Kategori: Opini

  • Lidah Agung Lebih “Pahit” dari Mustafa

    Lidah Agung Lebih “Pahit” dari Mustafa

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    Mustafa, akibat dari keterangannya, mampu menyeret sejumlah pengusaha, pejabat dan anggota dewan. Sebagian sudah ditangkap, sebagian lagi masih belum jelas nasibnya.

    Tapi, kasus Mustafa tak sampai menyeret istrinya, atau anggota keluarga besarnya. Beda dengan kasus AIM, banyak sekali yang diperiksa. Sebelumnya, telah diperiksa ayah kandungnya, Tamanuri bersamaan dengan Baktiar Basri, mantan wakil gubernur Lampung.

    Berikutnya, tersiar kabar bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI memeriksa keluarga besar Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara (AIM). Mereka diantaranya Maria Mery ibu Kandung Agung, Istri Endah Kartika Prajawati, Gunaido Seketaris Inspektorat Bawasda, dan Taufik Hidayat. Termasuk beberapa pejabat hingga sejumlah direktur perusahaan. Mereka semua menjadi saksi kasus suap fee proyek Dinas PUPR Lampung Utara.

    Sejumlah media online mengabarkan pemeriksaan atas nama-nama itu sudah dimulai sejak Selasa (21/01/2020) dan akan berakhir pada 26 Januari 2019. Pemeriksaan meminjam tempat salah satu Kantor di Jalan Basuki Rahmat, Bandar Lampung, dengan jadwal pagi pukul 10.00 hingga selesai.

    Hari Selasa 21 Januari 2020, di periksa 7 saksi, yaitu Direktur CV MAHA KARYA ABUNG M Rot Atmajaya , Direktur CV PRABU NEGARA Yuman Erhan, Direktur Rumah Sakit Handayani dr Jauhari, dua Kabid PURP Fria dan Yulias, Sekertaris PUPR Susilo Dwiko, dan anggota DPRD Riko Picono.

    Lalu pada hari Rabu 22 Januari 2020, mulai pukul 10.00, KPK melanjutkan pemeriksaaan delapan saksi, yaitu Anggota DPRD Madri Daud, Sekda Lampung Utara Sofyan, Syahrizal Kepala Dinas PUPR Lampung Utara, PNS Dinas PUPR Febri dan Mangku Alam, da tiga kontraktor, Indra Hamzah, Ansaba, dan Rodiana.

    Kamis, 23 Januari 2020, KPK kembali melanjutkan memeriksa enam kontraktor, dan satu PNS, mereka Fadly Akhmad (PNS), dengan para kontraktor, Zainuri, Amrullah, Andi Ahmad Jaya, Yan Tahlib, Eka Saputra, dan Herman Sungkai.

    Sementara Jumat 24 Januari 2019, KPK dijadwalkan memeriksa satu anggota KPU Lampung Utara, dan lima kontraktor, mereka Izal Komisioner KPU Lampung Utara, dengan lima kontraktor Organa Putra, Tohir Hasyim, Hadi Kesuma, Nico, dan Guntur Laksana.

    Sementara untuk hari Sabtu, 25 Januari 2020, KPK melanjutkan pemeriksaan kepada Ibu Kandung Agung, Maria Mery, istri anggota DPR RI Tamanuri, istri Agung, Endah Kartika Prajawati, Kepala BPKA Desyadi, Rina Febriana Dosen, lalu tiga kontraktor Gunaido, Taufik Hidayat, dan Darwis.

    Begitu banyak yang diperiksa, tapi kita belum tahu siapa yang akan menjadi tersangka berikutnya. Waktu akan menjawabnya. Publik, utamanya masyarakat Lampung Utara, tentu menunggu hasil pemeriksaan yang akan diungkap pada drama persidangan, dan berharap semua yang terlibat dihukum sesuai “dosa-dosanya”.  (*)

  • Pra Rekomendasi PKS untuk Pilkada Bandarlampung, “Perlu Kalkulasi Matang”

    Pra Rekomendasi PKS untuk Pilkada Bandarlampung, “Perlu Kalkulasi Matang”

    Oleh: Ilwadi Perkasa

     

    Harus diakui, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lampung lebih cepat dan fair dalam proses seleksi bakal calon kepala daerah Kota  Bandarlampung. Tahapannya jelas, konkrit dan tidak bertele-tele.  Meski punya kader sendiri, PKS Lampung tetap memberi kesempatan besar kepada kandidat lain.

    Sebenarnya, mekanisme seleksi oleh PKS tak berbeda dengan partai lain. Ada tahap pendaftaran, pengembalian berkas dan penyampaian  visi misi. Hanya saja, proses seleksi oleh PKS terasa lebih etis dan adil dalam arti memberi kesempatan yang sama kepada kandidat  eksternal partai dan kader PKS sendiri.

    Seperti diketahui, proses seleksi bakal calon oleh PKS Lampung sebentar lagi rampung. Terakhir, partai ini baru saja melakukan uji kelayakan dan kepatutan kepada empat bakal calon eksternal partai, yakni Yusuf Kohar, Eva Dwiana, Firmansyah, dan Rycko Menoza. Diprediksi, empat kandidat ini bakal bersaing keras memperebutkan rekomendasi PKS.

    Menurut Ketua Umum DPW PKS Lampung Ahmad Mufti Salim, pihaknya masih harus melakukan pengecekan, meneliti data bakal calon sebelum dikirim ke DPP PKS di Jakarta. Mufti Salim menjelaskan pengecekan dan penelitian data akan selesai selama satu sampai dua hari kerja. Ini berarti, pada hari ketiga atau pada pekan ini nama-nama bakal calon hasil seleksi PKS Lampung akan dikirim ke DPP PKS.

    Perlu Kalkulasi Matang

    Ketua Umum DPW PKS Lampung Ahmad Mufti Salim memperkirakan, rekomendasi DPP PKS paling cepat terbit Maret mendatang. Siapa pun yang diputuskan PKS sebagai calon walikota Bandarlampung niscaya melalui kalkulasi matang. Siapa pun calon yang diusung PKS Lampung, tentu saja sosok yang baik, berani dan berpotensi menang.

    “Dukungan utama masyarakat menjadi faktor penting,” kata Ketua Umum DPW PKS Lampung Ahmad Mufti Salim.

    Selain itu, dengan memperhitungkan jumlah kursi PKS di DPRD Bandarlampung kurang dari sepuluh kursi, tentu saja PKS Lampung mesti mencari “kawan yang baik” untuk diajak berkoalisi. Mencari “kawan yang baik” dalam situasi politik terkini menjadi penting, sebab jika yang baik-baik bersatu; partainya baik dan calonnya baik, dukungan masyarakat seperti yang diharapkan PKS, kemenangan  lebih mudah diraih.

    Calon pasangan Walikota/wakil walikota yang baik bukan semata diukur dari kelengkapan administrasi atau hasil survey yang terkadang menipu. Untuk memutus pasangan calon, partai yang baik tentulah akan melakukan penelitian yang lebih ketat, terutama yang berkaitan dengan visi misi, integritas, karakter (mampu bekerjasama dengan pasangannya), serta mandiri. Kemandirian dimaksud adalah kemampuan calon dalam membuat keputusan saat menjabat nanti tidak dibayang-bayangi sosok lain.

    (*)

  • PERANG BESAR BISA TERJADI KARENA MISKALKULASI, PEMIMPIN YANG ERATIK DAN NASIONALISME YANG EKSTRIM

    PERANG BESAR BISA TERJADI KARENA MISKALKULASI, PEMIMPIN YANG ERATIK DAN NASIONALISME YANG EKSTRIM

    Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono*)

    Bagi yang berharap tahun 2020 ini dunia kita menjadi lebih aman dan damai, harus bersiap untuk kecewa. Bahkan frustrasi. Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini kawasan Timur Tengah kembali membara.

    Tahun 2019 yang baru kita tinggalkan ditandai dengan maraknya gerakan protes sosial. Kemarahan dan perlawanan rakyat terjadi di lebih dari 30 negara. Mereka melawan pemimpin dan pemerintahannya karena merasa tidak mendapatkan keadilan, ekonominya sulit dan ruang kebebasan untuk berekspresi dibatasi. Ragamnya berbeda-beda. Mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga naik sementara daya beli rakyat turun, hingga pemerintahnya dinilai korup sementara beban utang negara meningkat tajam. Juga karena pemimpinnya dianggap ingin terus berkuasa dengan cara mengubah konstitusi dan undang-undang. Juga pemilihan umum yang baru saja dilaksanakan dianggap curang, sehingga rakyat tidak terima dan turun ke jalan. Yang lain, rakyat merasa ruang kebebasan untuk berekspresi ditutup disertai tindakan-tindakan yang represif dari pihak penguasa. Ada juga, terutama di negara-negara maju, rakyat marah karena pemerintahnya dianggap lalai dan tak serius dalam melawan perubahan iklim dan krisis lingkungan.

    Sementara gejolak sosial global di tahun 2019 itu belum sepenuhnya usai, kini dunia menghadapai ancaman yang lebih serius. Geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) kembali mendidih, yang sangat bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh. Mengapa banyak pihak sungguh cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan ini, karena banyaknya negara yang melibatkan diri dengan kepentingan yang berbeda-beda. Belum “non-state actors” yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang ada. Meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika Serikat, jangan diabaikan peran negara lain. Ada Rusia, Turki, Israel, Suriah, Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara NATO. Tentu masih ada yang lain. Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya, jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah kesitu?

    Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia. Namun, saya punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran. Maksud saya, janganlah para “world leaders” itu “do nothing”. Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus “do something”. Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak. Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar. Risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar. Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu. Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah peperangan berskala besar.

    Pasca tewasnya Jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan malam saya mengikuti pemberitaan media internasional. Saya ikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancan, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan.

    Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Jawabannya tentu tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi. Atau sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat dan harapan saya. Pendapat saya mengait pada kapan atau dalam keadaan apa perang di kawasan itu benar-benar terjadi. Sedangkan harapan saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari. Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk “to say something”.

    Penyebab terjadinya perang antar negara, atau yang melibatkan banyak negara, berbeda-beda. Pemicu meletusnya sebuah peperangan juga macam-macam. Perang Dunia ke-1, yang menyebabkan korban jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914. Peristiwa yang menyulut peperangan besar ini sering disebut sebagai “kecelakaan sejarah” (unexpected accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik dipicu oleh serangan “pendadakan” angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941. Untuk diingat, keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur. Kesalahan itu sebuah “strategic miscalculation” yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang.

    Kejadian miskalkulasi ini, atau salah hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 dulu.

    Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka. Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah di Irak, di Iran, ataupun di tempat dimana aset dan satuan-satuan militer Amerika Serikat berada. Sebuah peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai aksi untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak merencanakan dan memerintahkannya. Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.

    Tetapi, harus diingat, di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya. Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam kapasitasnya sebagai negara). Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada.

    Perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik (erratic) dan “gemar perang” (warlike). Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak. Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian, dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya tahu bahwa para pemimpin itu sangat mencintai bangsa dan negaranya. Saya tahu bahwa mereka juga patriot sejati bagi tanah airnya. Namun, patriotisme dan nasionalisme yang positif tidaklah boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan masalah sedamai mungkin. Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya cara. Saya yakin “political and diplomatic resources” masih tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan besar.

    Saya tahu memang keadaan sangat tidak mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Ada persoalan harga diri dan juga keadilan (justice) yang harus ditegakkan. Akar permusuhan di antara mereka juga sangat dalam. Iran merasa sangat dipermalukan (humiliated) dengan tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintainya. Namun, jangan lupa pula Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran tahun 1979-1981 yang lalu.

    Sekali lagi, situasinya memang tidak mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat Iran tinggi sekali. Para pemimpin Iran “pastilah” berada di ombak dan arus besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat. Namun, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang diliputi oleh amarah yang memuncak. Maknanya… keputusan itu bisa salah. Hal begini tentu berlaku pula bagi para pemimpin Amerika Serikat. Di samping itu, politik selalu menyediakan pilihan. Dalam politik segalanya juga mungkin. Tidakkah Otto Von Bismarck pernah mengatakan bahwa politik adalah “the art of the possible”. Politik juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya. “So, if there is a will, there is a way”.

    Dewasa ini dunia berada dalam situasi yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim. Paling tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang lalu. Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme makin menguat (on the rise). Demikian juga otoritarianisme. Saya kira bukan hanya Donald Trump yang mengangkat simbol-simbol nasionalisme “America First”. Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak lagi yang lain. Barangkali, semua negara juga begitu. Apa yang dikatakan oleh Ian Bremmer dalam bukunya G Zero World ~ Every Nation for Itself, bagai mendapatkan pembenaran sejarah.

    Selama 10 tahun memimpin Indonesia dulu saya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. “Kehangatan dan kedekatan” di antara pemimpin dunia masih terasa. Misalnya, meskipun ada perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama. Demikan juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Demikian juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa. Juga antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok Selatan. Juga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.

    Kesediaan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global players and regional powers) amat dirasakan. Apakah itu berkaitan dengan kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim, memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional, serta kerjasama-kerjasama yang lain.

    Kedekatan antar pemimpin dunia juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain. Apapun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih relatif “rukun”. Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela.

    Dalam pengamatan saya, G20 tidak sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat. Bahkan, ASEANpun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni Eropa sering terjadi “pertengkaran” yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi yang berusia tua itu. Mengapa ini terjadi? Tentu banyak teori dan alasan yang bisa diungkapkan. Namun, menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.

    Kembali pada topik tulisan ini, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim. Silahkan ditelaah sendiri.

    Namun, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan “endgame” dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini. Saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang. Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya “legacy” yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah. Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan “bermoral”. Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?

    Sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah “kesepakatan besar” (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic, fair deal). Tentu ada “take and give” diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya. Dunia dan sejarah harus memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.

    Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir “out of the box”, misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?

    Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi “game changer”. Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan. Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan.

    Cikeas, 6 Januari 2020

    *) Presiden RI ke-6 dan Ketua Umum Partai Demokrat

  • Reynhard Sinaga dan Ancaman Predator Seks

    Reynhard Sinaga dan Ancaman Predator Seks

    Oleh Ainul Mizan

    Ainul Mizan

    Reynhard Sinaga menjadi “Predator Seks”  terbesar dalam sejarah hukum di Inggris. Reynhard didakwa melakukan 159 kejahatan seksual, 136 pemerkosaan dan 8 serangan seksual. Paling tidak ada 48 lelaki yang jadi korbannya. Pihak kepolisian Manchester mengklaim bahwa korban bisa mencapai 190 orang. Kejahatan tersebut dilakukan dalam rentang waktu 2,5 tahun dari 1 Januari 2015 hingga Juni 2017. Tak tanggung – tanggung vonis bui seumur hidup pun diberikan.

    Suzanne Guddart, salah satu hakim dalam persidangan menyebut Reynhard Sinaga sebagai “Predator Seks Setan”.  Suzanne geram, bukan semata tebalnya dakwaan kejahatan, juga  karena  Reynhard tidak menunjukkan rasa bersalah selama persidangan.

    Dalam aksinya, Reynhard membius korban dengan minuman bercampur GHB (gamma hidroksibutirat). Ia pun memvideokan kebejatannya hingga 3,29 terra byte yang setara dengan 250 DVD. Barang – barang korban dijarahnya. Foto profil fb korbannya menjadi semacam trofi keberhasilan aksinya. Padahal, korban-korbannya mengalami trauma yang sangat berat.

    Reynhard Sinaga mengidap penyakit kejiwaan yang disebut schadenfreud. Schadenfreud adalah penyakit merasa gembira atas penderitaan orang lain. Di dalam penderitaan orang lain terdapat sesuatu hal yang baik bagi dirinya. Schadenfreud menjadi gejala adanya psikopat seksual seseorang. Ia tidak akan berempati pada orang lain. Ia tidak akan menghiraukan penderitaan orang lain. Yang penting dirinya senang dan puas.

    Dengan bangganya Reynhard menyebut dirinya sebagai Peter Pan. Ia selalu terlihat lebih muda dari usianya. Usianya sendiri 36 tahun yang tidak bisa lagi disebut masih muda. Inilah modal besarnya dalam pengembaraan seks LGBTnya. Dengan wajah ceria dan enak diajak bicara menjadi perangkapnya. Ditunjang pula gaya hidupnya yang glamour. Ia hanya bersenang – senang. Fasilitas dan harta melimpah dari orang tuanya.

    Fenomena Reynhard Sinaga adalah contoh dari kejamnya seorang predator seks. Fenomena tersebut ditunjang dengan lingkungan kehidupan liberal yang serba bebas. Baik laki – laki maupun perempuan berpeluang yang sama untuk menjadi pelaku dan menjadi korban. Dari fenomena Reynhard tersebut ada 2 hal yang patut dicermati.

    Pertama, sebelum studi ke luar negeri, khususnya ke negara – negara barat yang liberal, para pelajar Indonesia harus mendapat pemantapan jati diri. Jati diri sebagai bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Tentunya sedikit banyak kehidupan bangsa Indonesia diwarnai oleh ajaran Islam. Di samping itu adat ketimuran di Indonesia yang masih memperhatikan nilai kepatutan dan adab di masyarakat.

    Berbeda halnya dengan negeri barat. Munculnya paham kebebasan ditandai dengan adanya renaissance. Renaissance menandai terpasungnya ajaran agama di ranah privat. Dinding – dinding tempat ibadah menjadi pemisah antara agama dan kehidupan. Maka tidak mengherankan kehidupan yang bebas jadi kebiasaan. Bahkan di Inggris misalnya, ada Gay Village, surganya kaum LGBT.  Dengan menyadari jati dirinya akan menjadi benteng yang kokoh. Sebuah benteng yang bisa menghalau rayuan – rayuan kehidupan bebas yang menjerumuskannya.

    Kedua, ancaman predator seks bisa terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2016, terjadi sodomi terhadap anak laki – laki berumur 5 tahun di Jakarta International School (JIS). Begitu juga kasus Babe yang mensodomi dan memutilasi 14 anak.. Oleh karena itu diperlukan upaya yang serius dalam menanggulangi ancaman predator seks ini. Ada 2 lini yang bisa berperan besar dalam hal ini. Lini pendidikan dan lini kebijakan dari negara.

    Pendidikan berperan di dalam menanamkan nilai kehidupan. Pendidikan harus memperkuat pembedaan identitas jenis kelamin antara laki – laki dan perempuan. Kodrat lelaki maskulin dan penanggung nafkah keluarganya. Perempuan sebagai ibu bagi anak – anaknya. Bahwa laki – laki dan perempuan diciptakan untuk bekerjasama di dalam masyarakat, termasuk kerjasama dalam bingkai pernikahan. Semuanya dibingkai dengan keimanan dan ketaqwaan.

    Adapun peran kebijakan negara terkait regulasi hukum. Penjagaan kelestarian keturunan manusia urgen menjadi kacamata dalam merumuskan kebijakan. Setiap pelanggaran terhadapnya dipandang sebagai kejahatan serius yang harus dikenai sangsi. Aktivitas homoseksualitas merupakan pelanggaran, mengingat tujuan dari pemeliharaan keberlangsungan keturunan manusia tidak dapat diwujudkan.

    Pembangunan dalam sebuah negara memberikan konsekwensi kesinambungan pelaksanaan dan pemerataan. Jumlah penduduk produktif yang banyak menjadi bonus pembangunan. Tinggal negara mampu mencetak SDM – SDM yang berkualitas bagi tujuan pembangunan nasional berupa  mewujudkan kesejahteraan bangsa. Sebuah kesejahteraan dari segi lahiriahnya maupun batiniahnya. Ketenangan dan bebas dari ancaman predator seks adalah bagian dari kesejahteraan batiniah.(*)

    #Penulis tinggal di Malang

  • Tak Perlu Kaget Wahyu Ditangkap! “Ini Biasa”

    Tak Perlu Kaget Wahyu Ditangkap! “Ini Biasa”

    Oleh: Ilwadi Perkasa

     

    Jujur saja, saya tidak kaget dengan kasus suap yang menimpa komisioner KPU RI Wahyu Setiawan. Bagi saya itu kasus biasa yang bisa menimpa siapa saja, terutama bagi individu yang menggenggam kekuasaan atau jabatan strategis. Saya tidak kaget, karena sejak lama memahami ada relevansi dari  setiap peristiwa pengungkapan kasus korupsi/suap dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan para pelaku sebelumnya.

    Kasus korupsi Anas Urbaningrum dan Angelina Sondag misalnya. Sebelum mereka ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), keduanya kerap nongol di tivi menjadi model iklan anti korupsi. Namun beberapa bulan kemudian, keduanya ditangkap KPK atas kasus korupsi proyek Hambalang, Kemenpora dan Kemendiknas. Kini keduanya masih menjalani hukumannnya.

    Anas, anak muda yang tampan dan digadang-gadang menjadi pemimpin masa depan akhirnya divonis hukuman 8 tahun pidana penjara oleh majelis hakim karena terbukti korupsi menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang pada September 2014 lalu.  Belakangan, Artidjo Alkostar, hakim Mahkamah Agung yang dikenal garang, menambah hukuman Anas menjadi 14 tahun pada sidang kasasi di MA pada Juni 2015.

    Beruntung ia tidak dihukum digantung di Monas, sesuai janjinya.

    Sedangkan Angelina Sondakh, terpidana korupsi kasus suap di proyek Kemenpora dan Kemendiknas pada tingkat pertama dihukum 4,5 tahun penjara dan pada tingkat kasasi dinaikkan tiga kali lipat menjadi 12 tahun penjara pada November 2012. Majelis yang diketuai Artidjo Alkostar juga menyita seluruh harta Angie total Rp 39 miliar. Belakangan, mantan Putri Indonesia itu mengundi nasib dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Meski tidak dikabulkan seluruh harapannya, Mahkamah Agung (MA) memberikan ampunan dan belas kasihan yaitu dengan menyunat hukuman dari 12 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara pada Desember 2015.

    Entahlah, bagaimana keadaan Si Cantik ini saat ini. Semoga ia sehat dan diberikan kekuatan menjalani hukumannya. Semoga dia  tetap dalam keimannnya, Islam.

    Lalu, kasus Akil Mochtar, ia dihukum seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 12 November 2014 atas perkara suap sengketa pilkada.‎ Padahal, beberapa bulan sebelum Akil digaruk, ia sempat dengan entengnya mewacanakan hukuman potong kelingking untuk koruptor.

    Akil beruntung kelingkingnya masih utuh.

    Kasus Suap KPU

    Kini ada lagi kasus suap oleh Wahyu Setiawan, komisioner KPU RI. Sebelum kasusnya terungkap, Wahyu pernah sangat garang menyatakan akan menindak tegas penyelenggara pemilu yang terlibat gratifikasi dalam Pilkada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ketegasan tersebut dibuktikan dengan pelaporan kasus gratifikasi tersebut ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) pada Februari 2018 lalu.

    Saat itu, Wahyu terkesan sebagai komisioner KPU yang bersih dari korupsi, tegas, jujur dan punya integritas yang tinggi. Saya mencatat beberapa kutipannya di media massa yang justru bertolakbelakang dengan fakta yang menimpanya saat ini.  Kala itu Wahyu mengatakan kasus gratifikasi komisioner KPU Garut  akan menjadi momentum pihaknya dalam menjaga integritas dan wibawa penyelenggara pemilu. “Ini momen untuk kami sebagai penyelenggara untuk berhati-hati dan senantiasa menjaga integritas,” kata Wahyu saat itu.

    Singkat kata, setelah itu Komisioner KPU Kabupaten Garut Ade Sudrajad diberhentikan dan ditangkap Polda Jawa Barat atas kasus suap.

    Kini, dengan kasus serupa, Wahyu juga ditangkap.

    Dan semakin jelas, bahwa perkataan tidak selalu dengan perbuatan.

    Sekali lagi, saya tidak kaget! (*)

  • Tinjauan Hukum Perdata Dalam Penyelesaian Prestasi Terhadap Isi Perjanjian

    Tinjauan Hukum Perdata Dalam Penyelesaian Prestasi Terhadap Isi Perjanjian

    (Studi Perkara Nomor : 170/Pdt.G/2018/PN.Tjk, Jo Perkara Nomor: 34/PDT/2019/PT.TJK)

    Oleh: Suci Permata Muli, Annisa Putri Lestariawan, Angra Adinda LaraKasih
    dan Yohana Ria Enjelina

    Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sering terjadi peristiwa hukum baik yang dilakukan oleh subjek hukum secara sendiri atau dengan pihak lain. Peristiwa hukum yang dilakukan sendiri oleh subjek hukum biasanya berupa hadiah, hibah. Sementara yang dilakukan oleh subjek hukum dengan pihak lain biasanya dalam bentuk perjanjian sewa menyewa dan jual beli.

    Oleh karena itu, peristiwa hukum ini akan berdampak pada akibat hukum. Untuk menjamin kepastian hukum dalam negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental, maka harus dibuatkan perjanjian yang berbentuk tertulis. Perjanjian dalam hal ini, dapat dilakukan antara satu orang atau lebih dengan menitik beratkan kepada kepentingan Para Pihak berdasarkan asas kebebasan berkontak dan Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept).

    Perjanjian di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yakni dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menjelaskan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dengan demikian perjanjian itu hanya dapat terjadi antara dua belah pihak atau lebih dengan menimbulkan hak dan kewajiban antar pihak.

    Masih terkait dengan perjanjian, di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yakni “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang diperkenankan”.

    Dengan diaturnya syarat sah sebuah perjanjian, maka para pihak yang jumlahnya dua atau lebih dapat melakukan perjanjian dengan mengedepankan asas kebebasan berkontrak, sehingga apapun yang menjadi kesepakatan maka menjadi sebuah Undang-Undang bagi Para Pihak yang membuatnya.

    Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menjelaskan “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua bela pihak atau karena laasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksankaan dengan itikat baik”.

    Pada kesempatan ini penulis ingin melakukan analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Register Perkara Nomor. 170/Pdt.G/2018/PNTJK Jo Register Perkara Nomor: 34/PDT/2019/PT.TJK, dengan Amar Putusan menerima permohonan Banding dari Pembanding/semula Penggugat; Menguatkan Putusan Pengadilan Tanjung Karang Tanggal 12 Februari 2019, Nomor :170/Pdt.G/2018/PN.TJK yang dimohonkan Banding tersebut dan Menghukum Pembanding/semula Penggugat untuk membayar seluruh ongkos perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat Banding ditetapkan sebesar Rp 150.000 (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

    Putusan sebelumnya yakni register perkara nomor: 170/Pdt.G/2018/PN.TJK dengan amar yakni dalam eksepsi: menolak eksepsi Tergugat seluruhnya dan dalam pokok perkara Menolak gugatan Penggugat seluruhnya dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah Rp 946.000,00 (Sembilan Ratus Empat Puluh Ribu Rupiah).

    Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka di dalam proses jual beli objek berupa tanah di atas, terdapat 3 (tiga) perjanjian para Pihak yakni Pertama, Surat Perjanjian Kerjasama Tanggal 8 Juli 2008 untuk mengurusi pembiayaan perkara Perdata Nomor: 09/Pdt.G/2007/PN.KLD yang terdaftar di Pengadilan Negeri Kalianda antara Kuasa Hukum dan Pihak Penyandang Dana, dengan klausula perjanjian sebagai berikut:

    “Kuasa hukum dari Pemilik Tanah berhak mendapatkan pembagian hasil (jasa/success fee) dari pemberi kuasa sebagai pemilik tanah yaitu sebesar 35 % (tiga puluh lima persen) dan Pihak Penyandang Dana mendapatkan pembagian hasil (jasa/success fee) yaitu sebesar 65 % (Enam puluh lima persen) dari nilai keseluruhan objek perkara setelah dipotong dengan biaya-biaya pengurusan perkara serta hak dari pemilik tanah selaku ahli waris”.

    Kedua, Surat Kuasa Menjual dari Pemilik Tanah kepada Pihak Penyandang Dana pada tanggal 24 Oktober 2008 yang didaftarkan di Notaris yang pada intinya untuk mengurus surat-surat tanah dan menjual serta menerima pembayaran harga atas sebidang tanah warisan dari Almarhum orang Tua dari Pemilik Tanah yang terletak di Desa Srimulyo/Pemanggilan, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan Seluas ± 25.510 M².

    Perjanjian ini dengan Klausula bahwa Pihak Penyandang Dana diberikan hak sepenuhnya untuk menentukan harga penjualan tanah dan dari hasil penjualan tanah seluruhnya Pemilik Tanah hanya meminta Rp. 2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah) yang pembayarannya dilakukan secara tunai.

    Selain kuasa untuk menjual, Pihak Penyandang Dana juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan keamanan terhadap Pemilik Tanah dan memberikan kebutuhan hidup sehari-hari selama proses pengurusan tanah ini selesai dan laku terjual;

    Ketiga, Surat Kesepakatan antara Penyandang Dana selaku Kuasa Menjual dengan Pihak Penghubung dengan pembeli (selaku Makelar) berdasarkan Surat Kesepakatan/Perjanjian tanggal 30 Mei 2012 dengan Klausula bahwa Kuasa penjual menjual tanah tersebut seharga Rp. 3.773.200.000 (Tiga Miliar Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tiga Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) sebagaimana Akta Jual Beli Nomor : 412/Pmg-2/III/2013 Tanggal 21 Maret 2013 dan apabila Pihak penghubung dengan pembeli mampu menjual tanah tersebut dengan nilai di atas kesepakatan, maka nilai lebih tersebut menjadi milik Pihak Penghubung dengan Pembeli (makelar).

    Dalam perjalananya, Tanah yang dijual oleh Kuasa menjual terjual dengan harga sebesar Rp.10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar), sehingga kelebihan nilai menjadi milik Pihak Penghubung dengan Pembeli (makelar) yakni sebesar Rp. 6.226.800.000 (Enam Miliar Dua Ratus Dua Puluh Enam Juta Delapan Ratus Ribu Rupiah).

    Pihak Penyandang dana telah menunaikan kewajibannya kepada Pihak Kuasa Hukum Pemilik Tanah guna memenuhi isi Perjanjian Kerjasama Tanggal 8 Juli 2008 dengan pembagian untuk kuasa hukum pemilik tanah sebesar Rp. 350.000.000,00 (Tiga Ratus Lima Puluh Juta rupiah) dan untuk Penyandang dana sebesar Rp650.000.000,00 (Enam Ratus Lima Puluh Juta rupiah).

    Pembagian ini dihitung dari nilai jual yang disepakati antara Pemilik tanah dan Kuasa menjual (penyandang dana) berdasarkan Akta Jual Beli Nomor: 412/Pmg-2/III/2013 Tanggal 21 Maret 2013, Pihak Penyandang dana mendapatkan pembagian dari Pemilik tanah hanya sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).

    Kuasa Hukum pemilik tanah belakangan mengetahui bahwa nilai jual tanah Kliennya sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah), bukan seharga Rp. 3.773.200.000 (Tiga Miliar Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tiga Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) sebagaimana Akta Jual Beli Nomor : 412/Pmg-2/III/2013 Tanggal 21 Maret 2013.

    Akibat kesalahpahaman tersebut Kuasa Hukum pemilik tanah melaporkan Penyandang Dana ke Polresta Bandar Lampung dengan laporan Polisi Nomor: TBL/8-1/2225/IV/2017/LPG/RESTA BALAM dengan masih mempersoalkan Kesepakatan Tanggal 8 Juli 2008 tanggal 27 April 2017.

    Selain melaporkan Penyandang dana, Kuasa Hukum Pemilik tanah melayangkan Gugatan Wanprestasi ke Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang dengan Nomor Register Perkara: 170/Pdt.G/2018/PN.Tjk dan perkara ini telah diputus dengan amar putusan Menolak Gugatan Kuasa Hukum Pemilik tanah (selaku Penggugat) dan diperkuat oleh Hakim Banding Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan register perkara nomor: 34/PDT/2019/PT.TJK dan saat ini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

    Adapun pertimbangan hakim menolak gugatan Kuasa Hukum Pemilik tanah (selaku Penggugat), karena Pihak Penyandang Dana berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Tanggal 8 Juli 2008 telah menyelesaikan prestasinya, adapun kelebihan dana adalah milik pihak penghubung dengan pembeli (makelar) bukan menjadi tanggungjawab Penyandang Dana.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam satu objek dapat diperjanjikan dengan beberapa pihak, selama memenuhi persyaratan yang mengikat timbulnya sebuah perjanjian. Di dalam perkara tersebut, Pihak penyandang dana tidak dapat dikatakan wanprestasi karena prestasinya sudah dipenuhi dan tidak bertentangan dengan Pasal 1243 KUHPerdata.

    Yang menjelaskan “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”, serta sudah terpenuhinya ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata “Tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

    Penulis : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung

  • Hari Amal Bakti Kementerian Agama (Umat Rukun, Indonesia Maju)

    Hari Amal Bakti Kementerian Agama (Umat Rukun, Indonesia Maju)

    Oleh: Munawar, S.Fil.I, M

    Tanggal 3 Januari merupakan peringatan Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama (Kemenag) RI. Pada tahun 2020 ini, Kemenag memasuki usia ke-74. Dengan mengusung tema “Umat Rukun, Indonesia Maju”, diharapkan Kemenag dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal.

    Dalam peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 10 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, pada Bab I pasal 2 disebutkan bahwa, Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang keagamaan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

    Sedangkan dalam pasal ke 3 disebutkan bahwa fungsi Kementerian Agama adalah; perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keagamaan; pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawab Kementerian Agama; pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama; pelaksanaan bimbingan tekhnis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah; pelaksanaan kegiatan tekhnis yang berskala nasional; dan pelaksanaan kegiatan tekhnis dari pusat sampai ke daerah.

    Dalam penjabarannya, tugas pokok dan fungsi Kemenag kemudian dijabarkan kedalam lima program pokok. Penjabaran lima program pokok tersebut adalah : peningkatan kualitas kehidupan beragama, peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan, peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umroh, dan peningkatan tata kelola pemerintahan.

    Secara teoritik, bahwa Kemenag mempunyai peran dan fungsi yang amat strategis. Peran dan fungsi strategis ini tidak lain adalah kedudukan agama dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan. Agama dalam konteks ini, menjadi bagian penting dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agama mempunyai sumbangsih besar dalam mendukung dan mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia. Ini bermakna bahwa agama mempunyai kontribusi yang besar dalam mendirikan dan sekaligus mengisi kemerdekaan Indonesia.

    Dalam konstitusi, bahwa seluruh sistem dan keyakinan agama dilindungi dan dijamin oleh negara. Hal ini berarti bahwa negara memberikan jaminan bagi warga negara untuk memeluk agama yang diyakininya. Jaminan negara ini harus dimaknai sebagai wujud hadirnya negara dalam menjamin hak-hak setiap warga negara. Jaminan ini juga merupakan pengakuan negara bagi seluruh pemeluk agama dalm menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.

    Memang benar, NKRI terlahir bukan dari “rahim” agama tertentu. Namun NKRI lahir dan berdiri diatas prinsip-prinsip agama yang universal. Prinsip-prinsip agama ini mengandung nilai-nilai bahwa agama memiliki landasan moral dan spritual serta landasan etik. Ketiga nilai tersebut merupakan nilai penting dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia.

    Jika dijabarkan secara lebih luas, bahwa nilai agama dapat dijadikan sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Nilai persatuan dan kesatuan sangatlah penting untuk dikedepankan dalam pembangunan nasional. Sebab dengan persatuan dan kesatuan yang terbangun, tujuan membangun bangsa dapat diwujudkan dengan baik.

    Penjabaran selanjutnya dapat disampaikan bahwa agama dapat dijadikan sebagai baromater yang berkesinambungan. Artinya bahwa fungsi agama sebagai fungsi sosial dapat dijadikan sebagai sebuah pijakan dalam mengisi pembangunan nasional. Fungsi sosial ini sekaligus dapat dijadikan sebagai penguat dalam memberikan nilai-nilai dalam pembentukan karakter dan prilaku etis bagi semua masyarakat.

    Ini menunjukkan bahwa fungsi agama dalam masyarakat merupakan sumbangan untuk mempertahankan nilai-nilai didalam masyarakat. Fungsi ini juga dimaknai sebagai sebuah usaha yang dinamis. Sehingga fungsi agama akan terlihat nyata dalam kehidupan masyarakat yang aktif, demi terciptanya stabilitas pembangunan nasional yang berkesinambungan.

    Asumsi yang dapat disampaikan dari gambaran diatas bahwa fungsi agama tidak bisa dilepaskan dalam tradisi masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan yang beragam, fungsi agama mampu memberikan solusi dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia terkenal dengan masyarakat yang religius. Artinya, seluruh sendi kehidupan, sumber hukum, nilai etika dan moral, serta nilai sosial kemasyarakatan bersumber dari nilai universal agama.

    Nilai-nilai universal agama ini yang perlu senantiasa dijaga dan dikembangkan bersama-sama oleh seluruh keluarga besar Kemenag. Pola pengembangan ini, menurut penulis sudah menjadi program kerja yang terumuskan dalam bentuk lima program pokok Kemenag. Terlebih lagi, Kemenag merupakan simbol dari moderasi dan sekaligus menjadi penanggungjawab dalam menjaga keharmonisan antara agama dan negara.

    Dalam konteks kekinian, salah satu tantangan yang dihadapi Kemenag adalah kemajuan tekhnologi. Dengan kemajuan tekhnologi meniscayakan semua elemen masyarakat dapat dengan mudah mengakses beragam informasi. Poin ini menjadi penting untuk dijadikan sebagai pijakan untuk menjadikan tekhnologi sebagai wahana dalam membantu tugas Kemenag. Salah satu kebijakan yang bisa dikembangkan adalah menjadikan tekhnologi sebagai media informasi yang sehat dan bertanggungjawab.

    Mengapa point diatas menjadi penting untuk dilakukan, karena kerukunan umat dapat terpecah jika informasi yang ada tidak benar dan tidak bertanggungjawab. Beragam informasi yang tidak benar atau hoax disebarkan oleh individu yang tidak bertanggungjawab, bisa menjadikan umat terpecah. Terlebih lagi, jika informasi tersebut terkait dengan isu salah satu agama, bisa dipastikan akan merusak sendi-sendi kerukunan umat beragama di Indonesia.

    Hoax adalah ancaman nyata yang amat serius ditengah-tengah kerukunan umat. Dengan bertebarnya hoax, masyarakat dihadapkan pada realitas yang gamang. Informasi yang disebarkan dengan tidak bertanggungjawab, berpotensi menimbulkan saling curiga sesama anak bangsa. Maka menjadi penting jika hoax dijadikan musuh bersama, khususnya keluarga besar Kemenag. Dalam posisi yang demikian, Kemenag dapat menjadi garda terdepan dalam memerangi hoax dan sekaligus menjadi penyampai informasi yang benar dan bertanggungjawab.

    Ada banyak konten di media massa yang mengandung informasi yang tidak benar. Kondisi ini bisa dikurangi, minimal berkurang jika, keluarga besar Kemenag mempunyai spirit sebagaimana yang tertulis dalam sejarah lahirnya Kemenag. Dimana Kemenag lahir sebagai jangkar pembangunan nasional dan sekaligus rumah besar bagi semua agama.

    Sebagai rumah besar bagi semua agama, Kemenag menjadi tempat untuk mengayomi, tempat melindungi dan tempat membina seluruh umat beragama di Indonesia. Dengan kondisi yang demikian, maka kerukunan umat beragama dapat terbangun. Jika hal ini dapat dilaksanakan maka bangsa Indonesia dapat menjadi harmonis dan dinamis, yang pada akhirnya kerukunan umat menjadi pondasi utama dari kerukunan lainya, yakni kerukunan yang berskala nasional.

    Meski berat dalam menjaga kerukunan umat beragama, penulis meyakini bahwa Kemenag mampu menjalankan program tersebut. Terlebih lagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kemenag mempunyai spirit pengabdian yang ikhlas beramal. Atau minimal ASN Kemenag – harus – menjadi lokomotif penggerak kerukunan umat. Hal ini penting untuk disadari bahwa kerukunan umat adalah kunci untuk memajukan Negara Indonesia.

    Semoga, HAB Kemenag ke-74 tahun ini dapat menjadi sebuah pengikat kebersamaan dan kerukunan antar anak bangsa. Dengan demikian, tema “ Umat Rukun, Indonesia Maju”, menjadi bermakna. Wallahu’alam bishowab. **

    *Penulis PAI Fungsional Kemenag Way Kanan

  • Introspeksi Indeks Kemerdekaan Pers Lampung:  Apa Kita Bisa Perbaiki!

    Introspeksi Indeks Kemerdekaan Pers Lampung: Apa Kita Bisa Perbaiki!

    Oleh: Ilwadi Perkasa

     

    Teman sejawat pers yang terhormat. Sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru 2020, sebuah tahun dengan deretan angka-angka yang cantik: Double 20. Semoga di tahun yang cantik itu, kita semua diberikan kesehatan dan limpahan rezeki yang banyak. Silakan diaminkan!

    Namun ada baiknya kita  kembali membuka sejenak catatan atau dokumentasi berita yang pernah kita turunkan di media kita masing-masing. Yakni tentang rendahnya Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di Lampung.

    Seperti  kita ketahui, IKP Lampung tahun 2019 berada pada posisi kedua terendah atau ke-33, dari 34 provinsi di Indonesia. Skor IKP 2019 Lampung di bawah angka 70 (67,92) dari rata-rata nasional 73,71. IKP terendah berada di Papua dan tertinggi Sulawesi Tenggara (84,84).

    Tak ada kehebohan dari perengkingan IKP yang dirilis Dewan Pers tersebut. Tidak ada keterkejutan atau luapan kekecewaan (ungkapan rasa malu karena seharsunya kita malu). Pun nyaris tak ada yang merasa tertampar lalu berusaha menawarkan solusi untuk memperbaiki IKP yang memalukan tersebut. Kalau pun ada, nyaris tak menimbulkan “ledakan”.

    Kita semua seperti “tahu sama tahu”, bahwa raihan IKP yang sangat buruk tersebut adalah karena ulah atau prilaku pers di Lampung sendiri. Untuk paragraf ini, jika dirasa terlalu keras, saya mohon maaf kepada rekan sejawat semua.

    Beruntung, mantan Ketua Dewan Per periode 2013-2016 Bagir Manan tidak menertawakan pers di sini. Pak Bagir, dengan kebesaran jiwanya meminta praktisi pers di Lampung tak perlu menangisi hasil yang buruk tersebut.

    “Itu hal biasa saja. Ini hanya persepsi dari sebuah hasil survey, yang dapat diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Jadi, tolong ini ditingkatkan,” ujar Prof. Bagir Manan, pada acara Sosialisasi Hasil Indeks Kemerdekaan Pers yang digelar Dewan Pers, Kamis (28/11) di Hotel Horison, Bandarlampung.

    Menurut Bagir Manan, praktisi pers perlu memahami bahwa kemerdekaan pers tak melulu terancam oleh faktor-faktor eksternal. Sebab, ancaman kemerdekaan pers juga bisa terbentuk dari faktor internal, bahkan oleh prilaku pers itu sendiri.

    “Ancaman dari faktor internal ini seharusnya bisa diperbaiki dengan melakukan langkah-langkah pembenahan. Beda dengan eksternal, kita hanya bisa mengimbau,” ujar Bagir Manan.

    Lebih jauh Bagir Manan menyatakan, indeks kemerdekaan pers sangat terkait dengan pengetahuan dan karakter (kualitas). “Pers yang miskin dan terbelakang tidak mungkin merdeka,” tegasnya.

    Pers yang miskin dan terbelakang rentan tak merdeka, karena akan sangat bergantung pada kepentingan kelompok seperti kepada pemerintah daerah.

    Menyimak pernyataan Pak Bagir di atas, saya jadi ingat beliau pernah menyatakan atau lebih tepatnya menyarankan agar pers tidak melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah. Sebab, hal demikian bisa menyandera kebebasan dan kemerdekaan pers itu sendiri. Inilah, barangkali yang dimaksud dengan ancaman internal yang sebenarnya bisa kita perbaiki sendiri.

    Apa kita bisa!

  • Teror Harimau Sumatera: “Ritual Sedekah Dusun” Tradisi Adat Berdamai dengan Pangeran Panglima Kumbang

    Teror Harimau Sumatera: “Ritual Sedekah Dusun” Tradisi Adat Berdamai dengan Pangeran Panglima Kumbang

    DESEMBER 2019 adalah hari-hari mencekam bagi petani yang berladang di hutan sekitaran Gunung Dempo, Sumatera Selatan, menyusul tewasnya enam orang diterkam Harimau Sumatera secara berurutan dalam sebulan ini. Harimau Sumatera keluar dari sarangnya, masuk perkebunan masyarakat dan berkonflik dengan manusia.

    Terakhir, harimau memangsa seorang wanita warga Dusun V, Desa Padang Pindu, Kecamatan Panang Enim, Kabupaten Muara Enim. Janda Sulistiawi (30) tewas tercabik cabik saat mandi di aliran sungai, dalam hutan masyarakat, Jumat, 27 Desember 2019.

    Situasi makin mencekam, sebab menurut keterangan sejumlah warga, harimau yang berkonflik dengan manusia tidak tunggal, tapi kawanan. Seorang warga Desa Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumsel, mengaku sempat dikepung kawanan harimau di ladangnya. Dia harus bertahan di dalam pondoknya dengan rasa takut yang luar biasa. Dia melihat kawanan harimau datang, mengaum dan terus menerornya.

    Fenomena ini sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, terutama di lanskap yang menghubungkan Gunung Dempo dengan Gunung Fatah [Muaraenim, Lahat dan Pagaralam dan Bengkulu]. Konflik manusia dengan kawanan Harimau di Sumatera pernah terjadi beberapa puluh tahun lalu. Tepatnya di Desa Semidang, Bengkulu Tengah, Bengkulu.

    Pada 1938, saat nama Desa Semidang masih Dusun Karang Nanding, ada kawanan harimau yang turun dari kantongnya di Bukit Jengi. Mereka memakan ternak warga. Warga marah, lalu memburu harimau. Seekor harimau tewas dibunuh ramai-ramai. Kepalanya digantung dekat pos keamanan dusun. Berulang kali dipukul seperti kentongan.

    Tak beberapa lama,  sekawanan Si Raja Rimba berkumpul di Bukit Kabu, tak jauh dari Dusun Karang Nanding untuk melakukan  serangan balasan.  Area serangannya makin meluas, tak cuma di dusun itu, tapi mencakup Dusun Tengah Padang, Gajah Mati, Karang Nanding Lama, Telarangan, Sekuang Karang Anyar, Tanah Liuk dan Katup Becap.

    Harimau menyerang warga di tengah kebun, di rumah, maupun di jalan. Pagi, siang, maupun malam. Ada manusia yang mati. Karena takut setelah diteror empat tahun lamanya, akhirnya masyarakat dusun pindah ke Kota Bengkulu, Rejang Lebong, Kepahiang, dan lainnya. Dan pada 1980-an atau 35 tahun kemudian, ketika harimau tidak lagi terlihat di dusun, warga yang mengungsi kembali.

    Harimau membutuhkan hutan luas untuk  keberlangsungan hidup

    Hendra Gunawan, Profesor Riset dan pengajar di Institut Pertanian Bogor [IPB] mengatakan harimau adalah pemangsa puncak dalam rantai makanan ekosistem hutan tropis Sumatera. Pemangsa puncak memiliki wilayah jelajah paling luas di antara satwa lain, jauh lebih luas dari mangsanya.

    Jelajah harimau bisa lintas kabupaten atau provinsi. Meski satwa tidak mengenal batas-batas wilayah, mereka hanya mengenal batas wilayah sendiri yaitu teritori. “Konsekuensinya, harimau membutuhkan hutan luas untuk mendukung keberlangsungan hidupnya. Kita mengenal dengan istilah lanskap hutan. Jika bentangannya masih nyambung [kompak] maka harimau tidak akan bertemu jalan, permukiman atau perkebunan. Namun, saat ini hutan sudah banyak terfragmentasi [terpotong] jalan, pemukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, jaringan kanal irigasi, atau SUTET,” ujarnya.

    Akibatnya, harimau akan menyeberang jalan, melewati permukiman atau masuk perkebunan. Satwa liar pada umumnya memiliki jalur jelajah tetap dan rutin dijelajahi jika tidak ada gangguan,” lanjutnya.

    “Poin pentingnya, jika habitat harimau rusak, peluang terjadinya konflik dengan manusia terbuka.”

    Secara common sense, banyaknya konflik satwa dengan manusia mengindikasikan habitatnya terganggu. “Secara naluri, satwa pemangsa hanya memakan satwa yang secara alami disediakan alam. Perilaku menyimpang ketika ada satwa liar memangsa ternak atau manusia, bisa dilihat dari beberapa sudut pandang,” jelas Hendra.

     

     

    Foto: Harimau sumatera, saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

     

    Satwa menyerang manusia biasanya karena terpaksa untuk mempertahankan diri, merasa terancam, bukan untuk mencari kenyang. Kejadian seperti ini bisa terjadi ketika satwa kepergok manusia, atau manusia secara sengaja memburu, mengintimidasi, atau berkonfrontasi langsung dengan satwa.

    “Satwa juga memiliki perilaku belajar [learning behavior], ketika memangsa ternak dianggapnya mudah dan enak, maka dia akan mengulangi, terutama ketika mangsa alaminya tidak ada lagi di alam.”

    Sayangnya, jelas Hendra, belum ada penelitian khusus tentang perilaku harimau memangsa manusia, termasuk menjelaskan motivasi dan penyebabnya.

    “Satwa umum, hanya menggunakan nalurinya [instinct]. Ketika harimau memakan manusia, pastinya harimau itu menganggap manusia sebagai bagian dari menu mangsa. Bisa saja ketika penyadap getah karet [manusia] membungkuk menyadap pohon karet, tampak dari belakang harimau sebagai buruannya. Ini dugaan-dugaan yang berkembang. Secara alami harimau menangkap mangsa dari belakang dan menerkam atau menggigit bagian mematikan yaitu tengkuk, sehingga mangsa tidak sempat melakukan perlawanan, langsung tewas.”

    Meminimalisir konflik

    Apa yang harus dilakukan guna mencegah fenomena konflik manusia dengan harimau?

    “Yang harus dilakukan pemerintah antara lain mencegah kerusakan hutan semakin parah. Caranya, melalui penataan ruang yang bijak dan ramah konservasi. Misalnya ketika membangun jalan yang memotong hutan, usahakan tidak merusak jalur habitat satwa seperti membuat jalan layang di atas kanopi hutan atau terowongan. Atau menyediakan koridor penyeberangan satwa.”

    Upaya ini seperti yang direncanakan dalam pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang menghubungkan Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 kilometer, yang melintasi habitat gajah sumatera.

    Nasib Harimau yang Berkonflik

    Keluarnya kelompok harimau dari habitatnya, sebenarnya bukan hanya mengancam jiwa manusia, tapi juga harimau. “Semua orang tahu jika harimau itu satwa yang tidak mudah berkonflik dengan manusia. Konflik terjadi jika ada sesuatu yang menyebabkan mereka sangat terganggu,” kata Muklis, pegiat budaya tradisi dari Yayasan Alam Melayu Sriwijaya [Malaya].

    Kemungkinan besar, kata Muklis, kawanan harimau sumatera di Sumsel dan Riau keluar dari kantongnya karena ada perburuan atau pembunuhan terhadap induk dan anak-anaknya. Atau juga, sumber makanannya habis.

    Persoalannya bukan itu saja. “Yang lebih mencemaskan adalah ketika manusia memandang harimau sebagai musuh karena kehadirannya di sekitar lingkungan manusia. Sebagai musuh yang dinilai meneror kehidupan manusia, bukan tidak mungkin ada sekelompok manusia yang akan melakukan serangan terhadap harimau. Bukankah manusia memiliki banyak akal dan alat pembunuh dibandingkan harimau,” kata Muklis.

    Apa yang harus dilakukan?

    Pertama, masyarakat harus dihimbau agar tidak memiliki keinginan membunuh harimau. Hentikan aktivitas seperti pertanian perkebunan yang diyakini sebagai “rumah” harimau. Jika masyarakat melakukan “balas dendam” bukan tidak mungkin akan terjadi serangan kawanan harimau yang lebih besar.

    Kedua, aparat yang mengamankan situasi konflik harimau dan manusia untuk tidak menggunakan peluru tajam, tapi menggunakan peluru bius jika terpaksa melumpuhkan harimau.

    Ketiga, harimau yang sudah dilumpuhkan dan direhabilitasi sebaiknya kembali dilepasliarkan di habitatnya. “Agar hutan rimba terjaga, jika tidak ada lagi yang ditakuti kemungkinan besar hutan akan mudah dirambah. Jika hutan rimba habis, hancurlah ekologi kita dan ujungnya peradaban kita pun runtuh,” kata Muklis.

    Terkait harimau yang dilepasliarkan setelah direhabilitasi, kata Hendra Gunawan, harimau [terutama jantan] adalah karnivora yang memiliki sifat “territorial.” Sehingga, ketika ada harimau tertangkap karena keluar hutan, tidak serta merta bisa dilepakan ke lokasi asalnya.

    Kalau dia keluar karena kalah berebut wilayah dengan jantan lain, maka tidak bisa dikembalikan ke asalnya karena nanti akan diusir lagi oleh jantan penguasa. “Makanya harimau yang tertangkap itu perlu dipindah [translokasi] ke tempat lain yang sesuai dan masih ada ruang untuknya.”

    Orang awam sering salah paham, semua satwa yang tertangkap harus dilepas begitu saja. Kalau satwa yang tidak bersifat teritorial, bisa saja, tetapi satwa teritorial seperti harimau dan karnivora umumnya tidak bisa begitu. “Perlu dikaji penyebab serta daya dukung dan daya tampung habitat karena menyangkut wilayah kekuasaan,” tegasnya.

    Sedekah Dusun

    Bagi masyarakat di sekitar Gunung Dempo ada keluhuran budaya yang sampai kini masih dipercaya dapat mendamaikan manusia dengan harimau, yakni melalui sedekah dusun. Sayangnya, pendekatan budaya bermuatan mistis ini belum dilakukan. Padahal dari pengalaman para tua-tua adat sebelumnya, pendekatan model ini dirasa memberi manfaat, setidaknya mengurangi kecemasan.

    Harimau bagi masyarakat adalam penguasa Gunung Dempo yang dijuluki Sultan Pangeran Panglima Kumbang. Pangeran ini sangat dihormati warga setempat, ditandai dengan penamaan sebuah di lokasi Tugu Rimau di bahu Gunung Dempo. Di sinilah, Sang Panglima Kumbang, konon bertahta.

    Sedekah dusun, dulu biasa dilakukan oleh gabungan beberapa dusun, dengan menghadiahkan semblihan 25 ekor kambing atau satu ekor kepala sapi. Acara ini dilakukan dengan ritual keagamaan yang tujuannya sebagai permintaan maaf kepada harimau. (dbs/iwa)

  • Ada Mafia Anggaran Pemkab Lampura?

    Ada Mafia Anggaran Pemkab Lampura?

    Oleh : Ardiansyah

    Pemerintah Kabupaten Lampung Utara (Pemkab. Lampura) mengalami ‘lumpuh keuangan’. Kondisi ini diperdiksi akan berlangsung hingga empat tahun mendatang. Dalam satu studi kasus, kondisi stagnansi keuangan daerah yang terjadi di Pemkab. Lampura dipicu adanya oknum pengelola anggaran daerah yang secara diam-diam ‘mengutak-atik’ post anggaran yang direalisasikan bukan pada peruntukannya.

    Akibat yang ditimbulkan dari kondisi keuangan daerah saat ini, yakni timbulnya beragam gejolak dan spekulasi yang berujung pada stigma negatif birokrasi di pemerintahan setempat.

    Sebagai contoh, hasil penghitungan hutang Pemkab. Lampura yang menjadi beban keuangan daerah dari tahun 2018 hingga 2019 mencapai Rp.100 miliar lebih, dengan perkiraan rincian hutang proyek yang bersumber dari dana DAK 2018-2019 ditambah hutang ADD selama 9 bulan di tahun 2019 mencapai Rp.60-Rp.70 miliar;

    Sementara dalam kalkulasi, sumber pendapatan asli daerah tidak lebih dari Rp.100 miliar pertahun 2019 bersumber dari DAU, DAK, dan PAD. Untuk DAU, bersumber dari anggaran pusat dan Dana Bagi Hasil (DBH) dengan peruntukan pembiayaan belanja pegawai.

    Pertanyaannya, pada saat demo perangkat desa se-Lampung Utara mempertanyakan kejelasan pembayaran tertunggaknya ADD di tahun anggaran 2019 selama sembilan bulan. Belum lagi dana tunjangan Beban Kerja, hutang pada kontraktor, dan berakibat stagnannya pembangunan daerah pada 2020 mendatang.

    Beberapa waktu lalu, informasi yang dihimpun, Pj. Sekkab Lampura, Sofyan, menyatakan dihadapan para pendemo jika hutang Pemkab. Lampura terkait ADD 2019 berjanji akan melunasi pada Januari 2020. Disebabkan saat ini Pemkab. Lampura sedang melakukan rasionalisasi anggaran.

    Anehnya, Pemkab. Lampura belum lama ini justru memberangkatkan umroh sejumlah warga yang disinyalir merupakan tim sukses Bupati nonaktif Agung Ilmu Mangkunegara yang saat ini sedang menjalani proses hukum pasca terjaring OTT KPK-RI. Beberapa proyek penunjukan langsung melalui Dinas PUPR Kab. Lampura di beberapa lokasi berjalan. Kegiatan seremonial pemerintahan juga terlaksana dengan berkelanjutan.

    Dari perbandingan tersebut, penulis menilai ada konspirasi dalam pengelolaan keuangan daerah di Pemkab. Lampura yang dilakukan oleh oknum. Setelah melakukan analisa dari pernyataan Pj. Sekkab Lampura, Sofyan, kembali muncul pertanyaaan baru, yakni bersumber darimanakah dana untuk melakukan pembayaran dan/atau pelunasan ADD 2019 itu?

    Berdasarkan informasi yang didapat, anggaran di tahun 2020 yang akan dicairkan yaitu anggaran DAU pertanggal 2 Januari 2020. Mungkinkah dana DAU yang akan digunakan untuk melakukan pembayaran? Jika demikian, hal itu dapat dipastikan akan menambah persoalan baru. Ada korban baru yang akan terjadi di Pemkab. Lampura.

    Dari sejumlah persoalan tersebut, penulis berharap ke depannya, Pemkab. Lampura harus melakukan transparansi informasi publik, keterbukaan dalam pengambilan kebijakan, serta dibarengi dengan pembinaan pada pelaku usaha kecil dan menengah.

    Langkah selanjutnya yang harus diambil, yakni menyebarluaskan potensi daerah untuk meningkatkan sektor pendapatan asli daerah. Dengan membuka informasi seluas-luasnya secara intens dan berkesinambungan menyangkut SDM, SDA, yang menghasilkan beragam inovasi daerah yang akan menarik investor.

    *penulis wartawan Media Siber www.sinarlampung.com biro Lampung Utara