya demos (rakyat); cratos (memerintah) maka dalam negara demokrasi sesungguhnya yang berkuasa penuh adalah rakyat (people power) karena rakyatlah yang memberikan amanah kekuasaan terhadap presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara.
    Konstitusi demokrasi memberikan hak penuh terhadap rakyat (masyarakat) untuk melaksanakan fungsi pengawasan atau controlling terhadap berjalannya kekuasaan, dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara.
    Indonesia masuk Negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, proses mengamanahkan kekuasaan rakyat terhadap presiden dilaksanakan secara demokrasi dengan memakai jembatan politik dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sebagi alat uji legalitas.
    Meski fungsi controling dan kritik hendaklah sesuai dengan rambu-rambu yang berlaku guna tercapainya tujuan nasional. Perjalanan sejarah perkembangan demokrasi mencatat bahwa kritisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara baik telah membawa kemajuan pesat yang menghantarkan suatu negara menjadi bangsa yang besar.
    Tidak sedikit dengan bertamengkan fungsi pengawasan dan kritik terhadap berbagai issue government (pemerintah), policy (kebijakan) dan law (hukum) rentan dilakukan untuk mengambil alih kekuasaan dengan mengeksploitasi power people.  Kritisi terhadap pemerintahan dilakukan secara tidak proporsional dan membabi-buta.
    Kini kitik juga telah dijadikan alat politik untuk melemahkan pemerintah dan mengambil alih pemerintahan secara unconstitutional. Kritik politisasi dilancarkan dengan melakukan doktrinasi terhadap masyarakat untuk menerima dan melaksanakan ajaran atau ajakan yang seakan-akan mengandung nilai-nilai kebenaran.
    Untuk mengatasi itu, kemampuan masyarakat berpikir secara kritis adalah sangat penting untuk keberhasilan sistem demokrasi. Masyarakat yang kritis akan tidak mudah dieksploitasi oleh kelompok atau pihak tertentu yang haus dengan kekuasaan. Dan kini berkembang kata Bahaya atas nama negara.
    Bahaya adalah kata yang layak kita sematkan saat ini terhadap beberapa lini kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Ferdinan Hutahean, dalam laman situs era muslim. Bahaya ancaman infiltrasi asing kepada kedaulatan negara, bahaya ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan bahaya yang terakhir adalah bahaya berbicara.
    Contoh terkini mislanya, dunia politik Indonesia Nasional hingga ke daerah, kerap mudah guncang, meski sesungguhnya keguncangan itu tidak perlu terjadi bila bangsa ini dipimpin dengan mengedepankan keberpihakan pada bangsa daripada sekedar keberpihakan kepada kelompok tertentu.
    Kegaduhan politik saat ini sangat bisa dihindari apabila penguasa menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Terutama agenda politik nasional dalam pilkada serentak tahun 2018.
    Pembungkaman terhadap kelompok aktivis dengan menggunakan instrumen penegakan hukum adalah bentuk langkah represif yang sedang menjadi bahasan hangat disemua lini kelompok masyarakat hingga sekarang.
    Ada hantu bernama Makar, UU ITE, dan Teroris, atau ujaran kebencian, yang dianggap menakutkan merasuki imaginasi atau alam pikir penguasa hingga para aktivis yang sedang memperjuangkan pemikiran ilmiahnya tentang ancaman kerusakan bangsa justru dianggap bahaya.
    Pemikiran ilmiah yang ingin memperjuangkan agar ada kehidupan bermasyarakat lebih baik, timbal balik dan partisipasi public terhadap pemerintahan, bukan tanpa kajian dan keilmuan serta beberan fakta-fakta tentang sistem pemerintahan kita yang sepertinya semakin kacau dan jauh dari cita rasa Indonesia. Ironisnya, memang jika pemikiran ilmiah itu dianggab sebagai bahaya, dan harus dipenjara, padahal memenjarakan orang tentu tidak akan dapat memenjarakan pemikiran.
    Ketika Eko Patrio sang Anggota DPR RI, tiba-tiba harus menghadapi ancaman represifme menggunakan instrumen penegakan hukum karena menyampaikan analisis dan pemikirannya terkait bom di Bintara Jaya yang disebutnya sebagai pengalihan isu misalnya.
    Dan banyak nama lain yang terang-terangan berseberangan dengan penguasa harus berhadapan dengan penegak hukum dengan tuduhan dan segala macam ancaman dalam pasal-pasal KUHP maupun UU ITE.
    Bahkan ketika Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono berbicara ke media menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam, turut menjadi korban dan dibully sebagai provokator.
    SBY berbicara menyampaikan kebenarandan menjawab tuduhan pada dirinya kemudian dicoba dilaporkan oleh pihak tertentu ke Bareskrim dengan tuduhan provokasi dan atau penghasutan, Ferdinan bilang itu bentuk kekonyolan diluar batas toleransi.
    Sudah sejauh itukah jahatnya situasi diera sekarang?. Situasi ini menjadi sangat mengerikan dan menguatirkan ketika bicara saja menjadi menakutkan. Ketika menyampaikan kebenaran dan pemikiran ilmiah menjadi sebuah kejahatan, maka tidak ada yang bisa kita harapkan lagi dari era sekarang ini.
    Kejahatan sesungguhnya adalah mengancam dan membungkam kebebasan berbicara dan bukan sebaliknya. Berbicara dan menyampaikan pemikiran bukanlah sebuah kejahatan yang harus dihabisi menggunakan instrument penegakan hukum.
    Kekeliruan ini harus dihentikan karena untuk mempertahankan kekuasaan bukanlah dengan jalan represif dan memenjarakan pemikiran serta membungkam kebebasan berbicara. Mempertahankan kekuasaan cukup dengan bekerja demi kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada bangsa dan negara yang berideologi Pancasila, serta menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan, maka niscaya kekuasaan itu tidak perlu dipertahankan karena ia akan bertahan dengan sendirinya.
    Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berbicara adalah hak azasi. Masyarakat dari golongan apapun berhak ikut bicara tentang nasib bangsa dan itu bukan kejahatan, dan membela diri dan menyampaikan kebenaran bukan juga sebuah kejahatan. Semoga. Tabik. (Juniardi)

  • Pejabat Penegakan Hukum Belum Transparan

    MANTAN Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung, Juniardi mengingatkan pejabat publik terutama di bidang penegakan hukum, harus lebih cepat merespon kabar yang berkembang di masyarakat. Serta transparan dalam proses penegakan hukum.
    “Cepat tanggap atau respon terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Sejauh ini, responnya lamban dan transparansi penegakan hukum masih lemah. Sementara arus informasi cepat tersebar melalui mendsos dengan kecanggihan era gidital saat ini,” kata Juniardi, yang juga wakil ketua PWI Lampung Bidang Pembelaan Wartawan.
    Hal ini harus juga menjadi perhatian pemerintah karena transparansi dan akuntabilitas merupakan komponen penting dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang baik akutabel dan transparan.
    Menurut Juniardi, sejak dua tahun lalu, misalnya skor Corruption Perception Index (CPI) 2015 terkait korupsi mengalami penurunan khususnya pada institusi kepolisian, pengadilan, badan legistatif, dan badan eksekutif. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bentuk pesimisme publik terhadap penegak hukum akibat proses penegakan hukum yang lemah, banyaknya indikasi tindak pidana korupsi yang tidak diproses, hingga tersangka korupsi yang dibebaskan.
    “Mekanisme sistem transparansi dan akuntabilitas harus dibangun, khususnya di institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” kata Ketua Forum Wartawan Online Lampung ini.
    Menurut Alumni Pasca Sarjana Unila ini, kepolisian belum transparan karena tak membuka sejumlah informasi yang seharusnya diketahui publik. Informasi tersebut misalnya mengenai berapa jumlah Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) yang sudah dikeluarkan, jumlah laporan perkara yang masuk, jumlah perkara yang sudah ditangani, dan jumlah kasus yang tidak ditangani.
    “Informasi itu harusnya transparan, jadi publik tahu berapa kasus yang tidak ditangani beserta alasannya. Saya rasa sampai saat ini informasi belum bisa diakses. Bahkan ada info penangkapan dugaan korupsi, yang sehari dibantah, kemudian tiga hari dibenarkan, dan kini dibantah lagi,” katanya .
    Juniardi mencontohkan, pada institusi kejaksaan, seharusnya transparan mengenai mekanisme pengembalian uang pengganti dari terpidana kasus korupsi. Dari sisi akuntabilitas, kejaksaan juga harus melakukan perbaikan.
    Juniardi, menambahkan idealnya seorang jaksa harus berperan aktif memeriksa perkara sejak kepolisian mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
    “Kewenangan jaksa tidak sekedar dalam hal penuntutan. Itu untuk efisiensi supaya berkasnya tidak bolak-balik, yang kedua menciptakan peradilan murah,” katanya.
    Adapun, institusi pengadilan harus melakukan pembenahan sistem kepaniteraan dan sistem administrasi pengadilan yang lebih transparan.
    Pasalnya, tren kasus korupsi di pengadilan saat ini tidak selalu melibatkan hakim. “Sistem administrasi pengadilan juga harus terus dibenahi agar lebih transparan lagi,” katanya.
    (red)

  • Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    PESATNYA kemajuan Lampung sebagai Provinsi pintu masuk pulau Sumatera, Indonesia wikayah barat yang terdekat dengan ibukota negara saat ini begitu menggeliat. Kepadatan penduduk, industri dan bisnis industri hingga peningkatan SDM kian terasa, dan itu terus bergerak meski tanpa peran pemerintah daerah. Teruji saat Lampung tanpa Gubernur, ketika PLT Tursandi, kekosongan Kepala daerah, meski banyak gejolak yang seperti dibesar besarkan dianggap sulit di atasi.
    Provinsi Lampung itu mempesona, kaya akan keindahan, serta kekayaan alam nya seharusnya mampu memberikan sebuah harapan yang cemerlang bagi masyarakat nya untuk memiliki kehidupan yang layak disebut “Merdeka”. Namun kondisinya jauh sangat berbeda dengan kondisi yang seharusnya dapat kita bayangkan, Lampung yang menyimpan banyak kekayaan alam dan SDM yang semakin tinggi jusru belum menjamin kesejahteraan bagi “masyarakat” Lampung.
    Jelang konstelasi pemilihan Gubernur Lampung 2018, jika kita memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian yang terbaik. Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif. Apalagi pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).
    Selama ini masyarakat Lampung dibuaikan dengan segala hal yang pragmatis. Gejolak politik menyugukan berbagai intrik politik dan bukan pendidikan politik. Sehingga terkesan keadaan menjadi tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas prima yang kita butuhkan, yaitu pemimpin yang berkarakter dan memiliki integritas serta memiliki visi yang jelas dalam menyelesaikan segala permasalahan daerah hingga mempengaruhi masalah dan kemajuan daerah.
    Dalam catatan seorang sahabta menyebutkan, bahwa di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan salah satu solusi untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Faktanya masyarakat kita semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus menerus diatur oleh pemimpin mereka. Pemimpin saat ini juga diharapkan mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh serta mampu menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan dan keadilan.
    Untuk itu, sepertinya layak Lampung kini membutuhkan pemimpin berkarakter, baik di tingkat kepala daerah, dan legislatif, karena pemimpin pada dasarnya berada di seluruh sektor kekuasaan yang berada dalam sebuah sistem, dan memiliki kewenangan atau kekuasaan, sehingga nasib masyarakat bangsa ini tidak hanya terletak pada presiden dan wakil presiden saja.
    Dalam berbagai teori menyebtukan, kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
    Artinya, seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.
    Di samping berkarakter pemimpin juga diharapkan memiliki kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula diberi amanah siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Dia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan.
    Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan teknis memimpin. Pemimpin berkarakter juga menjadi inspirasi keteladanan.
    Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan diera terkini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istliah “makoto”, artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Karean pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.
    Bisa dikatakan pemimpin berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Selain keunggulan spesifiknya pada sisi inteligensia, pemimpin yang berkarakter juga dituntut untuk menguasai moral capital yang kuat. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen para pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.
    Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat. Pemimpin berkarater mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan. Tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) untuk mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan.
    Pembentukan karakter seseorang pemimpin pada dasarnya menjadi tanggung jawab semua pihak dan warga masyarakat, termasuk kita semua. Oleh karena itu seluruh komponen lembaga kepemerintahan di Lampung bersama rakyat wajib menyediakan persemaian yang subur untuk pengembangan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan pemimpin yang berkarakter. Semoga, Tabik. (Juniardi)

  • Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    PESATNYA kemajuan Lampung sebagai Provinsi pintu masuk pulau Sumatera, Indonesia wikayah barat yang terdekat dengan ibukota negara saat ini begitu menggeliat. Kepadatan penduduk, industri dan bisnis industri hingga peningkatan SDM kian terasa, dan itu terus bergerak meski tanpa peran pemerintah daerah. Teruji saat Lampung tanpa Gubernur, ketika PLT Tursandi, kekosongan Kepala daerah, meski banyak gejolak yang seperti dibesar besarkan dianggap sulit di atasi.

    Provinsi Lampung itu mempesona, kaya akan keindahan, serta kekayaan alam nya seharusnya mampu memberikan sebuah harapan yang cemerlang bagi masyarakat nya untuk memiliki kehidupan yang layak disebut “Merdeka”. Namun kondisinya jauh sangat berbeda dengan kondisi yang seharusnya dapat kita bayangkan, Lampung yang menyimpan banyak kekayaan alam dan SDM yang semakin tinggi jusru belum menjamin kesejahteraan bagi “masyarakat” Lampung.

    Jelang konstelasi pemilihan Gubernur Lampung 2018, jika kita memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian yang terbaik. Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif. Apalagi pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).

    Selama ini masyarakat Lampung dibuaikan dengan segala hal yang pragmatis. Gejolak politik menyugukan berbagai intrik politik dan bukan pendidikan politik. Sehingga terkesan keadaan menjadi tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas prima yang kita butuhkan, yaitu pemimpin yang berkarakter dan memiliki integritas serta memiliki visi yang jelas dalam menyelesaikan segala permasalahan daerah hingga mempengaruhi masalah dan kemajuan daerah.

    Dalam catatan seorang sahabta menyebutkan, bahwa di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan salah satu solusi untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Faktanya masyarakat kita semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus menerus diatur oleh pemimpin mereka. Pemimpin saat ini juga diharapkan mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh serta mampu menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan dan keadilan.

    Untuk itu, sepertinya layak Lampung kini membutuhkan pemimpin berkarakter, baik di tingkat kepala daerah, dan legislatif, karena pemimpin pada dasarnya berada di seluruh sektor kekuasaan yang berada dalam sebuah sistem, dan memiliki kewenangan atau kekuasaan, sehingga nasib masyarakat bangsa ini tidak hanya terletak pada presiden dan wakil presiden saja.

    Dalam berbagai teori menyebtukan, kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).

    Artinya, seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.

    Di samping berkarakter pemimpin juga diharapkan memiliki kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula diberi amanah siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Dia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan.

    Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan teknis memimpin. Pemimpin berkarakter juga menjadi inspirasi keteladanan.

    Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan diera terkini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istliah “makoto”, artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Karean pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.

    Bisa dikatakan pemimpin berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Selain keunggulan spesifiknya pada sisi inteligensia, pemimpin yang berkarakter juga dituntut untuk menguasai moral capital yang kuat. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen para pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.

    Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat. Pemimpin berkarater mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan. Tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) untuk mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan.

    Pembentukan karakter seseorang pemimpin pada dasarnya menjadi tanggung jawab semua pihak dan warga masyarakat, termasuk kita semua. Oleh karena itu seluruh komponen lembaga kepemerintahan di Lampung bersama rakyat wajib menyediakan persemaian yang subur untuk pengembangan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan pemimpin yang berkarakter. Semoga, Tabik. (Juniardi)

  • Pejabat Penegakan Hukum Belum Transparan

    Pejabat Penegakan Hukum Belum Transparan

    MANTAN Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung, Juniardi mengingatkan pejabat publik terutama di bidang penegakan hukum, harus lebih cepat merespon kabar yang berkembang di masyarakat. Serta transparan dalam proses penegakan hukum.

    “Cepat tanggap atau respon terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Sejauh ini, responnya lamban dan transparansi penegakan hukum masih lemah. Sementara arus informasi cepat tersebar melalui mendsos dengan kecanggihan era gidital saat ini,” kata Juniardi, yang juga wakil ketua PWI Lampung Bidang Pembelaan Wartawan.

    Hal ini harus juga menjadi perhatian pemerintah karena transparansi dan akuntabilitas merupakan komponen penting dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang baik akutabel dan transparan.

    Menurut Juniardi, sejak dua tahun lalu, misalnya skor Corruption Perception Index (CPI) 2015 terkait korupsi mengalami penurunan khususnya pada institusi kepolisian, pengadilan, badan legistatif, dan badan eksekutif. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bentuk pesimisme publik terhadap penegak hukum akibat proses penegakan hukum yang lemah, banyaknya indikasi tindak pidana korupsi yang tidak diproses, hingga tersangka korupsi yang dibebaskan.

    “Mekanisme sistem transparansi dan akuntabilitas harus dibangun, khususnya di institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” kata Ketua Forum Wartawan Online Lampung ini.

    Menurut Alumni Pasca Sarjana Unila ini, kepolisian belum transparan karena tak membuka sejumlah informasi yang seharusnya diketahui publik. Informasi tersebut misalnya mengenai berapa jumlah Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) yang sudah dikeluarkan, jumlah laporan perkara yang masuk, jumlah perkara yang sudah ditangani, dan jumlah kasus yang tidak ditangani.

    “Informasi itu harusnya transparan, jadi publik tahu berapa kasus yang tidak ditangani beserta alasannya. Saya rasa sampai saat ini informasi belum bisa diakses. Bahkan ada info penangkapan dugaan korupsi, yang sehari dibantah, kemudian tiga hari dibenarkan, dan kini dibantah lagi,” katanya .

    Juniardi mencontohkan, pada institusi kejaksaan, seharusnya transparan mengenai mekanisme pengembalian uang pengganti dari terpidana kasus korupsi. Dari sisi akuntabilitas, kejaksaan juga harus melakukan perbaikan.

    Juniardi, menambahkan idealnya seorang jaksa harus berperan aktif memeriksa perkara sejak kepolisian mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

    “Kewenangan jaksa tidak sekedar dalam hal penuntutan. Itu untuk efisiensi supaya berkasnya tidak bolak-balik, yang kedua menciptakan peradilan murah,” katanya.

    Adapun, institusi pengadilan harus melakukan pembenahan sistem kepaniteraan dan sistem administrasi pengadilan yang lebih transparan.

    Pasalnya, tren kasus korupsi di pengadilan saat ini tidak selalu melibatkan hakim. “Sistem administrasi pengadilan juga harus terus dibenahi agar lebih transparan lagi,” katanya.
    (red)

  • Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    AHLI pemerintahan menyebutkan, salah satu esensi ciri negara demokrasi adalah adanya jaminan terhadap seluruh rakyat untuk menyampaikan pendapat, ekspresi dan aspirasi terhadap kelangsungan seluruh aspek kehidupan bernegara. Sesuai dengan pengertiannnya demos (rakyat); cratos (memerintah) maka dalam negara demokrasi sesungguhnya yang berkuasa penuh adalah rakyat (people power) karena rakyatlah yang memberikan amanah kekuasaan terhadap presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara.

    Konstitusi demokrasi memberikan hak penuh terhadap rakyat (masyarakat) untuk melaksanakan fungsi pengawasan atau controlling terhadap berjalannya kekuasaan, dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara.

    Indonesia masuk Negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, proses mengamanahkan kekuasaan rakyat terhadap presiden dilaksanakan secara demokrasi dengan memakai jembatan politik dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sebagi alat uji legalitas.

    Meski fungsi controling dan kritik hendaklah sesuai dengan rambu-rambu yang berlaku guna tercapainya tujuan nasional. Perjalanan sejarah perkembangan demokrasi mencatat bahwa kritisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara baik telah membawa kemajuan pesat yang menghantarkan suatu negara menjadi bangsa yang besar.

    Tidak sedikit dengan bertamengkan fungsi pengawasan dan kritik terhadap berbagai issue government (pemerintah), policy (kebijakan) dan law (hukum) rentan dilakukan untuk mengambil alih kekuasaan dengan mengeksploitasi power people.  Kritisi terhadap pemerintahan dilakukan secara tidak proporsional dan membabi-buta.

    Kini kitik juga telah dijadikan alat politik untuk melemahkan pemerintah dan mengambil alih pemerintahan secara unconstitutional. Kritik politisasi dilancarkan dengan melakukan doktrinasi terhadap masyarakat untuk menerima dan melaksanakan ajaran atau ajakan yang seakan-akan mengandung nilai-nilai kebenaran.

    Untuk mengatasi itu, kemampuan masyarakat berpikir secara kritis adalah sangat penting untuk keberhasilan sistem demokrasi. Masyarakat yang kritis akan tidak mudah dieksploitasi oleh kelompok atau pihak tertentu yang haus dengan kekuasaan. Dan kini berkembang kata Bahaya atas nama negara.

    Bahaya adalah kata yang layak kita sematkan saat ini terhadap beberapa lini kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Ferdinan Hutahean, dalam laman situs era muslim. Bahaya ancaman infiltrasi asing kepada kedaulatan negara, bahaya ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan bahaya yang terakhir adalah bahaya berbicara.

    Contoh terkini mislanya, dunia politik Indonesia Nasional hingga ke daerah, kerap mudah guncang, meski sesungguhnya keguncangan itu tidak perlu terjadi bila bangsa ini dipimpin dengan mengedepankan keberpihakan pada bangsa daripada sekedar keberpihakan kepada kelompok tertentu.

    Kegaduhan politik saat ini sangat bisa dihindari apabila penguasa menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Terutama agenda politik nasional dalam pilkada serentak tahun 2018.

    Pembungkaman terhadap kelompok aktivis dengan menggunakan instrumen penegakan hukum adalah bentuk langkah represif yang sedang menjadi bahasan hangat disemua lini kelompok masyarakat hingga sekarang.

    Ada hantu bernama Makar, UU ITE, dan Teroris, atau ujaran kebencian, yang dianggap menakutkan merasuki imaginasi atau alam pikir penguasa hingga para aktivis yang sedang memperjuangkan pemikiran ilmiahnya tentang ancaman kerusakan bangsa justru dianggap bahaya.

    Pemikiran ilmiah yang ingin memperjuangkan agar ada kehidupan bermasyarakat lebih baik, timbal balik dan partisipasi public terhadap pemerintahan, bukan tanpa kajian dan keilmuan serta beberan fakta-fakta tentang sistem pemerintahan kita yang sepertinya semakin kacau dan jauh dari cita rasa Indonesia. Ironisnya, memang jika pemikiran ilmiah itu dianggab sebagai bahaya, dan harus dipenjara, padahal memenjarakan orang tentu tidak akan dapat memenjarakan pemikiran.

    Ketika Eko Patrio sang Anggota DPR RI, tiba-tiba harus menghadapi ancaman represifme menggunakan instrumen penegakan hukum karena menyampaikan analisis dan pemikirannya terkait bom di Bintara Jaya yang disebutnya sebagai pengalihan isu misalnya.

    Dan banyak nama lain yang terang-terangan berseberangan dengan penguasa harus berhadapan dengan penegak hukum dengan tuduhan dan segala macam ancaman dalam pasal-pasal KUHP maupun UU ITE.

    Bahkan ketika Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono berbicara ke media menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam, turut menjadi korban dan dibully sebagai provokator.

    SBY berbicara menyampaikan kebenarandan menjawab tuduhan pada dirinya kemudian dicoba dilaporkan oleh pihak tertentu ke Bareskrim dengan tuduhan provokasi dan atau penghasutan, Ferdinan bilang itu bentuk kekonyolan diluar batas toleransi.

    Sudah sejauh itukah jahatnya situasi diera sekarang?. Situasi ini menjadi sangat mengerikan dan menguatirkan ketika bicara saja menjadi menakutkan. Ketika menyampaikan kebenaran dan pemikiran ilmiah menjadi sebuah kejahatan, maka tidak ada yang bisa kita harapkan lagi dari era sekarang ini.

    Kejahatan sesungguhnya adalah mengancam dan membungkam kebebasan berbicara dan bukan sebaliknya. Berbicara dan menyampaikan pemikiran bukanlah sebuah kejahatan yang harus dihabisi menggunakan instrument penegakan hukum.

    Kekeliruan ini harus dihentikan karena untuk mempertahankan kekuasaan bukanlah dengan jalan represif dan memenjarakan pemikiran serta membungkam kebebasan berbicara. Mempertahankan kekuasaan cukup dengan bekerja demi kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada bangsa dan negara yang berideologi Pancasila, serta menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan, maka niscaya kekuasaan itu tidak perlu dipertahankan karena ia akan bertahan dengan sendirinya.

    Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berbicara adalah hak azasi. Masyarakat dari golongan apapun berhak ikut bicara tentang nasib bangsa dan itu bukan kejahatan, dan membela diri dan menyampaikan kebenaran bukan juga sebuah kejahatan. Semoga. Tabik. (Juniardi)

  • Frans Thamura, Penghina Habieb Riziq dan Sumpahin Amien Rais Dikabarkan Wafat?

    Frans Thamura, Penghina Habieb Riziq dan Sumpahin Amien Rais Dikabarkan Wafat?

    Jakarta (SL)-Frans Thamura akhirnya dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa hari mengalami koma atas serangan stroke akibat pendarahan pembulu darah. Kabar meninggalnya Frans disampaikan oleh sejumlah kolega Frans melalui media sosial Facebook.

    “Turut berduka cita, Alm. Frans Thamura. My deepest condolences to you and your family. Bagi yang mau mendatangi bisa ke Rumah Duka Husada” tulis akun Galih Pratama melalui akun Facebook pribadinya, selasa(20/6/2017) sembari memperlihatkan screen capture Group Telegram JVM User Group (@JVMUserGroup).

    Dilangsir Kakus, dalam penyusuran republik.in, berita ini benar dan valid. Salah seorang anggota group telegram yang bernama Farah Clarashinta (@sosispanggang) saat dimintai keterangan mengakui informasi tersebut didapat dari istri Almarhum. Sontak berita ini membuat seluruh anggota grup telegram @JVMUserGroup merasa kehilangan dan mengucapkan belasungkawa atas kematian Frans.

    Akun lainya bernama Laela Rambey juga menuliskan “Telah meninggal dunia di RS Gading Pluit & akan disemayamkan di Rumah duka Husada Frans Thamura”. Nama Frans Thamura menjadi perbincangan dikalangan netizen karena sebelum terserang stroke sempat menuliskan status doa agar Amien Rais sakit stroke.

    Namun ternyata yang terkena stroke justru Frans sendiri. “Nah….kapan di tangkap.. dosa buay (buat-ed) buku ahok korupsi, satu negara. nunggu dikau, stroke mokat atau bui,” tulis Frans Thamura sembari melampirkan tautan berita terkait dugaan Amien Rais terima uang transfer dana Alkes, Kamis (1/6/2017) lalu.

    Namun bukannya Amien Rais yang terkena balak sumpah, yang meninggal malah Frans usai ucapkan sumpah serapahnya. Dari penelusuran di akun fbnya, status-status Frans Thamura menyiratkan kebencian kepada tokoh-tokoh Islam.

    Dalam statusnya pada 31 Mei, Frans menulis menyindir Habib Rizieq “Cabul itu bagian dari ibadah kah sekarang.. #gagalpaham”. Frans juga menyumpahi mati para peserta Aksi 212. “Makar!!! Siapa.yg 212 ikutan. Mampus lo, hahha emang enak..,” tulis Frans. Kini, Frans Thamura ternyata yang mampus duluan.

    Frans Thamura juga pernah menghina Habib Rizieq dengan menyebut “Si Ringsek akankah ini tinggal kenanngan?” Sekarang, Frans Thamura yang tinggal kenangan. “Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua agar tidak mudah mengucap sumpah serapah kepada pihak lain, meskipun kita benci,” ucap Nitizen. (net/kakus)

  • Juniardi Duta PWI di Word Pers Freedom Day 2017

    Juniardi Duta PWI di Word Pers Freedom Day 2017

    Jakarta, sinarlampung.co-Indonesia menjadi tuan rumah Hari kebebasan Pers dengan sebutan word pers freedom day 2017, yang berlangsung sejak Tangal 1– 5 Mei 2017, di Gedung JCC Jakarta. Wartawan Lampung, Juniardi, menjadi salah satu utusan mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

    Juniardi mengatakan, keberadaan di Jakarta merupakan menghadiri hari kebebasan Pers. ”Banyak hal yang di bicarakan wartawan seluruh Dunia, dari masalah pers TV, Radio, media cetak hingga online, hingga soal berbagai kekerasan Pers Dunia,” kata Juniardi, Selasa 1 Mei 2017.

    Menurut Juniardi, Kebanggaan juga terlihat dimana Indonesia menjadi tuan rumah untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh Asia Tenggara dalam waktu 15 tahun terahir. Acara berlangsung selama empat hari, sejak 1 sampai dengan 4 Mei 2017. Pelaksanaan konferensi WPFD yang dihadiri oleh lebih dari 1.300 peserta dari berbagai kalangan, jurnalis, pemerintahan, pengusaha, akademisi dan lembaga non-pemerintah.

    Juga hadir terdiri dari 186 anggota UNESCO dan para jurnalis, LSM Internasional serta akademisi dari dalam dan luar negeri. Beberapa Presiden dan perdana menteri negara lain, termaauk Unesco . WPFD merupakan kegiatan tahunan yang diprakarsai Unesco. Tanggal 3 Mei dipilih sebagai “Press Freedom Day” berdasarkan Resolusi Sidang Umum PBB tahun 1993.

    Setiap tanggal tersebut, masyarakat internasional merayakan prinsip-prinsip fundamental kebebasan pers termasuk memberikan penghormatan kepada jurnalis yang dalam mendapat tekanan, ancaman, hukuman penjara bahkan kehilangan nyawa dalam menjalankan tugas jurnalistik.

    Penghargaan Unesco/Guillermo Cano World Press Freedom Prize juga diberikan kepada individu, organisasi atau institusi yang telah memperjuangkan kebebasan pers, terutama yang berisiko tinggi. ”Mudah mudahan dengan hari kebebasan pers sedunia ini, insan pers Indonesia, termasuk Di lampung bisa lebih baik dan lebih profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik,” ujar Juniardi, melalui pesan WA.

    Juniardi menambahkan, kegiatan ini mengambil tema Pikiran Kritis untuk Masa Kritis : Peran Media dalam Memajukan Masyarakat Damai, Adil, dan Inklusif. Penyelenggara kegiatan ini adalah UNESCO dan sebagai co-host adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Dewan Pers Indonesia.

    “Setiap tahun, tanggal 3 Mei juga adalah tanggal perayaan prinsip- prinsip dasar kemerdekaan pers, untuk mengevaluasi kemerdekaan pers di dunia, serta membela media dari seranganserangan terhadap kemerdekaan merdeka, sekaligus memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang kehilangan nyawanya dalam menjalankan profesi mereka,” kata Juniardi.

    Dari informasi di lokasi kegiatan, kata Juniardi, World PressFreedom Day 2017 adalah kegiatan yang memberikan informasi kepada warga masyarakat tentang pelanggaran-pelanggaran kemerdekaan pers. Hal ini mengingatkan kejadian di banyak negara berbagai publikasi disensor, didenda, ditangguhkan, dan bahkan ditutup. Sementara itu, wartawan, editor, dan penerbit dilecehkan, diserang, ditahan, dan bahkan dibunuh.

    “Tanggal 3 Mei juga mengingatkan kepada pemerintah masing-masing negara tentang perlunya menghargai komitmen yang sudah dibuat terhadap kemerdekaan pers, serta merupakan hari refleksi bagi para professional media tentang isu-isu kebebasan pers dan etika-etika profesional,” katanya. (Red)

  • Nunik di Periksa KPK Terkait Kasus Korupsi P2Ktrans

    Nunik di Periksa KPK Terkait Kasus Korupsi P2Ktrans

    Chusnunia Chalim Bupati Lampung Timur

    Jakarta (SL)- Bupati Lampung Timur Non aktif, Chusnunia Chalim alias Nunik, kembali di panggil Penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi Direktorat Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (P2KTrans). Nunik diperiksa sebagai saksi atas tersangka Charles Jones Mesang.

    “Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi atas tersangka CJM (Charles Jones Mesang),” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, seperti dilangsir detik.com, Selasa (4/4).

    Dalam pemeriksaan ini, Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Lampung nomor urut 3 ini, diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan anggota Komisi IX DPR. Selain Chusnunia, penyidik juga memanggil dua orang PNS P2KTrans, yakni Bahtiar dan Titi Wahyuni. “Keduanya diperiksa sebagai saksi atas tersangka CJM (Charles Jones Mesang),” katanya.

    Hingga pukul 12.20 WIB, Chusnunia belum terlihat hadir di Gedung Merah Putih. Dalam kasus ini, Charles yang merupakan anggota Komisi II DPR ditetapkan KPK sebagai tersangka dengan sangkaan menerima suap dalam pengembangan kasus mantan Dirjen P2KTrans pada Kemenakertrans Jamaluddien Malik.

    Charles merupakan anggota Komisi II DPR, namun sangkaan kasus itu ditujukan kepada Charles saat bertugas di Komisi IX DPR. Keduanya disebut menerima uang sebesar Rp 9,75 miliar, yang berasal dari total anggaran optimalisasi tersebut.

    “Jadi tersangka ini diduga menerima 6,5 persen dari total anggaran optimalisasi yang sudah disetujui, yaitu sebesar Rp 150 miliar atau sebesar Rp 9,75 miliar,” kata Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (5/12/2016) waktu lalu.

    Atas perbuatannya tersebut, Charles disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.(dtk/nt/*)