Kategori: Opini

  • UU Cipta Kerja: Surga atau Fatamorgana

    UU Cipta Kerja: Surga atau Fatamorgana

    Tanggal 5 Oktober kemarin UU Cipta Kerja disahkan melalui paripurna DPR-RI. Bagi saya UU ini layak diusulkan sebagai salah satu kejaiban dunia dari Indonesia, minimal dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). UU ini hanya memerlukan waktu pembahasan selama hampir 23 minggu.

    Tepatnya 159 hari sejak rapat pertama panitia kerja (Panja RUU) tanggal 27 April sampai di pengesahan tahap pertama tanggal 3 Oktober. Dibutuhkan waktu selama 159 hari saja untuk melahirkan 15 bab dan 174 pasal, membahas 7.197 poin isu yang masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan memeriksa 1.203 pasal yang dikoreksi dari 79 UU terkait yang sudah ada sebelumnya.

    Waktu selama 159 hari itu sudah dengan asumsi para anggota DPR-RI tetap bekerja setiap hari termasuk di Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan hari libur nasional lainnya, bekerja nonstop tanpa jeda sehari pun dalam situasi pandemi.

    Dengan asumsi bekerja selama 12 jam sehari di luar waktu tidur, makan, minum dan aktivitas personal lainnya, maka pembahasan UU Cipta Kerja telah memakan waktu selama 1.908 jam. Rata-rata hampir 11 jam untuk perumusan setiap pasal baru dan 1,5 jam untuk memeriksa setiap pasal lama dalam 79 UU lainnya dikoreksi. Bersamaan dengan itu, setiap jamnya dibahas 4 poin isu yang ada di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), cukup 15 menit saja untuk setiap poin isu.

    Dengan asumsi-asumsi itu saja pembahasan UU Cipta Kerja sudah sangat layak dimasukkan dalam MURI, apalagi jika asumsinya diturunkan dengan tetap menghitung hari raya, hari libur nasional dan tidak bekerja 12 jam setiap harinya, bisa jadi layak juga diusulkan untuk masuk dalam The Guiness Book Of Records.

    Saya bukan akademisi maupun praktisi hukum yang memahami apalagi ahli dalam urusan “legal drafting”, karena itu saya sangat menaruh kagum pada kemampuan anggota parlemen yang mampu bekerja dengan begitu amat cepatnya. Saya juga bukan seorang guru besar yang memiliki kompetensi akademik terkait dengan salah satu atau salah dua dari 11 klaster dalam UU Cipta Kerja, apalagi sampai dengan tulisan ini dibuat saya belum mendapatkan versi utuh UU ini sebagaimana yang disahkan dalam paripurna DPR-RI tanggal 5 Oktober kemarin.

    Karena itu saya tidak akan gegabah membahas detail pasal per pasal seolah-olah saya sudah membaca dan membandingkannya dengan 1.203 pasal dari 79 UU lain yang terkoreksi. Saya hanya ingin membahas spirit yang berulang-ulang telah dan masih terus disampaikan oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya, spirit yang menjadi ruh dilahirkannya UU Cipta Kerja, menarik investor-investor dunia untuk berinvestasi dan membuka jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia.

    Saya akan menjadikan dua buah buku laporan sebagai alat bantu analisa dalam tulisan ini, buku Global Investment Competitiveness Report khususnya chapter Foreign Investor Perspectives and Policy Implications tahun 2017 dari World Bank dan buku The Global Competitiveness Report
    2019 dari World Economic Forum, dua buku laporan yang tentu menjadi acuan bagi banyak negara di dunia termasuk Indonesia.

    Bagi saya laporan Bank Dunia itu menarik karena memuat hasil survei terhadap 754 orang eksekutif dari berbagai perusahaan multinasional berpengaruh yang sebagian besar masuk dalam daftar World Fortune 500 Companies, survei itu menanyakan faktor-faktor apa saja yang paling mempengaruhi keputusan para investor jika ingin berinvestasi di negara berkembang termasuk Indonesia.

    Survei itu menemukan 10 faktor yang paling mempengaruhi keputusan berinvestasi, mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil persentase pengaruhnya, yaitu: 1) Stabilitas politik dan keamanan sebesar 87%, 2) Lingkungan hukum dan peraturan yang stabil sebesar 86%, 3) Besarnya pasar domestik sebesar 80%, 4) Stabilitas ekonomi makro dan nilai tukar sebesar 78%, 5) Tersedianya tenaga kerja terampil sebesar 73%, 6) Infrastruktur fisik yang baik sebesar 71%, 7) Tarif pajak yang rendah sebesar 58%, 8) Biaya tenaga kerja dan input murah sebesar 53%, 9) Akses tanah dan properti sebesar 45%, dan 10) Pembiayaan di pasar domestik sebesar 44%.

    Laporan yang sama juga menemukan 6 kondisi yang paling dihindari oleh para investor jika akan melakukan investasi langsung (Foreign Direct Investments) ke sebuah negara, urutannya yaitu: 1) Kurangnya transparansi dan kepastian dalam berurusan dengan badan publik/lembaga pemerintah sebesar 50%, 2) Mendadaknya perubahan dalam hukum dan peraturan yang berdampak besar sebesar 49%,

    3) Lamanya waktu dalam memperoleh izin dan persetujuan pemerintah yang diperlukan untuk memulai atau menjalankan bisnis sebesar 47%, 4) Terbatasnya kemampuan untuk mentransfer dan mengonversi mata uang sebesar 42%, 5) Pelanggaran kontrak oleh pemerintah sebesar 13%, dan 6) Perampasan atau pengambilalihan properti atau aset perusahaan oleh pemerintah sebesar 5%.

    Survei itu juga menemukan 3 motivasi utama para investor dunia ketika memutuskan investasi di sebuah negara, urutannya dalam persentase sebagai berikut: 1) Membuka akses pasar dan pelanggan baru sebesar 87%, 2) Menurunkan ongkos produksi sebesar 51%, 3) Mendekatkan dengan sumber daya alam dan bahan baku sebesar 39%.

    Dari hasil survei itu ternyata stabilitas politik dan keamanan masih menjadi pertimbangan yang paling penting, sementara kurangnya transparansi dan kepastian dalam praktik pemerintahan masih menjadi momok yang paling menakutkan bagi sebagian besar investor dunia ketika akan memutuskan berinvestasi di sebuah negara.

    Dua hal itu jauh lebih penting daripada yang lain, termasuk faktor-faktor lain yang yang sudah dibenahi oleh pemerintahan Jokowi selama ini, misalnya pembangunan infrastruktur dan regulasi insentif pajak. Ternyata tenaga kerja terampil masih lebih penting ketimbang tenaga kerja murah dan stabilitas nilai tukar mata uang masih lebih dipertimbangkan daripada akses terhadap tanah dan properti.

    Dalam laporan yang lain dari World Economic Forum, Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-50 dari 141 negara yang dievaluasi dalam daftar The Global Competitiveness Index. Sudah berada di atas Brunei (ke-56), Filipina (ke-64), Vietnam (ke-67) dan Kamboja (ke-106), walaupun masih tertinggal dari Thailand (ke-40) dan Malaysia (ke-27) apalagi dari Singapura yang menjadi juara pertama mengalahkan Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara maju lainnya.

    Stabilitas politik dan keamanan serta transparansi pemerintahan yang bersih menjadi keunggulan utama yang menempatkan Singapura jauh meninggalkan koleganya di Asia Tenggara. Pemerintahan Trump yang cenderung flamboyan dan sering kontroversial menjadi handicap yang menjungkalkan Amerika dari posisi pertama selama ini walaupun dari sisi infrastruktur, ketersediaan listrik, jaringan internet dan inovasi teknologi masih jauh lebih unggul daripada Singapura.

    Dari dua laporan ini kita bisa belajar banyak, bahwa setumpuk revisi regulasi dan sejumlah pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya, ada yang lebih penting dari sekedar hal-hal yang bersifat fisik.

    Stabilitas politik dan keamanan dalam negeri yang sering mengalami turbulensi berupa kegelisahan sosial (social unrest) dan pembangkangan sosial (social disobedience) akibat kontestasi dan kontroversi politik selama beberapa tahun terakhir tampaknya justru menjadi handicap terbesar yang membuat investor dunia menjadi enggan berinvestasi di Indonesia.

    Indeks perilaku koruptif dan kolutif yang masih tinggi serta transparansi praktik pemerintahan yang masih jauh dari kategori bersih sepertinya juga menjadi momok yang masih melekat ketika para investor dunia menyebut nama Indonesia.

    Dalam perspektif itu saya khawatir maksud baik dari pemerintahan Jokowi melakukan kerja ambisius melalui UU Cipta Kerja justru menjauhkan kita dari tujuan yang semestinya. UU Cipta Kerja telah mengoreksi 1.203 pasal dalam 79 UU lainnya, karenanya tentu memerlukan perubahan dan penyesuaian yang tidak mudah pada sekian banyak Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah. Sebuah kerja raksasa yang ingin dilakukan justru pada saat pandemi COVID-19 sedang berlangsung secara global ibarat seperti memaksa menginjak gas habis-habisan ketika mobil sedang berada di tengah lautan lumpur yang dalam.

    Saya tentu sama sekali tidak berkompeten untuk menyatakan apakah materi UU Cipta Kerja sudah baik atau buruk, benar atau salah. Tetapi melihat dampaknya secara sosial politik sejak masa kandungan sampai dengan waktu kelahirannya, saya khawatir pemerintah tampak terlihat terlalu tergesa-gesa mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya masih dapat ditunda, setidaknya sampai kita dapat mengakhiri pandemi Corona yang telah menjangkiti 325 ribu orang dan merenggut nyawa hampir 12 ribu jiwa saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita, Indonesia.

    **Pemerhati Masalah Politik dan Pembangunan

  • E-voting VS Perppu Sanksi Protokoler Kesehatan Covid-19

    E-voting VS Perppu Sanksi Protokoler Kesehatan Covid-19

    Jika Pilkada serentak tetap dilaksanakan pada Desember 2020, perlu dikaji juga bagaimana tingkat partisipasi rakyat dalam pilkada serentak di tengah pandemi covid-19, dipastikan partisipasi itu akan rendah, mengingat masih banyak rakyat kita yang lebih baik diam di rumah dari pada sekedar datang dan memilih di Tempat Pemungutan Suara, hal ini disebabkan rakyat sedang berhadapan dengan pandemi covid-19.

    Disamping itu, rakyat juga kini melihat pilkada itu hanya ritual demokrasi semata yang pada akhirnya terkadang bukan mendatangkan manfaat malah malapetaka untuk rakyat dan bahkan pemimpinnya sendiri jika tidak sesuai aturan dalam memimpin (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

    Seharusnya di tengah pandemi ini jika terpaksa Pilkada serentak harus terus dilaksanakan pada Desember mendatang, maka pemerintah termasuk KPU serta elemen masyarakat lainnya harus sudah bahu membahu memikirkan dan menciptakan perangkat lunak bagaimana e-voting (pemungutan suara elektronik) dapat dilakukan, bukan hanya sekedar membuat dan menerbitkan PERPPU tentang perketat protokol kesehatan dengan tambahan sanksi semata.

    Jangan bentur masyarakat dengan wabah pandemi covid-19 tanpa solusi demokrasi yang elegant, sementara yang jadi pemimpin nantinya dipastikan ada yang belum tentu se peduli itu dengan rakyatnya.

    Ditengah kegawatan dunia saat ini, berfikirnya harus komprehensif agar menjadi pribadi yang solutif, seberapa penting adanya pejabat itu “nongkrongin” jabatannya dibanding keselamatan rakyat, bukankah ada asas hukum umumnya “salus populi suprema lex esto dimana keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”.

    Menunda pilkada serentak bukan kemudian kita tidak berdemokrasi, ada banyak celah pemerintah untuk menerbitkan regulasi dan mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Walikota dan Bupati se Indonesia untuk hanya sekedar melewatkan wabah pandemi covid-19 atau dengan cara menyiapkan metode e-voting untuk pemilihan pemimpinnya.

    Jangan hanya alasan hanya untuk sekedar mengisi ruang kosong jabatan Gubernur, Walikota dan Bupati, rumah sakit menjadi penuh dan sesak oleh korban dampak yang akan ditimbulkan dari perhelatan rutinitas demokrasi yang kadang menunjukkan dagelan tak berkualitas. Enggak banget deh….!!!!.***

    * Gindha Ansori Wayka adalah Koordinator Presidium komite Pemantau Kebijakan Dan Anggaran Daerah (KPKAD) LAMPUNG

  • Argumentum Ad Hominem

    Argumentum Ad Hominem

    Dari berbagai pengertian populer tentang demokrasi dan politik yang dikenal publik, saya lebih memilih pengertian demokrasi sebagai “government of the reason for government by the people”, pemerintahan akal sehat melalui pemerintahan oleh rakyat dan politik sebagaimana asal-usulnya, saya fahami sebagai aktivitas intelektual untuk menjaga pemerintahan oleh rakyat itu dijalankan dengan akal sehat.

    Dengan pengertian demokrasi dan politik seperti itu maka menjadi seorang politisi itu syarat utamanya adalah kecukupan nalar dan pengetahuan, tentu dilengkapi dengan keterampilan berbahasa. Untuk menjadi seseorang yang menjalankan politik sebagai aktivitas intelektual, kecukupan nalar dan pengetahuan jauh lebih penting daripada kecukupan suara dan modal.

    Istilah dungu yang dipopulerkan oleh RG belakangan ini bagi saya sebenarnya adalah resultan dari penjumlahan “defisit pengetahuan + impotensi penalaran”, setiap kita yang kurang belajar dan malas berfikir akan sangat mudah mengalaminya karena seringkali menarik kesimpulan dari premis-premis yang tidak memiliki koherensi.

    Dalam dialektika argumentasi, impotensi penalaran itulah yang sering menyebabkan orang mengalami “logical fallacy”, tersesat dalam metode berfikir. Ketika kemudian orang itu juga menderita defisit pengetahuan maka dalam perdebatan biasanya akan meradang melakukan “argumentum ad hominem”, menyerang sisi personal sebagai cara untuk mengabaikan atau mendiskreditkan argumennya (Edward T. Damer: Attacking Faulty Reasoning, p199). Tidak membedah argumennya melalui argumen bantahan tetapi justru menyerang personal orangnya.

    Jika penyakit logical fallacy dan argumentum ad hominem itu diderita oleh seorang masyarakat awam, dampaknya paling jauh hanya terjadi debat kusir di warung kopi. Tetapi jika logical fallacy dan argumentum ad hominem itu menjangkiti penyelenggara negara atau daerah maka dampaknya akan membuat penyelenggaraan pemerintahan negara atau daerah itu tidak lagi dijalankan dengan akal sehat.

    Saya sebenarnya tidak tertarik menanggapi balik tanggapan yg telah dijangkiti dua jenis penyakit fikiran seperti itu, tetapi sesekali bolehlah sekalian berlatih nalar bersama pembaca.

    Pertama tentang kategorisasi politisi, saya tidak tahu di mana Ketua Partai Golkar Bandar Lampung menemukannya dalam komentar saya sebelumnya. Dapat dibaca kembali dengan cermat, saya tidak melakukan kategorisasi politisi karena kita semua mafhum dosen dan komisioner Bawaslu bukanlah politisi.

    Saya berkomentar bahwa perbedaan pendapat yang terjadi lebih karena perbedaan perspektif berfikir, di satu sisi menggunakan perspektif etika hukum sementara di sisi lain memakai perspektif hukum formal secara tekstual. Walaupun belakangan ternyata Bawaslu mengirimkan surat teguran resmi juga menggunakan pendekatan hukum formal.

    Dalam khasanah literatur politik populer, perspektif etika lazim disematkan dengan atribusi “high politics”, sementara perspektif zonder etika disematkan atribusi “low politics”. Kendati tidak relevan, pertanyaan personal bersifat argumentum ad hominem yang ditujukan kepada saya itu sebenarnya sudah dapat terjawab.

    saya berada pada posisi politisi yang memaknai politik lebih sebagai aktivitas intelektual etis sementara ia dengan terang memaknai politik sebagai aktivitas kekuasaan formal an sich, menjadi pejabat eksekutif atau legislator.

    Saya mengalami kesulitan mengikuti penalaran dalam kalimat : “Beliau adalah simbol partai yang harus kita jaga kewibawaannya baik sebagai gubernur maupun sebagai simbol partai dari rongrongan orang yang akan menurunkan elektabilitas Partai Golkar, terlebih dalam menghadapi Pilkada.

    Yang mana harus dijaga? Simbol partai sebagai Gubernur atau Gubernur sebagai simbol partai? Siapa yang dirongrong kewibawaannya? Gubernurnya atau simbol partainya? Apa gerangan hubungan antara kewibawaan Gubernur dengan elektabilitas Partai Golkar?

    Saya coba simulasikan rangkaian peristiwa dan susunan kalimatnya dalam bentuk penalaran yang paling sederhana untuk mengetahui siapa yg dianggap telah merongrong kewibawaan Gubernur dan menurunkan elektabilitas Partai Golkar:

    Premis 1 : Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinas
    Premis 2 : Seorang akademisi dan seorang komisioner Bawaslu mengkritik tindakan Gubernur itu
    Premis 3 : Bawaslu menegur tindakan Gubernur itu melalui surat resmi
    Premis 4 : Kewibawaan Gubernur telah dirongrong
    Premis 5 : Elektabilitas Partai Golkar akan menurun

    Penalaran koherensi dari kelima premis itu melalui hubungan kausalitas (sebab-akibat):

    Premis 1 dengan premis 2:
    Karena Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinas maka seorang akademisi dan seorang komisioner Bawaslu mengkritiknya

    Premis 1 dengan premis 3:
    Karena Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinas maka Bawaslu menegurnya melalui surat resmi. Jelas bahwa adanya premis 1 menjadi penyebab adanya premis 2 dan 3

    Premis 2 dan 3 dengan premis 4:
    Karena dikritik oleh seorang akademisi dan ditegur Bawaslu melalui surat resmi maka wibawa Gubernur telah dirongrong. Jelas bahwa premis 2 dan 3 diduga menyebabkan lahirnya premis 4

    Premis 4 dan 5:
    Karena wibawa Gubernur telah dirongrong maka elektabilitas Partai Golkar akan menurun. Jelas juga bahwa premis 4 menjadi penyebab premis 5.

    Menjadi sangat jelas bahwa adanya premis 1 menjadi sebab adanya premis 2 dan 3 kemudian kedua premis itu menyebabkan adanya premis 4 dan akhirnya premis 4 menyebabkan adanya premis 5.

    Dari model penalaran sederhana ini dapat dimengerti bahwa sejatinya bukan kritikan seorang akademisi dan teguran resmi Bawaslu lah yg telah merongrong wibawa Gubernur dan akan menurunkan elektabilitas Partai Golkar, tetapi tindakan Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinasnya lah yg telah merongrong wibawa Gubernur dan akan menurunkan elektabilitas Partai Golkar.

    Sebelum saya akhiri tulisan ini, saya perlu menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang bersangkutan atas nasehatnya untuk “tafaqquh fiddin”, saran yang sangat baik kepada sesama muslim. Semoga kita semua senantiasa dapat menjaga kesehatan jasmani dan melatih nalar kita agar tetap hidup bahagia terhindar dari pandemi Corona dan kekacauan logika. ***

  • Destinasi Wisata Lampung Utara Antara Ada dan Tiada

    Destinasi Wisata Lampung Utara Antara Ada dan Tiada

    Kabupaten Lampung Utara memiliki banyak sekali potensi alam yang dapat dijadikan objek destinasi pariwisata. Apabila dikelola dengan sepenuh hati dan mendapat support yang maksimal, bukan tidak mungkin potensi alam yang dimiliki itu prospektif dalam mendongkak pendapata asli daerah.

    Dari hasil penelusuran yang saya lakukan, dari tahun ke tahun, Pemerintah Kabupaten Lampung Utara, dalam hal ini leading sectornya berada di Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) setempat, menggelontorkan sejumlah dana yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah guna pengembangan dan pengelolaan destinasi wisata Lampura.

    Namun fakta di lapangan, hampir tidak ada lokasi wisata di kabupaten yang di masa lampau berjuluk ‘Tanah Lado’ ini yang memiliki infrastruktur memadai sehingga lokasi-lokasi yang potensial itu menjadi kunjungan wisata.

    Cukup mengherankan diiringi rasa prihatin yang sangat mendalam.

    Memang, di beberapa lokasi, seperti lokasi wisata Green Bamboo yang terletak di Desa Sribandung, dan Festival Durian di Desa Gunung Gijul, Kecamatan Abung Tengah, saat ini cukup terkenal hingga ke luar Kabupaten Lampung Utara.

    Juga lokasi wisata Tirta Shinta di Desa Wonomarto, Kecamatan Kotabumi Utara dan beberapa waktu lalu sempat booming dengan kegiatan Festival Wonomarto sehingga masuk dalam agenda tahunan pariwisata Provinsi Lampung.

    Selain itu, beberapa curup (air terjun) yang ada di beberapa desa di Lampura sukses menjadi destinasi wisata.

    Tapi, semua aset itu dikelola oleh pemerintahan desa melalui BUMDesa masing-masing dengan dukungan serapan Dana Desa dan tentunya menjadi PADesa masing-masing. Bukan PAD Kabupaten Lampung Utara melalui leading sector Disporapar setempat.

    Lantas, dimana jatuhnya anggaran pengembangan pariwisata yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah melalui APBD Pemkab. Lampura selama ini? Lokasi yang konon kabarnya secara lisan mendapatkan hibah tanah dari Kakimal di Desa Wonomarto untuk dikelola oleh Pemkab Lampura, saat ini kondisinya seperti ladang menggembala kerbau dan kambing milik warga ! Bahkan di sudut-sudut tertentu menjadi lokasi strategis muda-mudi yang di mabuk asmara.

    Ah, sepertinya tulisan opini saya ini, untuk sementara saya cukupkan sampai disini terlebih dahulu. Sembari mencoba untuk menggali lebih mendalam dan menjadi sebuah karya jurnalistik berupa news indepth demi kemajuan pariwisata di Lampura yang kelak mampu menjadi salah satu penopang PAD.

    Catatan : *penulis adalah wartawan media siber sinarlampung.co Biro Lampung Utara.

     

  • Wartawan Jadi Humas Atau Wartawannya Humas

    Wartawan Jadi Humas Atau Wartawannya Humas

    Saat menjadi wartawan, pertanyaan mendasar yang muncul adalah apasih wartawan itu. Jawabnya mudah di dapat dipencarian goggle atau buku buku komunikasi, atau undang undang tentang wartawan. Disana diseutkan Wartawan atau jurnalis atau pewarta adalah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media massa secara teratur.

    Undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mendevinisikan pengertian wartawan adalah profesi yang secara teratur melakukan sebuah kegiatan jurnalistik mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, menyimpan dan menyampaikan informasi kepada perusahaan pers atau kantor berita untuk dipublikasikan atau disiarkan kepada semua masyarakat umum, tujuannya agar mereka dapat memperoleh informasi yang benar, tepat, akurat dan objektif.

    Sedikitnya ada delapan fungsi yang harus dijalankan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Dalam buku Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overloadkarya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, tugas wartawan yang pertama yakni, authenticator, wartawan harus bisa memeriksa keautentikan suatu informasi.

    Kedua adalah sense maker yakni wartawan menerangkan apakah informasi itu masuk akal atau tidak. Tugas ketiga, investigator yakni wartawan harus terus mengawasi kekuasaan dan membongkar kejahatan. Keempat adalah Witness Bearer yakni kejadian-kejadian tertentu harus diteliti dan dipantau kembali dan dapat bekerja sama dengan reporter warga.

    Tugas kelima wartawan adalah Empowerer yakni saling melakukan pemberdayaan antara wartawan dan warga untuk menghasilkan dialog yang terus-menerus pada keduanya. Keenam adalah Smart Aggregator yakni wartawan cerdas harus berbagi sumber berita yang bisa diandalkan, laporan-laporan yang mencerahkan, bukan hanya karya wartawan itu sendiri.

    Ketujuh adalah Forum Organizer yakni organisasi berita, baik lama dan baru, dapat berfungsi sebagai alun-alun di mana warga bisa memantau suara dari semua pihak, tak hanya kelompok mereka sendiri. Dan kedelapan adalah Role Model yakni tak hanya bagaimana karya dan bagaimana cara wartawan menghasilkan karya tersebut, namun juga tingkah laku wartawan masuk dalam ranah publik untuk dijadikan contoh.

    Perkembangan kekinian, jenis Wartawan bisa dilihat dalam dua bagian yaitu Wartawan profesional, yaitu wartawan yang memang bekerja secara professional dalam menjalankan tugasnya, serta patuh terhadap kode etik jurnalistik dan juga memenuhi standar profesi wartawan. Kedua ada wartawan gadungan alias abal abal, yaitu wartawan palsu yang mempunyai tujuan atau kepentingan pribadi atau terselubung berkedok wartawan.

    Penyimpangan Profesi Wartawan

    Ada mitos atau mungkin realitas yang menyebutkan bahwa wartawan adalah “manusia sakti”, untouchable (tidak tersentuh), serta aksesible (bebas akses). Wartaean bisa mengurus apa saja dengan mudah dan lancar, serta mampu menembus rumitnya birokrasi dengan kartu pers (press card) sebagai kartu identitasnya.

    Di sebagian kasus, kenyataan tersebut memang merupakan sebuah realitas, dan dapat dibuktikan secara empiris. Seorang wartawan, dapat “semau gue” saat menjalankan aktivitasnya. Bahkan, jika berhadapan dengan protokoler birokrasi, ia pun bisa dengan leluasa “slonong boy”. Patut dicatat, tidak ada seorang pun yang berani melarangnya.

    Karenanya, segala “kemudahan” yang ada pada diri wartawan tersebut banyak disalahgunakan oleh sejumlah oknum masyarakat yang secara tiba-tiba menjelma menjadi wartawan, lengkap dengan atributnya, ada kartu pers, kamera, blocknote, tape recorder, dan tidak ketinggalan rompi yang bertuliskan “PERS” di punggungnya. Bahkan, untuk menonjolkan identitas profesinya, tidak sedikit wartawan jenis ini menuliskan kata “PERS” tersebut pada kendaraannya, seperti pada plat nomor polisi motor, atau pada kaca depan dan belakang mobil.

    Pasca pemerintahan Orde Baru lengser, yang ditandai sebagai babak baru kebebasan pers, maka banyak organisasi wartawan serta surat kabar yang bermunculan bak jamur di musim penghujan. Namun sayangnya, hegemoni kebebasan pers tidak diiringi oleh profesionalitas atas profesi.

    Wartawan Profesional

    Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, menyebutkan wartawan profesional adalah wartawan yang mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Budiman Hartoyo (1999) menyebutkan wartawan profesional adalah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (keterampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

    Dengan demikian, wartawan profesional dapat disimpulkan sebagai seorang yang memahami tugasnya, memiliki keterampilan untuk melakukan reportase dan mengolah karya-karya jurnalistik sesuai dengan nilai yang berlaku, memiliki independensi dari objek liputan dan kekuasaan, memiliki hati nurani serta memegang teguh kode etik jurnalistik yang diatur oleh organisasi profesi yang diikutinya.

    Dalam kode etik jurnalistik menyebutkan, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Cara-cara yang profesional wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya antara lain: Menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi. Tidak menyuap dan tidak menerima suap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya.

    Kemudian pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi keterangan sumber dan ditampilkan berimbang. Lalu menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

    Di negara negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Swedia dan Swiss misal hak profesional yang mutlak yang dituntut para wartawan dilindungi pemerintah. Apa pun kriteria yang menjadi sebuah profesi pada umumnya para wartawan melihat dunia mereka, dunia kewartawanan sebagai sebuah profesi.

    Seorang wartawan adalah seorang yang profesional, seorang yang kompeten di bidangnya, punya kebanggaan profesi yang akan mereka pertahankan dengan cara apapun dan akan melindungi citranya dari berbagai gangguan dan ancaman yang akan merusaknya. Profesionalisme menyangkut kecakapan, keterampilan, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus.

    Fraser Bond (1978) mengemukakan sedikitnya terdapat 4 (empat) macam atribut profesi wartawan, pertama Otonomi yaitu kebebasan mengatur diri sendiri dalam melakukan pertimbangan dan menetapkan keorganisasian, kedua Komitmen yang menitikberatkan pada pelayanan, bukan keuntungan ekonomi pribadi.

    Ketiga Keahlian yaitu dengan menjalankan suatu jasa yang unik dan esensial berdasarkan keterampilan intelektual serta sejumlah pelatihan pengetahuan sistematis, dan keempat tanggungjawab yaitu kemampuan memenuhi kewajiban-kewajiban berdasarkan penerapan suatu kode etik.

    Standar Profesi Wartawan

    Akademisi dan praktisi pers, Asep Syamsul Romli (2005) menyebutkan, wartawan profesional memiliki beberapa karakteristik yang menjadi standar atas profesinya.

    • Pertama menguasai keterampilan Jurnalistik

    Seorang wartawan harus memiliki keahlian (expertise) menulis berita sesuai dengan kaidahkaidah jurnalistik. Ia harus menguasai teknik menulis berita, feature serta artikel. Karenanya, seorang wartawan sejatinya adalah orang yang pernah menempuh pendidikan kejurnalistikan secara khusus atau setidaknya pernah mengikuti pelatihan dasar jurnalistik.

    Dan harus well trained, terlatih dengan baik dalam keterampilan jurnalistik yang meliputi, teknik pencarian berita dan penulisannya, di samping pemahaman yang baik tentang makna sebuah berita. Dan Dia harus memahami apa itu berita, nilai berita, macam-macam berita, bagaimana mencarinya, dan kaidah umum penulisan berita.

    • Kedua Menguasai Bidang Liputan (Beat)

    Idealnya, seorang wartawan harus menjadi seorang “generalis”, yakni memahami dan menguasai segala hal, sehingga mampu menulis dengan baik dan cermat tentang apa saja. Namun yang terpenting, ia harus menguasai bidang liputan dengan baik.

    Wartawan ekonomi misalnya, ia harus menguasai istilah-istilah dan teori-teori ekonomi. Wartawan kriminal, ia harus memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia kriminalitas, seperti sebutansebutan, istilah atau kasus-kasus kriminal, demikian seterusnya.

    Jika seorang lulusan hukum, lantas ditugaskan untuk meliput peristiwa olahraga, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh yang bersangkutan adalah mempelajari dunia olahraga serta istilah-istilah yang berlaku di dunia itu.

    • Ketiga Memahami Serta Mematuhi Etika Jurnalistik

    Wartawan yang profesional memegang teguh etika jurnalistik. Di Indonesia sendiri, etika jurnalistik tersebut sudah terangkum dalam Kode Etik Jurnalistik yang sudah ditetapkan Dewan Pers sebagai Kode Etik Jurnalistik bagi para wartawan di Indonesia. Kepatuhan pada kode etik merupakan salah satu ciri profesionalisme, di samping keahlian, keterikatan, dan kebebasan.

    Dengan pedoman kode etik diharapkan wartawan tidak mencampuradukkan fakta dan opini dalam menulis berita, tidak menulis berita fitnah, sadis, dan cabul, dan paling utama, tidak “menggadaikan kebebasannya” dengan menerima amplop. Seorang wartawan profesional hanya akan menginformasikan suatu peristiwa yang benar dan faktual, tidak lebih dari itu.

    Menjadi Wartawan yang Baik

    Seorang wartawan dapat dikatakan baik apabila dia bekerja dengan segenap hati nurani (Coblentz, 1961). Seorang wartawan yang berhati nurani harus memenuhi pikiran-pikirannya mengenai kebenaran dan keadilan, dan harus menyesuaikan diri pada nilai-nilai tinggi yang telah dibina publik untuk dirinya (William Randolph Hearst, 1961).

    Duanne Bradley (1996) mengatakan bahwa wartawan yang baik harus memiliki sejumlah aset dan modal, di antaranya, pengetahuan, rasa ingin tahu (sense of knowing), daya tenaga hidup (vitalitas), nalar berdebat, kemampuan brainstorming (bertukar pikiran), keberanian, kejujuran serta keterampilan berbahasa, baik lisan apalagi tulisan.

    John Hohenberg (1977) mengemukakan sedikitnya ada 4 (empat) syarat untuk menjadi seorang wartawan yang baik, pertama tidak pernah berhenti mencari kebenaran, kedua maju terus menghadapi jaman yang berubah dan jangan menunggu sampai dikuasai olehnya, ketiga melaksanakan tugas-tugas yang berarti ada konsekuensinya bagi umat manusia, dan keempat memelihara suatu kebebasan yang tetap teguh

    Adinegoro (1961), salah seorang perintis pers Indonesia menambahkan bahwa wartawan yang baik harus memiliki sejumlah sifat yang mutlak ditanam dan dipupuk oleh seorang wartawan, misalnya Minat mendalam terhadap masyarakat dan apa yang terjadi dengan manusianya. Sikap ramah tamah terhadap segala jenis manusia dan pandai berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia dan akan lebih baik lagi jika menguasai berbagai bahasa asing.

    Wartawan memiliki daya peneliti yang kuat dan setia kepada kebenaran dan memiliki rasa tanggungjawab dan ketelitian, serta kerelaan mengerjakan lebih dari apa yang ditugaskan. Kesanggupan bekerja cepat, selalu bersikap objektif. Termasuk memiliki minat yang luas, memiliki daya analisis yang tajam. Memiliki sikap reaktif, teliti dalam mengobservasi. Suka membaca, dan suka memperkaya bahasa.

    Seorang wartawan yang baik, menurut Mochtar Lubis (1963) harus mampu membuat laporannya sedemikian rupa, sehingga berita yang disajikannya menjadi ”hidup” dan pembaca dapat merasakan dan melihat apa yang ditulisnya seakan ia ikut melihat atau mengalaminya sendiri.

    J. Casey (1967) menilai bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang wartawan yang baik adalah dia harus punya ”mata” yang tajam dan ”telinga” yang peka; Dia harus bisa berbicara langsung ke pokok permasalahan serta bisa melihat dan memahami latar belakang dari apa yang dilihatnya; Dia juga harus mampu menulis sebuah cerita sebagai sebuah realitas atau kenyataan yang saling berhubungan dan bukan kejadian yang terpisah-pisah.

    Humas Alias Public Relations

    Humas adalah akronim dari kata “Hubungan Masyarakat.” Kata tersebut diterjemahkan dari kata bahasa Inggris “Public Relation” yang sering disingkat menjadi PR. Kajian humas fokus pada empat kata kunci yang menjadi elemen dasar untuk memahami semua kegiatan kehumasan yaitu manajemen, komunikasi, organisasi, dan publik. Humas juga sebagai bagian dari ilmu sosial juga kerap disebut sebagai sebuah seni. Humas juga profesi seperti layaknya profesi wartawan atau jurnalis. Dalam konteks dengan manajemen, humas adalah sebuah fungsi manajemen.

    Dari beragam pengertian tersebut Public Relations atau humas ini merupakan suatu kegiatan timbal balik antar sebuah lembaga dengan publiknya. Kegiatan atau praktik kehumasan adalah kegiatan berkomunikasi. Yang melakukan komunikasi adalah organisasi, fungsinya menjalin hubungan dengan publik, yaitu sekelompok orang yang memiliki perhatian dan minat yang sama akan sebuah isu tertentu.

    Fungsi utama Humas sendiri adalah menumbuhkan dan mengembangkan hubungan baik antar lembaga (organisasi) dengan publiknya, internal maupun eksternal dalam rangka menanamkan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi publik dalam upaya menciptakan iklim pendapat (opini publik) yang menguntungkan lembaga organisasi. (Firsan Nova dalam buku Crisis Public Relations, 2009)

    Humas dapat dikatakan berfungsi jika dia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, berguna atau tidak dalam menunjang tujuan organisasi/perusahaan dan menjamin kepentingan publik. Jadi humas harus bisa menyeimbangkan antara hubungan ke dalam dan ke luar.

    Jadi, fungsi dari humas adalah memelihara komunikasi yang harmonis antara organisasi/ perusahaan dengan publiknya, melayani kepentingan publik dengan baik dan memelihara perilaku dan moralitas organisasi atau perusahaan dengan baik. Ada beberapa humas yang kita kenal misal Humas Pemerintahan (Government Public Relations), Humas Perusahaan atau Bisnis, Humas Non Government Organization (NGO) atau LSM.

    Humas Pemerintah

    Di luar negeri, pada organisasi-organisasi pemerintahan untuk posisi humas atau public relations lebih sering disebut dengan istilah public affairs untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan kehumasannya. Istilah tersebut dipandang lebih tepat dari pada humas atau public relations karena banyak dari kegiatan-kegiatan yang ditangani oleh humas organisasi pemerintahan merupakan kegiatan pelayanan kepada publik.

    Kegiatan public affairs biasanya meliputi kegiatan-kegiatan seperti pemberian informasi tentang layanan publik, kampanye untuk mendukung program pemerintah, dan semacamnya. Selain istilah public affairs, untuk humas organisasi pemerintahan juga digunakan istilah Public Information Officer atau Spokesperson (juru bicara).

    Public information Officer biasanya bekerja di kantor Pemerintah Pusat/kantor Kepresidenan dan kantor Pemerintah Daerah. Tugasnya yang utama adalah memberikan informasi-informasi penting kepada media massa tentang berbagai pernyataan pemerintah atau Presiden tentang sesuatu kebijakan. Fokus tugas Public Information Officer memang untuk menjalin hubungan antara Pemerintah dan media massa atau pers, karena itu profesi ini juga dikenal dengan sebutan Press Secretary (Sekretaris Pers).

    Humas Perusahaan atau Bisnis

    Humas perusahaan bersama manajemen umumnya berusaha memperoleh peningkatan pada profit atau keuntungan finansial. Humas perusahaan juga harus pintar dan mampu menyusun strategi untuk meningkatkan citra dan reputasi perusahaan. Apa lagi kini semakin ketat persaingan antar perusahaan.

    Menurut Anne Gregory dalam “Public Relations dalam Praktik” (2004), humas perusahaan biasanya didefinisikan sebagai pengelolaan reputasi perusahaan secara keseluruhan atau disebut juga citra perusahaan.

    Humas NGO atau LSM

    Non Government Organization (NGO) atau lebih dikenal dengan sebutan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Organisasi yang didirikan perorangan atau sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.

    Tugas humas NGO adalah mengembangkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi. Menyediakan komunikasi yang tepat antara publik dengan organisasi. Humas NGO juga berperan memberikan sumbangan terhadap suksesnya organisasi dengan melaksanakan hubungan dengan pihak lain seperti melakukan kerjasama demi terlaksananya tujuan NGO dan melakukan publikasi atau advertising (Sam Black & Melvin L. Sharpe, Ilmu Hubungan Masyarakat Praktis, 1988)

    Hubungan Humas dan Media

    Dalam setiap pertemuan pasti menyebutkan Hubungan humas dan media massa bukanlah musuh. Hubungan humas dan wartawan itu teman tapi mesra. Humas dan media massa merupakan dua elemen yang perlu saling melengkapi. Media bukan musuh, tapi cermin untuk evaluasi diri. Walau kadang terkesan merugikan yang diberitakan. Hubungan humas dan wartawan biasa disebut sebagai media relations atau hubungan media.

    Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya Suparwoto, menganalogikan media itu seperti klinik. “Ada fasilitas hak jawab yang memungkinkan narasumber untuk mengklarifikasi jika pemberitaan dirasa tidak benar. Humas tidak perlu reaktif terhadap pemberitaan media tapi suportif.”

    Menurutnya, Humas bukan hanya sekedar juru bicara, humas harus mampu memberi latar belakang dari sebuah isu, masalah atau informasi yang akan disampaikan. Dalam keseharian humas adalah pekerjaan tanpa tidur, siaga 24 jam. Oleh sebab itu humas harus jadi sumber yang dipercaya media atau publik. Humas juga harus mampu memahami karakter media, publik sasaran, serta penggunaah isu atauan bahasa yang sesuai segmen juga memudahkan transfer informasi yang diperlukan masyarakat.

    Meski humas dan wartawan atau media massa itu teman tapi mesra, harus diingat bahwa media massa bukan lah satu-satunya pihak yang harus dikelola dengan baik. Seorang PR harus menjalin komunikasi dengan media massa untuk menyampaikan pesan kepada publiknya, maka media massa menjadi sangat penting.

    Karena itulah Humas menjalin hubungan dengan media dilakukan dengan baik dan komunikasi dua arah. Untuk menjalin hubungan, humas dan media massa atau media relations melakukan berbagai kegiatan misalnya mulai dari Press Release.

    Frank Jefkins, menyebutkan press release merupakan pesan-pesan organisasi yang ditulis oleh praktisi humas dalam bentuk berita, artikel atau foto-foto untuk dipublikasikan dalam media massa. Press release tidak sebatas hanya penulisan dalam bentuk berita saja, tetapi juga dalam bentuk artikel ataupun foto-foto kegiatan yang mempunyai nilai berita yang tinggi.

    Ada juga kegiatan jumpa pers juga biasa disebut Prees Conference, kemudian Media pers Gathering yang dilakukan untuk meningkatkan tali silaturahim antara humas dengan wartawan ataupun antar wartawan. Pers gathering ini adalah sebuah bentuk penghargaan yang diberikan perusahaan, organisasi atau instansi pemerintahan. Termasuk kerjasama dengan Media, membentuk Forum Wartawan atau Jurnalis atau Forum WA. Menyelenggarakan Lomba Karya Jurnalistik (tulis, foto dan video).

    Nilai Berita

    Wartawan dan praktisi humas kerap memiliki perbedaan pandangan mengenai nilai berita, terutama dalam pres rilis. Wartawan menempatkan factual accuracy pada tingkat pertama, sedangkan praktisi humas kerap menempatkan factual accuracy pada tingkatan kelima dan menempatkan depicts subjek in favorable light pada tingkat pertama.

    Tapi praktisi humas justru menilai sebaliknya menempatkan factual accuracy pada tingkat pertama. Bahkan ada perbedaan penyampaian pesan antara praktisi humas dan dalam dunia jurnalistik adalah bahwa journalist (wartawan) lebih menekankan berita (news), dan praktisi humas menitik beratkan pada segi publisitas.

    Humas kerap berpegang hanya menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan publikasi positif dengan tujuan promosi penyebaran informasi, komersial dan perkenalan (introduction), identitas, nama, dan citra perusahaan (corporate identity and goodimage).

    Hingga berkaitan dengan produk dan jasa yang disampaikan kepada publik yang kemudian direkayasa agar persepsi dan opini selalu positif, sehingga akan memperoleh citra baik dari masyarakat terhadap perusahaan yang diwakilinya.

    Hingga praktisi humas dan wartawan menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing. Praktisi humas menginginkan publikasinya dapat disiarkan untuk diketahui publiknya, dan sebaliknya, pers menolak untuk menerima atau meloloskan “berita publikasi” (press release) karena tidak layak disiarkan sebagai berita. Hal ini terjadi, karena publisitas Humas tidak memenuhi kriteria atau kebijakan redaksi media yang mengacu pada nilai beritanya (newsvalue).

    Saling memandang negatif inilah yang membuat pertentangan di antara kedua profesi ini tak jua reda. Sebaliknya Wartawan menganggap praktisi humas hanya menyiarkan suatu bahan press release untuk kepentingan publikasinya, sedangkan praktisi humas menganggap bahwa wartawan hanya memburu barita, yang berbau sensasional, negatif dan memojokkan serta merusak “citra”perusahaan dan sebagainya.

    Ditambah hingga kini fungsi dan tugas Humas masih hanya sebatas perankomunikator dan perpanjangan tangan dari pimpinan, atau perusahaan dengan pihak publiknya, belum menjalankan humas yang sebenarnya, yaitu ikut melayani kepentingan publik dengan baik dan memelihara perilaku dan moralitas organisasi.

    Tidak elok jika humas hanya menjadikan Media sebagai “wartawannya Humas” karena wartawan berbeda dengan pengelola bloger, bloger merupakan orang yang memanfaatkan informasi teknologi, untuk menyampaikan sesuatu yang mungkin saja terkait dengan berbagai kejadian di tengah masyarakat.

    Mereka juga bisa menulis opini dengan menggunakan referensi yang mungkin saja akurat, tetapi tidak menutup kemungkinan akan terdapat kekeliruan, bahkan beberapa di antaranya (para bloger) cenderung memanfaatkan demi kepentingan tertentunya saja.  Oleh sebab itu, mereka tidak berpedoman menyangkut kode etik jurnalistik, karena tidak ada keterkaitan langsung dengan khalayak atau masyarakat publik sebagaimana yang dilakukan para wartawan.

    Sementaara wartawan profesional harus mampu menjaga keseimbangan berita, menjunjung tinggi ketidakberpihakan dan menjaga etika profesi. Karena, untuk menjadi wartawan yang sesungguhnya yaitu tidak cukup hanya mengandalkan mampu dalam menulis berita, akan tetapi bagaimana mampu menguasai dari berbagai hal atas ketentuan yang diberlakukan dalam ilmu jurnalistik.

    Kecepatan dan ketelitian menjadi kompetensi yang diharapkan media dari profesi seorang jurnalis, dikarenakan pekerjaan itu mengemban tanggung jawab yang sangat terhadap masyarakat atau publik. Maka jurnalis wajib memberikan berita yang dapat dipercaya, dan diyakini kebenarannya dengan akurasi berita disamping menjaga sikap independen seorang wartawan. ***

    Disadur dari berbagai sumber

  • Bagaimana Menjadi Penulis Buku ?

    Bagaimana Menjadi Penulis Buku ?

    Menjadi penulis, termasuk penulis buku, adalah sebuah proses. Dan langkah pertama , ya Menulislah ! Menulis apa saja. Diari, puisi, cerpen, atau surat-surat cinta. Sebab, menulis itu anugerah, tetapi juga membutuhkan keterampilan yang diperoleh melalui latihan. Tak semua orang bisa menulis. Tak ada orang akan jadi penulis , kalau dia tidak mulai menulis apa yang dia rasakan,inginkan, dan yang dia bisa. Kapan ? Ya sekarang.

    Pertanyaan paling penting untuk seorang yang ingin menulis buku adalah : apakah anda suka membaca? Yang tak suka membaca takkan pernah bisa menulis. Membaca adalah proses awal sesorang menjadi penulis. Buku apa yang suka anda baca? Novel, buku fiksi, non fiksi, komik, humor? Buku yang anda baca akan mempengaruhi proses anda menjadi penulis. Orang menulis apa yang dia suka, kagumi, dan menjadi obsesinya.

    Masalah apa yang menarik perhatian dan anda sukai ? Sejarah ? Petualangan, detektif, kuliner atau masalah keagamaan, dunia kanak2, dan lainnya. Anda akan lebih mudah menulis buku apa yang paling menggoda minat anda. Imajinasi anda akan lebih mudah dikembangkan berdasarkan minat yang anda sukai dan mempengaruhi obsesi anda.

    Apakah anda punya penulis yang jadi idola ? Penulis idola akan mempengaruhi proses anda menemukan cara menulis, cara bercerita, mencari ide, dan menemukan cara menyelesaikan cerita. Pengarang idola akan membantu anda menemukan style dan cara menulis. Jangan takut menjadi penulis yang style dan gayanya sudah ada. Tak ada yg baru dibawah langit ini. Dalam proses menjadi penulis yang baik, kita baru menemukan karakter dan gaya kita.

    Semua penulis memiliki missi ideal hidupnya. Misi itulah yang akan mewarnai buku buku yang dia tulis. Penulis yang tidak punya misi dalam bukunya tidak menyumbang apapun bagi kehidupan.

    Setiap penulis menemukan sendiri cara dia menulis. Bagaimana mencari ide, bagaimana menyimpan ide dan mengembangkannya, kapan mulai menulis, dan bagaimana cara memelihara momentum dan inspirasi yang muncul. Jangan kehilangan mood. Itu musuh terbesar seorang pengarang.

    Makanya punya disiplin menulis itu baik agar resa menulis itu terpelihara. Penulis professional sangat mengandalkan disiplin. Waktu kita cuma 24 jam sehari. Siapa yang berhasil mengelola waktunya dengsn baik, dia akan jadi penulis yang baik. Paling tidak bisa menjadi penulis yang profuktif.

    Jangan pernah mengabaikan perpustakaan, karena disitulah sarang ide dan inspirasi bagi pengarang. Jangan menulis buku tanpa riset. Ide menulis tidak jatuh dari langit. Pengalaman dan persentuhan dengan satu moment, itulah kunci munculnya sebuah ide.

    Menulislah. Jangan terlalu terpengaruh pada kritik orang lain. Kritik perlu untuk jadi kekuatan membangun semangat menghasil karya yang baru, tapi kritik tak boleh membunuh semangat kreatifitas penulis. Kitalah yang menyusun batu keberuntungan kita.

    Warisan besar dari sebuah tamadun, adalah kebudayaan. Warisan terpenting dari kebudayaan adalah buku (teks). Karena itu yg menulis buku betapa sederhanapun telah menyumbang sesuatu untuk kebudayaan dan akan menjadi warisan sejarah.

    Apakah anda pernah membaca salah satu buku novel terbaik dunia ? Bacalah meski hanya satu. Itu memberi anda sentuhan pemahaman, novel yang baik itu seperti apa, dan rasakan pengaruhnya pada proses kepengarangan anda. Carilah dan tanya paman google novel novel terbaik itu. Termasuk buku fiksi lainnya. ***

    Rida K. Liamsi adalah sastrawan dan budayawan Melayu berkebangsaan Indonesia dan saat ini tercatat sebagai Penanggung Jawab Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2020. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi yang dipublikasikan di berbagai surat kabar. Lahir pada 17 Juli 1943 (usia 77 tahun).

    Tulisan tanpa mengubah sesuai aslinya yang diterima redaksi melalui grup whatsApp Jazirah Lima, Rabu, 19 Agustus 2020.

  • Menyoal Laporan PAPD Ke Bawaslu

    Menyoal Laporan PAPD Ke Bawaslu

    Saya mencermati berita soal Perhimpunan Advokat Pro Demokrasi (PAPD) Lampung yang melaporkan bakal calon (balon) Walikota Bandar Lampung, yang kini menjabat wakil walikota Bandar Lampung Yusuf Kohar. Tapi kemudian ada kabar mereka mencabut laporan untuk Yusuf Kohar, dengan alasan salah satunya bukan laporan tapi memberikan informasi.

    PAPD datang lagi ke Bawaslu Kota Bandar Lampung, Jumat 7 Agustus 2020, sore. Kedatangan ke Bawaslu Kota Bandar Lampung, katanya mencabut atau merubah laporanya. Nah, masak iya ada pernyataan BAWASLU memanggil para saksi dari informasi yang diberikan masyarakat.

    Dan setelah masyarakatnya yang memberikan informasi melengkapi semua hal tentang keyakinan informasi yang diberikan (sebut: bukti-bukti), selanjutnya kawal itu informasi yang disampaikan ke BAWASLU, sesuai dengan “kepentingannya”.

    Perlu diingat, gak bisa juga BAWASLU main panggil para pihak (seperti yang disampaikan pemberi laporan yang melibatkan: wakil walikota, lurah, dan para saksi lainnya). Adapun langkah yang akan ditempuh BAWASLU adalah menerima informasi masyarakat. Langkah selanjutnya apa?

    Harus diingat juga oleh pemberi informasi (kan pihak yang mengerti tentang hukum/para advokat): bahwa dalam pengawasan jalannya PILKADA L, BAWASLU tidaklah sediri. Ada yang namanya Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakumdu).

    Siapa saja yang ada di Gakumdu adalah kepolisian dan kejaksaan. Naah, setelah informasi diterima dan ditemukan adanya indikasi pelanggaran, berulah Gakumdu melakukan memprosesnya termasuk melakukan pemamggilan para pihak melalui mekanisme yang ada.

    Dan bukan ujuk-ujuk Bawaslu melakukan pemanggilan. “Yuuuk kita tegakkan hukum dengan berpedoman pada hukum . Yuuuk kita tegaklan demokrasi dengan berpedoman dengan demokrasi”.

    Perlu kita pahami juga, memang benar dalam pelaksanaan PILKADA L, paniitia pelaksana harus berwawasan dan bersikal atas asas keadilan. Hal ini seperti tertuang pada UU Nomor 7 Tahun tentang Pemilu, yang memikiki definisi yang terdiri dari dua hal:

    1. Asas pemilu
    2. Prinsip pemilu

    Ini ada pasal Pasal 3 dan 4 .

    Dan memang, untuk menciptakan PEMILU jujur dan adil, maka diberikanla wewenang kepada Bawaslu melakukan penindakan. Wewenang ini khusus diberikan untuk menegakkan keadilan. Namun seperti yang saya sampaikan dari awal, bahwa Bawaslu bukanlah pihak yang berhak.melakukan penindakan sendirian.

    Bawaslu kemudian bekerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan dalam Gakumdu, yang memiliki wewenang selanjutnya dalam penindakan pada dugaan pelanggaran pidana Pemilu.

    Untuk urusan yang bermula dari viralnya video-video tentang pelarangan berbagai pihak selama ini, harus didudukkan dahulu permasalahan sesungguhnya. Kalau hanya sekedar memberikan informasi kepada Bawaslu, maka bukankah sudah ada pernyataan sebelumnya kalau video-video Itu sudah itu viral (yang menjadi bahan informasi).

    Jadi untuk apa lagi memberikan informasi. Dan kalaupun ada yang merasa dirugikan (penekannya: sehubungan dengan tatanan dan tahapan serta pihak terkait dalam PILKADA), maka bolehlah membuat laporan, dan bukan sekedar informasi yang pada akhirmya akan semakin tercipta kegaduhan lainnya.***

    Gunawan Parikesit SH, adalah advokat dan wartawan senior

  • Lampung Tengah Butuh Pemimpin “Ampera”

    Lampung Tengah Butuh Pemimpin “Ampera”

    Seperti kita ketahui bersama di Provinsi Lampung yang sangat kita cintai ini pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang akan melaksanakan Pemilihan kepala daerah serentak di 8 Kabupaten kota, yaitu Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Waykanan, Kabupaten Lampung Timur, dan Kabupaten Lampung Tengah.

    Namun dari delapan kabupaten/kota yang hari ini melaksanakan Pesta Demokrasi, saya tertarik untuk lebih dulu membahas Pemilihan Kepala daerah di kabupaten Lampung Tengah. Banyak hal yang menarik untuk kita cermati dari proses politik yang ada di kabupaten Lampung tengah.

    Kabupaten Lampung tengah yang pada saat zaman penjajahan belanda disebut onder afdeling sukadana kemudian berubah menjadi bun shu metro di era pendudukan jepang ini merupakan kabupaten yang memiliki sejarah panjang dan memiliki daya tarik ekonomi politik tersendiri, dengan memiliki bentangan daratan yang sangat luas sehingga menjadikan wilayah ini sangat strategis untuk pengembangan Industri di bidang pertanian, perkebunan dan peternakan.

    Sebut saja sampai saat ini menurut survei BPS tahun 2014 ada sekitar 697 perusahaan yang tersebar di 28 kecamatan, dengan total 32.930 tenaga kerja. Hal tersebut semakin memperkuat bahwa minat investor untuk menanamkan modal mereka di kabupaten ini cukup tinggi, dibandingkan dengan beberapa kabupaten lain yang ada di Provinsi Lampung.

    Tak heran jika kemudian pertarungan politik Pemilihan kepala daerah nya pun akan lebih sengit sehingga menarik untuk kita ikuti, hari ini seperti kita ketahui walaupun pembukaan pendaftaran pasangan calon secara resmi baru akan dibuka oleh KPU pada tanggal 4-6 September 2020 mendatang, akan tetapj dari beberapa Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang muncull sepertinya sudah mengkerucut menjadi tiga pasang calon yang akan menjadi kompetitor.

    Pasangan yang pertama adalah Musa Ahmad – Ardito Wijaya yang di dukung oleh PKB 6 kursi, Demokrat 5 kursi dan PAN 1 kursi total 12 kursi. Selanjutnya pasangan yang kedua adalah Loekman Djoyosoemarto-Ilyas Hayani Muda yang di dukung oleh PDIP 11 kursi.

    Kemudian yang ketiga adalah Nessy Kalvia Mustafa sampai saat ini tanggal 2 Agustus 2020 Belum di ketahui akan berpasangan dengan siapa? akan tetapi jumlah partai pengusung nya sudah mencukupi ia di dukung oleh partai Nasdem 6 kursi dan PKS jadi total 11 kursi, sedangkan Partai Golkar 9 kursi dan Gerindra 6 kursi belum mengelurkan rekom.

    Jadi hampir dapat di pastikan pada pilkada serentak 9 Desember 2020 Mendatang di kabupaten Lampung Tengah akan di ramaikan oleh 3 pasang Calon Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah.

    Akan tetapi yang harus kita pahami bersama-sama adalah dalam sebuah kompetisi politik pasti akan memunculkan satu pemenang, tapi apakah kemenangan itu menjadi hal yang paling pokok bagi para kompetitor, dan masyarakat Lampung tengah pada umum nya?

    Saya pikir tidak, karena hal yang paling pokok yang harus di hasilkan dari sistem demokrasi pilkada melalui mekanisme pemilihan langsung saat ini ialah, Lahirnya seorang pemimpin yang benar-benar ingin mengabdikan jiwa dan raga nya untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu di Kabupaten Lampung Tengah ini butuh pemimpin AMPERA (Amanah, Peduli dengan Persoalan rakyat, dan Adil sejak dalam pikiran).

    Karena pemimpin yang Amanah akan selalu ingat bahwa Jabatan Kepala daerah itu hanya sementara dan pasti akan berlalu, sehingga tidak akan pernah terpikir untuk khianat kepada rakyat, kemudian seorang pemimpin yang perduli dengan persoalan rakyat nya dia tidak akan pernah menciptakan batas-batas antara pemimpin dengan rakyatnya.

    Dan senantiasa memposisikan rakyatnya seperti rekan dengan mendengarkan keluh-kesah mereka lalu mencarikan jalan keluarnya, sehingga terciptanya harmonisasi interaksi sosial yang positif dan saling mendukung demi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang di pimpinnya.***

    *Lamen Hendra Saputra SH adalah Ketua Liga Pemuda Indonesia Provinsi Lampung

  • Gubernur Ku “Preman”

    Gubernur Ku “Preman”

    Mendengar kata “preman”, apa kira-ira yang terlintas dalam pikiran kita?. Kata “preman” memang hari ini memiliki konotasi negatif, yang identik dengan tindakan kriminal. Hal ini tentu saja tidak lepas dari perjalanan sejarah kata “preman” itu sendiri.

    Seorang sahabat menulis, seperti umumnya sifat bahasa yang dinamis, sebuah makna kata pun juga dapat berubah seiring berjalanya waktu. Menurut dia, dalam disiplin ilmu bahasa atau linguistik fenomena perubahan makna tersebut dengan istilah peyorasi. Peyorasi dapat berarti sebuah proses pergeseran makna dari sebelumnya yang bersifat positif menjadi terdengar lebih negatif, buruk, atau rendah.

    Disamping peyorasi ada juga ameliorasi, ameliorasi sendiri merupakan kebalikan dari peyorasi. Yaitu dari kata yang memiliki makna negatif berubah menjadi positif. Jika menengok sejarah kebelakang kata “preman” sendiri sudah eksis sejak zaman kolonial atau penjajahan.

    Pada masa tersebut eksis orang-orang yang memiliki reputasi sebagai pembela para buruh kebun atau kuli kontrak yang berasal dari Jawa, Tionghoa, dan India. Karena para buruh tersebut mendapat siksaan dari mandor kebun atas perintah dari tuan kebun.

    Para pembela buruh tersebut biasanya adalah mereka yang juga berkerja sebagi buruh tapi secara kontrak atau dibayar harian. Oleh tuan-tuan kebun dari Belanda yang menjadi penguasa tanah Deli, para pekerja kontrak tersebut disebut dengan “vrije man” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “orang bebas”.

    Karena tindakan para vrije man yang membela para buruh tersebut, mereka terkadang menjadi gangguan bagi bagi pemilik kebun dalam menjalankan bisnisnya. Namun dari sudut pandang para buruh tindakan para vrije man tersebut malah sangat membantu. Oleh karenanya sebagai balas jasa para buruh tersebut memberi makanan dan minuman secara gratis.

    Seiring berjalanya waktu, ada beberapa vrije man yang lebih cenderung berorientasi pada nafsu dan materi saja. Yang kemudian vrije man ini dimanfaatkan oleh para tuan tanah dijadikan tukang pukul atau centeng mereka. Dan para vrije man yang tetap membela buruh malah dicap sebagi pengganggu.

    Dari konteks inilah istilah atau kata “preman” muncul, yang merupakan perubahan dari kata “vrije man” karena penyebutanya yang agak susah bagi lidah orang Melayu dan Jawa. Walaupun istilah preman hari ini memiliki konotasi negatif, namun ketika masa mempertahankan kemerdekaan para preman ini juga pernah ikut berjuang. Tepatnya pada peristiwa Jalan Bali pada Oktober 1945, ketika itu banyak preman dari Medan yang ikut berjuang melawan penjajah.

    Pertanyaannya, kenapa membahas kata Preman, karena ada peristiwa yang menggelitik telinga saat rapat kordinasi persiapan Pilkada  Lampung yang pesertanya ada KPU, Bawaslu, Para pejabat termasuk Kapolda Irjen Pol Purwadi, Kabinda Lampung, Unsur Kejaksaan, TNI, Pejabat Pemprov Lampung, hingga pimpinan redaksi berbagai media cetak, online, dan TV Radio.

    Seorang wartawan TV, group MNCTV Andreas mencoba mengambil gambar saat Gubernur yang sedang paparan. Sebagai wartawan TV, tentu tidak bisa hanya mengandalkan gambar wawancara tetapi butuh gambar suasana. Tiba tiba Gubernur Lampung menghardik, bahasa kampung membentak, “Hei kamu jangan dulu merekam saya ini lagi pusing, bisa enggak. Saya ini juga preman. Dahulunya mantan preman,“ ucap Gubernur dengan nada tinggi, dan sontak peserta rapat yang dihadiri terdiam, suasana hening.

    Termasuk Kapolda, KPU dan Bawaslu, serta pimpinan media terdiam, pasti dengan berbagai macam yang ada dipikirannya. Sang wartawan tentu ikut kaget. Dan lalu keluar ruangan. Aksi verbal ini bukan kali pertama di lakukan Gubernur Lampung, saat dengan wartawarti RMol Lampung juga hampir sama, hingga jadi ramai.

    Hingga Jumat malam, hampir di banyak group, yang isinya tokoh, pelajar, mahasiswa, hingga wartawan ramai bergunjing soal ulah mantan Sekda Lampung itu. Bahkan tokoh Lampung Alzier Dianis Thabrani ikut seloroh di group menyebut pensiunan PNS ngaku preman, ya Ngibul katanya..

    Adakah yang salah dengan pengakuan seorang pejabat bahwa dirinya seorang preman? Jawabnya dengan tegas ya, kata Gunawan Parikesit, seorang wartawan senior yang kini menjadi lawyer. Alasannya, karena dalam maknanya preman (premanisme), adalah kata yang berasal dari negri “penjajah” belanda: _vrijman_ Yang memiliki makna; Bebas, Sedangkan isme: merupakan suatu penanda aliran,

    Adalah sebutan pejoratif bagi yang kerap digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari Pemerasan kelompok masyarakat lain, lanjut Gunawan kembali pada pertanyaan semula, apakah ada yang salah dengan pengakuan pejabat bahwa dia seorang preman?

    Maka sudah sangat jelas kalau preman itu tidak memiliki moral yang baik. Dia merupakan pelaku pemerasan. Jelas tidak patut jadi pejabat, apalagi sekelas gubernur. Mengacu pada satu kasus di Lampung, ketika ramai pemberitaan bahwa Gubernurnya, Arinal Junaidi, menghardik wartawan sambil menyatakan dirinya preman, maka sebenarnya ini tidak bisa berhenti ditataran isu saja.

    Harus dibuktikan apakah benar pemberitaan itu, apakah ucapan itu mengandung ancaman (sebagai prilaku preman dalan pekerjaannya), apakah ada sesuatu lainnya? Saya tak menjawab.

    Pemimpin Arogan Pertanda Tidak Kompeten dan Tidak Layak

    Saya baca artikel yang tayang di Kompas.com, 12 Desember 2016, menyebutkan dari mudah marah, kasar, dan arogan dalam bersikap merupakan tanda-tanda seseorang yang tidak kompeten dalam memimpin sebuah tim kerja. Setidaknya begitulah hasil studi yang dipublikasikan oleh Washington Post berdasarkan pernyataan dari seorang psikolog bernama Ashley Merryman.

    Merryman menuliskan bahwa pemimpin yang rendah hati lebih efektif dan produktif dalam bekerja. Dia menambahkan bahwa sikap arogan dan kasar tidak menjadi kriteria psikologis yang ideal untuk menjadi seorang pemimpin.

    Studi yang sempat dipublikasikan oleh jurnal Personality and Individual Differences menunjukkan bahwa responden yang mengakui, tidak selalu benar dan bersedia berubah pikiran jika terbukti salah ditemukan menjalani kepemimpinan dengan bijak serta efektif.  Sebaliknya, pemimpin yang selalu merasa benar justru menunjukkan sikap negatif selama menjalani tugas menjadi ketua di sebuah tim kerja.

    Studi yang melibatkan 155 partisipan ini meminta mereka untuk membaca 40 daftar pernyataan. Kemudian, partisipan diminta untuk mengidentifikasikan pernyataan tersebut yang hadir dalam 60 kalimat. Ternyata, partisipan yang rendah hati lebih cerdas dan cepat dalam menemukan 40 pernyataan dalam sejumlah kalimat.

    Namun, partisipan yang arogan bersikeras bahwa hasil mereka yang salah itu adalah jawaban paling benar. Hasil studi ini pun dikuatkan oleh studi lain yang ditayangkan oleh Journal of Management yang menyatakan bahwa jumlah karyawan yang keluar masuk sangat rendah pada perusahaan yang dipimpin oleh seorang profesional yang rendah hati dan tidak sombong.

    Selain itu, perusahaan dengan pemimpin yang rendah hati menghasilkan kepuasan karyawan bekerja yang tinggi, performa bisnis menguat, dan solidaritas karyawan yang tinggi.

    “Pemimpin yang arogan terlalu bodoh untuk mengakui kesalahan mereka. Ini dinamakan Duning-Krueger Effect. Artinya, mereka merasa apa yang merek lakukan selalu benar. Kenyataannya, mereka tidak tahu bahwa apa yang mereka tahu itu sedikit dan tidak penting,” urai Jessia Collet, asisten profesor dari University of Notre Dame. ***  

  • Partai Pengusul RUU HIP Bisa Dipidana dan Dibubaran

    Partai Pengusul RUU HIP Bisa Dipidana dan Dibubaran

    Kegaduhan atas keberadaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) tidak berhenti, walaupun pemerintah menyatakan menunda pembahasannya. Elemen rakyat semakin giat melakukan penolakan dan penghentian pembahasan RUU, jadi bukan hanya ditunda. Terlebih lagi sekarang dipersoalkan siapa pihak pengusul RUU HIP. Pernyataan politisi Partai Demokrat Taufik Hidayat, pengusul RUU HIP sangat penting diungkap ke publik, sebab pengusul bisa masuk dalam kategori pemberontak negara.

    Penulis dapat memahami pernyataan tersebut, bahwa pengusul dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Acuannya adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Undang-undang ini diterbitkan memang secara khusus guna mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dari adanya ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang terbukti bertentangan dengan agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang ber-Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umumnya.

    Terkait dengan hadirnya RUU HIP, maka pokok persoalan menunjuk masuknya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan berbagai implikasi yuridisnya. RUU-HIP menggunakan nomenklatur ’ideologi’, namun substansi inti dalam RUU justru memasukkan dasar filsafat negara (philosofische grondslag) dan bahkan melakukan perubahan siqnifikan terhadap Pancasila. Perubahan dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial. Keberadaan Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU-HIP sebagai Sendi Pokok Pancasila.

    Dengan demikian, posisinya menggantikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya terjadi perubahan posisi (mutasi) sila. Hal ini secara tidak langsung juga mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tergantikan dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”. Padahal sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi titik sentral dari kehidupan kenegaraan.

    Dalam kaitan ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka terjadinya perubahan demikian memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme-Komunisme. Kemudian perihal Ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU-HIP.

    Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Walaupun pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, namun itu bukan menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan istilah Ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan merubah atau mengganti Pancasila.

    Perubahan demikian pastilah dilakukan secara sengaja yang menunjuk dengan maksud, yakni menghendaki/mengetahui baik perbuatan maupun akibatnya. Perubahan atas Pancasila sebagai dasar negara disederajatkan dengan mengganti. Tindakan mengubah atau mengganti Pancasila menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menunjuk pada perbuatan tindak pidana asal (predicate crime) yakni menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

    Selengkapnya dapat dilihat pada Pasal 107 huruf d yang menyebutkan, ”Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

    Pasal 107 huruf d ini merupakan delik pemberat dari Pasal 107 huruf a. Pada Pasal 107 huruf a terhadap perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila. Pelaku hanya melakukan menyebarkan atau mengembangkan.

    Tidak dekikian halnya dengan Pasal 107 huruf d, pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Dalam kaitannya dengan kehadiran RUU HIP, maka Partai pengusul dengan memasukkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat dipidana dengan dasar adanya kesalahan sebagai unsur subjektif yang ditandai adanya kesengajaan dengan maksud. Partai pengusul dengan para anggotanya tentu terkait pernyataan kolekifnya.

    Oleh karena itu, di dalamnya terdapat pernyataan pikiran kolektif guna pemenuhan maksud perubahan Pancasila sebagaimana terdapat dalam RUU HIP. Pernyataan pikiran kolektif ini dianggap sebagai penggunaan pikiran secara salah. Adapun kegiatannya merupakan bagian dari pernyataan pikiran sebagai bentuk perbuatan melawan hukum.

    Kesengajaan merupakan tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat delik. Kesengajaan dapat terjadi jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara salah, dalam hal ini pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya yang ditujukan pada suatu tindak pidana.

    Pada tindakan mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, perbuatan menunjuk pada tindakan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme melalui lisan, tulisan dan atau melalui media apapun. Pembentuk undang-undang menambahkan frasa ”dan atau melalui media apapun” memang mengandung pengertian yang luas.

    Menurut penulis termasuk dalam kaitan perumusan rancangan undang-undang (in casu RUU HIP). Sepanjang dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, maka Partai pengusul RUU HIP dapat dijerat dengan Pasal 107 huruf d. Pada tindakan mengubah atau mengganti Pancasila, maka kesengajaan sebagai maksud memang diarahkan guna mencapai tujuan yang dikehendaki.

    Selanjutnya, menyangkut bentuk pertanggungjawaban terhadap Partai pengusul sebagai rechtspersoon, maka berlaku asas strict liability, yakni pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Pelaku sudah dapat dipidana apabila dia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Adapun kewenangan pengajuan pembubaran ada pada pihak pemerintah melalui gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.

    Pengajuan permohonan pembubaran partai politik antara lain didasarkan atas alasan menganut, mengembangkan serta menyebarluaskan ajaran Komunisme/ Marxisme – Leminisme atau pengurus partai politik menggunakan partai politiknya untuk melakukan tindak pidana kejahatan terhadap Keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999. Dengan demikian, kedua alasan ini sangat relevan dengan perubahan atas Pancasila sebagaimana terdapat dalam naskah RUU HIP. Patut dicatat Pasal 107 huruf d tergolong delik formil, tidak memerlukan adanya suatu akibat. Demikian.***

    Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H, adalah Direktur HRS Center