Kategori: Opini

  • Tahun Baru, Ketakutan Baru: Corona Virus Pembunuh Sadis Tapi Kita Tidak Takut!

    Tahun Baru, Ketakutan Baru: Corona Virus Pembunuh Sadis Tapi Kita Tidak Takut!

    Peradaban manusia seluruh dunia di awal tahun 2020 seketika terguncang dengan kemunculan sebuah virus mematikan. Corona, virus kejam ini mendadak terkenal karena telah membunuh ribuan manusia yang datang dengan tenang dan bergerak tak tinggalkan jejak.

    Itu lebih tampak seperti impian tertinggi para pembunuh bayaran berdarah dingin, mengerikan lagi sadis. Laboratorium di Wuhan, China, tempat virus ini lahir mengklaim bahwa virus ini keluar lalu hinggap di tubuh beberapa hewan kemudian mewabah dengan cepat ke manusia satu dan lainnya.

    Anehnya musibah serupa pernah terjadi berulangkali dengan skenario, akibat, dan pemeran yang sama persis, lagi-lagi virus. Saya seperti menonton film luar negeri yang didaur ulang oleh sutradara minim ide tapi inginkan hasil efektif, memalukan sekaligus menakutkan. Pikiran saya mengarahkan pada pertanyaan: Apa alasan ilmuan menjaga virus corona jika itu mematikan?

    Mampukah ia dengan mudahnya ‘kabur’ dari tempat yang mestinya penuh dengan teknologi mutahkhir penangkal virus itu?

    Sebagai manusia berakal keturunan Nabi Adam yang dianugerahi rasa ingin tahu tinggi, jawaban mulai terurai ketika dosen pembimbing saya membagikan novel lawas karya Dean Koontz. Novel itu berjudul The Eyes of Darkness yang terbit pada Februari 1981, disana ia menuliskan lengkap nama sang ilmuan yang memperingatkan bahaya virus ini beserta dengan tahun, tempat, dan akibat penyebaran virus corona.

    Saya tidak begitu yakin kalau dia adalah seorang peramal sakti atau bahkan penjelajah waktu. Dugaan saya sejalan dengan tulisan Koontz, bahwa Corona mungkin sebagai senjata biologis pemusnah masal, pembunuh yang kebal hukum di negara manapun dan sama sekali tak bisa diadili. Alih-alih mengungkap fakta tentang penemu virus ini dan alasan pembuatan/penelitiannya, malah semua negara dibuat kalang-kabut ketakutan karena dampaknya, termasuk Indonesia.

    Rasa abai yang sebelumnya cukup besar dengan virus corona, perlahan berubah menjadi waspada, terus bertambah hingga peringatan bahaya. Ketakutan itu terus hinggap di pikiran-pikiran manusia yang begitu takut meninggalkan dunia. Segala upaya ditempuh masyarakat agar tak terjangkit, harga pelidung pernapasan melonjak tinggi, pembersih instan langka, dan banyak lagi perbuatan yang tidak salah namun berlebihan.

    Ketakutan akan sebuah bentuk ciptaan (materi) mulai menggiring umat manusia untuk menipiskan nilai Tauhid dan membatasi interaksi sosial. Ketakutan hakiki yang sebenarnya tertuju hanya pada Tuhan yang Maha Esa lambat laun bisa saja tergantikan dengan virus itu. Seakan-akan tindakan manusia lebih dipercaya ketimbang Berdoa kepada yang Maha Kuasa. Manusia dengan keimanan dan daya pikir kuat harusnya terpatri di alam bawah sadarnya bahwa kematian tidak ditentukan oleh materi melainkan murni rahasia Ilahi.

    Bersama dengan rasa kesal, sedih, dan jengkel yang bercampur-aduk saya ingin sampaikan bela sungkawa untuk korban corona dan instansi-instansi yang amat sangat berlebihan dalam mengambil keputusan! Betapa tidak, upaya preventif malah diterjemahkan dgn larangan-larangan nyeleneh.

    Interaksi sosial kemasyarakatan dikhawatirkan menjadi media penyalur virus karena bertatap muka, berbincang, atau bersalaman. Akibatnya, momentum berkumpul, berdiskusi, seminar, kuliah umum, wisuda, atau pertemuan lainnya harus batal seketika dengan berbagai edaran yang kurang masuk akal.

    Sikap atau keputusan itu bisa dibenarkan jika dan hanya jika saat dipenuhi rasa takut, bingung, dan pikiran seolah tahu kapan virus itu akan menghilang. Keputusan penundaan suatu acara mustahil membuat penyebaran virus corona terhenti! Rencana manusia tidak mungkin melampaui Keputusan Allah maha pemberi kesembuhan dan satu-satunya tempat berlindung.

    Pemerintah dan instansi yang berisikan manusia berintelektual berketuhanan harusnya tidak ‘membeli ketakutan’ yang dijual bebas gratis sepaket dengan virus mematikan itu. Rasa takut dan kelimpungan yang ada di seluruh dunia mungkin salah satu tujuan mengobrak-abrik tatanan masyarakat beragama.

    Pemerintah sebenarnya cukup melakukan upaya penyediaan fasilitas dan edukasi tentang cara mencegah penyebarannya. Instansi pendidikan tak perlu mengekang giat mahasiswa untuk berkembang, ia harus menjadi mahasiswa seutuhnya.

    Pemuka agama dan umatnya harus menyebarkan pemikiran positif dan selalu optimis dengan memohon kepada Tuhan agar corona segera dimusnahkan. Organisasi kemahasiswaan, organisasi kepemudaan, pelajar, dan penggiat media sosial, stop menyebarkan ketakutan, Ayo kuatkan iman dan beranilah katakan: Kita Tidak Takut Corona!. ***

  • Pilkada 20 Tahun Lampung Timur Yang Tak Membawa Perubahan Untuk Warga

    Pilkada 20 Tahun Lampung Timur Yang Tak Membawa Perubahan Untuk Warga

    PEMILIHAN Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di Lampung akan dilaksanakaan pada 23 September Tahun 2020 mendatang. Dan gini riak Politik terus menghembus. Baleho hingga Benner terpampang  di setiap sudut persimpangan atau papan reklame raksasa di pinggir jalan raya dan pusat pusat padat penduduk.

    Para kandidat dan tim sukses bergulat dalan politik dan trik atau strategi jitu yang dirancang sedemikian rupa, untuk meraih simpati masyarakat. Sasaran pun saat ini terus menyasr dunia maya (media sosial) dijadikan ajang bahan kampanye.

    Tidak tanggung-tanggung, mereka tidak canggung lagi dan gamlang, menyatakan niat mereka maju dalam bakal calon (Balon), baik dari latar belakang Pegawai Negeri Sipil (PNS), Politisi Partai, Petani, ada juga Pengacara dan lain-lain, yang akan merebut simpati masyarakat untuk di pilih sebagai pemangku kebijakan dan kuasa anggaran dalam lima tahun kedepan.

    Dalam sejarah, di bulan April Tahun 2020 mendatang, Kabupaten Lampung Timur bergenap umur 20 Tahun, akan tetapi sampai saat ini belum ada perubahan yang signifikan atau menonjol bahkan menjadi suatu kebanggaan, mengingat dari penataan ruang tata kota Sukadana, yang menjadi wacana dan fasilitas umum yang kurang memadai.

    Yok, kita bedah pelan-pelan, kita ambil contoh dunia pendidikan, sektor pertanian pupuk kian sulit, insfratruktur, ruang wahana wisata keluarga dan gedung diskusi publik, bahkan sampai lapangan pekerjaan yang kian sulit di dapatkan.

    Terus rakyat bingung dan cenderung menghindar, atau menganggap politik itu kejam, oh tentu tidak bisa, justru inilah momentum masyarakat ikut berperan aktif dalam sistem politik. Politik itu indah, namun tergantung bagaimana aktor yang memainkan peran nya, dan mau mengedepankan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi.

    Tentu, ini adalah salah satu langkah kita dalam menentukan haluan kebijakan dalam periode selanjutnya, masyarakat sangat menaruh harapan dan menginginkan perubahan. Seharusnya, kami menantang Bupati Lampung dan Wakil Bupati buat pencapaian 100 hari kinerja, atau tiap tahun nya, apa saja yang sudah di lakukan atau keberhasilan yang telah dicapai melalui jumpa pers agar masyarakat bisa tau dan paham. Pasti berani dong.?

    Sebagai warga negara, apalagi dalam sistem demokrasi kita wajib mensukseskan dan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menentukan arah kebijakan. Karena sukses nya Lampung Timur tergantung jari tangan kita dalam mencoblos surat suara.

    Terus, apa yang di lakukan kita dalam pilkada nanti?,

    Masyarakat harus cerdas dan lebih selektif untuk mengenali calon pemimpin kita, dan akan menentukan para pemimpin yang berdasarkan hati nurani dan mempunyai integritas dan komitmen yang tinggi dalam memajukan Lampung Timur lebih baik lagi, bukan hanya sekedar janji. Tentu kita masih ingat, pepatah lama kacang lupa kulitnya. Di ujung karya ini, kami mengajak masyarakat bisa berperan aktif dalam menyongsong pemilu serentak, dan jangan mau menerima imbalan untuk di arahkan dalam pencoblosan nanti.***

    Wahyudi, adalah Wartawan sinarlampung.co, Mahasiswa Stisipol Dharma Wacana Metro, juga Kader Muda HMI Persiapan Komisariat Lampung timur

  • Corona Idol

    Corona Idol

    Lyodra memang berhasil memenangkan Indonesian Idol dini hari tadi (3/3/2020).

    Namun, keberhasilan Lyodra mengalahkan Tiara -jagoan saya di ajang pencarian bakat itu-, tetap tak bisa mengalahkan kehebohan Corona.

    Pun kegemparannya.

    Juga kepanikannya.

    Tercatat hari ini, Corona tetap menjadi “idola”. Tak hanya di dunia nyata, juga di jagat maya.

    Tengok saja Twitter. Trending topic-nya masih dikuasai Corona.

    Google trending juga sama: corona masih “rajanya”. Tetap menjadi berita paling banyak dicari masyarakat Indonesia.

    Corona memang sukses membuat gempar negara ini. Juga membuat panik banyak orang.

    Lihat saja, masker saat ini menjadi barang langka. Sulit sekali mencarinya. Seakan terjadi “rush” masker di toko-toko yang biasa menjualnya.

    Kalaupun berhasil mendapatkannya, harganya tak seperti biasa. Naik beberapa kali lipat.

    Kelangkaan masker kian menjadi, setelah dua wanita di Depok diumumkan positif terjangkit virus bernama resmi Covid-19 itu.

    Siapakah dua wanita itu?

    Jawabannya Anda pasti sudah tahu. Karena sangat mudah mengetahuinya. Tinggal browsing saja.

    Jika ingin lebih dalam mengetahuinya, saya sarankan baca tulisan guru saya Abah Dahlan Iskan (DIS) hari ini. Di blog pribadinya: disway.id.

    Abah DIS juga menulis kronologi tertularnya dua wanita tersebut. Di tulisannya yang berjudul “Dua Pertama” itu.

    Karenanya, dalam tulisan ini, saya tak akan membahas siapa dua wanita itu. Juga bagaimana perkembangan penanganan medisnya.

    Saya hanya berharap, pemerintah, khususnya Pemprov Lampung meningkatkan kewaspadaannya.

    Sebab, virus yang sudah menewaskan ribuan orang itu, kabarnya sangat mudah sekali menularnya. Juga menyebarnya.

    Terlebih, jarak Depok dengan Lampung hanya sepelemparan batu -jika hulk yang melempar-.

    Karenanya, gubernur harus kembali mengecek kesiapan Dinas Kesehatan. Juga instansi terkait. Agar Corona tak sampai ke Lampung.

    Sosialisasi tentang pencegahannya juga harus lebih gencar. Dan massif. Kepada masyarakat.

    Agar masyarakat tidak khawatir dan panik. Serta dapat menjaga dirinya dari serangan Corona.

    Tentu saya juga berharap, kewaspadaan kita ditingkatkan. Selalu melakukan pola hidup bersih dan sehat. Untuk mencegah sebaran virus tersebut.

    Yakinlah, lebih mudah kita mencegahnya, daripada mengobatinya.

    Ayo kita tabuh bersama. Genderang perang melawan Corona. Jangan biarkan virus itu betah di Indonesia.

    Melalui tulisan ini, saya juga mengajak kita berdoa. Agar Corona sama dengan barang-barang dari negara asalnya. Yang katanya, kualitasnya tak bertahan lama. **

    Wirahadikusumah, Pimred rilislampung.id 

  • Mendambakan Keadilan Sosial

    Mendambakan Keadilan Sosial

    Oleh: Jaya Suprana*

    Syukur Alhamdullilah, saya beruntung tergolong warga Indonesia yang bisa menikmati nikmatnya kemerdekaan Indonesia. Namun sayang setriliun sayang, tidak semua sesama warga Indonesia seberuntung saya. Masih banyak warga Indonesia belum bisa menikmati nikmatnya kemerdekaan Indonesia. Kenyataan tersebut merupakan bukti tak terbantahkan bahwa sila ke lima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia belum terejawantahkan di persada Nusantara masa kini. Untuk sementara ini Keadilan Sosial hanya hadir secara terbatas untuk sebagian kecil rakyat Indonesia.

    Keberpihakan

    Berdasar dukungan dari para sahabat seperti Prof. Frans Magnis Suseno, Prof. Mahfud MD, Prof. Salim Said, Dr. Yasonna Laoly, aktivis senior Haryono Kartohadiprojo S.H, pejuang kemanusiaan Ignatius Sandyawan Sumardi, pejuang kebudayaan Aylawati Sarwono dll, saya sempat mencoba ikut berpihak kepada para warga yang belum menikmati nikmatnya kemerdekaan Indonesia. Maka saya berupaya ikut mencegah jangan sampai warga Bukit Duri digusur secara sempurna melanggar hukum. Namun kemudian saya harus menghadapi kenyataan bahwa diri saya cuma seorang insan manusia yang tidak berdaya apa pun. Terbukti pada tanggal 28 September 2016, saya tak berdaya mencegah warga Bukit Duri digusur secara sempurna melanggar hukum akibat de facto mau pun de jure tanah dan bangunan yang digusur masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri mau pun PTUN. Tidak kurang dari Prof Mahfud MD dan DR. Yasonna Laoly menegaskan bahwa tanah dan bangunan yang masih dalam proses hukum dilindungi undang-undang agar jangan disentuh apalagi digusur dengan alasan apa pun juga. Jika nekad digusur berarti penggusur melakukan pelanggaran hukum secara sempurna.

    PN dan PTUN

    Namun rasa sedih yang menyelinap ke lubuk sanubari saya agak terhibur setelah kemudian PN mau pun PTUN resmi memenangkan gugatan warga Bukit Duri. Saya berbesar hati bahwa keadilan telah dipersembahkan kepada warga Bukit Duri yang telah terlanjur jatuh menjadi korban penggusuran secara sempurna melanggar hukum atas nama pembangunan. Meski kemudian para pendukung kebijakan penggusuran rakyat gigih melancarkan serangan jurus public relations demi pembunuhan karakter warga Bukit Duri rame-rame dihujat sebagai para pemberontak yang subversif melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Malah saya sebagai pihak yang berpihak kepada rakyat tergusur juga tak ketinggalan ikut habis-habisan dihujat sebagai tua bangka botak buncit bau tanah ingin melestarikan kemiskinan. Bahkan kemudian pihak tergugat melakukan naik banding ke Pengadilan Tinggi.

    Pengadilan Tinggi

    Ternyata Pengadilan Tinggi juga sepaham dengan Pengadilan Negeri dan PTUN untuk memenangkan gugatan rakyat kecil. Maka rasa bersyukur saya bertambah dengan rasa bangga bahwa negara saya ternyata merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga hukum idak tajam ke bawah sambil tumpul ke atas. Saya bangga bahwa bangsa Indonesia telah mempersembahkan keadilan secara adil sesuai sosok patung Dewi Keadilan memegang neraca keadilan dengan mata tertutup sehingga tidak pandang bulu terhadap siapa pun juga yang dianggap melanggar hukum apalagi secara sempurna. Namun pihak tergugat tetap gigih tidak mau menyerah kalah maka kembali naik banding kali ini ke Mahkamah Agung.

    Mahkamah Agung

    Kali ini, saya benar-benar kena batunya! Ternyata Mahkamah Agung sama sekali tidak sepaham dengan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi mau pun Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara sempurna bertolak belakang dengan vonis PN, PT dan PTUN, ternyata MA memenangkan pihak tergugat yang sudah divonis bersalah oleh majelis hakim PN, PTUN dan PT. Vonis MA disambut dengan sorak-sorai gegap-gempita oleh para pendukung kebijakan menggusur rakyat namun di sisi lain disambut deraian air mata para warga miskin yang telah kehilangan tempat bermukim akibat digusur secara sempurna melanggar hukum atas nama pembangunan.

    Banjir

    Pada musim musibah banjir, juga tampak jurang kesenjangan sosial. Ada warga yang beruntung karena kebetulan bermukim di kawasan yang bebas banjir namun ada pula yang kurang beruntung akibat kebetulan bermukim di kawasan berlangganan banjir. Yang kurang beruntung masih terbagi menjadi dua nasib. Yang bernasib kurang beruntung kebanjiran namun kebetulan bernasib cukup berada bisa langsung mengungsi ke hotel. Yang bernasib kurang beruntung kebanjiran sambil juga kebetulan bernasib miskin terpaksa harus pasrah tidak bisa mengungsi ke hotel. Segenap fakta itu makin meyakinkan saya bahwa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai sila Pancasila memang belum terwujud. Saya bersyukur sebagai warga negara Indonesia beruntung dapat ikut menikmati nikmatnya kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Namun saya merasa prihatin bahwa belum semua warga Indonesia seberuntung saya. Masih banyak sesama rakyat Indonesia belum dapat ikut menikmati nikmatnya kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Sila ke lima Pancasila untuk sementara ini masih berbunyi Keadilan Sosial Untuk Sebagian Kecil Rakyat Indonesia saja. Insha Allah, kita semua sebagai warga bangsa Indonesia segera menghentikan perilaku saling membenci, saling melecehkan, saling menghujat, saling memfitnah demi bersatupadu dalam gigih berjuang mengejawantahkan sila ke lima Pancasila menjadi kenyataan di persada Nusantara nan gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kerta raharja. MERDEKA !

    (Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan)

  • Larangan Truk ODOL Berpotensi “Gaduh” dan Pungli di Pelabuhan Penyeberangan

    Larangan Truk ODOL Berpotensi “Gaduh” dan Pungli di Pelabuhan Penyeberangan

    Oleh: Ilwadi Perkasa

     

    PEMERINTAH melalui Kementerian Perhubungan mencoba menegakkan kembali regulasi melarang truk kelebihan muatan atau Over Dimension dan Over Load (ODOL). Kali ini khusus untuk masuk ke pelabuhan penyeberangan yang dimulai 1 Mei 2020 mendatang.

    Menhub menyebutkan, penegakan regulasi itu dilakukan untuk memastikan keselamatan dalam penyeberangan. Menhub tidak menyinggung soal kerusakan jalan yang disebabkan oleh muatan angkutan yang melebihi kapasitas, meski hal itu sesungguhnya telah menjadi pemahaman umum, termasuk oleh pengambil kebijakan.

    Budi mengatakan kendaraan ODOL tidak bisa dibiarkan masuk ke pelabuhan penyeberangan karena menimbulkan kerugian yang cukup besar. Di antaranya adalah kerusakan ramp door dan mobile bridge lebih cepat, serta kapasitas kapal jadi berkurang karena ada penambahan dimensi kendaraan.

    Ia tidak menyinggung soal kerugian yang lebih besar akibat ODOL yang telah merusak hampir semua jalan nasional, provinsi dan kabupaten akibat muatan angkutan yang melebihi kapasitas.

    Dampak Kebijakan

    Kebijakan yang akan diberlakukan Mei mendatang ini dinilai lebih “sayang” untuk melindungi kapal penyeberangan dari kerugian akibat kerusakan yang ditimbulkan ODOL serta menjaga keselamatan penumpang. Namun, kebijakan ini berpotensi keras akan menimbulkan dampak naiknya tarif angkutan yang secara signifikan akan menaikkan harga barang yang berujung naiknya inflasi.

    Hal ini sulit terelakan oleh sebab prilaku memuat barang berlebih sejak lama dianggap bukan sesuatu pelanggaran karena selalu bisa di”selesaikan” di jalan. Para pelaku usaha angkutan juga akan sulit menyesuaikan tarif yang pasti akan naik (diperkirakan naik 30 hingga 50 persen) oleh sebab persaingan usaha sejenis yang sangat ketat.

    Kebijakan ini juga berpotensi keras membuat gaduh lingkungan di penyeberangan, terutama di jembatan timbang yang sejak dulu dikenal “ramah” dan kompromis dengan pengemudi truk.

    Pinalti atau denda dari kelebihan muatan sejak lama selalu bisa dinegoisasikan, seperti umumnya terjadi pada jembatan timbang lain saat beroperasi beberapa tahun lalu.

    Bahkan semua orang sudah paham, termasuk orang-orang Dephub, bahwa hampir 100 persen truk-truk yang ada di atas kapal penyeberangan adalah overload.

    Hal itu terjadi karena pemerintah khususnya pelaksana teknis di bawahnya cendrung koruptif; mentransaksikan pelanggaran kelebihan muatan dengan beberapa lembaran uang.

    Semoga Menhub Budi memiliki jurus jitu untuk menangkal semua dampak sosial ekonomi dari kebijakan baru ini.

    Apakah Menhub Budi Punya Cara Mengatasinya?

  • Jika Memang Hak, Rekomendasi itu Tak akan Kemana!

    Jika Memang Hak, Rekomendasi itu Tak akan Kemana!

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    Begitulah, rekomendasi partai memang maha penting saat ini bagi para bakal calon untuk mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Dan apa boleh buat, tiga bakal calon Walikota Bandarlampung, Eva Dwiana, Yusuf Kohar dan Rycko Menoza harus masuk dalam daftar “waiting” karena nama mereka tak masuk dalam daftar yang diumumkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kemarin.

    Seperti diketahui PDIP telah menepati janjinya mengumumkan 49 paslon untuk bersaing pada Pilkada 23 September 2020, Rabu (19/02). Seluruhnya petahana dan kader.

    Tapi bukankah, Eva Dwiana juga kader PDIP, apa sebab namanya tidak turut diumumkan partainya sendiri? Eva pasti bertanya-tanya, dan juga kita, tentunya. Dan, Herman HN, suami Eva, yang selama ini selalu direstui PDIP dalam setiap pencalonannya diduga juga akan heran, mengapa nama istrinya tidak turut diumumkan.

    Apakah ini sebagai tanda malapetaka? Tentu saja tidak, sebab masih ada kemungkinan, masih ada gelombang berikutnya. Jika memang hak, rekomendasi itu tak akan lari ke mana. Hal ini tentunya juga berlaku bagi Yusuf Kohar dan Rycko Menoza.

    Ya…sudah, kita tunggu saja!

    Sembari menunggu pengumuman PDIP berikutnya, ada beberapa point yang menarik untuk dicermati, terkait PDIP itu sendiri.

    Pertama, PDIP telah berubah dari kebiasaan lama selalu menerbitkan rekomendasi pada menit-menit akhir. Kedua, keputusan menjagokan kembali petahana dan kader internal membuktikan partai pemenang pemilu ini sangat percaya diri menghadapi Pilkada Serentak tahun ini.

    Dari dua point itu bisa disimpulkan, 49 paslon yang diumumkan pada gelombang pertama adalah spesial dengan kalkulasi petahana dan kader yang diusung diyakini menang. Sebaliknya, terhadap bakal calon internal lainnya, dapat diasumsikan masih perlu dimatangkan dengan tetap memperhitungkan kemungkinan menjagokan bakal calon eksternal partai.

    Narasi semacam itu sangat normatif dan logis jika dihubungkan dengan suasana pencalonan bakal calon di PDIP Bandarlampung yang rumit. Tiga nama calon walikota Bandarlampung, yakni Eva Dwiana (kader internal), Yusuf Kohar dan Rycko Menoza, sama-sama meyakini akan memperoleh restu PDIP. Sementara pada lapisan kedua, ada dua kader internal, Tulus Purnomo dan Wiyadi yang siap dipasangkan dengan bakal calon eksternal.

    Kerumitan ini tidak akan terjadi bila PDIP meyakini kadernya akan berjaya pada Pilkada Bandarlampung nanti. Barangkali, itulah sebabnya PDIP tidak buru-buru mengumumkan paslon kepala daerah untuk Pilkada Bandarlampung.(*)

  • Saya Bangga Jadi Wartawan

    Saya Bangga Jadi Wartawan

    Medio 1990-an, saya mulai aktif mendalami dunia menulis. Kecintaan saya mulai tumbuh seiring dengan dorongan yang kuat pada dunia seni sastra, dalam hal ini membaca dan menulis puisi, cerpen, maupun essei, serta apresiasi terhadap seni panggung pertunjukan.

    Saya mulai mencintai puisi sebagai seorang deklamator dimulai sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari sanalah kegairahan serta rasa keingintahuan untuk mendalami sastra bergejolak. Sekedar menyebutkan beberapa nama yang sangat mempengaruhi kecintaan saya pada sastra, khususnya pembacaan puisi dan penulisan sastra, yakni Thamrin Effendi, Djuhardi Basri, Anshori Djausal, Rifian A. Cheppy, Ari Pahala Hutabarat, Ahmad Yulden Erwin, hingga Iswadi Pratama.

    Masa yang paling mengesankan saat saya semakin mendalami dunia sastra ketika saya tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung Divisi Teater dan Sastra. Dari kelompok studi di sanalah, saya terus mengembangkan diri dan akhirnya di awal tahun 2007, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman tercinta, Kotabumi, Lampung Utara.

    Sebelumnya, saya mulai meniti karir dalam atmosfer pers di Lampung melalui Tabloid Reaksi. Tabloid ini merupakan informasi yang dikelola Bagian Humas Universitas Lampung. Lalu, saya mulai menapak melalui Surat Kabar Harian Radar Lampung sebagai seorang copy editor, sekitar tahun 1999.

    Dari proses pembelajaran yang saya peroleh di salah satu surat kabar harian yang cukup disegani di Bumi Sai Bumi Ghuwa Jurai ini, kecintaan saya terhadap dunia kewartawanan mulai terpupuk. Kembali sekedar menyebutkan beberapa nama yang saya pikir telah membentuk diri saya untuk mendalami seluk-beluk kewartawanan, saya peroleh dari M. Nasir, Bang Acha (panggilan akrab Hi. Ardiansyah, SH, Pimum Radar Lampung ketika itu), Syahroni Yusuf, Nizwar, Ade Yunarso, juga Embun Putranto.

    Dari sanalah saya merasa sangat bergairah menjalani kehidupan saat bersentuhan dengan beragam informasi yang setiap hari selalu ada yang baru. Bagi saya, profesi wartawan adalah profesi yang sangat dinamis.

    Seiring berjalannya waktu, profesi satu ini menjadi satu-satunya pilihan yang saya jalani hingga saat ini dan tercatat sebagai wartawan daerah di Lampung Utara dengan Media Siber www.sinarlampung.co sebagai perusahaan pers tempat saya bernaung.

    Dibawah bimbingan Juniardi, S. Ip., M.H., saya terus mengasah kemampuan menulis serta mengolah informasi yang saya dapatkan untuk disajikan sebagai sebuah berita yang layak untuk dikonsumsi publik. Satu-satunya pedoman yang saya pegang teguh, yakni dengan mempelajari, memahami, serta mengaplikasikan Kode Etik Jurnalistik dalam menunaikan tugas saya sebagai wartawan.

    Dari sumber e-book yang saya peroleh melalui aplikasi gadget yang saya miliki dan saya download dari playstore pedoman berikut menjadi acuan yang terus saya baca berulang-ulang setiap ada kesempatan. Berikut ini saya copypaste secara utuh isi dari aplikasi Kode Etik Jurnalistik yang saya maksudkan tersebut sebagai satu informasi dengan tujuan untuk saling berbagi.

    “Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

    Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

    Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

    Pasal 1

    Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

    Penafsiran

    a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

    b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

    c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

    d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

    Pasal 2

    Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

    Penafsiran

    Cara-cara yang profesional adalah:

    a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

    b. menghormati hak privasi;

    c. tidak menyuap;

    d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

    e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

    f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

    g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

    h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

    Pasal 3

    Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

    Penafsiran

    a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

    b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

    c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

    d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

    Pasal 4

    Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

    Penafsiran

    a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

    b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

    c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

    d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

    e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

    Pasal 5

    Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

    Penafsiran

    a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

    b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

    Pasal 6

    Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

    Penafsiran

    a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

    b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

    Pasal 7

    Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

    Penafsiran

    a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

    b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

    c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

    d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

    Pasal 8

    Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

    Penafsiran

    a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

    b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

    Pasal 9

    Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

    Penafsiran

    a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

    b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

    Pasal 10

    Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

    Penafsiran

    a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

    b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

    Pasal 11

    Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

    Penafsiran

    a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

    b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

    c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.”

    Saat ini, era digitalisasi telah merangsek dan menguasai hampir setiap sendi kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Perkembangan teknologi informasi pun demikian pesat hingga memberikan berbagai kemudahan manusia untuk memperoleh informasi.

    Kebutuhan akan informasi dalam hal ini berita yang semula didapati melalui koran cetak dan sejenisnya secara perlahan namun pasti tergerus oleh pertumbuhan media dalam jaringan (daring).

    Pesatnya pertumbuhan media yang familiar dengan sebutan media online pun beriringan dengan profesi wartawan menjadi sebagai salah satu pilihan profesi favorit yang diambil banyak orang, termasuk di Kabupaten Lampung Utara.

    Dan bagi saya, ini keren. Profesi wartawan menjadi solusi saat masyarakat membutuhkan lahan pekerjaan yang semakin sempit. Meski demikian, secara pribadi ada banyak hal yang harus dipelajari dan dikuasai secara mendalam.

    Apa itu? Menulis berita dengan cara yang komunikatif, baik dan benar, serta jujur. Dan ini bersifat mutlak. Oleh karena itulah, saya bangga menjadi wartawan.**

    Penulis adalah wartawan Media Siber www.sinarlampung.co Biro Lampung Utara dan Ketua SMSI Lampung Utara.

  • Lampura ‘Latah’ Destinasi Wisata

    Lampura ‘Latah’ Destinasi Wisata

    Oleh : Ardiansyah *

    Belakangan ini, Kabupaten Lampung Utara sedang membidik beberapa lokasi yang kelak dijadikan spot pariwisata. Secara geografis, kabupaten tertua di Provinsi Lampung ini memiliki sumber daya alam yang dapat dijadikan area wisata dan cukup mumpuni apabila mendapatkan sentuhan dari berbagai elemen.

    Lampung Utara merupakan jalur Bukit Barisan dan juga memiliki sungai-sungai tua yang asri. Di beberapa lokasi terdapat air terjun yang dikelilingi hutan kemasyarakatan maupun hutan lindung yang masih perawan. Keragaman flora dan faunanya pun masih beragam.

    Di beberapa lokasi, ada juga waduk-waduk atau bendungan buatan yang dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan. Segala sumber daya alam (SDA) tersebut merupakan potensi yang dapat diinvestasikan menjadi wilayah destinasi wisata.

    Namun pertanyaannya, apakah seluruh potensi itu harus dijadikan spot wisata seluruhnya? Wajibkah? Mampukah pemerintah secara serentak melakukan pembinaan, pengelolaan, maupun hal teknis lainnya?

    Tentu saja tidak. Dan pasti tidak akan mampu.

    Idealnya, Pemerintah Kabupaten Lampung Utara mengelola secara maksimal satu wilayah destinasi terlebih dahulu, sebagai satu percontohan. Lakukan dengan sepenuh hati, bukan semata-mata melaksanakan tugas yang hanya bersifat seremonial semata dengan prinsip ‘Asal Bapak Senang’  dengan realisasi ‘Nol Besar’.

    Di penghujung tahun 2019, tepatnya pada Oktober 2019 lalu, salah satu desa yang ada di Kecamatan Kotabumi Utara, yakni Desa Wonomarto, mampu membuat sebuah event yang bisa dikatakan sangat luar biasa. Seiring perjalanan, dalam proses event yang diberi tajuk Festival Wonomarto itu menjadi salah satu agenda pariwisata Provinsi Lampung di tahun 2020.

    Namun mirisnya, Pemkab Lampura melalui instansi terkait terkesan ‘cuek’ dengan raihan Festival Wonomarto yang dijadikan rujukan trip wisata tahunan Provinsi Lampung.

    Apresiasi yang diberikan Pemprov. Lampung tidak diimbangi oleh Pemkab. Lampura. Bagaimana tidak, melalui Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) ditengarai menjalin kerja lintas instansi dengan mempersiapkan Bendungan Way Tebabeng yang berada di Kecamatan Blambangan Pagar, sebagai pusat destinasi wisata di Lampura.

    Berbagai perencanaan dijalankan. Peninjauan lokasi guna pembenahan infrastruktur di wilayah tersebut dirancang.

    Pertanyaannya, kok Way Tebabeng? Bukannya Taman Wisata Desa Wonomarto yang telah masuk dalam trip wisata tahunan Pemprov. Lampung yang idealnya mendapat prioritas?

    Untuk merealisasikan Festival Wonomarto II tentu membutuhkan dukungan pemerintah selaku pembina desa. Jika demikian, Pemkab Lampura dapat dikatakan tidak respect terhadap terobosan dan prestasi Desa Wonomarto yang kelak melaksanakan Festival Wonomarto II pada Oktober 2020 mendatang.

    Desa Wonomarto, khususnya lokasi wisata desa miliknya, membutuhkan pembenahan, perencanaan, dan persiapan yang lebih intens dan serius agar mampu mendongkrak destinasi wisata di Bumi Ragem Tunas Lampung dengan maksimal dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. (*)

    Catatan: * penulis adalah wartawan Media Siber www.sinarlampung.com Biro Lampung Utara dan Ketua SMSI Lampura

  • Catatan Jurnalis Media Online

    Catatan Jurnalis Media Online

    Oleh: Juniardi

    Membaca perkembangan pers dengan geliat penetrasi media siber/online semakin ketat, media besar seperti kompas.com pun melakukan perubahan besar pada situsnya. Edi Taslim menyebut, Grup Kompas Gramedia menggelontorkan Rp11 miliar untuk “reborn” kompas.com pada 2008.

    Situs yang dulu hadir dengan nama Kompas Cyber Media atau KCM lahir baru dengan branding Kompas.com. Perubahan signifikan dari “media baru” ini adalah mempraktikkan langkah sinergi dengan mengkonvergensikan sejumlah media di bawah grup Kompas Gramedia ke dalam kompas.com.

    Grup Tempo yang memiliki tempointeraktif.com juga melihat kegairahan baru ini. Sejak 2008, Tempointeraktif mulai digarap serius: staf ditambah, format baru dicari. Widiarsi menyebut, salah satu kendalanya ternyata persoalan teknis: nama situs. Tempo.com sudah ada yang punya. Di sinilah ihwal munculnya peralihan dari www.tempointeraktif.com menjadi www.tempo.co.

    Selepas 2003, situs-situs berita yang mewarnai jagad maya tanah air tampil lebih atraktif. Seiring perkembangan teknologi internet yang hadir dengan web 2.0-nya, situs-situs itu mulai membuka ruang terjadinya interaksi antar pembaca di situs mereka. Apalagi kini mulai masuk era 4,0

    Dalam media digital, ada varian pembaca dapat memberikan komentar pada berita. Disediakan pula ruang diskusi dalam forum. Partisipasi pembaca diberi ruang lebih luas dalam layanan blogging. Seperti Detik.com menyediakan detikblog, sementara Kompas.com membuka Kompasiana.

    Tak ketinggal media siber terbitan lokalpun menjamur. Dewan pers mencatat ada sekitar 43 ribu media online baru bermunculan, yang saat ini mulai berguguran dengan tahapan verifikasi di dewan Pers. Namun, perkebangan media yang begitu luar biasa, tidak diimbangi dengan kualitas produk jurnalistik.

    Penulis sependapat dengan Catatan wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002; alumnus Sekolah Tinggi Publisistik, Jakarta, yang menyatakan bahasa jurnalistik masih menjadi kendala terberat peningkatan kualitas karya jurnalistik di media online. Padahal, ibarat alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI, bahasa jurnalistik adalah “alutsista” jurnalis. Mutunya menunjukkan kualitas karya jurnalistik sekaligus “kelas” jurnalisnya.

    Kendala berikutnya, kelayakan berita. Terutama dalam bentuk berita langsung atau berita lurus, lazim disebut straight news. Contoh, sekadar lomba makan kerupuk antar-RT saja, diberitakan. Bobot nilai berita dari aspek manfaat warta bagi khalayak komunikan media (pembaca) nihil.

    Pemahaman terhadap hukum positif (undang-undang) dalam berkarya jurnalistik juga masih perlu perhatian serius. Masih ada kesan turut serta “mengadili” lewat pemberitaan ( trial by the press). Bahaya bagi jurnalis dan medianya, bila karya jurnalistik dimaksud memenuhi unsur-unsur pasal suatu delik (tindak pidana).

    Itulah tiga poin ihwal karya jurnalistik di media online, setelah mencermati ratusan item news berbentuk straight news di sejumlah media online. Pencermatan sepanjang tahun ini bisa dilakukan dengan cara mengakses warta media online di ratusan grup WA jurnalis.

    Etika-Estetika

    Bahasa jurnalistik adalah bahasa Indonesia yang digunakan pewarta (jurnalis, wartawan) dalam menyusun naskah berita berciri khas bahasa media massa. Ciri khas dimaksud: (1) singkat, (2) lugas, (3) logis, (4) taat asas kata baku, (5) mudah dicerna dan dipahami, (6) enak dibaca.

    Ciri khas ke-1 hingga ke-5 tersebut merupakan etika (kaidah tatakrama) berbahasa jurnalistik. Ciri khas ke-6, enak dibaca, merupakan estetika (kaidah keindahan). Tak pelak, jurnalis wajib memiliki kekayaan berbendaharaan kata (kosakata). Wajib pula kaya idiom, yaitu ungkapan bahasa berupa gabungan kata (frase).

    Berbahasa singkat artinya tidak bertele-tele, tapi tidak mengubah makna kata dalam kalimat. Contoh: Bupati Amartapura pada hari Jumat, tanggal 13 Desember 2019, meresmikan jembatan, Kata “hari” dan “tanggal” tidak perlu ditulis, karena sudah jelas “Jumat” nama hari dan “13 Desember 2019” itu tanggal. Kata sambung “pada” pun tidak perlu dituliskan.

    Lugas artinya langsung menukik pada sasaran; tidak membiaskan topik. Contoh: Proyek Nasional Agraria (Prona) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam kepemilikan tanah, agar masyarakat bisa menjaminkan sertifikat tanahnya di bank bila butuh uang. Kalimat “agar masyarakat bisa menjaminkan sertifikat tanah di bank” itu bias topik. Mencampuraduk aspek hukum dengan aspek ekonomi.

    Logis berarti masuk akal dan faktual. Contoh: Massa warga Donowarih yang marah bergerak ke Kantor Kecamatan Karangploso. Tidak logis, karena “Kecamatan” adalah sebutan wilayah (elemen where), bukan manusia (elemen who) atau jabatan elemen who. Logisnya, Kantor Camat Karanploso.

    Mudah dicerna dan dipahami, artinya secara sepintas (singkat) kandungan maksud dan motif dalam kalimat bisa dimengerti oleh pembaca. Contoh: Puan Maharani sebagai pimpinan lembaga parlemen dengan jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakayat Republik Indonesia, berkomitmen melaksanakan, Seharusnya cukup ditulis: Ketua DPR RI, Puan Maharani, berkomitmen melaksanakan…

    Taat asas kata baku artinya selalu menggunakan kata-kata baku. Contoh: sekadar, imbauan, konkret, atlet, antre, kuitansi, kualitas, apotek, tahu, diubah.

    Kata-kata baku tersebut masih saja “diperkosa” menjadi tidak baku: sekedar, himbauan, konkrit, atlit, antri, kwitansi, kwalitas, apotik, tau, dirubah.

    Hal yang juga parah terjadi pada kaidah penulisan kata depan, awalan dan kata sambung. Bahkan, pelanggaran kaidah tersebut mencolok sejak di kalimat judul berita, kemudian diulang-ulang dalam tubuh berita.

    Contoh kalimat judul:

    Wakil Bupati Amartapura Akan Segera Di Lantik Pada Desember Ini.
    Kaidah yang dilanggar: kata sambung “akan” dan “pada” ditulis dengan awal huruf kapital; awalan “Di” diposisikan menjadi kata depan (dipisah dari kata dasarnya, “lantik“).

    Ada pula kerancuan makna. Misal, penulisan kata orangtua (dirangkai, satu kata) dan orang tua (dipisah, dua kata), tapi maknanya disamakan. Padahal, orangtua (satu kata) berarti ayah dan ibu; sedangkan orang tua (dua kata) berarti manusia lanjut usia.

    Terakhir yang juga parah, kalimat judul cenderung panjang, lebih dari delapan kata. Sebenarnya bisa disiasati memakai sub-judul atau anak judul, lazim disebut kickers. Kalimat dalam tubuh berita pun banyak yang sangat panjang, lebih dari 20 kata per kalimat. Dampaknya menyulitkan pembaca mencerna dan memahami makna kalimat. Akibatnya jauh meninggalkan kaidah estetika. Pasti, menjadi tidak enak dibaca.

    Kelayakan

    Kelayakan berita atau kelayakan publikasi, perlu perhatian serius. Setiap institusi media massa harus memiliki kelayakan publikasi sebagai parameter atau “kiblat” pemberitaan.

    Hal tersebut merupakan keniscayaan di jagat publisistik praktika (jurnalistik). Pasalnya, tidak semua peristiwa layak diberitakan. Tidak semua orang layak diwawancarai sebagai narasumber. Tidak semua peristiwa dan narasumber bermuatan (memiliki) nilai berita yang layak publikasi.

    Bertumpu pada hal tersebut di atas, maka sekurang-kurangnya ada tiga kelayakan publiksi/kelayakan berita atas suatu peristiwa. Rincinya, (1) kelayakan peristiwa, (2) kelayakan narasumber, (3) kelayakan bobot nilai berita.

    Parameter untuk memastikan kelayakan publikasi pun harus dibangun.
    Sekurang-kurangnya ada empat parameter. Rincinya, (1) nilai kadar aktualitas yang terkandung dalam elemen when atas what, (2) proximity atau jarak elemen where atas whatwho dan komunikan utama media, (3) kelengkapan elemen bahan berita (5W + H), dan (4) kegunan/manfaat berita bagi sebanyak-banyaknya komunikan media.

    Perihal pemahaman terhadap hukum positif (undang-undang), secara empirik hanya butuh membiasakan diri gemar membaca. Tentu, membaca undang-undang. Sangat penting jurnalis diwajibkan “melek” (memahami) sejumlah hukum positif. Tidak hanya UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers, dan UU RI No. 11/ Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU RI No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    Jurnalis idealnya juga tidak hanya mafhum Kode Etik Jurnalistik. Ia wajib memahami kandungan isi UUD 1945. Mafhum pula UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai “pondasi” hukum publik (hukum pidana).

    Sangat ideal bila jurnalis juga memahami kandungan isi sejumlah undang-undang yang terkait dengan hak publik. Sebut saja, antara lain, UU RI No. 14/ Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Perlu diingat, jurnalis bukan sekadar penjaga gawang aspirasi publik. Ia pekerja intelektual yang wajib menghadirkan pencerahan pada publik lewat informasi berkualitas tinggi. Mencerdaskan khalayak komunikan medianya. Semoga.

    **Copas dari berbagai sumber

  • KI Tanpa Perwakilan Perempuan dan Wartawan

    KI Tanpa Perwakilan Perempuan dan Wartawan

    Oleh: Wirahadikusumah

    Saya mendapatkan informasi. Kemarin pagi (26/1/2020). Tentang nama-nama yang akan menjabat komisioner. Di Komisi Informasi (KI) Lampung. Periode 2020-2024.

    Tentu saya belum percaya 100 persen. Dengan informasi itu. Tentang kelima nama calon komisioner KI itu. Yang rumornya sudah diputuskan Komisi I DPRD Lampung itu.

    Sebab, hingga saat ini, belum ada pengumuman resminya. Meskipun memang, sudah beberapa orang yang menyatakan kebenaran informasi itu. Kepada saya. Terkait lima nama itu.

    Jika informasi lima nama calon KI yang beredar itu benar, jujur saya kecewa. Mungkin yang lainnya juga. Terutama kalangan perempuan. Juga wartawan.

    Sebab, dari kelima nama yang beredar itu, tak satupun ada keterwakilan perempuan dan wartawan.

    Memang tidak ada syarat mutlak, komisioner KI harus ada keterwakilan keduanya. Kendati begitu, menurut saya, idealnya komisioner KI ada keterwakilan perempuan dan wartawan.

    Kenapa harus ada perempuan?

    Karena saya melihat komposisi lembaga publik yang ada di negara ini. Banyak yang menyediakan kuota perempuan dalam keanggotaannya.

    Tengoklah KI Pusat. Ada keterwakilan perempuannya. Atau KPU Lampung, Bawaslu Lampung. Juga lainnya.

    Bahkan, partai saja disyaratkan menyediakan kuota 30 persen. Untuk keterwakilan kaum perempuan.

    Karena itulah, keterwakilan perempuan juga menurut saya harus dipertimbangkan. Jangan sampai ada kesan bias gender di KI nantinya.

    Lalu kenapa harus ada keterwakilan wartawan?

    Tentu karena saya wartawan. Yang tahu kompetensinya. Terlebih, empat nama wartawan yang lolos 15 besar calon KI itu, tak saya ragukan kemampuannya. Mereka semua senior saya.

    Jika ada wartawan Lampung yang tidak tahu dengan empat senior saya itu, maka saya simpulkan mainnya kurang jauh. Pulangnya juga kurang malam.

    Nah, mengapa di KI idealnya harus ada komisioner berbasis wartawan? Itu karena wartawan memiliki kemampuan dalam menginformasikan terkait kinerja KI. Kepada publik.

    Tengok saja selama ini, apa yang dilakukan KI belum tersebar luas di publik. Mulai dari kapan ada sidang sengketa informasi, hingga kegiatan lainnya di KI, apakah sudah massif informasinya tersebar?

    Saya menduga, itu terjadi karena tidak ada keterwakilan komisioner yang bisa meng-hire KI ke publik.

    Padahal, sebagai lembaga publik, KI harus transparan dalam informasi. Harus terbuka terhadap publik.

    Jangan malah kesannya KI menuntut lembaga publik terbuka, tetapi KI-nya sendiri tidak.

    Misal, ada sengketa informasi. Jika laporan masyarakat itu ditolak, harus dijelaskan kepada publik. Pun jika prosesnya berlanjut ke persidangan. Informasikan!

    Jangan malah diam saja. Atau hanya mengerjakan rutinitas saja. KI harus memberi contoh kepada publik. Sebagai lembaga yang terbuka terhadap publik. Tarnsparan terhadap informasi.

    Nah, profesi yang bisa meng-hire KI untuk itu adalah wartawan. Itulah mengapa saya berharap ada komisioner KI nantinya yang berbasis wartawan.

    Saya ingat zaman KI Lampung periode pertama. Yang kala itu ketuanya adalah Juniardi. Mantan wartawan Lampung Post. Yang kini menjadi Pemimpin Redaksi media online Sinar Lampung.

    Kala itu, minimal sekali dalam sepekan, Juniardi membuat release tentang KI. Yang di-share olehnya ke semua media. Menginformasikan apa saja yang dilakukan KI. Sehingga informasinya menyebar luas ke publik.

    Apa yang dilakukan Juniardi itu harus juga dilakukan KI. Karenanya, komisoner KI nanti haruslah yang memiliki kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman, untuk lembaga publik ini.

    Terlebih, salah satu fungsi KI adalah hakim. Dalam memutus sengketa informasi. Karenanya, butuh orang yang berwibawa dan bermartabat untuk menjadi komisionernya.

    Saya juga melihat, pertaruhan kinerja KI Lampung ke depan ada di komisioner yang terpilih nanti. Karenanya, saya berharap, apa yang saya jabarkan tadi tidak terlupakan.

    Semoga saja lima nama yang saya dapat itu hanya rumor belaka.

    **Wirahadikusumah adalah Pimred Rilis Lampung