Kategori: Opini

  • Catatan Nanik S Deang “Tol Jokowi Vs Kebenaran”

    Catatan Nanik S Deang “Tol Jokowi Vs Kebenaran”

    Toko sebelah banggain tol, saya tanya begini:  Coba sebutkan 3 contoh nama tol full buatan jokowi yang sudah beroperasi ?

    Dia Menjawab:

    Banyakkkk…, Tol Kertosono-MojokertoTol Akses Tanjung PriokTol GempolTol Semarang – SoloTol Palembang-IndralayaTol Gempol–PandaanTol CipaliTol SurabayaTol Pejagan-PemalangTol Medan-BinjaiTol Medan-Kualanamu-Tebing TinggiTol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu Tol Soreang-Pasir Koja Tol Bakauheni-TerbanggiTol Ngawi-KertosonoTol Bogor 

    Saya Balas Begini:

    Tol Kertosono-Mojokerto Mulai dibangun 2007 rekonstruksi 2011
    Tol Akses Tanjung Priok Mulai dibangun 2010 rekonstruksi 2012
    Tol Gempol–Pasuruan Mulai Rekonstruksi 2011
    Tol Semarang–Solo Mulai Rekonstruksi 2009
    Tol Palembang-Indralaya Mulai Maret 2013
    Tol Gempol–Pandaan Mulai 5 Apr 2012 
    Tol Cipali Mulai 8 Des 2011 dibangun PT LSM Milik Bang Sandiaga Uno
    Tol Surabaya-Mojokerto dibangun 2007 
    Tol Pejagan-Pemalang rekonstruksi September 2011
    Tol Medan-Binjai (Sampai skrg masih terkendala lahan)
    Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi Mulai rekonstruksi 2011
    Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu Mulai 2011
    Tol Soreang-Pasir Koja Mulai 2011
    Tol Bakauheni-Terbanggi Mulai 2013
    Tol Ngawi-Kertosono rekonstruksi Mulai 2012Tol Bogor Mulai 2011

    Lho kok mulai dibangun jaman SBY semua ???????

    Dia Bilang:

    Iya SBY rencana doang tapi mangkrak nggak ada yg selesai

    Saya Jawab:

    Apapun itu intinya tol-tol yang kamu tulis itu hanya proyek lanjutan dari pak SBY, jangan asal main klaim seenaknya. Dan tidak semua tol SBY yang mangkrak, ada 17 tol yang selesai : 

    1. Cikampek-Purwakarta-Padalarang beroperasi April 2005
    2. JORR W2S-E1-E2-E3 beroperasi Agustus 2007
    3. SS Waru-Bandara Juanda beroperasi April 2008
    4. Makassar seksi IV, beroperasi September 2008
    5. Jembatan Suramadu beroperasi Juni 2009
    6. Kanci-Pejagan beroperasi Januari 2010
    7. JORR W1 Februari 2010
    8. Surabaya-Mojokerto seksi 1A beroperasi Agustus 2011
    9. Semarang-Solo seksi I beroperasi November 2011
    10. Bogor ring road seksi 1A beroperasi November 2011
    11. Cinere-Jagorawi beroperasi Februari 2012
    12. Bali Mandara beroperasi September 2013
    13. Semarang-Solo seksi II beroperasi April 2014
    14. Bogor ring road seksi IIA beroperasi Mei 2014
    15. JORR W2 Utara beroperasi Juli 2014
    16. Kertosono-Mojokerto seksi I beroperasi Oktober 2014
    17. Porong-Gempol seksi Kejapanan-Gempol beroperasi Mei 2015

    Karena dia ga mau kalah, di Uploud Gambar Tol Gempol-Pandaan

    Saya Jawab:

    Apakah meresmikan dan mengoperasikan itu sama ? 

    Dia Jawab:

    Itu udah dijawab, jangan kufur nikmat

    Saya Tanya:

    Jawab yang mananya nih?, Lagi pula disitu tertulis Gempol Pandaan beroperasi 2015. Sementara Pak Jokowi dilantik tgl 20 Oktober 2014. Berarti Tol Gempol Pandaan hanya dibangun dalam tempo 8 bulanan? Kufur nikmat itu punya otak tapi nggak dipakai, saya alhamdulillah masih slalu pake otak utk menetralisir hal-hal yang absurd seperti ini.

    Saya Tanya Lagi:

    Oh ya, Proses Pembangunan Tol diawali dari tahap Pra Rekonstruksi, bukan dari gunting pita. Yang saya tanya 3 nama tol buatan Jokowi ‘tok’ mulai pra rekonstruksi hingga pengoperasian tanpa ada keterlibatan presiden-presiden sebelumnya.  Sebutkan 3 aja.

    (Eh cebynya kabur dia hapus komen koemnnya)

    Makanya jangan sok-sokan bahas tol

    Catatan dari saya, Tol Gempol Pandaan saya sudah test drive. eh test tol sebelum pak Jokowi dilantik dech.
    Aku kasih penjelasan tambahan biar pihak ono bisa pahami. Semua perencanaannya sejak SBY-JK, bahkan ada beberapa ruas tol yang dibangun oleh perusahaannya pak JK.

    Dalam perjalanannya terjadilah krisis global, semua negara di dunia mengalami goncangan ekonomi, termasuk negara besar seperti Amerika, Jerman, Perancis dll. Nah dalam kondisi seperti ini, pak SBY-JK, tidak mungkin melanjutkan pembangunan tol, karen ekonomi rakyat dan negara lebih penting, akhirnya pembangunan tol ditangguhkan.

    Jadi salah kalau ada yang bilang mangkrak tapi ditangguhkan. Akhirnya pak SBY-JK lebih fokus mengurus ekonomi, akhirnya Indonesia pada saat itu masuk urutan ke 3 negara yang ekonominya terkuat didunia dibawah China dan India. Setelah kondisi ekonomi global mulai membaik barulah jalan-jalan tol itu dilanjutkan kembali pada periode SBY-BOEDIONO.

    Dalam perjalanan pembangunan SBY tidak lagi bisa melanjutkan pemerintahannya karena sudah limit time hanya cukup dua periode atau 10 tahun, maka pembangunan itu kemudian dilanjutkan oleh presiden berikutnya. Kebetulan adalah Jokowi, jadi kalau tidak tau perjalanan dan kisahnya jangan asal mengklaim. Demikian sekilas info.****

    Nanik Sudaryati Deangan adalah Wartawati senior

  • Presisi Jenderal Listyo itu Orasi Pada Martabat Manusia Polisi Humanis, Emansipatoris dan Progresif

    Presisi Jenderal Listyo itu Orasi Pada Martabat Manusia Polisi Humanis, Emansipatoris dan Progresif

    Masih ingat kasus Suroto, seorang peternak ayam yang diamankan polisi saat membentangkan poster keluhan harga pakan ternak di depan konvoi Presiden Jokowi saat mengunjungi makam Bung Karno di Blitar pada bulan September lalu.

    Publik menilai aksi polisi tersebut berlebihan dan tidak mencerminkan sisi humanis dalam mengantisipasi gangguan Kamtibmas di masyarakat, pun dalam konteks pengamanan seorang pejabat negara, termasuk Presiden.

    Menariknya, Polri yang terpojok karena dianggap tak humanis ketika itu tidak membela diri. Kapolri Jenderal Listyo Sigit berdiri paling depan memberikan perintah pada seluruh jajarannya melalui Surat Telegram Kapolri agar bersikap humanis kepada masyarakat.

    Dia tunaikan janjinya, ketika Uji Kepatutan dan Kelayakan di Komisi III sebelum dilantik, Listyo membawa misi besar transformasi Polri dan salah satu aspek penting yang ditegaskan dia saat itu terkait basis penghormatan Hak Asasi Manusia dalam seluruh tindakan kepolisian.

    Polri di bawah pimpinan Jenderal Listyo Sigit sadar betul bahwa watak humanis kepolisian menjadi ujung tombak institusi ini agar kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Polri dengan kata lain membawa misi besar pengarusutamaan (mainstream) Hak Asasi Manusia dalam pelayanannya kepada masyarakat.

    Di bawah Listyo, penegakan hukum dilakukan dengan tegas namun tetap humanis. Polri juga memberi pesan bahwa penegakan hukum utamanya hadir untuk memberikan rasa keadilan dan bukan penegakan hukum yang semata-mata dalam rangka kepastian hukum. Bukan hanya itu, aspek penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia tampak dalam komitmen Listyo Sigit berada di garis depan dalam mengawal kebebasan sipil sebagai roh demokrasi.

    Apa bentuknya? Kapolri dalam banyak kesempatan selalu menekankan strategi pemolisian yang mengutamakan soft approachdan bukan terutama pagelaran kekuatan (show of force)yang cenderung menunjukkan watak determinan Polri di hadapan masyarakat selama ini.

    Polri paham bahwa era demokrasi yang membawa agenda besar Hak Asasi Manusia tidak lagi memperlakukan rakyat sebagai obyek penguasaan tetapi subyek kekuasaan.

    Perubahan orientasi tugas dan peran kepolisian yang selama ini cenderung ‘menertibkan’ masyarakat menjadi ‘bersama masyarakat menciptakan ketertiban’. Polri seperti terus diingatkan Listyo harus mampu memenuhi harapan rakyat atau berorientasi pada kepentingan rakyat.

    Bahkan dalam beberapa kesempatan dia juga mengingatkan bahwa polisi adalah pelayan rakyat. Implementasinya jelas, watak arogan kepolisian tak boleh lagi ada, polisi yang cendrung mencari-cari kesalahan masyarakat dan mengutamakan kekerasan tak boleh lagi diberi tempat.

    Jika perlu harus mendapat tindakan tegas. Selain itu, karakter humanis kepolisian oleh Listyo juga diterjemahkan antara lain melalui optimalisasi peran polisi wanita (Polwan) yang menurut dia memiliki peran penting dalam mewujudkan aparat kepolisian yang humanis dan dekat dengan masyarakat.

    Di sisi lain, garis kebijakan yang memberi tempat terbuka dan luas bagi peran Polisi Wanita di internal kepolisian memperlihatkan komitmen Listyo pada isu kesetaraan gender yang basis argumentasinya juga menginduk pada pengarusutamaan Hak Asasi Manusia. Seperti kata Lystio saat membuka The 58th International Association of Women Police Training Conferencedi Labuan Bajo, Flores, pada 7 November lalu.

    Jika kita mau mengubah pandangan diskriminatif terhadap perempuan, maka kita harus memulainya dari penyelesaian stereotip di bidang profesi kita yaitu keamanan dan penegakan hukum. “Arahan Kapolri juga jelas ketika dia menempatkan Polsek-Polsek yang berada di garis depan pelayanan kepolisian melakukan reposisi peran yang tidak lagi berurusan dengan tugas penegakan hukum melainkan preemtive dan preventiveyang fokus pada langkah-langkah pencegahan dan mengedepankan penerapan restoratif justice.

    Polri di bawah Lystio juga punya perhatian besar pada kebijakan afirmatif kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan dan kaum disabilitas. Jika diringkas, komitmen Hak Asasi Manusia oleh Kepolisian merupakan langkah maju dari salah satu upaya menuju Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).

    Perlu Dukungan Masyarakat Sipil dan Dunia Pers

    Hal-hal di atas tentu tidak lahir dari ruang kosong. Basis HAM yang dibangun Polri hari ini selain muncul dari tuntutan masyarakat, juga merupakan konsekuensi logis dari penghargaan Hak Asasi Manusia terkait kebebasan sipil, yang di dalamnya juga melekat institusi pers.

    Jika kita cermati, reaksi publik yang selama ini protes terhadap aksi polisi tidak humanis dan abai terhadap Hak Asasi Manusia, telah memunculkan gambaran atau citra polisi yang otoriter, represif dan tidak menghargai kebebasan sipil dan juga kebebasan pers.

    Masih ingat kasus mural yang berisi kritikan beberapa waktu lalu, telah menimbulkan penilaian buruk bagi polisi karena dianggap membungkam kebebasan masyarakat. Media sosial ramai-ramai menaikkan tagar seakan-akan polisi menjadi musuh kebebasan sipil.

    Apa iya demikian? Apa iya Polisi yang sudah punya komitmen mengenakan baju HAM, masih juga dianggap anti kebebasan sipil pada saat yang sama? Mari kita uji. Bukankah kebebasan sipil sesuatu yang tidak mutlak sifatnya karena dia juga dituntut memiliki tanggung jawab etis.

    Terhadap apa? Ya, tanggung jawab terhadap kebebasan sosial. Bukankah kebebasan individu setiap warga negara tidak bersifat mutlak sebab dia dibatasi oleh kebebasan individu-individu yang lain?

    Ternyata faktanya Listyo sudah melakukan beberapa kegiatan terkait Hari Hak asasi Manusia yaitu lomba Mural, dan orasi kebebasan ekspresi yang melibatkan masyarakat secara masif di 34 Polda. Kebijakan tersebut sebagai implementasi dari peran dan tugas kepolisian berbasis HAk Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan berdasarkan Perkap Nomor 9 Tahun 1999 dan juga UU Nomor 40 Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.

    Membangun Watak Humanis di Institusi Polri

    Jika demikian soalnya, adalah tugas bersama baik Polri maupun masyarakat memastikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia menjadi pegangan bersama. Agenda besar pengarusutamaan HAM bukan hanya dituntut pada kinerja Kepolisian tetapi juga pada masyarakat sipil dan institusi pers.

    Salah satu upaya yang harus dipastikan baik terhadap Polri maupun masyarakat sipil dan pers adalah kerja terus-menerus melakukan internalisasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Internalisasi nilai HAM bisa dibentuk selain melalui pembelajaran atau pelatihan tentu efektif melalui praktek terus-menerus. Termasuk tidak resisten jika ternyata mendapat aksi korektif.

    Polri saat ini punya Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sekarang tinggal bagaimana peraturan ini menjadi nilai yang dihidupi oleh semua anggota Polri.

    Sama halnya pers di sisi lain dituntut untuk menjalankan secara konsekuen panduan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan setiap tugasnya. Internaliasi nilai adalah proyek jangka panjang yang harus muncul dalam pikiran dan setiap tindakan.

    Di sisi Polri, berita baiknya adalah komitmen HAM yang selama ini digaungkan Listyo mulai membuahkan hasil. Terbukti dengan terus menurunnya jumlah pengaduan masyarakat terkait kepolisian di Komnas HAM berdasarkan periode 2013-2021.

    Jika pada tahun 2013 laporan msayarakat terkait kepolisian di Komnas HAM sebanyak 1.938 Kasus, pada tahun 2020 turun menjadi 1.122 Kasus dan pada tahun 2021 saat Lystio menjabat turun drastis menjadi 571 kasus. Pelan tapi pasti, citra Polisi humanis menjadi branding baru Polri di bawah kepemimpinan Listyo.

    Polri Makin Dipercaya sebagai Humanis dan Emansipatoris

    Seorang penulis berkebangsaan Italia Francesco Pico pada 1496 menerbitkan buku saudaranya Giovanni Pico della Mirandola berujudul ‘de hominis dignitate’ (orasi pada martabat manusia). Pico menegaskan bahwa makna kemanusiaan atau humanitas tidak dapat diandaikan begitu saja, tetapi harus diketemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Saat ini Kapolri

    Jenderal Listyo bersama gerbong besar institusi Polri sedang membawa humanisme itu dalam konteks baru pelayanan mereka pada masyarakat. Pun dari kacamata filsuf Yahudi Emanuel Levinas yang menuntut komitmen gambaran humanis yang Seorang penulis berkebangsaan Italia Francesco Pico pada 1496 menerbitkan buku saudaranya Giovanni Pico della Mirandola berujudul ‘de hominis dignitate’ (orasi pada martabat manusia).

    Pico menegaskan bahwa makna kemanusiaan atau humanitas tidak dapat diandaikan begitu saja, tetapi harus diketemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru.

    Saat ini Kapolri Jenderal Listyo bersama gerbong besar institusi Polri sedang membawa humanisme itu dalam konteks baru pelayanan mereka pada masyarakat. Pun dari kacamata filsuf Yahudi Emanuel Levinas yang menuntut komitmen gambaran humanis yang dialogis.

    Serupa Levinas, Polri dan juga masyarakat sipil dituntut untuk memahami bahwa kemanusiaan kita juga dibangun oleh kemanusiaan orang lain, dan sebaliknya kehadiran kita harus memberi kontribusi bagi kemanusiaan orang lain. Termasuk di dalamnya citra polisi humanis itu harus punya karakter emansipatoris yang mampu menghapus segala pendindasan, ketidaksamaan dan ekploitasi yang muaranya pada harkat dan martabat manusia yang dihormati, dimuliakan dan dikembangkan segala segi kehidupannya.

    Hasil survei yang dirilis Indicator Politik menempatkan Polri sebagai institusi yang makin dipercaya publik, dengan tingkat kepercayaan 80,2 persen. Hal ini menunjukkan sedang terjadi reformasi subtansial di dalam tubuh Polri. Oleh karena itu perlu dukungan dari seluruh anggota korps Bahyangkara mulai dari tingkat atas sampai bawah dan dukungan dariseluruh rakyat Indonesia.***

    Natalius Pigai, adalah seorang aktivis Indonesia. Ia merupakan salah seorang dari 11 anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia periode 2012-2017.

  • Empat Tahun sinarlampung.co

    Empat Tahun sinarlampung.co

    Perkembangan media di Indonesia termasuk di Provinsi Lampung sudah semakin maju. Dunia cetak perlahan-lahan mulai beralih ke dunia digital dan elektronik. Semakin banyaknya perusahaan-perusahaan media memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat di dunia media massa. Dan perkembangan media itu harus signifikan dengan pendidikan manusianya.

    Pesatnya perkembangan berita-berita seputar gosip di media massa malah lebih laku dibandingkan berita lain. Tak hanya itu, tayangan-tayangan bombantis, mulai dari isu, gosip hingga mistik lebih banyak pengunjung dan pembaca dibandingkan berita-berita yang mendidik.

    Belum lagi, saat ini tidak sedikit media massa yang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Konsep bad news is a good news juga bak paradigma baru, ruang lingkup yang begitu sempit sampai masalah privasi dipublikasikan, sedangkan berita-berita tentang masyarakat tidak diperdulikan.

    Lihat saja banyak sekali foto-foto jurnalistik di sejumlah media mengabaikan kode etik dan lebih banyak mengedepankan sensasi. Tidak hanya itu, seringkali foto-foto yang ditampilkan, adalah foto rekayasa dan bukan foto yang diambil dari sebuah kejadian.

    Salah satu faktornya adalah masyarakat saat ini tengah berada dalam fase masyarakat era informasi. Dalam proses ini terdapat pergeseran pola masyarakat dalam mengakses dan mendistribusikan informasi. Hal ini merupakan perubahan gaya hidup yang sebagai konsekuensi penggunaan perangkat komunikasi berbasis teknologi informasi (ICT).

    Inovasi fitur perangkat komunikasi kini banyak menawarkan medium komunikasi yang kian interaktif. Di antaranya media sosial termasuk aplikasi media sosial yang menawarkan kapasitas produksi dan distribusi informasi yang mendorong masyarakat untuk berperan aktif tidak hanya sebatas mengonsumsi tetapi juga memproduksi berita seperti halnya jurnalis profesional.

    Praktisi industri media pemberitaan mainstream seperti sinarlampung.co juga menghadapi fenomena ini dan tidak boleh mengabaikan pergeseran perilaku khalayak dalam mengonsumsi dan mendistribusikan informasi. Kita juga tidak dapat menampik kebangkitan era komunitas virtual dan pewarta warga.

    Mau tidak mau pada era masyarakat informasi, praktisi pers seperti kita harus berdamai dengan bertransformasi menjadi media pemberitaan yang memberikan ruang kreativitas bagi khalayaknya untuk turut berpartisipasi aktif memproduksi informasi.

    Kini, Media Siber sinarlampung.co memasuki usia 4 tahun, yang menjalankan fungsinya sebagai sarana kritik terhadap kekuasaan dan kontrol masyarakat. sinarlampung.co juga berfungsi sebagai ruang publik atau ruang antara publik. Dalam hal prinsip bad news is good news, membuat pemberitaan terkait skandal maupun keburukan pemerintah tentu hal ini menyebabkan pemerintah menjadi apriori terhadap pers.

    Pemerintah kita saat belum bisa melihat sisi positif dari kebebasan pers. Padahal pemberitaan yang dilakukan pers dapat memberikan fungsi audit yang gratis untuk kinerja pemerintah. Momen ulang tahun 2021, juga dirayakan seluruh karyawan dan manajemen dengan bakti sosial.

    Usia empat tahun bagi sinarlampung.co adalah masih sangat muda. Tantangan dan persaingan di media siber makin ketat, tidak hanya sesama media, namun juga media sosial. Kreativitas, kerja keras, visi kuat dengan tim solid itu untuk mebangun sukses selamanya.

    Terimaksih kepada krue, perusahasaan, wartawan, para kepala Biro yang masih setia bersama sinarlampung.co. Trimaksih juga kepada seluruh mitra, narasumber di Provinsi dan Kabupaten Kota di Lampung. Kami terus berupaya mennyajikan informasi yang informatif, sesui motto edukasi cerdaskan rakyat. ***

    Pimred sinarlampung.co

  • Komisi Informasi Lampung Menghambat Transparansi?

    Komisi Informasi Lampung Menghambat Transparansi?

    Lahirnya UU Keterbukaan Informasi adalah untuk menjamin hak publik atas informasi, yang bertujuan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.

    Kemudian mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik. Kemudian mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.

    Termasuk mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi dilingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

    Didalamnya ada Komisi Informasi yang berfungsi menjalankan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan Pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi.

    Namun, pengalamany penulis, di Komisi Informasi Provinsi Lampung, alih-alih ingin mendapatkan informasi di Dirjen Pajak Bengkulu dan (DJP) Lampung, langkah saya sebagai pemohon informasi terantuk oleh sebuah sistem yang di KI Lampung.

    Karena menurut perjalanan saya, sistem yang digulirkan KI Lampung yang digadang-gadang bisa menengahi ketersumbatan informasi antara pemohon informasi dengan badan publik DJP Lampung merasa di perlakukan tidak adil.

    Padahal, dalam regulasi setiap orang atau perseorangan atau badan publik sebagai pemohon informasi bisa meminta informasi kepada badan publik untuk kepentingan publik, dengan mengikuti aturan yang keluargkan Komisi Informasi. yang tentu semangatnya adalah keterbukaan informasi publik.

    Dalam regulasi, permohonan informasi pemohon informasi publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) paling lambat 30 hari kerja, ada beberapa poin atau ketidakpuasan pemohon informasi mengajukan sengketa informasi karena tidak dipenuhinya permohonan informasi publik.

    Dalam hal pengajuan keberatan disampaikan secara tidak tertulis, Tim Sekretariat PPID mengarahkan pemohon informasi publik yang mengajukan keberatan atau pihak penerima kuasa untuk mengisi formulir keberatan sesuai format yang ada.

    Pemohon keberatan menyertakan banyak dokumen yang harus dilengkapi. Tim Sekretariat PPID wajib memberikan salinan formulir keberatan disertai nomor registrasi keberatan kepada pemohon informasi publik yang mengajukan keberatan atau kuasanya sebagai tanda terima pengajuan keberatan.

    Pengajuan sengketa informasi publik ke komisi informasi diajukan pemohon informasi publik selambat-lambatnya 14 hari kerja sejak diterimanya tanggapan tertulis atas surat keberatan pemohon informasi publik kepada atasan PPID badan publik atau berakhirnya masa 30 bagi atasan PPID badan publik untuk memberikan tanggapan secara tertulis atas surat keberatan dari pemohon informasi publik

    Pengajuan sengketa informasi publik baik oleh perorangan, badan hukum ataupun kelompok orang bisa diajukan dengan cara mendatangi langsung kantor KI dan menemui petugas Pemohon sengketa informasi publik dengan melengkapi berkas permohonan pengajuan sengketa informasi publik sebelum mendapatkan nomor registrasi/akta registrasi sengketa informasi publik dari petugas kepaniteraan komisi informasi

    Setelah permohonan sengketa informasi publik mendapatkan nomor registrasi atau akta registrasi maka 14 hari kerja setelahnya KI mulai melakukan proses penyelesaian sengketa informasi publik dengan di awali melakukan pemanggilan secara patut kepada pemohon dan termohon untuk menghadiri sidang ajudikasi non litigasi tahap pemeriksaan awal.

    Semua sistem yang digulirkan KI Lampung amat panjang dan memakan waktu cukup lama sudah dilewati pemohon yang ingin meminta salinan faktur pajak milik PT Nian Jaya Abadi yang telah disita dengan putusan pengadilan No.127/Pid.B/2011/PN.TK. Berdasar surat yang diterima awak media dari Pengadilan Negeri Tanjungkarang, salinan faktur pajak milik PT Nian Jaya Abadi ada di DJP Lampung.

    Sidang Pemeriksaan Awal

    Saat sidang sengketa informasi memasuki tahap pertama, sidang pemeriksaan awal di kantor KI Lampung antara saya sebagai pemohon dengan DJP Lampung banyak kejadian tak lazim. Saya mengikuti semua prosedur, pada jalannya sidang majelis KI yang diketuai Syamsurizzal mencecar pertanyaan dan berulang dan justru hingga berdebat kusir dengan saya sebagai pemohon yang meminta data pada DJP Lampung.

    Sangat timpang dengan perlakuan majelis hakim pada perwakilan empat orang utusan DJP Lampung, majelis KI justru sangat singkat bertanya seperti sudah akrab, ihwal legalitas, identitas pada mereka. Pertanyaan tidak merentet pertanyaan pada utusan DJP Lampung, misal apa diduga tidak memberikan informasi? Mengapa diduga pemohon informasi dipersulit? Apa alasan DJP Lampung diduga mempersulit hak informasi? Segenting itukan salinan faktur pajak hingga tidak bisa diberikan pada pemohon atau pemilik perusahaan?

    Justru majelis KI Lampung berulang memberondong pertanyaan kepada saya sebagai pemohon, seputar legalitas perusahaan media, identitas pemohon, hubungan dengan PT Nian Jaya Abadi dan kepentingan salinan faktur pajak milik PT Nian Jaya Abadi berulang hingga berdebat kusir bahkan menunjuk jari ke arah pemohon.

    Padahal saya sebagai pemohon juga mendengar kabar dari Direktur PT Nian Jaya Abadi, Tiara Anthoni Harahap jika dipersulit meminta haknya. Baik itu meminta langsung pada pejabat teras DJP Lampung bahkan mengirimi surat resmi yang disertai bukti pengiriman surat.

    “Apa tujuan media (pemohon) meminta salinan faktur pajak milik PT Nian Jaya Abadi yang telah disita dengan putusan pengadilan No.127/Pid.B/2011/PN.TK,” tanya hakim ketua, Syamsurizzal saat memimpin sidang.

    “Untuk kepentingan publikasi,” jawab pemohon.

    “Berarti tugas wartawan kayak intelejen?,” tanya Majelis KI kembali sembari menoleh ke pemohon.

    Mendengar pertanyaan itu, saya merasa terusik. Merasa profesi wartawan dikucilkan. “Ada banyak hal yang harus diungkap dengan media. Tidak semua bisa diungkap dengan penegak hukum. Makanya kalo jadi komisioner KI ada yang dari unsur media. Biar tau tugas dan fungsi media,” saya jawab begitu.

    Kemudian Majelis KI Syamsurizzal menanyakan ihwal surat kuasa yang dibuat PT Nian Jaya Abadi yang ditandatangani direktur utama, surat itu dirasa janggal oleh Syamsurizzal. “Kok surat kuasanya gini? Ini media apa pengacara?. Harusnya enggak gini kalo surat kuasa,” tanya Syamsurizzal.

    Saya spontan aja menjawab. “Izin yang mulia. Surat kuasa itu dibuat atas saran, suruhan staf Komisi Informasi. Tolong ajarin staf Komisi Informasi Lampung biar tau cara buat surat kuasa. Nantinya mereka bisa mengarahkan kami cara buat surat kuasa yang benar,”

    Nah, Ketua Majelis KI Syamsurizzal malah cukup geram mendengar jawaban pemohon. Sembari menunjuk jari ke arah pemohon dengan nada agak tinggi. “Anda merendahkan lembaga negara?,” sergah Syamsurizzal.

    “Izin yang mulia. Saya tidak merendahkan lembaga negara,” jawab pemohon.

    Terjadi beberapa kali debat kusir antara awak media sebagai pemohon informasi dan majelis hakim. Hingga akhirnya saya sempat kesal pada majelis hakim dan empat orang utusan DJP Lampung.

    “Izin yang mulia (majelis hakim). Saya mau tanya bagaimana posisi yang mulia menjadi direktur PT Nian Jaya Abadi yang meminta haknya namun diduga dipersulit? Lalu untuk mereka ini (utusan DJP Lampung) mengapa DJP Lampung enggak ngasih salinan faktur pajak milik PT Nian Jaya Abadi? Apa salinan faktur pajak milik PT Nian Jaya Abadi ada di DJP Lampung? Benar enggak pak Fikri (salah satu pejabat DJP Lampung yang hadir di ruang sidang) direktur PT Nian Jaya Abadi udah nemuin dan kirim surat minta haknya enggak dikasih? Tolong jawab,” kata pemohon.

    Majelis KI-pun langsung menjawab dengan lugas. “Saya akan pakai penasehat hukum. Tolong jangan melebar pertanyaan Anda,” kata hakim ketua Syamsurizzal.

    Uniknya salah satu dari empat orang utusan DJP Lampung menjawab ihwal permintaan salinan faktur pajak milik PT Nian Jaya Abadi berputar-putar namun tidak jelas, bisa diberikan atau tidak. Berapa menit berlalu, majelis hakim menutup sidang sengketa informasi, sembari meminta saya melengkapi legalitas perusahaan media di tempat pemohon bernaung. Dan menjadwalkan kembali sidang minggu depan.

    Di waktu yang ditetapkan, pemohon sengaja tidak menghadiri sidang lanjutan karena merasa sudah tahu hasil sidang. Dan benar saja, mediator KI Lampung memberitahu jika gugatan sengketa informasi ku dibatalkan atau dinyatakan gugur.

    Begitulah potret KI Lampung, padahal merujuk situs komisiinformasi.go.id wewenang KI memanggil atau mempertemukan para pihak yang bersengketa; meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh Badan Publik terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan Sengketa Informasi Publik.

    Kemudian meminta keterangan atau menghadirkan pejabat Badan Publik ataupun pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik; mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam ajudikasi nonlitigasi penyelesaian sengketa informasi publik; dan membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga masyarakat dapat menilai kinerja. Saya mempertanyakan semangat keterbukaan transparansi di KI Lampung, yang terkesan menghambat keterbukaan informasi di Lampung.***

    Penulis adalah Anggota PWI Lampung, Wartawan Media Siber Suryaandalah.co

  • Proyek dan Fee 20 Persen

    Proyek dan Fee 20 Persen

    Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa di dunia konstruksi, rekanan pemasok, supplier dan lain-lain ada persyaratan teknis dalam setiap tender pekerjaan yakni fee 20 -22 persen untuk setiap paket pekerjaan yang harus disetor, jika kalian ingin dapat paket pekerjaan.

    Di kalangan dunia usaha kontraktor, pemborong, bisnis konstruksi maupun supliyer atau pemasok, hal ini sudah dianggap biasa saja dan wajib diikuti oleh semua pengusaha.  Meskipun hal ini tidak tertulis apalagi di perdakan, atau surat edaran kek, instruksi bupati, walikota,  gubernur kek. Tidak ada sama sekali.

    Bahkan pada saat pengusaha  atau kontraktor setor duit  pada oknum pejabat melalui stafnya, tidak ada sama sekali bukti tanda terima atau kuitansi. Kata  mereka sama-sama saling  percaya dan saling  menghargai  sesama  perkawanan . Jikalau uang  sudah disetor tapi  proyek gak  dapat, inilah kasusnya jadi  panjang dan berakhir ke pengadilan, Polisi hingga penjara. Dengan dakwaan penipuan, pembohongan, tilep menilep dan ingkar janji.

    Siapa pun rezim pemerintahan apalagi tingkat kepala daerah tidak ada yang berani berantas ketentuan tidak tertulis ini dalam dunia tender konstruksi proyek, pengadaan atau supliyer. Apalagi siapapun penguasa tak mampu memberantasnya termasuk KPK, Jaksa Agung dan gendruwo anti korupsi.

    Ditambah dalam era demokrasi langsung Pilkada dengan Hight Cost Politics ini pastilah alasan para kandidat terutama petahana untuk mempertahankan kekuasaannya dengan dalih mengumpulkan dana kampanye dalam Pilkada mendatang. Meskipun sudah banyak para bupati, walikota, gubernur tersungkur akibat ulahnya dengan kasus penangkapan oleh KPK.

    Ibarat virus, korupsi termasuk gampang-gampang susah dimusnahkan. Belum ada vaksin anti korupsi yang sanggup meredam penyebaran virus tersebut sampai ke akar-akarnya. Lembaga superbodi sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi pun belum mampu menghentikan budaya korupsi.

    Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan dianggap wajar oleh masyarakat. Tindakan memberi hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri, bahkan keluarganya, sebagai imbal jasa sebuah pelayanan dipandang lumrah sebagai bagian dari budaya ketimuran.

    Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam UU itu dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lahir sebelum negara ini merdeka.

    Jika merujuk UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif, yang selama ini dianggap sebagai hal wajar dan lumrah, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pemberian gratifikasi atau pemberian hadiah kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

    Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam inpres itu, terdapat 96 butir aksi yang harus dilaksanakan selama tahun 2015. Inpres yang ditujukan kepada kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah itu dimaksudkan untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dan membentengi kebijakan dari tindak pidana korupsi.

    Terkait hal itu, presiden berharap agar aksi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tak sekadar formalitas. Melalui inpres itu, presiden juga meminta dihilangkannya pungutan liar dan birokrasi yang berbelit.

    Persoalannya sederhana, korupsi sudah ada sejak republik ini berdiri. Perilaku koruptor sudah sangat sulit dilenyapkan karena telah mendarah daging berpuluh tahun. Mereka (koruptor) memiliki beribu modus operandi untuk menggangsir uang negara. Laiknya tindak pidana umum, pelaku korupsi selalu berada selangkah di depan penegak hukum.

    Korupsi, menurut Philip (1997), adalah tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi, seperti keluarga koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor.

    Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Pengertian korupsi oleh Philip dipusatkan pada korupsi yang terjadi di kantor publik.

    Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest centered). Dikatakan, korupsi telah terjadi apabila seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk orang-orang yang akan memberikan imbalan, baik itu uang atau materi lain, sehingga merusak kedudukan dan kepentingan publik.

    Jadi pintar-pintar lah kalian mengelola taktik dan strategi korupsi dengan teknik berbagai cara yang canggih asal tidak ketahuan KPK atau Jaksa. Jika anda tertangkap tangan dan diproses hukum  jangan menyesal nanti anda dipenjara karena perbuatan kalian, anak istri dan keluarga  besar malu dan menjadi bulian tetangga dan publik seperti mantan Mensos dan Menteri  KKP itu. ***

    Ilham Djamhari, wartawan senior

  • Perspektif Hukum Tentang Tanah Adat atau Ulayat Bagi Masyarakat Hukum Adat

    Perspektif Hukum Tentang Tanah Adat atau Ulayat Bagi Masyarakat Hukum Adat

    BAHWA Masyarakat Adat di Nusantara sudah ada, baik yang bernaung di bawah Kerajaan-Kerajaan zaman dahulu maupun yang terbentuk berdasarkan Keturunan, wilayah Tempat Tinggal, Suku dan Agama. Masyarakat Adat di Nusantara sudah berkembang biak beranak pinak jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih Eksis sampai dengan saat ini.

    Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dan memilki berbagai macam suku bangsa kemudian satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia Masyarakat Adat juga Ikut Berjuang dan Rela Mengorbankan Jiwa, Tenaga dan Harta Benda.

    Sehingga sudah seharusnya Negara Menjamin Hak-Hak Masyarakat Adat di Nusantara, baik Hak Adat Istiadat, Budaya Lokal dan Hak Terhadap Tanah Adat atau Tanah Ulayat yang memang sudah dimiliki oleh Masyarakat Adat dari dahulu.

    Dasar Hukum Tanah Adat atau Tanah Ulayat Bahwa Negara telah Menjamin kepastian hukum Hak-Hak Masyarakat Adat yang berkaitan dengan Tanah Adat atau Tanah Ulayat, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan antara lain sebagai berikut:

    Pertama, Bahwa Dahulu Masyarakat Adat di Nusantara telah mengatur tentang Tanah Milik Adat atau Tanah Ulayat Adat berdasarkan HUKUM ADAT dan Masyarakat sangat mematuhi.

    Kedua, Kemudian pada Zaman Penjajahan Kolonial Belanda juga telah diatur tentang Tanah Milik Adat atau Tanah Miik Ulayat Adat, yartu antara lain dengan Surat Tanah Berupa ElGENDOM VERVONDING, GRONKART atau dengan BESLUIT dan hal ini sangat dipatuhi oleh Masyarakat dan Pemerintah Kolonial Belanda pada saat itu.

    Ketiga, Bahwa setelah Indonesia Merdeka Tanah Milik Adat atau Tanah Milik Ulayat Adat juga telah diatur seperti dikenal dengan nama Surat Keterangan Tanah, Surat Leter C, Surat Girik, Tanah Bengkook atau Tanah Bengkuk dan lain sebagainya ftu semua diakuil akan kebenarannya.

    Keempat, Setelah Merdeka Negara Menjamin tentang Tanah Hak Milik Adat dan Tanah Hak Milik Ulayat Adat, sebagaimana dijamin oleh Konstitusi Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada Masih tetap berlaku sebelum diadakan Peraturan yang baru.

    Selanjutnya Perlindungan Hukum terhadap Tanah Milik Adat dan Tanah Milik Ulayat Adat Masyarakat Hukum Adat telah diatur kembali dalam Peraturan Perundang- Undangan yang lebih Rinci, Kongkret, sebagai berikut:

    Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037).

    Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012 Tanggal 26 Maret 2013 Tentang Pengakuan Negara terhadap Hutan Adat atau Hak Ulayat. Ketiga, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

    Sebagaimana telah beberapa kall diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor b6/9).

    Keempat, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tanggal 24 Juni 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

    Kelima, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 951).

    Kesimpulan penulis bahwa negara telah menjamin dan melindungi adanya hak masyarakat terhadap Tanah Adat dan Tanah Ulayat Adat Masyarakat Hukum Adat.

    Pemerintah Daerah telah Menjamin dan Melindungi Hak Masyarakat terhadap Tanah Adat dan Tanah Ulayat Adat Masyarakat Hukum Adat yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Tidak Ada Istilah Kadaluarsa terhadap Tanah Milik Adat dan Tanah Milik Ulayat Adat bagi Masyarakat Hukum Adat. Terima kasih semoga bermanfaat. (***)

    Penulis adalah Ketua Lembaga Bantuan Hukum Kepaksian Pernong

  • Nothing To Lose

    Nothing To Lose

    Konferensi Provinsi PWI Lampung baru saja selesai, dan telah menemukan sosok baru, yakni Bung Wirahadikusumah, SP, untuk memimpin organisasi wartawan tertua itu, yaitu Persatuan Watawan Indonesia Provinsi Lampung periode 2021-2026.

    Namun dalam konferprov PWI kali ini ada yang membuat saya terkesan dengan penampilan salah satu calon Ketua PWI, yaitu  Juniardi, SIP MH. Tokoh yang giat membela wartawan selama ini terlihat santai, cuek, dan selalu tersenyum saat acara berlangsung.

    Penampilannya ini sangat berbeda dengan dua Kontestan lainnya yaitu Nizwar dan Wirahadikusumah yang terlihat tegang. Juniardi, ibarat seorang atlit yang sedang bertanding tanpa beban saya suka menyebut ‘Nothing To Lose”.

    Nothing To Lose itu Jika diartikan perkata, nothing berarti tidak apa-apa, to artinya untuk, lose artinya kalah. Apabila digabungkan artinya adalah tidak apa-apa untuk kalah.

    Meski mengetahui dirinya tak mampu menandingi suara kedua calon lainnya, Juniardi tetap percaya diri memperoleh suara dalam kontestasi tersebut. Bahkan terkadang dia menghibur dan bercanda dengan Wira dan Nizwar, untuk menghilangkan ketegangan yang dirasakan kedua temannya.

    Inilah yang membuat saya heran, penasaran sekaligus terkesan dengan penampilannya. Beruntung saat itu saya melihat Juniardi sedang berbincang dengan kontestan lainnya.

    Saya pun mendekatinya sekaligus bertanya, “Kok Bang Jun seperti orang yang tidak punya beban, ini kan kontestasi?” tanya saya pada Juniardi.

    “Kenapa harus tegang, santai ajalah. Lagian kontestasi ini, saya sadar sulit untuk menandingi mereka berdua (Wira dan Nizwar),” jawabnya penuh canda.

    Begitu juga saat pencoblosan dan penghitungan suara, Juniardi nampak memainkan Handphone, mengambil gambar untuk semua moment dalam konferprov. Tak terpancar sedikitpun kecemasan diraut wajahnya, dengan senyum khasnya nampak dia seperti sedang menikmati kontestasi tersebut.

    “Inilah indahnya demokrasi, terlepas menang atau kalah saya nikmati setiap moment dari awal sampai akhir. Dan siapapun yang terpilih, itu adalah amanah dari temen-temen untuk melanjutkan program organisasi PWI kedepan,” ucap Juniardi saat penghitungan suara.

    Sama halnya saat panitia mengumumkan Wirahadikusumah terpilih menjadi ketua PWI Lampung periode 2021-2026, Juniardi yang duduk berdampingan dengan Nizwar dan Wira, penuh senyum dia langsung memberikan selamat pada Wira. Begitu juga dengan Nizwar, dengan jumawa dia menerima hasil sekaligus memberikan selamat pada Wira.

    Sikap yang di tunjukkan Juniardi, dan Nizwar, merupakan sikap dewasa dalam berdemokrasi. Dan ini perlu di contoh untuk kita semua dalam mengikuti kontestasi apapun, sehingga dapat menerima hasil demokrasi dengan lapang dada.

    Dan yang perlu di ingat, setiap kontestasi apapun sudah pasti ada yang menang dan kalah tanpa harus melakukan manuver untuk menggagalkan hasil tersebut (kecuali ada pelanggaran).

    Terlepas dari semua ini, saya atas nama owner Harian Warna, Warna.id, Warna Tv, mengucapkan selamat pada sahabat saya Wirahadikusumah yang terpilih menjadi ketua PWI Lampung.

    Semoga organisasi PWI kedepan, mampu lebih berjaya dan lebih maju dari prestasi yang telah diraih PWI sebelumnya. (***)

  • Membangun Media Siber Yang Berkualitas

    Membangun Media Siber Yang Berkualitas

    SAYA banyak berkeliling daerah akhir-akhir ini melakukan verifikasi faktual, sebagai petugas Dewan Pers mendata eksistensi media. Senang rasanya melihat media yang dikelola orang muda, yang dengan alasan tertentu mengubah posisinya dari anak buah menjadi Boss. Pada umumnya mereka memiliki cita-cita tinggi.

    Ada semangat besar untuk maju, yakni berkontribusi membangun daerahnya melalui pemberitaan yang kritis, yang tidak segan-segan “menegur” kekeliruan pemerintah dalam mengelola wilayah. Mereka tidak mau didikte, bekerjasama secara terbatas, dan terus berupaya berinovasi dan kreatif menjalankan medianya.

    Dalam melakukan tugas jurnalistiknya mereka bagai rajawali yang terbang sendiri, mencari informasi, menggali data, pergi ke lapangan, agar beritanya nanti mandiri dan berbeda. Tetapi banyak yang semangatnya mendirikan media, lebih pada menjadikannya sebagai ladang penghidupan.

    Berjudi dengan nasib dengan asumsi, apabila media mereka berhasil, mendapat klik tinggi, maka pendapatan akan semakin besar dan kesejahteraan akan meningkat. Tipe ini biasanya tidak merasa perlu untuk repot-repot mengembangkan produk medianya, cukup meniru dan menjalankan media-media yang terlebih dahulu lahir.

    Kebanyakan wartawannya hanya duduk-duduk menunggu jumpa pers atau press release, dan menerima informasi tanpa berusaha memperkaya, melengkapi, sehingga ketika diberitakan tidak ada bedanya dengan media saingannya.

    Dari sisi jurnalisme, pilihan apapun sah. Kita mengenal di negara-negara maju pun ada berbagai macam media. Ada yang serius, teguh menjalankan prinsip agar dapat menjalankan tugas mulia pers, membela dan memperjuangkan demokrasi, serta menomorsatukan kepentingan publik. Mengoreksi keputusan politisi yang korup, mengungkap skandal, sekaligus memberi solusi.

    Namun ada juga media dengan jelas menjadikannya corong kekuasaan, seperti di era Presiden Donald Trump di AS, sehingga dalam produk jurnalistiknya salah atau benar Trump selalu benar. Sama seperti yang dilakukan Rupert Murdoch dengan sikap medianya yang partisan di sejumlah negara sehingga sempat ada petisi agar dilarang terbit.

    Tak perlu jauh di negara tetangga juga itu terjadi karena mereka masih perlu izin menerbitkan media. Begitu pula di era ketika Soeharto masih berkuasa. Rezim perizinan membuat media tidak bisa berbuat banyak.

    Untuk mendirikan media saja perlu “restu” dari kekuasaan sehingga bisa ditebak pimpinan media akan tahu diri dalam membuat judul atau isi berita, agar tidak menyinggung kekuasaan. Inilah pula yang membuat keluarga Cendana dapat berbisnis dengan fasilitas pemerintah tanpa pernah dituliss dengan kritis. Mereka melenggang, dapat melakukan apa saja, meski keliru tanpa disorot media. ***

    SEKARANG ini Undang Undang Pers no 40 tahun 1999, memberi keleluasaan untuk mendirikan perusahaan pers bagi siapapun, termasuk negara. Dampaknya nyata di lapangan, hampir setiap hari lahir media (siber) baru. Tidak diketahui berapa jumlah media siber saat ini. Pernah diasumsikan, berdasarkan jumlah provinsi dan kabupaten kota di Indonesia, sekitar 40.000.

    Dewan Pers bekerjasama dengan Univesitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tengah melakukan survei—bukan sensus—media dan diharapkan hasilnya bisa diketahui pada awal Desember 2021 nanti. Tetapi apakah kelak jumlahnya sudah mencakup media siber yang ada? Tidak tahu.

    Saat melakukan kunjungan, beberapa kali saya bertanya ke Boss media siber, untuk mengecek pemahaman atas visi misi mereka. Sebagian besar, tidak faham apa itu visi misi. Kebanyakan asal menuliskan, tanpa mengerti makna kalimat yang dia tuliskan itu.

    Padahal visi misi inilah landasaan untuk menjalankan media, mulai dari perencanaan sampai membuat angle berita. Visi misi pula yang membuat news value sebuah media berbeda dengan media lainnya.

    Visi misi inilah yang menjadi dasar bagi Pemimpin Redaksi, untuk memberikan perintah penugasan ke para redaktur agar peristiwa yang diliput, berita yang dibuat tidak melenceng dari tujuan pendirian media. Termasuk di dalamnya panjang pendek berita, ragam bahasa, angle penulisan, bahkan narasumber yang dimintai pendapatnya.

    Contoh sederhana, sebuah peristiwa perampokan sepeda motor, tentu news value-nya berbeda bagi media nasional dan media lokal, atau koran bisnis dengan koran metropolitan. Mutasi jabatan di lingkungan kabupaten, tidak sama nilai beritanya antara koran setempat dan koran yang terbit di Jakarta.

    Kalau visi media lokal adalah menjadikan masyarakatnya lebih cerdas, religius, dan partisipatif dalam pembangunan, tentu saja berita-berita yang disajikan relevan dengan itu. Perbanyaklah aneka berita pendidikan, perkembangan teknologi, kemajuan di berbagai bidang; tampilkan liputan yang bernuansa keagaman, tokoh yang bisa menjadi teladan di rumah tangga dan kehidupan, orang sukses, dan berita edukasi dan informasi tentang kewajiban warga negara dari berbagai angle dan peristiwa.

    Tetapi faktanya isi beritanya malah kegiatan Bupati atau Walikota, program kerja dinas-dinas, rilis apa saja, tanpa mempertimbangkan visi misi medianya. Asal muat supaya beritanya banyak atau kadang karena sudah terlanjur bekerjasama karena ada kontrak.

    Beritanya gado-gado, tapi karena mungkin kebanyakan timun atau kangkung, dan bumbunya kelebihan garam, maka hidangan berita yang tersaji tidak enak dikunyah.

    Maka kalau secara teori isi sebuah media adalah hasil perencanaan, kebanyakan media siber di daerah ini, diisi tergantung apa yang diperoleh dari pihak lain. Bahkan kadang Pemimpin Redaksi tidak bisa memperkirakan apa yang akan dibawa pulang reporternya dari lapangan.

    Kekacauan visi misi ini pun terjadi di media siber besar di Jakarta, tidak heran. Ada media ekonomi, yang malahan lebih sibuk mengurusi gossip artis dan beita politik. Ada media ekonomi yang membuat judul beritanya seperti berita olahraga.

    Kalau ada tren berita sejarah, maka seketika muncul berita tentang masa lalu ,entah peristiwa atau tokoh, yang tidak relevan sama sekali. Apa urusannya membuat berita, siapa pembunuh Kubilai Khan? Siapa yang peduli dengan Ken Dedes atau penyebab runtuhnya Majapahit ? Apa pentingnya berita soal Pangeran Arab yang homoseks? Untuk apa memberitakan agama seorang artis?

    Klik bait membuat apa yang sedang viral segera digarap beramai-ramai. Cukup dicarikan dengan satu komentar, jadilah berita baru.  Dikait-kaitkan, disambung-sambungkan. Apa saja tentang kecelakaan Vanessa Angel, langsung diutak-atik bahkan sampai sepekan setelah kematiannya.

    Mereka ini tidak peduli dengan jurnalisme, karena yang dipedulikan adalah seberapa banyak masyarakat mengklik judul beritanya. Sebab itu berarti uang masuk. Puluhan ribu berarti sekian juta, sekian ratus ribu atau sekian juga pengklik berarti sekian ratus juga. Ironisnya, banyak pengelola media itu wartawan senior, dulunya wartawan dari media berkualitas. ***

    Dari wartawan menjadi pengusaha media siber, tidak bisa langsung lompat. Dia harus belajar banyak karena ada perbedaan besar antara membuat berita dan “menjual” berita. Antara mengedit berita dengan memberdayakan berita.

    Antara mencari informasi dengan mencari peluang dan uang. Antara sekadar menerima gaji dan berpikir bagaimana agar gaji wartawan media kita dapat terus terbayarkan. Dan yang terpenting, karena pernah menjadi wartawan diharapkan mereka ini dalam menjalankan bisnis dengan etika, menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalisme. Bukan menjadi pedagang yang asal untung.

    Dua tantangan harus dihadapi sekaligus, yakni membuat berita di media kita sesuai dengan visi misi dan menjadikannya disukai audiens sehingga berdampak pada ketahanan ekonomi perusahaan.

    Membuat berita harus dimulai dari kalkulasi, berapa berita yang dimuat perhari, dan berita macam apa. Lalu kaitannya dengan jumlah wartawan dan editor yang harus dimiliki, dengan level kompetensi macam apa?

    Dari sini saja sudah bisa dibayangkan, modal mendirikan media tidak murah, walaupun kini media dibolehkan berkantor di kantor bersama. Mahal karena harus ada alat kerja, alat komunikasi untuk kordinasi, harus memberi gaji minimal setara UMP, harus mengikutkan mereka di BPJS Ketenagakerjaan. Karena ada perencanaan maka setidaknya ada rapat virtual sehari sekali atau kalau mungkin rapat tatap muka. Ada pula rapat evaluasi.

    Menjual berita berarti harus memahami pasar media kita. Harus ada survei, pasar masyarakat mana yang diincar, memahami karakter mereka, termasuk status ekonomi sosial audiens. Kalau hanya bermodalkan klik bait, maka itu artinya media kita memperebukan pasar umum yang sudah dikeroyok puluhan atau ratusan competitor. Apakah mampu? Maka lebih baik cari pasar yang masih bisa, meskipun perlu waktu lebih lama untuk mendapatkan audiens.

    Artinya kualitas karya jurnalistik yang diproduksi harus berkualitas, menarik, enak dibaca, terpercaya. Dan ini hanya bisa dihasilkan oleh wartawan yang sudah matang, mungkin spesialis, yang pastilah harus diberi kesejahteraan memadai. Ya kembali lagi, modal perusahaan harus kuat, untuk menggaji SDM yang baik.

    Saat ini hampir tidak ada celah pasar yang kosong, termasuk lokal yang juga bertebaran media siber. Dengan kapasitas ekonomi terbatas, di dalamnya terikut alokasi anggaran media di APBD, secara logika di sebuah kabupaten hanya ada 10 media yang bisa hidup. Namun kenyataannya ada satu kabupaten/kota, yang jumlah medianya lebih dari 100.  Maka kebanyakan seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. ***

    SEJARAH mengajarkan pada kita, media yang bertahan dan berumur panjang bukanlah media yang paling kuat tetapi media yang paling dapat beradaptasi dengan keadaan sambil tetap menjunjung etika bisnisnya.

    Ada banyak tantangan media saat ini secara umum, yakni media sosial sudah lebih disukai dibandingkan dengan media massa, dalam mencari informasi. Tentu kita tidak akan bertahan kalau justru mengisi media kita dengan produk media sosial, menjadikannya sebagai rujukan, acuan, misalnya karena sedang viral.

    Itu sama saja dengan bunuh diri, membiarkan parasite terus menggerogoti tubuh kita. Tetaplah setia pada jurnalisme, ciptakan produk yang bermutu, yang menyentuh kebutuhan publik, menjadi forum untuk diskusi dan dialog masalah yang relevan.

    Tantangan kedua adalah kemudahan teknologi yang membuat segalanya dapat tersajikan dengan gratis, sehingga produk media kita pun dapat dilihat dari laman lain tanpa pembaca perlu masuk ke halaman kita.

    Hasil kerja keras dan penuh keringat kita harus mudah diakses namun hak cipta agar tetap terjaga sehingga hak ekonomi pun terjada. Untuk itu memang harus ada regulasi yang melindungi media yang membayar wartawan dan memutar otak untuk menghasilkan berita.

    Namun khusus bagi media lokal, sekarang ini kesempatan untuk menjadi besar justru ada di depan mata apabila mereka menjadi “tuan rumah” untuk semua hal yang terjadi di daerahnya. Apabila mereka membuat liputan lebih dalam, lebih bermutu, dan lebih cepat, maka justru mereka akan dicari, dikutip, yang ujung-ujungnya memberi pendapatan yang baik.

    Oleh karena itu media lokal harus makin memperkuat kualitas dan kompetensi wartawannya, fokus pada penggarapan topik-topik lokal yang menarik, dan tentu mengikuti perkembangan isyu di luar yang relevan bagi pembacanya. Sungguh tidak mudah membuat media siber kalau yang ingin dihasilkan adalah media yang berkualitas. ***

    Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Pers dan Mantan Sekjen PWI

  • Antara Isu Upeti dan Marwah Jelang Konferwil PWI Lampung

    Antara Isu Upeti dan Marwah Jelang Konferwil PWI Lampung

    SAYA masih tekanjat (terkejut) baca berita yang berserakan pada berbagai media siber munculnya pertanyaan dari anggota dan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Tanggamus yang menantang calon ketua PWI Lampung, Juniardi menghapus budaya upeti.

    Terus terang, selama jadi anggota PWI Lampung dan pernah masuk jajaran pengurus beberapa periode, saya tak tahu hal itu, apalagi sebutan upeti atau setoran tersebut diembel-embeli “budaya” kepada pengurus provinsi (dalam berita tak disebutkan pengurus provinsi apa).

    Saya tetap tekanjat walau waktu anjang sana dengan para pengurus PWI Kabupaten Pesawaran, Jumat, Oktober 2021, pertanyaan tersebut muncul kepada saya dan saya beberapa kali balik bertanya maksud dari pertanyaan tersebut, khawatir salah pengertian.

    Alih-alih dapat penjelasan lebih detail dan lebih vulgar, seorang wartawan senior setempat malah mengatakan saya tak usah pura-pura tidak tahu. Mereka yakin saya tahu. Saya kembali jelaskan memang tak tahu maksudnya soal upeti tersebut.

    Ketimbang berlama-lama dan dianggap kawan-kawan PWI tahu, saya kemudian berusaha memahami dan berjuang keras menyampaikan tanggapan. Saya bilang sepertinya dalam pikiran pun tak ada soal upeti jika diartikan secara harfiah. “Mak keterajang utok”.

    Dalam Wikipedia, upeti adalah harta yang diberikan suatu pihak ke pihak lainnya, sebagai tanda ketundukan dan kesetiaan, atau kadang-kadang sebagai tanda hormat. Dalam sejarah upeti biasanya diminta oleh negara yang kuat kepada negara-negara sekitar yang lebih lemah, negara bawahan, serta wilayah-wilayah taklukannya.

    Saya kaitkan lagi dengan berita yang dipublikasi dalam berbagai media siber hasil pertemuan Juniardi dengan PWI Tanggamus. Dalam berita tersebut, mereka menantang Juniardi menghapus budaya upeti dan setoran kepada Pengurus Provinsi Lampung.

    Masih dalam berita yang memenuhi WA grup yang saya ikuti, Selasa (9/11/2021), mereka harus mengikuti tradisi itu selama ini. Karena, jika tidak patuh, maka akan dimusuhi, dicari kelemahannya hingga ancaman pembekuan sebagai pengurus.

    “Kami berharap jika calon ketua terpilih, hal-hal itu harus dibenahi. Karena itu menjadi beban. Saya sendiri saat itu mengalami. Karena tidak patuh diancam akan dibekukan, ini organisasi apa. Maka saya menolak, dan begini akhirnya, komunikasi menjadi tidak baik,” kata salah satu senior PWI Tanggamus, Senin (8/11/2021).

    Menurutnya, hal ini juga banyak dialami pengurus PWI Kabupaten lainnya di Lampung. “Bang Jun juga sudah dengan sendiri, dari kawan kawan di daerah lainnya. sama problemnya, dan lagi itu tidak transparan. Mau dilantik saja harus setor sekian, acara dipatok iuran sekian,” katanya, diamini pengurus lainnya yang hadir.

    Juniardi membenarkan bahwa kabar budaya upeti, setoran untuk kegiatan, hingga acara berbayar itu sama dialami beberapa daerah yang sudah dia kunjungi. Dia berpendapat pengurus PWI daerah jangan jadi sapi perahan.

    Saya memilih tak membesar-besarkan hal semacam ini apalagi sampai ditebar ke publik secara masif, cukup menyentil sedikit, numpang liyu, lewat podcast cerdas dan menghiburnya Bung Dolof, putra senior saya di PWI:
    Harum Muda Indrajaya.

    Alasannya, saya anggap ini urusan dapur sendiri, isi perut, walau selama ini memilih “bungkam” di luar lingkaran kepengurusan selama ini, saya memilih tak sevulgar berita-berita yang berserakan hari ini yang tampaknya semakin panas mendekati Konferwil PWI Lampung awal Desember ini.

    Dengan tagline “Merawat Marwah Wartawan” dan Mengembalikan Marwah PWI kepada Anggotanya” sejak awal mulai kasak-kusuk pencalonan ketua PWI Lampung, saya berharap PWI yang akan datang semakin tegak melangkah dengan martabatnya.

    Dosa rasanya cuma asyik masyuk memoles media sendiri, sata merasa mungkin sudah saatnya untuk bersama teman-teman seprofesi dan para stakeholder kembali ke khitoh, PWI sebagai wadah organisasi wartawan, saling asih dan asuh.

    Kita lihat mata batin semua anggota PWI Lampung di Konferwil PWI Lampung beberapa pekan lagi.

    Tabik pun

    *Eks Redaktur Liputan SKH Lampung Pos.
    * Kontributor Tempo.
    * Eks Pimred RMOLLampung.
    * Pimum Lampung.Poskota.co.id

  • Menjadi Guru Pembelajar

    Menjadi Guru Pembelajar

    Pandemi Covid-19, merupakan musibah yang tengah melanda diseluruh belahan dunia, dan memberikan dampak yang luar biasa disegala aspek kehidupan, tidak terkecuali pada bidang pendidikan.

    Sebelum adanya pandemi sistem pembelajaran di Indonesia dilaksanakan secara tatap muka atau luring (luar jaringan). Namun pada masa pandemi sistem pembelajaran dilaksanakan secara daring (dalam jaringan).

    Tentu hal ini merubah semua kebiasaan pendidikan, baik itu dalam proses pembelajaran maupun evaluasinya. Secara tidak langsung, sistem pembelajaran secara daring menuntut kompetensi seorang guru untuk ditingkatkan.

    Berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor: 36962/MPK.A/2020 mengenai pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) pada tanggal 17 Maret 2020.

    Dalam lampiran surat edaran tersebut, Mendikbud merekomendasikan beberapa platform pembelajaran untuk menunjang kegiatan belajar mengajar antara lain; Rumah Belajar, Google G Suites for Education, Kelas Pintar, Microsoft Office 365, Quipper School, Sekolah Online Ruang Guru, Sekolahmu dan Zenius. Sehingga seyogyanya kegiatan belajar dan mengajar berlangsung efektif dan lancar walaupun dilaksanakan secara daring.

    Sebuah pepatah “ada pelangi dalam hujan” memberikan sebuah gambaran yang tepat bahwa dalam sebuah musibah akan ada hikmah di dalamnya. Sama halnya dengan pandemi Covid-19 ini memberikan hikmah yang luar biasa bagi guru dalam meningkatkan kompetensi guru abad 21 dimana seorang guru dituntut untuk mampu berfikir secara kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif.

    Pembelajaran secara daring memotivasi guru untuk melek teknologi informasi dan komunikasi dan memahami literasi digital terlebih pada saat ini guru mengajar generasi Z yang notabennya mereka sangat dekat dengan teknologi dan digitalisasi.

    Oleh sebab itu, guru harus terus belajar bagaimana meramu sistem pembelajaran. Menyusun silabus, dan metode pembelajaran berbasis pola belajar digital yang menarik dan inovatif agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasaran pembelajaran.

    Dan juga tentunya, guru harus memahmai kecakapan, keamanan, etika dan budaya digital sehingga proses belajar mengajar akan sesuai dengan tujuan dan kompetensi yang diinginkan.

    Dalam kegiatan belajar dan mengajar guru dapat mengintegrasikan berbagai platform pembelajaran yang direkomendasikan oleh Mendikbud dan media sosial dalam menunjang proses pembelajaran.

    Sebagai contoh. Guru bisa memanfaatkan youtube atau aplikasi tiktok untuk membuat video pembelajaran yang kreatif dan bisa diakses oleh siswa dimanapun berada dan guru juga bisa menggunakan google classroom, zoom meeting dan google meeting untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Oleh karenanya, keaktifan serta kreatifitas guru akan sangan menentukan penggunaan platfrom pembelajaran yang telah ada.

    Selain itu, dalam pembelajaran dan evaluasi pembelajaran, guru bisa menggunakan sosial media seperti WhatsApp, Instagram, blog dan Facebook. Dalam pembelajaran misalkan, guru bisa memberikan materi pelajaran memalui media sosia tersebut, betiupun dengan siswa bisa mengunggah hasil belajar atau tugas melalui aplikasi tersebut.

    Sehingga guru dan siswa tentunya harus mengetahui, memahami kegunaan dan kemanfaatannya masing-masing aflikasi agar tidak kesalahan penggunaan.

    Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guru dalam meningkatkan kompetensi abad 21, antara lain; guru bisa mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh MGMP, aktif dalam berbagai pelatihan, seminar dan workshop,

    Juga diskusi dengan teman sejawat dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, banyak membaca dan belajar secara autodidak, mencari berbagai referensi strategi pembelajaran dari jurnal, internet, youtube dan berbagai sumber lainnya serta bersama rekan sejawat melakukan aktifitas peer teaching dan peer coaching.

    Selain itu, guru juga bisa turut aktif mengikuti program peningkatan kompetensi guru dibidang literasi digital yang diselenggarakan oleh Mendikbud seperti mengikuti kegiatan pembelajaran berbasis TIK atau (PembaTIK) di portal Rumah Belajar.

    Sehingga meskipun dimasa pandemi ini kegiatan belajar dan mengajar tidak bisa dilakukan secara tatap muka, melalui program pembaTIK ini guru bisa tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara online dengan baik melalui pemanfaatan teknologi digital.

    Intan Widora, S.Pd., Gr, salah satu guru sekolah menengah pertama di kabupaten PRingsewu yang juga duta rumah belajar provinsi Lampung tahun 2020 mengatakan bahwa program PembaTIK sangat baik untuk meningkatkan kompetensi guru karena guru bisa belajar secara mandiri.

    Dan juga melalui kegiatan diklat ini guru juga bisa meningkatkan jejaring Komunitas Sahabat Rumah Belajar (SRB) karena mereka bisa bertemu dengan seluruh guru dari sabang sampai merauke melalui LMS (learning Management System) dikelas simpatik.belajar.kemendikbud.go.id.

    Oleh karena itu. guru memiliki peran utama dalam pendidikan. Sehingga guru harus terus menjadi pembelajar yang senantiasa upgrade keahlian dan pengetahuan, karena zaman terus berubah dan tantangan kedepan semakin besar serta bervariatif.

    Sehingga guru harus mampu mendidik siswa sesuai zamannya dan berkompetensi dalam falkutatifnya. Mengikuti pelatihan, seminar, workshop, peer-teaching, diklat, kolaborasi, mencari pengetahuan dan tutorial strategi pembelajaran dan media pembelajaran melaui internet dan lain-lain, merupakan cara guru untuk meninggkatkan kompetensi baik itu kognitif, afektif dan psikomotorik. Maka guru ideal dan unggul dapat terlahir, dan dapat menjawab segala bentuk tantangan zaman. ***

    Penulis adalah Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Pringsewu, Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang.