Bandarlampung (SL) – Widya Krulinasari (32), oknum dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), kembali menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis, 8 November 2018. Widya menjadi terdakwa kasus dugaan jual beli kursi kuliah.
Kali ini, terdakwa sebagai tahanan kota menjalani persidangan yang dipimpin oleh majelis hakim Syamsudin dengan agenda kesaksian terdakwa. Dalam kesaksiannya, Widya mengaku membantu YS masuk ke Fakultas Kedokteran Unila lantaran diminta oleh Francis.
Francis adalah keponakan Richard, ayah YS. Widya mengatakan, dalam kesepakatan itu, Francis mendapat bagian Rp 30 juta. Widya mengaku, baru kali pertama ini terlibat jual beli kursi di kampus dengan cara meluluskan calon mahasiswa dalam tes SBMPTN. “Saya coba bantu. Saya carikan orang yang bisa meluluskan,” ungkap Widya.
Selanjutnya, Widya menghubungi Nilamto, petugas Pusat Komputer Unila. “Lembar jawaban SBMPTN calon mahasiwa yang dijawab itu pasti dikirim oleh rektor ke Kemenristek Dikti untuk dinilai. Tapi, dikirim melalui komputerisasi di Unila. Dia (Nilamto) yang akan mengubah nilai,” ungkapnya.
Sebelum SBMPTN, Nilamto meminta uang kepada Widya sebesar Rp 110 juta sebagai jaminan. “Uang tersebut di luar uang buku tabungan yang berisi saldo Rp 175 juta. Ternyata (YS) tidak masuk, dan uang baru dikembalikan Rp 65 juta karena sisanya berada di tangan seseorang bernama Nilamto itu,” bebernya.
Sementara kuasa hukum Widya Krulinasari, Yudi Yusnadi, menegaskan bahwa kliennya tidak menerima uang untuk jual beli bangku kuliah. “Masalah uang itu sebenarnya klien saya tidak menerimanya. Karena klien saya hanya berperan sebagai penyambung antara korban dan orang yang bisa dimintai untuk memasukkan di kedokteran,” ucapnya.
Adapun, terus Yudi, orang yang dimaksud bisa membantu itu adalah Nilamto, pegawai Puskom Unila. “Sesuai dalam fakta persidangan, Nilamto dengan klien saya hanyalah sebatas kenal,” tuturnya.
Terkait mahar jual beli kursi bangku kuliah, Yudi mengatakan bahwa ada sebagian uang, yakni Rp 175 juta dalam bentuk tabungan, akan diserahkan ke rektorat. “Untuk Rp 175 (juta) lagi diserahkan kepada Nilamto. Jadi surat dakwaan yang di JPU itu sebenarnya tidak lengkap,” tandasnya.
Dalam sidang sebelumnya yang dipimpin oleh majelis hakim Syamsudin, Selasa, 30 Oktober 2018, ada lima saksi yang dihadirkan, yakni Richard Parlindungan Sagala, Daniel R Simbolon, Francis Simanulang, Anita Nofalina Sagala, dan Nisa.
Dalam persidangan, Anita memberi kesaksian bahwa keluarganya rela menggelontorkan ratusan juta agar adiknya, YS, bisa diterima di Fakultas Kedokteran Unila. “Kami yakin karena dia (terdakwa) berani bertaruh jabatannya sebagai PNS. Kalau tidak masuk, uang dikembalikan 100 persen dan bisa dilaporkan,” ungkap Anita saat memberi kesaksian.
Sementara ayah korban, Richard, mengaku membayar mahar Rp 350 juta kepada terdakwa agar diterima di Fakultas Kedokteran Unila. Duit tersebut dibayar secara bertahap sebanyak tiga kali. “Pertama Rp 55 juta, kemudian Rp 120 juta, dan terakhir berbentuk buku tabungan sebesar Rp 175 juta. Itu tahun 2017. Tapi, ternyata tidak masuk. Baru dikembalikan buku rekening isi Rp 175 juta dan uang Rp 65 juta yang dibayar tiga kali,” tandasnya.
Dalam dakwaan sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) Rita Susanti menyebutkan bahwa terdakwa telah melakukan aksi menguntungkan diri sendiri dengan melakukan penipuan. JPU menuturkan, peristiwa bermula pada Mei 2017.
Saat itu Richard meminta bantuan kepada Francis, keponakannya, untuk mencarikan ”orang dalam” agar YS bisa diterima di FK Unila. “Tujuannya untuk membantu agar anaknya bisa lulus SBMPTN 2017 di Kedokteran Unila. Francis kemudian menghubungi terdakwa yang juga dosen Unila,” bebernya.
Saat diminta bantuan inilah, lanjut JPU, terdakwa menyanggupi dengan syarat adanya mahar sebesar Rp 350 juta. Awalnya ia meminta uang panjar sebesar Rp 2 juta. “Kemudian tanggal 8 Mei 2017, Richard pun mentransfer uang DP tersebut. Tiga hari kemudian terdakwa meminta lagi uang Rp 3,5 juta sebagai tanda jadi,” terangnya.
Selanjutnya pada 12 Mei 2017, terdakwa meminta Francis membawa keluarga korban. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa terdakwa adalah dosen Unila dan bisa menjamin korban lulus SBMPTN 2017. “Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Rektor Unila 186/UN26/DT/2017, terdakwa tidak memiliki wewenang atas penerimaan mahasiwa baru Unila tahun 2017. Tapi, terdakwa bisa meyakinkan, bisa meluluskan anak korban,” bebernya.
Kemudian, korban menyerahkan uang sebesar Rp 350 juta sebagai syarat bisa diterima. Namun, ternyata setelah selesai tes SBMPTN pada 13 Juli 2017, nama YS tak ada dalam daftar mahasiswa yang diterima di Fakultas Kedokteran Unila. Anehnya, YS malah diterima di Fakutas Pertanian Unila. (Tribunlpg)