Lampung Timur, sinarlampung.co – Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur harus melek dan memandang lebih luas atas keberadaan budaya peninggalan di wilayah setempat. Beberapa warisan budaya yang menjadi ciri khas daerah mulai terancam kelestariannya karena kurangnya perhatian dari pemerintah. Salah satunya, keberadaan rumah adat Keratuan Melinting di Tiyuh (Desa) Wana, Kecamatan Melinting Lampung Timur, yang kini memprihatinkan.
Berdasarkan pengamatan sinarlampung.co di desa tradisional yang merupakan satu dari tujuh desa inti penjaga tradisi adat melinting tersebut, sudah banyak rumah panggung dirubah menjadi bangunan rumah semi dari bata dan semen. Kendala biaya perawatan dan tidak adanya bahan kayu yang layak menjadi alasan utama bangunan warisan budaya leluhur tersebut sulit dipertahankan.
Pemerhati Budaya Keratuan Melinting Iskandar Zulkarnaen dengan gelar adat Jenang Pangeran Pakualam mengatakan, perlunya perhatian pemerintah untuk melestarikan budaya Keratuan Melinting, baik secara moril maupun materil. Bantuan berupa dana perawatan menurutnya memang sangat dibutuhkan. Mengingat selain mahal, kayu langka yang menjadi komponen utama bangunan rumah adat tersebut tergolong sangat sulit didapat.
“Kemudahan akses kayu langka yang ada di hutan. Ada kayunya tetapi tidak boleh keluar. Kayu di Way Kambas membusuk tapi tidak bisa keluar dengan berbagai alasan. Bisa jadi kayu itu oknum yang menggunakan,” ujar Iskandar, Kamis, 17 Oktober 2024.
Kendati demikian, menurut Iskandar, biaya perawatan yang begitu besar, pelestarian rumah adat Keratuan Melinting sangat membutuhkan dukungan pemerintah, khususnya Pemda Lampung Timur.
“Pemda perlu membantu biaya perawatan rumah panggung (adat) agar tidak punah. Sebab, membangun rumah panggung yang baru seperti rumah saya ini, seluruh komponen bangunannya menggunakan kayu. Sehingga jika ditotal biaya membangun satu rumah adat ini setara membangun empat rumah gedong (mewah),” katanya.
Lebih lanjut, Iskandar menjelaskan umumnya rumah panggung di Desa Wana dibangun kisaran tahun 1911-1929 dan 1931. Sementara rumah panggung miliknya dibangun pada tahun 1931. Tukang yang membuat rumah panggung didatangkan dari Kayu Agung Sumatera Selatan, sehingga bangunannya mirip Rumah Adat Limas, bedanya tiang lebih tinggi.
Bantuan Pemda untuk Keratuan Melinting sudah ada seperti Rumah Informasi Budaya dan etalase di Tiyuh Nibung. Sedangkan Tiyuh Wana belum tersentuh. Hal ini dibenarkan Iskandar, rumah panggung saya ini belum pernah disentuh Pemda, bagaimana saya merawat barang cagar budaya yang tidak ada di Keratuan Melinting seperti kain Tapis Lampung, Siger Emas Asli, Tombak, Pedang, Keris dan lainnya yang usianya lebih dari 300 tahun agar barang-barang ini tidak hilang. Walaupun diiming-imingi kolektor, maka saya bilang kualatnya saya kasih juga ke kalian, papar pria yang pernah sekolah STM di Bandung.
Lagi-lagi Pemda perlu memperhatikan budaya lainnya seperti Tarian Melinting beserta kelengkapannya yaitu gamelan dan pakaian penari. Diharapkan Pemda turun kebawah dengan melibatkan warga Tiyuh Wana, jangan memberikan bantuan semau mereka. “Gamelan mereka yang pesan, seharusnya ajak orang Melinting yang faham larasnya. Akhirnya yang dikasih kuningan. Gamelan Melinting gamelan wedok berbeda dengan gamelan lainnya tapi diberikan gamelan lanang jangan hanya dikarang-karang agar hasil tidak ngawur”, beber Iskandar.
Tak berhenti sampai disitu, berdasarkan keterangan Iskandar, peralatan tari harus sewa, gamelannya dari drum, jelas ini dibawah standar. Kemudian kostum penari sudah waktunya diganti, kata pria tamatan SMA.
Saat ini Tiyuh Wana melakukan beberapa hal untuk melestarikan budaya Keratuan Melinting. Pertama kata Iskandar, Keratuan dasar keturunan Sultan hanya ada satu Sultan di Nibung (bukan Sutan). Jambe, sirih dalam bentuk nominal karena covid sekarang dikembalikan lagi ke tradisi aslinya.
Lalu, kedua, Tari Melinting (terdaftar di Unesco pada tahun 2007) pada acara adat dan acara lainnya. Upacara adat pakai bahasa adat Tiyuh Wano. Kemudian ke-tiga, adanya denda adat, jangan sampai keranah hukum, hukum harus mengakui keputusan adat dengan ketentuan yang ada, ujar Iskandar.
Adapun hal yang harus dipersiapkan dalam rangka kunjungan wisatawan menurut Iskandar diantaranya, menyiapkan rumah panggung untuk homestay atau bermalam bersama warga. Rumah saya ini bisa untuk homestay. Objek wisata Way Sano sebagai faktor pendukung perlu perhatian pemerintah dengan membangun kembali dan memberikan proyek ini pada orang yang ingin maju.
“Gerobak sapi angkut wisatawan, adanya lahan parkir grobak, serta UMKM berbayar dengan koin kayu 50 ribu dan harus dibelanjakan sampai habis, ini melibatkan warga dan dapat menjadi hasil tambahan ekonomi keluarga, masarakat Tiyuh Wana bisa menikmati,” saran Iskandar.
Terkait program, menurut hematnya, menunggu situasi dan kondisi stabil. “Kita lihat apakah ada gerak setelah Pilkada untuk membangun dan melestarikan budaya. Revitalisasi adat Lampung Timur, saat ini hanya satu se-Lampung dengan cara bumingkan bahasa Lampung di Lampung Timur jadi semua orang bisa bahasa Lampung. Baik Lampung lama juga Lampung baru atau pendatang. Serta belajar adat Lampung,” jelasnya.
Iskandar juga menceritakan sejarah awal Keratuan Melinting. Dia menyebut, Tiyuh Wana sudah ada sejak tahun 1600 dengan ditemukannya makam tua. Nama asli Tiyuh Bumi Agung artinya tanah yang subur. Nama Wana berasal dari nama sumber air alam dan nama pohon Angsana yang tumbuh di dekat sumber air alam. Way (air) Sano atau Wano.
“Saat ini rumah panggung hanya ada 40 persen. Banyak rumah panggung diturunkan. Perawatannya memang unik seperti, pel kering untuk lantai caranya disikat lalu dilap kering stelah itu pakai lilin ditambah minyak tanah atau solar untuk perawatan kayu, hasilnya lantai licin tapi tidak meleset saat dilalui,” tandas Iskandar. (Heny)