Kategori: Opini

  • Angkuh Ketika Berkuasa Menyesal Setelah Pensiun

    Angkuh Ketika Berkuasa Menyesal Setelah Pensiun

    Banyak sekali contoh orang-orang yang bersikap angkuh, sombong, dan sok kuat ketika mereka sedang berkuasa. Tetapi, begitu pensiun, barulah tersentak bahwa kekuasaan yang diangkuhkan itu akhirnya hilang juga. Fisik pun melemah dan makin lemah. Anak-buah yang selama ini selalu “siap-gerak!”, tidak ada lagi.

    Kemarin masih Panglima TNI, Pangkostrad, Pangdam, Danjen, Kapolri, Kapolda, Kabareskrim, dan lain sebagainnya. Hari ini bisa lepas semuanya. Tidak ada lagi bintang di bahu. Tidak ada lagi hormat di gerbang. Sirna sudah semua kehebatan yang dibangun selama puluhan tahun itu.

    Kini, usia mencapai 58 tahun. Posisi hebat itu diduduki orang lain. Sebentar lagi 60 tahun. Setelah itu, perlahan menuju liang kubur. Sampailah saatnya Malaikat Maut datang memenuhi perintah Pemilik Nyawa dan janji ajal.

    Semua tanda pangkat yang dibangga-banggakan selama masih berdinas aktif. Berbagai penghargaan yang disematkan di dada, ternyata tidak dihitung oleh Pencabut Nyawa. Bahkan, meminta untuk penundaan sedetik pun tidak dipenuhi.

    Malaikat Maut datang dengan tampilan yang sesuai dengan cara hidup orang yang akan diakhiri hayatnya. Kalau tempohari sombong, mengancam-ancam, apalagi sampai mengatakan, “Jangan coba-coba ganggu, saya panglimanya, akan saya hajar nanti”. Maka kelak si Pencabut Nyawa (Izrail) akan datang dengan gaya angkuh juga.

    Seramnya, keangkuhan Izrail tidak bisa dilawan oleh siapa saja. Masih aktif, segar-bugar, dengan pangkat jenderal penuh pun tak sanggup menatap Izrail. Apalagi cuma seorang pensiunan yang terbaring lemah. Yang tak bisa lagi berkata-kata. Tak juga bisa lagi meneguk setetes air.

    Panser, senjata laras panjang, pasukan gagah-berani yang dipamerkan semasa hidup dulu, ternyata hari ini tidak bisa menolong Jenderal Angkuh (Purn) ketika dia menghadapi sakaratul maut. Jenderal yang 30 tahun silam mengucapkan “Saya panglimanya”, hari ini diantarkan ke liang lahat.

    Paling-paling penghormatan terakhirnya diberikan dalam bentuk tembakan salvo di upacara pemakaman. Setelah itu, Jenderal Angkuh (Purn) harus menjalani proses identifikasi di depan Munkar dan Nakir. Inilah dua malaikat yang bertugas untuk menanyakan beberapa hal fundamental kepada Jenderal Angkuh (Purn). Mereka tidak menanyakan berapa bintang yang dulu melekat di bahu. Tidak juga bertanya tentang harta-benda dan tanda jasa.

    Di liang kubur, Jenderal Angkuh (Purn) akan menjalani interogasi yang mengerikan. Kedua malaikat itu akan berwujud sangat menakutkan. Mereka lebih angkuh, lebih seram, dan lebih brutal dari sang jenderal. Jika catatan keangkuhan mendominasi riwayat hidup, maka bisa dipastikan perjalanan berikutnya akan sangat berat. Begitu sabda Nabi.

    Interogasi kuburan yang penuh horor itu baru sekadar “starter” saja. Estafet berikutnya adalah alam penantian. Di alam yang disebut “barzakh” itu, kepada setiap orang akan ditunjukkan destinasi finalnya. Diperlihatkan pagi dan petang.

    Orang yang angkuh, sombong dan memusuhi perjuangan di jalan Allah, akan melihat di mana dia akan menjalani “rehabilitasi”. Penyandang kesombongan dan keangkuhan adalah orang yang sangat dimurkai Allah ‘Azza wa Jalla.

    Jadi, wahai orang-orang yang masih segar-bugar dengan kekuasaan yang besar. Anda tak perlu tamasya spiritual ke alam ghaib untuk menelusuri tempat kembali orang-orang yang sombong. Anda cukup merasapi penderitaan batin orang-orang yang angkuh ketika berkuasa, tetapi menyesal setelah pensiun.

    Menyesal tidak melakukan ini dan itu. Menyesal telah menzalami para pejuang keadilan. Menyesal menghalangi perjuangan. Menyesal, menyesal, dan menyesal tak bersambut. Hingga Malaikat Maut datang menjeput.

    Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

  • Buku Sebagai Media Transplantasi Otak

    Buku Sebagai Media Transplantasi Otak

    Penulis : Randy Septian

     Buku kerap disebut sebagai jendela dunia, bahkan pada era digital seperti sekarang ini buku yang sempat diprediksi banyak kalangan akan punah karena berganti dengan gadget dan teknologi canggih lainnya lewat internet masih menunjukkan eksistensinya.

    Originalitas buku dianggap menjadi faktor terpenting sehingga buku masih memberikan perlawanan kepada kata yang disebut Googling.

    Beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa buku masih eksis dan menjadi pilihan utama adalah tingkat kepercayaan orang terhadap penulisnya.

    Artinya apa? sebagai penulis kita diwajibkan memiliki integritas kuat dan karakter yang khas sehingga dapat memiliki penggemar tersendiri yang selalu menunggu terbitnya hasil karya kita.

    Kekuatan Buku Mengubah Pola Fikir

    Saya pernah memiliki pengalaman di dunia Network Marketing, saat itu sebuah perusahaan dari Malaysia yang menjadi suplayer suplemen kesehatan tersebut memiliki ribuan marketing yang tersebar di seluruh penjuru dunia untuk memasarkan produk dari perusahaan.

    Strategi perusahaan yang menjadikan para seller/distributor sebagai independent business owner membuat seller berkreasi untuk memperbesar omsetnya.

    Yang menarik dari itu semua adalah, dari kesuksesan para seller dalam memperbesar omset sehingga keuntungan yang didapat makin membesar karena ada peran “buku” dari kesuksesan seller tersebut.

    Seller sukses lebih tertarik menjual buku dibandingkan dengan menjual produk yang menjadi objek untuk menghasilkan omset.

    Dengan kata lain, seller sukses memberikan porsi lebih untuk menjual buku kepada toko retail dibandingkan suplemen kesehatan yang merupakan produk kesehatan.

    Tujuannya tentu agar owner toko dapat bengubah pola fikirnya lewat buku dan dapat lebih maksimal dalam memasarkan produk suplemen kesehatan itu dan terbukti, omset yang dihasilkan seller yang fokus mengubah pola fikir jauh lebih besar dibandingkan seller yang fokus dengan produk perusahaan.

    Artinya, jika pemilik toko memiliki pola fikir yang satu frekuensi dengan seller hasil yang didapat akan lebih baik. Media yang dipakai untuk menyamakan frekuensi/cara berfikir tersebut adalah Buku.

    Transplantasi Otak

    Kita coba berimajinasi yang lebih radikal lagi, “apakah anda pernah mendengar istilah transplantasi?”

    Ya, transplantasi adalah pemindahan jaringan tubuh dari satu tempat ke tempat lain dan atau pencangkokan.

    Ada banyak jenis organ yang bisa didonorkan dan ditransplantasi, seperti ginjal, hati, jantung, paru-paru, kornea, dan pankreas. Prosedur pemindahan organ ini bisa menyelamatkan nyawa penerimanya.

    Saya kutip dari cerita sahabat saya Pemimpin Perusahaan Surat Kabar Lampung Ekspres Adolf Ayatullah Indrajaya pada 2011 yang lalu, dosennya di Universitas Gajah Mada (UGM) pernah bertanya, Jika suatu saat pemimpin perusahaan Microsoft Bill Gates mendapatkan musibah besar yang menyebabkan seluruh harta dan asetnya habis, tinggal menyisakan pakaian di badan, apakah Bill Gates bisa kembali sukses?

    Jawabannya adalah “bisa”, karena orang sekelas Bill Gates memiliki pola fikir yang sudah matang didunia bisnis, dan jika dia membutuhkan modal untuk merintis ulang, maka dia akan dengan mudah mendapatkan pinjaman modal.

    Tentu orang seperti Warren Buffett akan memberikan pinjaman modal meski dalam jumlah yang besar karena dimatanya Bill Gates merupakan sosok besar dan memiliki integritas.

    Artinya apa? Sukses itu bagaimana pola fikir kita.

    Mari kita kembali lagi ke transplantasi dan coba kita bayangkan bahwa ada sebuah alat yang bisa mentransplantasi otak Bill Gates dan dipindah ke otak kita, sehingga kita memiliki pola fikir seperti Bill Gates. Kita akan sukses seperti Bill Gates jika cara berpikirnya seperti Bill Gates.

    Namun sayangnya “alat itu tidak ada”, belum ada teknologi yang bisa mentransplantasi otak manusia. Nah, teknologi yang paling mendekati dari alat yang saya ceritakan diatas adalah “buku”.

    Anda bisa makan malam dengan Robert T Kiyosaki (penulis buku Cast Flow Quadrant) artinya sambil makan sambil membaca buku karangan Robert T Kiyosaki, anda juga bisa ke kamar mandi dengan Allan Pease (penulis Question Are the Answer) dan kegiatan lainnya. Dan istimewanya buku, mereka tidak akan protes saat anda membaca buku sambil duduk di closet, ini ada dimana? Kenapa bau? Atau yang lain.

    Dari semua penjabaran diatas, tentu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jendela dunia tidak akan tergantikan, dan buku masih menjadi pilihan terbaik sampai akhir masa. Buku tak akan punah dimakan zaman.

    Jika para pemuda di Indonesia memiliki budaya mengkonsumsi/membaca buku, saya yakin dan percaya bahwa Indonesia akan jaya dan semakin jaya pada masa yang akan datang.

    Selamat hari Sumpah Pemuda!

  • Konferensi PWI Lampung, Pragmatisme dan Sebungkus Permen

    Konferensi PWI Lampung, Pragmatisme dan Sebungkus Permen

    @Iwaperkasa

    Pelaku Pers tidak boleh gagu dan menjadi pengecut untuk mengakui bahwa sikap pragmatis yang masih terus menggejala hingga kini tidak akan memberikan keuntungan apa pun, kecuali hanya untuk sekelompok orang.

    Sudah saatnya insan pers melakukan self-correction untuk menemukan keluhuran martabatnya, yakni sebagai ‘anjing penjaga’ kemerdekaan.

    Pers wajib solid, kekuatannya tak boleh padam. Pers yang merdeka tidak pragmatisme-partisan. Pers yang merdeka tidak melacur, berteriak keras terhadap sesuatu yang tak sesuai norma hukum sosial di masyakarat, tapi diam-diam mempraktikannya sendiri demi kepentingan ekonomi sendiri-sendiri atau kelompok.

    Maaf, tiga paragraf di atas saya tulis khusus untuk memberi warna pada gelaran suksesi kepengurusan PWI Lampung dengan harapan siapa pun ketua terpilih adalah sosok yang mampu menyatukan, tulus dan memiliki orientasi yang kuat untuk memajukan organisasi dan seluruh anggotanya.

    Tentang Konferensi PWI Lampung, sesungguhnya bukan cuma sebuah peristiwa memilih ketua pengganti. Lebih dari itu, peristiwa konferensi adalah sebuah ajang perenungan agar bisa menjawab pertanyaan: “siapa dan bagaimana kita selama Ini” berkumpul untuk memberikan suara adalah perkara mudah, bahkan oleh kanak-kanak yang biasanya mudah disatukan dengan sebungkus permen.

    Berkumpulnya para praktisi pers seharusnya bisa menemukan dan mengakui kesalahan-ketidakpatutan di masa lalu, untuk diperbaiki, bukan mendiamkan seolah-olah semua baik-baik saja.

    Siapa pun boleh maju menjadi ketua sepanjang memenuhi syarat-syarat administratif pencalonan. Tetapi, sebagai organisasi pers terbesar dan paling disegani, Konferensi PWI Lampung sebaiknya memberi contoh atau teladan yang baik kepada publik, terutama kepada wartawan-wartawan baru yang kini tumbuh subur. Saatnya, konferensi PWI di daerah membuka katub, melepaskan ‘tali pengikat karung’ untuk memastikan tak ada ‘kucing garong’ di dalamnya.

    Dalam sebuah diskusi singkat tanpa kopi semalam, teman sejawat, Oyos Suroso mengatakan perlu adanya forum debat kandidat untuk membedah kapasitas dan kualitas serta rekam jejak calon ketua.

    Hal itu biasa dilakukan di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) tempat Bang Oyos bernaung.

    Bang Oyos mengatakan, dengan membedah kapasitas dan rekam jejak calon, pemilih diharapkan dapat menentukan pilihannya dengan baik. Menurutnya, politisasi adalah keniscayaan pada sebuah perhelatan pemilihan yang pasti akan memberi warna persaingan/benturan. Namun persaingan yang sehat seharusnya terpelihara dan juga bersih dari unsur pragmatisme sesaat.

    Pragmatisme melulu ditandai oleh persaingan antar kelompok dan menjadi ladang subur tumbuhnya politik uang.Politik uang adalah musuh bersama dimana pers paling sering melantangannya. Corong pelantang itu mesti mengarah ke seluruh penjuru, terdengar keras keluar, terdengar nyaring ke dalam.Akhirnya, saya kembali mengkopi paste paragraf ke tiga di bawah ini dengan maksud dapat menjadi sebuah bahan perenungan untuk PWI yang saya banggakan.

    Pers yang merdeka tidak melacur, berteriak keras terhadap sesuatu yang tak sesuai norma hukum sosial di masyakarat, tapi diam-diam mempraktikannya sendiri demi kepentingan ekonomi sendiri-sendiri atau kelompok. (*/Iwan)

  • Tulisan Wartawan Lebih “Dahsyat” dari Moncong AK 47 

    Tulisan Wartawan Lebih “Dahsyat” dari Moncong AK 47 

    Oleh : Wahyudi S.A.P

    Perkembangan media media siber (online) tumbuh berkembang sangat pesat di Indonesia, tak terkecuali di Lampung. Sebuah media tidak terlepas dengan sebuah profesi jurnalis (wartawan) dan yang menghasilkan produk jurnalistik. Jangan lupa, sebuah jurnalis harus menjunjung tinggi nilai-nilai kode etik profesi.

    Dalam semua lini aspek kehidupan, Kami sangat memahami bahwa tulisan/pena seorang jurnalis satu tulisan, bisa mengena ribuan pasang mata pembaca di dunia. Bahkan lebih dahsyat moncong AK 47 atau alat perang yang canggih sekali pun, bila membidik musuh hanya dengan satu arah dan keterbatasan amunisi.

    Bahkan tulisan, bisa mematikan karakter seseorang, dengan begitu cepat dan mudah, apalagi saat zaman dunia globalisasi dan digitalisasi saat ini.

    Akan tetapi, perlu diingat bahwa suatu tulisan atau gagasan yang dituangkan melalui tinta dan diasumsi publik yang bersifat ‘negatif’ akan mudah diingat, meski kebaikan yang pernah dilakukan tentu akan terlindas oleh keburukan.

    Jurnalis, harus pandai dan pintar dalam memilih dan menyematkan kata-kata yang baku dan mudah di pahami oleh pembaca.

    Jangan sampai, hanya alasan pembaca, berita cepat, kemudian kita mudah menghujat seseorang atau sekelompok dan menyalahkan orang lain dengan alih-alih wartawan yang merasa dilindungi undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

    Sesuai isi kode etik jurnalistik, dilansir dari laman resmi Dewan Pers Indonesia, dijelaskan isi-isi dari kode etik jurnalistik, yaitu:

    Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.

    Pasal 2, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

    Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

    Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

    Pasal 5, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

    Pasal 6, wartawan Indonesia tidak menyalagunakan profesi dan tidak menerima suap.

    Pasal 7, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaanya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

    Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

    Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

    Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa.

    Pasal 11, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

    Ketentuan 11 pasal ini, yang harus di junjung tinggi dan genggaman sebagai wartawan. Jangan sampai pewarta pemula sebagai alat untuk menghujat dan menghakimi seseorang tanpa dasar, bahkan menyalahkan pekerjaan sampai mematikan karakter seseorang.

    Sebagai jurnalis, kita harus selalu Tabayyun dalam memunculkan dan memuat pemberitaan yang akan di asumsi publik, serta melakukan verifikasi kebenaran informasi agar publik tidak gusar dan bertanya tentang kebenaran informasi tersebut.

    Saya berpesan kepada temen sejawan satu profesi, ‘wartawan’ bukan menjadi alat kendaraan yang di tunggangi oknum yang memiliki ambisi tertentu, sehingga untuk mencapai tujuan yang tidak dibenarkan dalam karya jurnalistik.

    Salam jurnalis….!

  • Catatan Jelang Konferensi PWI Lampung: Era Baru PWI Kita

    Catatan Jelang Konferensi PWI Lampung: Era Baru PWI Kita

    Tabik pun, nabik tabik. Tabik dikuti rumpok, Sikandua haga numpang cawa. Cawa puuuuun.

    Ketua PWI Itu Amanah, Bukan Prestise!

    Saat-saat ini di komunitas insan pers Lampung mulai marak beredar nama-nama yang disebut-sebut, juga menyebut diri, siap untuk jadi Ketua PWI Lampung. Ketua organisasi profesi wartawan tertua, terbesar dan paling bergengsi yang mewadahi insan-insan pers di sini. Saat ini Ketua PWI-nya, Supriyadi Alfian.

    Nama yang beredar? Iskandar Zulkarnain, Nizwar Ghazali, Wirahadikusumah, Juniardi, Herman Batin Mangku dll. Kesemuanya nama-nama wartawan senior, punya citra wartawan yang kuat serta tentu saja asumsi kapasitas, kapabilitas dan integritas untuk mengayomi 600-an anggota PWI masih ditambah lagi ribuan wartawan yang belum jadi anggota karena masih anggota muda, anggota luar biasa atau calon anggota.

    Jadi Ketua PWI itu otomatis didapuk jadi bapaknya wartawan di Lampung. Amanah yang besar. Buat banyak orang semacam prestise, bergengsi sekali.

    Jangan Pilih Calon Ketua yang Bukan Wartawan

    Yang pantas jadi Ketua PWI, ketua organisasi wartawan, ya wartawan. Dia yang memahami persis atmosfer, dinamika, potensi dan terutama kepentingan profesi baik dalam konteks marwah juga soal periuk nafkah. Ketua PWI yang bergengsi dan suka diundang-undang pejabat itu mulutnya harus jadi penyambung aspirasi.

    Wartawan sekarang galau karena dunia berubah. Ketua PWI lah yang kudu berpikir paling komprehensif untuk kemudian meneriakkan keras-keras ke kuping semua pemangku kepentingan. Kalau Ketua PWI-nya bukan wartawan, mana paham dia untuk membawa bahtera besar ini menggantang perubahan jaman.

    Apalagi kalau Ketua PWI sampai punya mental pokrol gaya makelar. Otaknya bakal keruh dan hanya melihat komunitas insan pers sebagai komoditas jualan. Kalau ada yang mau jadi Ketua PWI cuman untuk mengutip jatah preman, paket PL apalagi sekadar parlente kelas teri, jangan dipilih. Pilih Ketua PWI yang wartawan, yang benar-benar mampu berjuang untuk menjaga marwah profesi.

    Ketua PWI Jangan Jadi Centeng-Jongos

    Oke, kita sekarang bikin daftar prioritas kualifikasi seorang Ketua PWI. Kita mau seorang ketua yang paling pertama harus apa? Berikutnya, harus apa lagi dengan parameter terukur dimana kualifikasi itu punya poin yang bisa diakumulasikan sehingga calon yang bijinya paling gede jadi yang paling pantas.

    Ada kawan yang nyeletuk, “Ketua PWI kudu deket dengan gubernur, walikota dan bupati! Tambah lagi, Bung. Ketua PWI kudu akrab sama bos-bos dan pengusaha!” Dekat dengan sumbu kekuasaan dan sumbu kekayaan tentu saja enak. Bisa bikin berkuasa, bisa bikin kaya raya. Boleh-boleh saja faktor itu jadi salah satu yang diperhitungkan.

    Tapi coba dipikir lagi lebih mendalam. Kalau kedekatan itu hanya dipergunakan untuk masuk ke dalam lingkar kekuasaan atawa menumpuk pundi pribadi, maka ketua model begini pasti jadi lalim, keji, bengis dan kacrut. Organisasi Profesi kudu mampu memberi nilai tambah buat anggota-anggotanya. Ketuanya harus mampu membuat anggota-anggotanya lebih baik, lebih cerdas, lebih sejahtera. Bukan cuman bangik sendiri.

    Dekat itu artinya dia punya akses untuk menjadi penyambung lidah. Tapi, jangan jadi jongos penguasa. Jangan sampai bapaknya wartawan se-Lampung malah jadi centeng para pejabat dan bos-bos buat menindas wartawan!

    Ini Era Baru, yang Kolot Mohon Sadar Diri

    Tiga tulisan sebelumnya dari serial tulisan ini, walau tidak terlalu mengejutkan, banyak direspon dengan ragam sikap yang warna-warni. Ada beberapa senior yang sudah duduk di jabatan elite, sobat-sohib yang walau bukan wartawan tapi kawan wartawannya banyak nian, adik-adik yang masih berkelindan dengan riuh-rendahnya situasi liputan dan beberapa kawan lain yang sama merespon dengan antusias.

    Ada satu benang merah yang paling tidak bisa kutarik, nyaris semuanya sepaham kalau jurnalisme masa kini adalah era baru. Dimana-mana masa transisi, tentu ada saja kaum kolot yang bergeming. Mungkin sudah nyaman dengan suasananya atau terlanjur kaya raya utawi nyaman punya kuasa.

    Wartawan dan perusahaan pers jaman sekarang beda dengan sepuluh, lima belas tahun lalu. Tapi posisinya tetap strategis. Banyak nian pihak-pihak yang akan terus mencoba menyelip-nyelipkan agenda. “Menguasai” rantai dan jalur informasi –walau jelas tidak mungkin absolut– adalah previlese yang sangat menggiurkan. Jangan sampai pers, organisasi profesi dan wartawannya dikooptasi.

    Buatku, yang kolot mohon sadar diri. Perusahaan Pers tak akan pernah ideal jika menyusu kepada sumbu kekuasaan. Diorang juga kemana-mana bilang kalau pers itu mitra. Masak, kita yang ada di dalam komunitas ini masih enggan percaya diri kalau independensi adalah sebuah keniscayaan. Kalau tak lagi punya pi’il, hancurlah kita.

    Kolot bukan berarti tua secara usia, tetapi kolot dalam pola pikir dan masih menganggap kalau relasi antara ketua-anggota adalah patron-klien. Apalagi kalau sampai punya pikiran, pers adalah alat untuk menggapai tujuan kotor.

    Sudah waktunya PWI di Lampung dikomandani oleh anak muda dengan wawasan 4.0 yang progresif. PWI dan anggotanya kudu menjadi contoh karena wartawan itu profesi mulia. Jangan gadaikan marwah hanya untuk sekadar amplop apalagi membasah-basahi lidah untuk menjilat ke sesiapa yang menganggap wartawan itu nyamuk pengganggu.

    Yang kolot mohon sadar diri, waktunya PWI jadi gerbong menyongsong era baru. Era disrupsi tapi jadi peluang besar untuk semakin menguatkan idealisme diri dan profesi. Pernyataan terakhir, “Bung dolop mo nyalon Ketua PWI nggak?” Kalau yang nafsu-nafsu maju nanti cuma bakal bikin malu organisasi kita ini, usah heran nanti kalau besok itu aku bakal sedikit usil. Percaya deh! (***)

    Tabik pun, nabik tabik, Sikandua kilu mahap, Numpang liyu puuuun.

    Penulis adalah Pengurus PWI Lampung Priode 2016-2021

  • Konferensi PWI Kartu Mati dan Mandat?

    Konferensi PWI Kartu Mati dan Mandat?

    Umumnya, dalam sebuah organisasi keputusan memilik kepemimpinan dan pengurus dapat diambil melalui tiga cara, mulai dari proses pemungutan suara. Apabila cara musyawarah tidak berhasil maka ditempuh cara pemungutan suara atau voting. Dalam voting pendapat yang memperoleh suara terbanyak menjadi keputusan bersama.

    Kemudian ada cara aklamasi, yaitu pernyataan setuju secara lisan dari seluruh anggota kelompok. Pernyataan setuju dilakukan tanpa melalui pemungutan suara. Pernyataan setuju dilakukan untuk melahirkan keputusan bersama, dan atau bisa juga dengan penunjukkan langsung, yaitu pemilihan pengurus dapat dilakukan dengan cara ditunjuk langsung oleh para anggotanya.

    Persatuan Wartawan Indonesia selanjutnya dikenal dengan nama PWI adalah organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia. PWI berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta bertepatan dengam Hari Pers Nasional. Saat ini PWI dipimpin oleh Atal Sembiring Depari selaku ketua umum yang menjabat sejak 2018 hingga 2023.

    Jabatan Ketua PWI Lampung yang dua priode di Pimpin Supriadi Alfian akan segera berakhir medio 8 November 2021. Untuk mengantikan jabatan ketua dan pengurus 2011-2016 ke priode berikutnya, makan akan digelar pemilihan, dalam Konferensi PWI Provinsi Lampung yang segera di gelar di tahun 2021.

    Pemilihan ketua pada organisasi wartawan tertua itu menjadi seksi, dan banyak mencuri perhatian, tidak hanya publik tapi juga para pejabat, politisi hingga penguasa dan pengusaha. Beberapa pengurus hingga senior di PWI Provinsi Lampung, mulai melakukan penjajakan untuk maju sebagai ketua.

    Mereka mulai mencari simpati, hingga gerilya, hingga hitungan hitungan matematika kartu anggota PWI lampung yang berkisar mencapai 500-an anggota, minus kartu yang habis masa berlakunya.

    Dalam konstelasi pemilihan ketua PWI di Lampung 10 tahun terakhir, memang ada sebuat pola yang dilakukan kandidat dengan pola mandat. Dan hal itu sepertinya tidak lagi bicara kualitas, senioritas, integritas, loyalitas hingga pantas tidak pantas, karena itu semua bisa digilas karena mandat itu bicara dengan pulus kertas.

    Racun uang kertas, atau jika di Pilkada disebut money politik, itu juga bagian kecurangan yang dilakukan terstruktur, sistimatik dan masif, karena berebut gengsi jabatan bukan lagi bicara kepentingan organisasi, entah apa orentasinya hehehe.

    Bahkan ada kandidat yang mulai melakukan strategi mengumpulkan kartu-kartu anggota PWI yang aktif dan disodorkan tanda tangan untuk memberikan surat mandat, bahkan sampai pola menghambat para anggota yang mengurus perpanjangan kartu, jika tidak mau mendukung.

    Jika mendukung maka bisa di percepat, dan kartu kemudian di sandra. Jika tidak mendukung maka akan dihambat hinga berbulan bulan, bahkan ada senior PWI yang bertahun-tahun tidak diperpanjang dengan berbagai alasan tentunya.

    Ada kandidat yang juga mulai menghitung nilai satu kartu anggota dengan sejumlah pulus. Dengan hitungan dukungan minimal 50 plus satu dari total jumlah suara yang memiliki hak pilih. Dan untuk itu mereka harus soan dengan para penguasa dan pengusaha sebagai penunjang (modal, Red).

    Mengapa harus mandat, karena itu cara jitu untuk memaksa dapat dukungan. Karena mereka yang menyerahkan mandat, tidak bisa lagi lari dai dukungan. AD ART memperbolehkan pola memberikan mandat itu jika memang kondisi benar benar berhalangan hadir (dalam arti halangan sakit  musibah, dll).

    Tapi jika berhalangan hadir dengan mandat dalam jumlah besar, apakah itu tidak menjadi unsur kesengajaan, menghambat dan merusak proses demokrasi, karena yang melakukan hal hal itu adalah upaya memaksakan kehendak, dan takut kalah dalam kompetisi.

    Berpikir ideal, saya membayangkan saat pemilihan ketua kelas, atau saat pemilihan saya menjadi presiden mahasiswa dulu, tidak mengenal gaya-gaya Black Campaign, dan menggunakan Influencer Marketing, atau menggunakan kekuatan penguasa.

    Tapi melakukan kerja kerja positif, bersaing program kerja, hingga kampanye sehat semua diberi panggung yang sama, karena audensi tidak diintervensi, seperti pemilihan Kades jaman dulu, yang masih gunakan intimidasi dan kekerasan untuk menjadi pemimpin.

    Karena jika prosesnya saja tidak lagi demokrais, dan cara-cara culas maka tidak salah jika terkadang melahirkan pemimpin yang berorentasi kepada pulus, dengan metode menjual nama organisasi, dan melacurkan organisasi untuk kepentingan pribadi, padahal jelas ini dosa dan melanggar aturan organisasi, meski dilakukan tertutup.

    Karena sebagai organisasi profesi yang besar itu dibutuhkan pemimpin yang profesiaonal yang makna profesionalismenya memberikan jaminan perlindungan kepada kesejahteraan masyarakat umum (anggota organisasi,Red).

    Kemudian profesionalisme pemimpin untuk memperbaiki kepemimpinan yang selama ini dianggap kurang bagus, dan memberikan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan pemimpin dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensi yang di milikinya.

    Tidak sedikit keluhan hingga kekecewaan para anggota organisasi, yang kemudian memicu banyak anggotanya memilih berorganisasi di luar atau membentuk organisasi sendiri. Karena umumnya mereka kecewa dengan orientasinya pemimpin yang berorientasi kepentingan pribadi dan kelompok, tidak menjaga dan menyelamatkan anggota dalam satu profesi.

    Seperti dalam PD-PRT, KEJ, Dan Kode Perilaku Wartawan PWI, pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan PWI adalah :
    Tercapainya cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan  Undang-Undang Dasar 1945; Terlaksananya kehidupan demokrasi, berbangsa dan bernegara serta kemerdekaan menyatakan pendapat dan berserikat;

    Kemudian terwujudnya kemerdekaan Pers Nasional yang profesional, bermartabat, dan beradab; Terpenuhinya hak publik memperoleh informasi yang tepat, akurat, dan benar; dan Terwujudnya tugas pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik.

    Seperti kata para pendiri PWI yang berharap ada jaminan kemerdekaan pers yang independen dan berkerja efektif, sehingga dapat melahirkan “media watch” yang independen. Untuk itu saya nyalon ketua PWI. Salam. ***

    Penulis adalah Pengurus PWI Lampung, dan Pimred Sinarlampung.co

  • Ada Apa dengan Vaksinasi ‘Icrit-Icrit’ di Lampung?

    Ada Apa dengan Vaksinasi ‘Icrit-Icrit’ di Lampung?

    Oleh Iwa Perkasa

    Presiden sudah memerintahkan pihak terkait menambah droping vaksin untuk Provinsi Lampung. Tapi pencapaian vaksinasi di provinsi ini masih saja rendah, bahkan sangat rendah, masih di bawah 20 persen. Ada apa?

    Bahkan, terakhir sejumlah anggota DPR RI pun juga menjanjikan akan mengupayakan penambahan alokasi vaksin ke daerah ini.

    Tapi sepertinya, kok sulit sekali, padahal minat vaksinasi masyarakat di Lampung untuk vaksinasi sangat tinggi, terbukti lokasi vaksinasi selalu ramai, bahkan kerap menimbulkan kerumunan.

    Yang mengherankan, pelaksanaan vaksinasi di daerah ini terkesan dilakukan tidak terpusat di pusat layanan kesehatan masyarakat, melainkan menjadi ajang kegiatan sejumlah lembaga non bidang kesehatan, bahkan parpol pun ikut mengambil bagian.

    Hingga kini, realisasi pencapaian vaksinasi covid-19 di Provinsi Lampung baru 16,37 persen atau 1.088.046 orang dari target sasaran 6.645.226 orang.

    Angka berdasarkan data resmi Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Lampung per Minggu, 19 September 2021.

    Disebutkan pula bahwa realisasi sebesar 16 koma itu baru dosis pertama. Dosis kedua jauh di bawah itu, yakni 618.067 orang atau 9,30 persen atau masih di bawah 10 persen.

    Untungnya, dari capaian yang masih sangat rendah itu, vaksinasi kepada kelompok sasaran SDM kesehatan dan petugas publik telah 100 persen dosis pertama dan kedua.

    Menurut juru bicara Satgas Penanganan covid-19 Provinsi Lampung dr Reihana, Provinsi Lampung baru menerima 2,1 juta dosis vaksin vovid-19 dari pemerintah pusat. Sedangkan kebutuhan vaksin sebanyak 14.619.497 dosis vaksin.

    Dia mengklaim, pengiriman vaksin ke Lampung mulai berjalan lancar setelah Presiden RI Joko Widodo berkunjung ke Lampung.

    Sekarang, katanya, Lampung memperoleh kiriman vaksin dua sampai tiga kali dalam sepekan dalam jumlah yang berbeda-beda.

    Diketahui, Jokowi datang ke Lampung pada awal September, tapi nyatanya sampai hari ini capaian vaksinasi masih di bawah 20 persen.

    Soal rendahnya capaian vaksinasi di Lampung, memang mengherankan karena secara geografis provinsi ini dekat dengan Jakarta.

    Dan yang mencengangkan, rendahnya realisasi vaksinasi di Lampung telah mengundang respon yang mungkin berlebihan dari Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.

    Pada sebuah kesempatan beberapa hari lalu, ia mengatakan sudah mengusulkan permintaan vaksin kepada pemerintah pusat.

    Bahkan ia menyatakan pemprov siap membeli bila ada yang menjual. Hebat bukan?

  • KONI Lampung, PON XX Papua dan Dugaan Korupsi yang Prematur

    KONI Lampung, PON XX Papua dan Dugaan Korupsi yang Prematur

    KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Provinsi Lampung sejak zaman pemerintahan Bapak Ir. Arinal Djunaidi sebagai Gubernur sudah mulai ada pergeseran kepemimpinan, yang sebelumnya KONI Lampung dipimpin oleh Gubernur Lampung yakni Bapak M. Ridho Ficardo yang pernah digugat dan disoal oleh Komite Pemantau Kebijakan Daerah (KPKAD) Lampung di Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

    Di masa pemerintahan saat ini, Gubernur Lampung Ir. Arinal Djunaidi menolak untuk menjadi Ketua Umum KONI Lampung dengan alasan bahwa taat asas dan taat hukum karena pejabat struktural dan pejabat publik dilarang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 27/PUU-V/2007 terkait penolakan permohonan uji materi Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN).

    Kemudian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.

    Selanjutnya, Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 800/148/sj 2012 tanggal 17 Januari 2012 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah pada Kepengurusan KONI, PSSI Daerah, Klub Sepakbola Profesional dan Amatir. Termasuk Jabatan Publik dan Struktural.

    Terakhir, Surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No B-903 01-15/04/2011 tertanggal 4 April 2011 tentang hasil kajian KPK yang menemukan adanya rangkap jabatan, pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

    Dengan adanya sikap taat asas dan taat hukum ini, KONI Lampung yang berkembang dibawah kepemimpinan pemerintahan Gubernur Lampung Ir. Arinal Djunaidi dengan dinakhodai Ketua Umum (Ketum) KONI Lampung periode 2019-2023 yakni Prof. Dr. Ir M. Yusuf Sulfarano Barusman, MBA diharapkan dapat menerapkan Good Governance di tubuh KONI Lampung.

    Menjelang perhelatan Pekan Olah Raga Nasional (PON) XX tahun 2020 di Papua pada bulan Oktober 2021 mendatang, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Lampung diterpa isu yang tidak menyenangkan.

    Di tengah target KONI Lampung untuk meraih minimal 10 (sepuluh) besar prestasi dalam perhelatan itu, secara bersamaan pula bahwa KONI Lampung diterpa isu bahwa telah terjadi dugaan korupsi atas dana hibah KONI Lampung sebesar Rp30 Miliar.

    Seolah petir di siang bolong, hujan tanpa awan, isu ini menggelinding menjadi konsumsi publik yang seharusnya tidak bergulir di tengah pelaksanaan PON XX tahun 2021. Seolah ada standar ganda, ada oknum yang sengaja “bermain” untuk melemahkan semangat dan memecah konsentrasi para pejuang dunia keolahragaan di Lampung baik Atlet maupun Pengurus KONI Lampung menjelang pelaksanaan PON XX di Papua.

    Isu dugaan korupsi ini, sudah dilakukan penyelidikannya oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Lampung, sebagaimana pernyataan dari Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung Andrie W Setiawan di media terkait hal ini.

    Terkait langkah kejati ini, tentunya kita harus berterima kasih dan apresiasi khususnya bagi para pengurus KONI Lampung, karena minimal dengan adanya pemantauan dan pengawasan dari Kejati Lampung, oknum-oknum pengurus yang tadinya akan punya niat jahat untuk “membancak” dana hibah puluhan miliar ini menjadi berfikir ulang untuk melakukan perbuatannya.

    Sudah menjadi hukum alamnya, dimana ada gula disitu ada semut, dimana ada anggaran disitu ada korupsi dan koruptornya, tinggal saja siapa yang melakukan itu yang akan bertanggung jawab, hal ini sejalan dengan sikap Gubernur Lampung Bapak Ir. Arinal Djunaidi saat melepas kontingen PON XX ke Papua beberapa waktu lalu, yang mengisyaratkan kalaupun (seandainya) dugaan korupsi ini benar terjadi, ada oknumnya sehingga harus dibersihkan dari kepengurusan KONI Lampung.

    Sebagai bukti selama ini bahwa empuknya dana hibah KONI yang sangat rentan di korupsi, ada beberapa daerah sebelumnya, misalkan Tangerang Selatan, Bengkulu dan di Lampung sendiri tahun 2016 terkait Hibah dana KONI dengan total nilai Rp 55 (Lima Puluh Lima) Miliar Rupiah diduga dikorupsi dan bahkan Kejati Lampung menurut informasi yang beredar di masyarakat sudah menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor Print-06/N.8/Fd.1/11/2016 tertanggal 30 November 2016.

    Terkait isu dugaan korupsi dana hibah KONI Lampung senilai 30 (tiga puluh miliar) rupiah tahun 2021, pada dasarnya tidak harus dibesar-besarkan karena proses penggunaan anggaran sedang berjalan, bagaimana kita dapat menyatakan bahwa suatu anggaran telah dikorupsi, jika anggaran sedang diterapkan untuk menyokong pelaksanaan PON XX di Papua saat ini dan belum ada upaya administratif atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tidak dilaksanakan oleh Pengurus KONI Lampung, sehingga terlalu “prematur” untuk statement tentang dugaan korupsi dana hibah KONI Lampung ini.

    Oleh karena terlalu dini (prematur) menyebut hal ini sebagai suatu tindakan dugaan korupsi, maka kami menyerahkan sepenuhnya dan mendukung Langkah Kejati Lampung untuk melakukan penyelidikan dengan sistem pengawasan saat anggaran hibah ini sedang dilaksanakan, disamping telah bekerjanya auditor internal selama ini yang telah disiapkan kepengurusan Prof. Dr. Ir M. Yusuf Sulfarano Barusman, MBA sebagai Ketua Umum KONI Lampung sebagai upaya Good Governance di tubuh KONI Lampung.

    Harapannya dengan publik, termasuk pengerak perubahan, rekan-rekan aktivis mahasiwa, Lembaga Swadaya masyarakat dan rekan- rekan media dan pengamat serta kita semua masyarakat Lampung, sebagai bagian dari masyarakat yang peduli dengan prestasi olah raga di Lampung, terkait polemik dana hibah KONI Lampung ini, kita serahkan sepenuhnya kepada Kejati Lampung untuk melakukan tugas, pokok dan fungsinya dan mari kita support (dukung) sepenuhnya atlet dan kontingen Lampung yang akan menuju Papua sehingga sukses dalam raihan atau capaian target PON XX tahun 2020 dengan peringkat 10 (sepuluh) besar.

    “Jangan biarkan polemik ini menjadi konsumsi Publik yang liar dan seolah menjadi sebuah kebenaran, karena terkadang kebenaran itu datangnya terlambat”. ***

    Penulis adalah Akademis dan Advokad aktif

  • Marah Tanpa Solusi, Itu Ciri Tidak Kompeten

    Marah Tanpa Solusi, Itu Ciri Tidak Kompeten

    Oleh : Juniardi S.Ip, M.H (Praktisi Pers)

    Setiap kita pasti pernah marah, apapun itu sebabnya. Banyak cara orang meluapkan kemarahannya atau bisa saja disesuaikan dengan pemicu kemarahannya. Apalagi pemimpin yang suka marah-marah. Karena lagi trending di Lampung soal pemimpin yang suka marah-marah.

    Dari berbagai referensi menyebutkan hakikat marah itu setidaknya terbagi dua, yaitu pertama marah yang terpuji, yaitu marah yang dilakukan untuk membela diri, membela agama dan membela kehormatan, atau menolong orang yang didzalimi.

    Kedua marah yang tercela, ini merupakan marah yang dilakukan atas dasar balas dendam atau keegoisan diri sendiri. Marah yang tidak untuk menegakkan kebenaran atau marah yang diiringi dengan perbuatan tercela lainnya.

    Lagi serius baca-baca soal pemimpin yang suka marah-marah, tiba-tiba seorang senior ku di kampus mampir, ke ruang kerja. Masuk dengan salam, lalu melirik laptop, “lagi cari regresi sifat pemarah ya,” ucapnya memancing pembicaraan.

    Tanpa diminta dia kemudian cerita, bahwa cara setiap orang untuk meluapkan amarah pasti berbeda-beda. Seolah-olah dia paham  pikiran saya. Maklum, dia senior dalam hati saya. “Salah satunya ketika ada masalah, merasa kesal, maka biasanya secara tidak langsung pasti kerap meluapkan emosi dengan kemarahan,” katanya.

    Namun, dia bilang hal ini dapat menjadi kebiasaan apabila kemarahan tersebut tidak dapat dikontrol. Karena umumnya memiliki jiwa pemarah membuat orang menjadi seorang yang pemberontak dan tidak suka nasihat. Padahal orang bijak mengatakan sosok pemarah hanya merugikan diri sendiri.

    “Kamu harus ingat bro, orang tua jaman dulu menyebutkan menjadi pemarah itu dapat merugikan, bahkan kita bisa sulit menjadi pemimpin. Karena pemimpin yang baik adalah ketika dia mampu menghargai dan membantu anggotanya agar tim yang ia pimpin semakin unggul. Bukan sebaliknya, selalu marah dan menuntut ini-itu agar anggotamu harus bekerja dengan sempurna,” ledeknya.

    Kemudian dia melanjutkan, sifat orang pemarah itu harus siap-siap diacuhkan orang-orang di sekitarnya, dan ini biasanya tanpa disadari. Orang-orang yang memperhatikan sikap buruk kita itu akan menghindar dan mereka bisa jadi tidak akan menghargai kita.

    Ada lagi yang fatal bagi sifat, lanjut terus bicara, bahwa pemarah adalah bisa membuat sulit mengendalikan keadaan. Sehingga lebih sering marah daripada sabar. Ini bukan hanya berdampak pada hari ini tetapi mempengaruhi masa depan. Kesuksesan di masa depan akan hilang begitu saja jika menanamkan dalam diri untuk menjadi pemarah.

    Satu lagi, ucap dia sambil jeda menghisap rokok, pemarah itu bisa menurunkan rasa percaya diri. Ketika menghadapi segala sesuatu dengan kemarahan pasti lambat laun percaya diri menurun. Orang sekitar tidak akan menghargai lagi. Dari sifat buruk pemarah ini dapat menjadikan monster buat orang lain.

    Saya coba nyela dengan bilang, ya pemarah juga rentan kena penyakit, terutama stroke. Suka marah-marah akan menambah lebih rentan terkena stroke. Menjadi emosi dan meluapkannya dengan berlebihan pasti terbawa pikiran.

    Dari pikiran membuat sulit mengontrol tekanan darah sehingga tinggi. Jika sudah stroke pasti akan diserang penyakit lainnya. Bayangkan saja, dari hal sepele bisa membuat rugi dari segi kesehatan.

    Tanda Tidak Kompeten

    Mudah marah, kasar, dan arogan dalam bersikap merupakan tanda-tanda seseorang yang tidak kompeten dalam memimpin sebuah tim kerja. Setidaknya begitulah hasil studi yang dipublikasikan oleh Washington Post berdasarkan pernyataan dari seorang psikolog bernama Ashley Merryman, yang pernah di langsir kompas.com.

    Merryman menuliskan bahwa pemimpin yang rendah hati lebih efektif dan produktif dalam bekerja. Dia menambahkan bahwa sikap arogan dan kasar tidak menjadi kriteria psikologis yang ideal untuk menjadi seorang pemimpin.

    Studi yang sempat dipublikasikan oleh jurnal Personality and Individual Differences menunjukkan bahwa responden yang mengakui, tidak selalu benar dan bersedia berubah pikiran jika terbukti salah ditemukan menjalani kepemimpinan dengan bijak serta efektif.

    Sebaliknya, pemimpin yang selalu merasa benar justru menunjukkan sikap negatif selama menjalani tugas menjadi ketua di sebuah tim kerja. Studi yang melibatkan 155 partisipan ini meminta mereka untuk membaca 40 daftar pernyataan.

    Kemudian, partisipan diminta untuk mengidentifikasikan pernyataan tersebut yang hadir dalam 60 kalimat. Ternyata, partisipan yang rendah hati lebih cerdas dan cepat dalam menemukan 40 pernyataan dalam sejumlah kalimat. Namun, partisipan yang arogan bersikeras bahwa hasil mereka yang salah itu adalah jawaban paling benar.

    Hasil studi ini pun dikuatkan oleh studi lain yang ditayangkan oleh Journal of Management yang menyatakan bahwa jumlah karyawan yang keluar masuk sangat rendah pada perusahaan yang dipimpin oleh seorang profesional yang rendah hati dan tidak sombong.

    Selain itu, perusahaan dengan pemimpin yang rendah hati menghasilkan kepuasan karyawan bekerja yang tinggi, performa bisnis menguat, dan solidaritas karyawan yang tinggi.

    “Pemimpin yang arogan terlalu bodoh untuk mengakui kesalahan mereka. Ini dinamakan Duning-Krueger Effect. Artinya, mereka merasa apa yang merek lakukan selalu benar. Kenyataannya, mereka tidak tahu bahwa apa yang mereka tahu itu sedikit dan tidak penting,” urai Jessia Collet, seorang asisten profesor dari University of Notre Dame.

    Akhirnya kita sepakat, mengapa tak menularkan kedamaian buat orang lain, yang banyak memberikan keuntungan daripada memelihara sifat buruk sebagai pemarah.

  • Memaknai 76 Tahun Kemerdekaan RI dengan “Eling Lan Waspada”

    Memaknai 76 Tahun Kemerdekaan RI dengan “Eling Lan Waspada”

    Oleh: Bey Sujarwo Atmo Waridjo. S.H., M.H.

    Tahun ini, kita memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan, masih dalam suasana pagebluk covid-19 yang mencekam rakyat Indonesia.

    Alhamdulillah, dalam kondisi sesulit ini kita dapat merayakan Hari Proklamasi Ke-76 ini dengan penuh hikmat dan tetap optimis, untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para pahlawan, sehingga kita dapat menghirup nafas kemerdekaan ini, mari kita juga merenungkan Indonesia kedepan. Kadang atau sering, manusia karena merasa sukses lupa diri, lalu berbuat sekehendaknya. Melalui pandemi inilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan kita, tentang kondisi negara kita, Republik Indonesia.

    Sebagai rakyat bangsa Indonesia yang memiliki kearifan dan kecerdasan, kita jangan hanya melihat dari sisi yang baik saja. Saat ini kesannya Indonesia, ibarat lampu petromak, yang masih terlihat bersinar dan terang, tetapi adakah yang tahu kalo minyaknya sudah hampir habis?

    Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap komoditas sumber daya alam (SDA) harus segera diakhiri. SDA Indonesia Sudah Mulai Habis.

    Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi migas tanah air memang sedang berada dalam tren penurunan. Kejayaan minyak dan kayu sudah selesai, kejayaan komoditi SDA sudah hampir selesai, bisakah SDA itu diperbarui kembali?

    SDA yang dapat diperbarui ialah, SDA yang bisa dibuat atau dipulihkan kembali, antara lain; hewan, tumbuhan, pepohonan, dan ikan.

    Hewan, tanaman, pepohonan, dan ikan di lautan adalah makhluk hidup yang berkembang biak. Selama masih berkembang biak dan belum punah, hewan dan tumbuhan bisa diperbarui. Tinggal permasalahannya adalah, mampukah kita menjaga pelestarian lingkungan hidup dan habitatnya. Untuk menjaga pelestariaannya kita harus kompeten dan memiliki komitmen berjuang untuk menjaga dan mengembangkan pelestariaan habitatnya.

    Maka dari itu, harapan satu-satunya tinggal pada sumber daya manusia (SDM). Presiden Jokowi sejatinya sudah sadar bahwa kunci utama pembangunan adalah (SDM).

    Dengan menghasilkan SDM yang berdaya saing tinggi, tenaga kerja Indonesia dapat mendorong kemajuan industri manufaktur yang saat ini sedang tidak dalam kondisi prima. Yang jadi pekerjaan rumah (PR) saat ini, sudah sejak tahun 2012 pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor manufaktur selalu berada di bawah total pertumbuhan ekonomi.

    Bahkan ada kecenderungan selisih (spread) antara keduanya semakin melebar. Inilah yang harus kita kejar, kita harus optimis agar bangsa kita tetap merdeka dan sejahtera.

    Bangsa kita jangan suka ekspor bahan mentah saja, tapi harus bisa industri yang mengoperasikan peralatan, mesin dan tenaga kerja dalam suatu medium proses, untuk mengolah bahan baku, suku cadang, dan komponen lain, untuk diproduksi menjadi barang jadi yang memiliki nilai jual untuk di ekspor, sebagai barang komoditas Negara kita.

    Maknailah kemerdekaan dengan eling lan waspada

    Dalam falsafah Jawa banyak mengajarkan tentang kebijaksanaan hidup, diantaranya adalah falsafah tentang konsep Eling dan Waspada Raden Ngabehi Ronggo Warsito (Rangga Warsita) dalam serat Kalatida/Fajar R. Wirasandjaya.

    Secara utuh kalimat tersebut berbunyi, Sak begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada, seberuntung-beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada.

    Namun tidak semua orang memahami petuah yang luhur ini. Dari makna falsafah Jawa mari kita urai agar mudah dipahami, dihayati dan diamalkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi hari ini, saat kita hidup di jaman Hiperealitas yang serba tidak pasti, ketika semesta sedang bergolak banyak musibah juga bencana. Pepeling (peringatan) ini menjadi penting untuk dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perlahan mari kita kupas satu persatu makna dari Eling lan Waspada.

    Eling secara harfiah bermakna; ingat; sadar dengan keadaan; berpikiran sehat; bijaksana; pantas; ingat akan Tuhan Yang Maha Esa

    Dalam pemahaman arti ini mengajarkan kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni Sang Prima causa adalah; Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT); Tuhan Yang Maha Esa (God). Kesadaran ini akan mendorong manusia untuk selalu manyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

    Ingat! Kita harus menjalani kehidupan di alam fana ini dengan kebaikan yang akan menentukan kemuliaan kita nanti di alam baka alam akhirat, alam barzakh, untuk mendapatkan Ridho Ilahi.

    Ingat! Di samping kesadaran spiritual terkait hubungan vertikal, kita juga harus menjalin hubungan horizontal terhadap sesama manusia. Hablum Minallah dan Hablum Minannas. Hubungan dengan Allah sering disebut Hablum Minallah (حَبْلٍ مِّنْ اللَّهِ). Hubungan dengan sesama manusia sering disebut Hablum Minannas (حَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ).

    Ingat! Tuhan Allah dan hubungan sesama manusia, berdampingan dengan sesama makhluk Tuhan, selalu instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama, dengan budi pekerti luhur, saling menghormati, saling tolong-menolong dan saling mengingatkan.

    Ingat! Siapa diri kita, bertujuan agar jangan sampai kita bersikap sombong atau takabur. Selalu mawas diri atau mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi juga untuk menahan diri self control untuk tidak berbuat yang merugikan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan Mulat laku satria ing tanah Jawi 

    Mulai mengamalkan sikap ksatriya di tanah Jawa (Indonesia) yaitu; tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun kehilangan dan diterpa nestapa dan kesusahan.

    Kesadaran akan peran manusia dalam dimensi kemanusiaan akan mendorong kita untuk bisa niteni kabecikaning liyan memahami dan mengerti kebaikan yang telah orang lain yang dilakukan kepada kita. Berusaha ikhlas, berhenti pamrih dan berhenti menghitung-hitung untung rugi, melupakan dan memendam jasa atau kebaikan yang pernah kita perbuat untuk orang lain, sebaliknya kita harus memahami kebaikan yang orang lain pernah lakukan kepada kita.

    Hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara estafet, maka kebaikan akan selalu bertebaran. Bertindak tulus ikhlas karena Gusti Allah Yang Maha Kuasa tanpa mengharap pamrih kepada manusia.

    Waspada artinya adalah kita sadar akan hal-hal yang bisa menyebabkan diri menjadi hina dan celaka. Kewaspadaan dapat diwujudkan dengan waspada ing lair (kewaspadaan terhadap bahaya yang tampak nyata), waspada ing batin (kewaspadaan yang hakiki), waspada saka panggada (menangkal godaan yang menjerumuskan), waspada tan kena lena (lengah sekejap bisa lenyap), dan waspada tan kena keblinger (mewaspadai jebakan yang menyesatkan).

    Hukum yang berlaku disekitar manusia adalah hukum sebab-akibat (causalitas). Hukum Kausalitas merupakan hukum keniscayaan bagi alam semesta, dan merupakan fitrah manusia untuk memahaminya bahwa setiap akibat/peristiwa merupakan hasil dari sebuah sebab. Begitu pula dengan kehidupan, setiap perilaku sekecil apapun, perbuatan sekecil apapun akan mendapat pembalasan/perhitungan. Jika menghendaki diperlakukan baik maka berlakulah dengan baik.

    Memaknai Eling Lan Waspodo adalah kita harus mengerti dan paham antara hak dan kewajiban, tunaikan tugas dan kepentingan, kalau itu harus dilakukan dan menjadi kewajiban, sesuai dengan haknya, hasilnya boleh diambil boleh tidak, tetapi jangan menyalahgunakan hak.

    Waspada Kepada diri Pribadi

    Menghindari juga mewaspadai perbuatan dan perilaku yang negatif penting untuk selalu dilakukan. Perbuatan-perbuatan negatif yang mengakibatkan hina, celaka dan menderita, kita harus menjaga diri, menjaga lisan dan ucapan, sikap dan perbuatan yang berpotensi mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam semesta.

    Misalnya perbuatan-perbuatan angkara yang membawa cela seperti menghina, iri, dengki, merugikan orang lain, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia ataupun sesama makhluk semesta.

    Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri pribadi dari perilaku badan dan perilaku batin. Mewaspadai diri pribadi berarti kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri, nafsu dan angkara. Yang menebar aura buruk berupa kehendak untuk menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois) dan benernya sendiri.

    Adigang adigung adiguna, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna juga nafsu aji mumpung/mentang-mentang: ing ngarsa (mumpung kuasa), ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani (di depan karena berkuasa atau memimpin maka menyalahgunakan kekuasaan, bila di tengah membuat masalah/ menyusahkan, di belakang justru mencelakakan.

    Waspada dan Cermat Membaca Bahasa Alam.

    Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam, hanggayuh kawicaksananing Gusti. Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat. Semoga kita selalu dianugerahkan keselamatan.

    Jadi, esensi dari sikap eling dan waspada adalah segala pikiran, ucapan, sikap dan perbuatan kita dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam selalu dilandasi oleh keluhuran budi pekerti, arif dan bijaksana.

    Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan dan welas asih seperti tersebut di atas agar senantiasa dilimpahkan rahmat dan kebaikan dari Tuhan.

    Sing sapa nggawe bakal nganggo, (Siapa menanam akan memanen), barang siapa menabur angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum sebab akibat akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi pelindung yang menjauhkan dari malapetaka, bahaya, kesialan bagi diri pribadi. Semoga bermanfaat. Dirgahayu RI 76Th MERDEKA!!!