Kategori: Opini

  • Wamena Cukup Sampai di Sini

    Wamena Cukup Sampai di Sini

    *Catatan Asro Kamal Rokan

    WAMENA berangsur pulih. Kelompok kriminal bersenjata, yang turun dari gunung dan melakukan pembakaran, telah kembali ke gunung. Beberapa lainnya ditangkap aparat keamanan. Namun ketakutan belum reda. Sekitar sepuluh ribu pendatang mengungsi.

    Kerusuhan Wamena, Senin (23/9/2019) menyentakkan banyak orang, di saat perhatian tertuju pada unjuk rasa mahasiswa di berbagai kota, yang disebut-sebut ada penunggang. Jakarta terlihat sangat fokus pada aksi unjuk rasa, bahkan disebut-sebut melibatkan Islam radikal, petugas medis, juga pendukung sepakbola. Wamena seakan sangat jauh.

    Senin itu, gerombolan kriminal–demikian biasa disebut–membakar kota Wamena, mengejar, dan membunuh masyarakat sipil. Kepolisian mencatat, 33 orang tewas, ratusan lainnya mengalami luka serta ratusan rumah dibakar.

    Ini sungguh menyedihkan. Langit seakan runtuh di Wamena. Rasa kemanusiaan terguncang begitu keras. Kelompok bersenjata, yang selama ini berteriak tentang pelanggaran hak asasi manusia, justru melakukan pembantaian yang jauh dari kemanusiaan. Pembunuhan yang mereka lakukan, seperti kisah zaman purba, tanpa hukum.

    Lihatlah tragedi dokter Soeko Marsetiyo. Dokter yang dengan sangat rela mengabadikan dirinya selama 15 tahun di Tolikora, terjebak dalam unjuk rasa. Soeko tewas di bumi yang dicintainya.

    Hari itu, dokter Soeko menuju Wamena dari Puskesmas Talikora. Di Wamena, Soeko terjebak kerumunan masa pengunjuk rasa. Mobilnya dibakar. Soeko coba keluar, namun massa sangat biadab, membacoknya. Soeko tewas. Polisi menyebutkan, Soeko meninggal akibat cidera kepala, luka bacok, dan luka bakar di bagian punggung.

    Sehari sebelum kematian yang tragis itu, menurut keluarga, dokter Soeko mengirim pesan pendek (SMS) kepada beberapa keluarga. Isi pesan pendek itu berupa potongan Ayat Kursi.

    Lihat pula kisah Sri Lestari, pedagang baju keliling asal Solo, berhasil lepas dari maut. Ketika itu, Sri dan sembilan orang lainnya, naik mobil untuk menyelamatkan diri ke Polres Jayawijaya. Di perjalanan, mobil mereka dihadang. Dipaksa turun, diseret, dan dipukuli.

    “Mereka menyeret paksa kami keluar dari mobil. Kami diperlakukan seperti binatang. Apa salah kami?” kata Sri, menangis saat diwawancarai kumparan.com, Rabu (25/9). “Saya ditusuk di pinggul sebelah kanan, lalu di dada dan dagu. Saya yakin ini kuasa Tuhan, masih diberi hidup sampai detik ini.”

    Sri selamat setelah anggota Brimob tiba di lokasi dan melepaskan tembakan. Massa pun bubar. Namun Sri tak tahu lagi nasib sembilan orang lainnya, termasuk empat anak-anak. Dia hanya ingat teriakan minta tolong dan tangisan anak-anak yang diseret dan dipukul para pedemo.

    Kebrutalan kelompok bersenjata itu, tentu kita yakini tidak mewakili masyarakat Wamena. Lihatlah, warga berupaya melindungi pendatang dari amuk massa yang tidak mereka kenal–sampai di kandang babi.

    Nani Susongki, wanita asal Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, merasakan betul pertolongan Mama Manu, warga Wamena. Ketika kerusuhan mulai terjadi, Mama Manu menyembunyikan Nani di honai (rumah).

    “Kami mundur pelan-pelan. Saya pikir bagian dari orang yang rusuh, ternyata mereka menolong kami. Mereka suruh kami masuk ke rumah Mama Manu. Hampir satu jam kami bersembunyi tak bersuara, bersama beberapa warga lain,” ujar Nani.

    Hampir satu jam disembunyikan Mama Manu–yang tentu juga siap dengan risiko–Nani Susongki dan beberapa warga yang ikut berlindung, dievakuasi polisi ke Polres Jawijaya. Setelah tiga hari di Polres, Nani bersama keluarganya memilih mengungsi ke Jayapura, dan berencana kembali ke kampung halaman.

    Ketua Dewan Adat Papua Domi Surabut, salah seorang saksi hidup salah satu kejadian itu. Seperti dilaporkan Repubika, Selasa (1/10/2019), Domi menyaksikan deretan rumah toko (ruko) di Jalan Transpapua dibakar. Sejumlah pendatang masih terjebak di salah satu ruko. Mereka berteriak minta tolong.

    Domi dibantu menghadapi perusuh dan meminta mereka tidak membunuh pendatang. Dibantu beberapa warga lokal Wamena lainnya, Domi mengevakuasi tiga pria, satu perempuan, bayi berusia dua bulan ke Gereja Katolik Bunda Maria.

    Hingga malam tiba, kata Domi, sekitar 25 pendatang sudah di dalam gereja. Ada pendatang, ada guru-guru, ada juga tenaga medis. Hampir 24 jam para pengungsi berdiam di gereja tersebut. Mereka bermalam dan kemudian keesokan harinya dijemput aparat menuju tempat pengungsian.

    Kisah yang menyentuh. Persaudaraan yang ikhlas

    Bara Wamena telah redup. Namun, kehidupan belum pulih. Kekhawatiran masih menyebar. Di sinilah, peran para pemimpin diperlukan, meredakan ketakutan.

    Kelompok bersenjata ini harus diakhiri. Masyarakat menanti jaminan tersebut. Ini karena, serangan yang mereka lakukan, tidak sekali ini saja. Mereka telah melakukan pelanggaran kemanusiaan yang luar biasa. Tidak ada tempat lagi bagi mereka. Negara harus tegas soal ini.

    Kita berharap ini yang terakhir. Negara dengan segala kekuatan yang dimiliki harus digunakan. Berbagai pendekatan harus dilakukan, tidak saja soal kesejahteraan dan keadilan, tapi juga pendekatan kultural.

    Hidup dalam kedamaian adalah warisan untuk hari esok, untuk anak cucu Indonesia. Sebagai warisan, kedamaian dimulai saat ini.

    Jakarta, 2 Oktober 2019.

    Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005); Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007), Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023). (*)

  • Jenderal, Ini Demonstran, Bukan Perusuh

    Jenderal, Ini Demonstran, Bukan Perusuh

    * Catatan Ilham Bintang

    Saya intens mengukuti berita aksi unjuk rasa mahasiswa setelah pelajar STM ikut ambil bagian hari-hari ini. Ada warna baru. Beberapa poster mereka menggelitik. Mengundang senyum. Misalnya, “Mahasiswa Berorasi, Pelajar Yang Eksekusi.”

    Saya mengikuti aksi unjuk rasa itu memang lebih banyak melalui siaran langsung televisi dari lokasi unjuk rasa di berbagai daerah di Tanah Air. Maklum sudah tua.

    Satu-satunya aksi unjuk rasa yang saya ikuti langsung waktu di Banjarmasin, Kalimantan Selaran, Senin (24/9/2019). Pas saya lagi di sana. Hari itu diantar Ketua PWI Kalsel, Zainal Hilmie, saya dan Ketua Umum Atal Depari melihat dari dekat aksi damai di kantor Gubernur Kalsel yang luas di Banjar Baru, Banjarmasin, Kalsel.

    Demo diikuti sekitar 1000 pelajar. Tertib. Dihadapi langsung oleh Gubernur Kalsel Sahbirin Noor. Mahasiswa menyampaikan aspirasinya, Paman Birin merespon. Dialog berlangsung hangat. Saya tidak melihat tidak terlalu banyak polisi dikerahkan menjaga aksi unjuk rasa siang itu.

    Saya juga mengikuti laporan media-media online yang melaporkan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar memprotes sejumlah RUU. Termasuk Revisi UU KPK. Diselang-seling mengintip cuitan di media sosial twitter, komentar di Facebook, dan group-group whatsapp.

    Tampaknya kiprah pelajar STM itu memang mendapat apresiasi. Menyegarkan. Laiknya nonton bintang sepakbola sedang bertanding. Ada malah yang merespons penuh rasa takjub. Takjub melihat bocah yang terpanggil untuk mengekpresikan kegelisahannya pada urusan penyelenggaraan negara. Keterlibatan pelajar STM secara mencolok tampaknya memang baru pada aksi unjuk rasa di Jakarta.

    Demo Legal

    Sahabat saya Wina Armada, wartawan senior, Selasa (1/10/2019) pagi menurunkan tulisan di akun FBnya. Judulnya “Tentang Demonstrasi dan Lain-Lain”

    Begini dia membuka tulisannya.

    “Demonstrasi atau unjuk rasa? Boleh! Bahkan dalam banyak kasus, harus!! Demonstrasi untuk menunjukan sikap kita. Demonstrasi untuk menuntut sesuatu.”

    “Demonstrasi,” lanjut master hukum dari UI dan penulis buku hukum pers ini, “boleh untuk mengekspresikan kekecewaan kita. Demonstrasi untuk mendukung sesuatu. Semuanya boleh. Ini negera merdeka. Ini negara demokrasi. Seluruh rakyat bebas berdemonstrasi, asal sehari sebelumnya memberitahu”

    Ingatan saya melayang pada tahun 1986. Pada ihwal pembahasan halalnya aksi unjuk rasa menurut konstitusi.

    Waktu itu, salah satu tokoh yang menyuarakan halalnya unjuk rasa itu adalah Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya. Saya masih bekerja sebagai redaktur di Harian Angkatan Bersenjata di masa itu. Pangdam bikin acara coffee morning. Kami sering diundang hadir dalam acara itu. Salah satu topik perbincangan yang menarik perhatian saya soal hak hukum berunjuk rasa.

    Wiranto menerangkan menyuarakan pendapat umum di depan publik itu adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi. Larangan demonstrasi selama ini, katanya, hanya bersandar pada aturan mengenai ketertiban umum. Dasar hukumnya lebih rendah dari konstitusi yang mengatur hak berunjuk rasa.

    Masih segar dalam ingatan saya, Wiranto menambahkan begini; Kita mesti atur bagaimana caranya hak unjuk rasa itu tidak hilang, hanya karena aturan demi menjaga ketertiban umum.

    Dia punya proposal awal yang hendak diusulkan kepada pemerintah. Dia menyebut Stadion Lebak Bulus sebagai lokasi berunjuk rasa. Masyarakat tinggal melaporkan kepada polisi jika hendak berunjuk rasa dengan mencantumkan hari, tanggal, jam, serta jumlah massa. Juga mencantumkan nama pejabat yang mau didemo.

    “Nah! Kita tinggal bawa pejabatnya ke sana. Misalnya mau demo Menpen, yah kita bawa Pak Harmoko ke sana,” ujar Wiranto.
    “Tapi jangan ditulis dulu yah. Soalnya saya belum melapor ke Pak Kumis,“ pinta Wiranto. Pak Kumis yang dimaksud adalah Faisal Tanjung, Panglima ABRI.

    Wiranto mengakui pihaknya tergerak membebaskan aksi unjuk rasa di Tanah Air diilhami oleh pengalaman di London. Saat itu ia masih ajudan Presiden RI sewaktu mengikuti perjalanan Pak Harto ke sana.

    Terinspirasi Demo di London

    Sebelum Pak Harto tiba di London, ia berkoordinasi dengan pihak KBRI di sana. Pihak KBRI menjelaskan mengenai rute perjalanan kunjungan Pak Harto di Inggris. Ada beberapa rute diubah mendadak karena bersamaan di kota London ada unjuk rasa berkekuatan 5000 massa.

    Diam-diam dia kagum pada penguasaan medan staf KBRI itu. Dia pun bertanya. Jawaban staf, datanya diperoleh dari kantor pilisi. Itulah yang mengilhami Wiranto. Di London memang aksi unjuk rasa adalah hak warga. Tinggal lapor polisi rencana unjuk rasa, dan demonstran pun mendapatkan pengawalan. Beres.

    Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya, namun setelah itu, khususnya di tahun 1997, aksi demo memang akhirnya marak. Aksi demo mula-mula hanya di halaman kampus. Namun, lama-lama keluar kampus. Dan, mencapai puncaknya pada unjuk rasa Mei 1998 yang melengserkan kekuasaan Pak Harto. Posisi Wiranto adalah Panglima ABRI ketika demo besar-besaran terjadi yang memicu aksi penjarahan massal.

    Demonstrasi tak boleh dihalangi. Tidak boleh ditangkap. Tidak boleh dikriminalisasi, tulis Wina Armada anggota Dewan Pers dalam FBnya. Isi demonstrasi menurut konstitusi kita juga bebas mengecam eksekutif: dari presiden, menteri, dirjen sampai aparat sipil negeri manapun, boleh.

    Mengecam legislatif atawa parlemen, dari DPR Pusat sampai DPRD tingkat provinsi, kota-kabupaten boleh. Mengecam yudikatif dari pengadilan tingkat paling rendah sampai Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi, juga boleh.

    Sebagai demonstran, mereka boleh bilang kepada pihak manapun: tidak berpihak kepada rakyat, lupa diri, tidak adil, tidak sensitif dan sebagainya, masih tetap boleh. Menuntut pihak manapun untuk sesuatu dari yang ringan-ringan saja sampai minta mundur, boleh. Boleh.

    Yang tidak boleh kata Wina, ialah merusak. Apalagi menghancurkan dan menghilangkan barang-barang milik publik. Milik negara. Merusak fungsi-fungsi dan atawa fasilitas untuk publik. Milik negara. Milik rakyat. Untuk rakyat. Perbuatan tersebut bukan saja merupakan perbuatan kriminal, perbuatan pidana, tetapi juga sekaligus merugikan negara. Merugikan rakyat. Mensengsarakan Bagus.

    Sayang Bung Wina tidak menyebut secara eksplisit bahwa sesuai konstitusi kita polisi sebenarnya wajib mengawal pengunjuk rasa ke tempat yang dituju dan melindungi sampai selesai pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya.

    Menutup Seluruh Akses

    Bersandar pada ketentuan itu, maka kita bisa uji pada “pelayanan” polisi terhadap aksi unjuk rasa beberapa hari ini, terutama hari Senin (30/9/2019) sore kemarin.

    Polisi ternyata bertindak sebaliknya. Bukannya mengawal dan melindungi, justru menutup seluruh akses jalan ke gedung DPR-RI tempat yang dituju oleh demonstran. Massa mahasiswa dan pelajar dihempang sejauh 3 km dari TKP dari kiri kanan dan depan belakang.

    Tentu mudah dibayangkan apa yang terjadi dengan penanganan seperti itu? Demonstran yang merasa haknya dirampas, melampiaskan kekesalannya dengan merusak fasilitas publik. Sampai tengah malam. Seketika lenyap permainan cantik bintang-bintang lapangan, anak-anak STM itu. Yang muncul permainan kasar dan anarkis. Merusak fasilitas publik. Tindakan itu jelas salah. Tapi siapa yang memberi peluang terbukanya aksi anarkis itu?

    Polisi tidak salah jika bertindak refresif menghadapi suasana chaos yang merusak fasilitas publik. Jelas tindakan itu menjadi alasan pembenar bagi polisi bertindak refresif.

    Akhirnya, unjuk rasa menjadi chaos. Rugi semua pihak. Aspirasi tidak sampai. Polisi gagal menjalankan fungsi pengawalan dan edukasinya kepada masyarakat. Negara pun rugi karena tindakan refresif identik dengan bakar-bakar uang rakyat. Berapa uang terbakar dari aksi melepas tembakan gas airmata.

    Padahal, sebenarnya, kalau saja polisi menyadari kewajiban mengawal demonstran ke TKP banyak risiko kerugian yang bisa dihindari. Massa pendemo pun bisa terkonsentrasi. Polisi konsentrasi juga menjaga mereka dengan hanya tinggal mengelilingi demonstran. Namun sayang polisi kemarin menghadapi demonstran laiknya perusuh.

    Yang paling mengheranksn sikap Pak Wiranto berubah. Mengapa Menkopulhukan begitu membenci aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar hari-hari ini. Dengar saja narasi-narasi yang lebih mengesankan gugup merespons aksi unjuk rasa. Seperti lupa dulu di masa kekuasaan Orde Baru yang demikian otoriter dia bisa melahirkan gagasan perlindungan terhadap aksi unjuk rasa.

    Apa yang terjadi pada Pak Wiranto, yang justru di era eformasi ini melihat demonstrasi seperti aksi perusuh. Padahal, demonstran dan perusuh, berbeda, Jenderal. (*)

  • Di Wamena, Pendatang Dibunuh

    Di Wamena, Pendatang Dibunuh

    Oleh: Asro Kamal Rokan

    Ketika Menko Polhukam Wiranto, Kamis (26/9) terlihat bersemangat mengingatkan akan gelombang baru gerakan antipemerintah –-yang katanya termasuk melibatkan kelompok Islam radikal, petugas medis, dan pendukung sepak bola — maka lihatlah ini: ribuan warga pendatang eksodus, mengungsi, setelah pembunuhan sangat keji di Wamena, Papua.

    Empat hari sebelumnya, Senin (23/9), gelombang unjuk rasa dan kekerasan melanda Wamena. Korban berjatuhan, dikejar, dibacok, dan bahkan dibakar — seperti bukan manusia.

    Soeko Marsetiyo, satu di antaranya. Dokter Puskesmas di Tolikara ini, terjebak gerombolan pengunjuk rasa. Mobilnya dibakar. Soeko keluar dari kobaran api, namun massa sangat biadab, membacoknya. Soeko tewas mengenaskan. Menurut polisi, Soeko meninggal akibat cedera kepala berat, luka bacok, dan luka bakar di bagian punggung.

    Dokter yang berusia 53 tahun itu tewas di tengah masyarakat yang dicintainya. Sejak selesai masa tugas pegawai tidak tetap (PTT) 15 tahun lalu, Soeko mengabdikan dirinya di daerah-daerah terpencil, menyusuri jalan-jalan yang sulit untuk mengobati anak-anak Papua yang sakit. Dia menyebarkan senyum, harapan, dan masa depan.

    Keluarga berupaya membujuknya. Namun dokter yang baik dan santun ini menolak. Alasannya, di Semarang sudah banyak dokter. Sedangkan di Papua, dokter sangat diperlukan, terutama di daerah terpencil.

    “Paling tidak, aku bisa berbuat sesuatu di sini,” kata dokter Soeko kepada adiknya, Endah Arieswati di Semarang. Sehari sebelum kematian yang tragis itu, dokter Soeko mengirim pesan pendek (SMS) kepada beberapa keluarga. Isi pesan pendek itu berupa potongan Ayat Kursi.

    Di Wamena, pengunjuk rasa membunuh manusia, yang justru sangat mencintai Papua. Tidak saja pada Soeko, tapi juga pada 32 lainnya –yang sebagian besar para pendatang dari Minang, Bugis, Jawa, dan dari wilayah lainnya.

    Rumah-rumah, yang dibangun pendatang dengan susah payah, bertahun-tahun, mereka bakar. Tidak peduli ada manusia — seperti juga mereka– di dalamnya. Satu keluarga tewas bersama kobaran api. Saat ini, sekitar 165 rumah dibakar, 223 mobil hangus, sekitar 400 toko juga hangus. Sebanyak 10 ribu orang mengungsi, sekitar 2.500 orang eksodus.

    Tragedi kemanusiaan terburuk ini, seakan terdengar sayup-sayup. Jakarta lebih sibuk membahas ujuk rasa mahasiswa dan mencari siapa penunggangnya, terampil membahas kemungkinan gelombang unjuk rasa baru menjelang pelantikan presiden. Jakarta lebih suka mewaspadai penunggang yang akan memanfaatkan tukang ojek, Islam radikal, dan pendukung sepak bola, luput memantau Wamena.

    Partai-partai politik juga sibuk mengkalkulasi jumlah kursi menteri yang akan mereka dapatkan. Calon anggota legislatif mematut-matutkan jas untuk pelantikan. Pengusaha menghitung keuntungan dari rencana ibu kota yang akan dipindahkan. Pembantaian di Wamena, seakan tragedi di negara lain yang jauh.

    Lihatlah, anak-anak berteriak kesakitan. Kaki mereka tidak cukup panjang berlari cepat untuk menyelamatkan diri. Mereka diseret, dipukuli, dihunjam panah. Setelah itu diam, selamanya. Ada yang terpaksa bersembunyi di kandang babi.

    Sri Lestari, pedagang baju keliling asal Solo, berhasil lepas dari maut. Sri berkisah, ketika itu, ia dan sembilan orang lainnya, naik mobil untuk menyelamatkan diri ke Polres Jayawijaya. Di perjalanan, mobil mereka dihadang. Dipaksa turun, diseret, dan dipukuli.

    “Mereka menyeret paksa kami keluar dari mobil. Kami diperlakukan seperti binatang. Apa salah kami?” kata Sri, menangis saat diwawancarai kumparan, Rabu (25/9).

    “Saya ditusuk di pinggul sebelah kanan, lalu di dada dan dagu. Mata saya juga hampir ditusuk. Saya yakin ini kuasa Tuhan, masih diberi hidup sampai detik ini.”

    Sri selamat setelah anggota brimob tiba di lokasi dan melepaskan tembakan. Massa pun bubar. Namun perempuan yang mengenakan hijab ini tak tahu lagi nasib sembilan orang lainnya, termasuk empat anak-anak. Dia hanya ingat teriakan minta tolong dan tangisan anak-anak yang diseret dan dipukul para pedemo.

    Kecemasan, ketakutan, seperti wabah yang sangat cepat menyebar. Satu-satu lunglai dan pergi selamanya. Mereka tewas di negara sendiri -negara yang berkewajiban melindungi setiap warga sesuai konstitusi.

    Negara seakan kehilangan daya, mungkin terlalu lelah memikirkan dirinya, terlalu sibuk pencari penyebab — seperti mencari ketiak ular –mengeluh, menuding, dan gugup.

    Di Wamena -bagian dari Indonesia-korban berjatuhan. Orang-orang lari menyelamatkan dirinya, mengungsi di negaranya sendiri. Ini sungguh menakutkan dan dapat berubah menjadi ketidakpastian.

    Jakarta, 29 September 2019

    Asro Kamal Rokan adalah  wartawan senior.  Pernah Wapemred Harian Merdeka (1993-1994), Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).

  • 29 Karyawan Sarinah

    29 Karyawan Sarinah

    Oleh: Jaya Suprana

    Kantor Berita CNN Indonesia memberitakan sebanyak 29 karyawan Sarinah divonis 4 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti memberikan air kepada peserta unjuk rasa 21-22 Mei 2019 untuk membasuh muka. Vonis diberikan dalam sidang yang dihelat di PN Jakpus pada Kamis 19 September 2019.

    Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Oky Wiratama yang memberikan pendampingan hukum kepada pegawai Sarinah menilai putusan hakim jauh dari keadilan. Oky yakin bahwa tindakan yang dilakukan para pegawai Sarinah, yakni memberikan air kepada peserta unjuk rasa, tidak bisa disebut tindak pidana. “Putusan hakim masih jauh dari keadilan, karena hal ini menjadi preseden buruk bagi tindakan bantuan kemanusiaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan tindak pidana,” ucap Oky.

    Namun pendapat LBH Jakarta tidak dihiraukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Pada 22 Mei malam, Kepolisian menangkap 30 pegawai Sarinah. Para pegawai itu tengah berada di dalam Sarinah tempat mereka bekerja. Polisi menangkap mereka karena diduga memberikan bantuan kemanusiaan kepada para pengunjuk rasa.

    Misalnya dengan memberikan air untuk membasuh mata yang pedih akibat gas air mata. Ada pula sejak itu, para pegawai Sarinah sebanyak 30 orang lalu ditahan Rutan Polda Metro Jaya. Jumlah itu berkurang menjadi 29 karena ada satu pegawai yang meninggal dunia,” katanya.

    Mereka terdiri atas 26 satpam, 2 orang bagian teknisi, dan 1 orang cleaning service. Kasus lalu berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas dakwaan memberi air untuk membasuh mata yang pedih akibat gas air mata kepada para pengunjuk rasa.

    Saya berupaya mewujudkan ajaran kasih-sayang agama serta sila ke dua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dengan memberi sumbangsih air minum kepada para korban bencana alam di Aceh, Yogyakarta, Papua dll, korban banjir di Jakarta dan Semarang, rakyat tergusur di Kampung Pulo, Pasar Akuarium, Bukit Duri dll, para peserta 411 yang bermalam di Masjid Istiqal, memrakarsai gerakan air bersih masuk desa, melalui Posko Darurat Kemanusiaan Jaringan Relawan Kemanusiaan Indonesia memberi sumbangsih air minum untuk para korban kekerasan 2409.

    Namun berita nasib nahas 29 karyawan Sarinah menggugah kesadaran saya bahwa berdasar hukum yang berlaku di Tanah Air Udara tercinta saya ini, ternyata memberikan sumbangsih kemanusiaan memiliki syarat hukum yang tidak boleh dilanggar. Kecuali saya memang ingin ditangkap polisi lalu divonis hukuman penjara oleh majelis hakim pengadilan negeri.

    Maka di masa mendatang, saya wajib eling lan waspodo alias jangan sembrono dalam memberikan sumbangsih kemanusiaan kepada sesama manusia. “Saya bersikap sangat selektif dalam memilih sang penerima sumbangsih kemanusiaan. Jika salah pilih bisa-bisa saya bukan cuma dihujat oleh para pembenci penerima sumbangsih kemanusiaan namun malah ditangkap polisi, diborgol kemudian dijebloskan ke dalam bui atas praduga harus bersalah,” katanya

    Maka nasib nahas 29 karyawan Sarinah membuat saya gamang memberi sumbangsih kemanusiaan. Malah demi keselamatan diri saya sendiri, adalah lebih baik sama sekali tidak memberikan sumbangsih kemanusiaan kepada sesama manusia agar jangan sampai saya melanggar hukum.

    Di Indonesia sebagai negara hukum, para penegak hukum memang meletakkan hukum jauh di atas kemanusiaan. Maka lebih aman saya tidak mewujudkan ajaran agama dengan risiko paling-paling dianggap murtad ketimbang melanggar hukum dengan risiko ditangkap polisi lalu masuk penjara. Memang sungguh sangat amat terlalu konyol apabila saya sampai masuk penjara gara-gara hanya sok berperi-kemanusiaan. (kl/rmol)

    Penulis: Jaya Suprana, pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.

  • Syukuran 67 Tahun Bang One

    Syukuran 67 Tahun Bang One

    * Catatan Ilham Bintang

    Hari Rabu 25 September lalu, tokoh pers Nasional Karni Ilyas menginjak usia 67 tahun. Syukuran ulang tahun presenter kondang Indonesia Lawyers Club TVOne berlangsung Rabu malam, di Motion Blue Fairmont Hotel, Senayan, Jakarta Pusat. Dihibur dua band Lumintu dan Jaya Blues. Tampil menghibur tamu penyanyi Eka Deli dan Vivick Tjangkung.

    Sekitar 300 tamu undangan terdiri keluarga dan sahabat Pemimpin Redaksi TVOne itu ikut berbagi kebahagiaan. Tampak antaranya Oesman Sapta Odang, Gories Mere, Rachmat Gobel, Ardhie Bakri, Ary Ahmad, Saleh Husin, Wahyu Muryadi, Marah Sakti Siregar, Ridwan Dalimunte, Ricky Rachmadi, Chris Kanter, Ira Sofwan, Henky Sanjaya, Gabril Mahal, Andriy Bima, Ferdy Hasan, Farhan, dan sebagainya.

    Kewartawanan menjadi cita-cita Karni sejak kecil. “Kalau ditakdirkan lahir kembali, saya akan tetap memilih profesi sebagai jurnalis,” katanya.

    Profesi jurnalis menurut sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia ini penuh tantangan, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan banyak tokoh. Itu memang dibuktikannya. Rasanya tidak satu pun tokoh pengambil keputusan di negeri ini yang tidak mengenal dan dikenalnya. Sejak menjadi wartawan, pergaulannya dengan praktisi dan aparat penegak hukum negeri ini sudah terjalin baik.

    Karni Ilyas terlahir dengan nama Sukarni Ilyas, di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 25 September 1952. Dulu Karni – terutama di masa memimpin majalah, sering disapa anak buahnya dengan panggilan PKI – akronim Pak Karni Ilyas. Tetapi sejak memimpin tvOne tahun 2008, praktis sejak itu ia lebih akrab dengan panggilan Bang One. Mengikuti nama kartun maskot tvOne yang selalu menyampaikan kritik pedas dengan cara jenaka.

    Bang One mengawali karier sebagai wartawan pada usia 20 tahun di Harian Suara Karya (1972). Pada tahun 1978 ia bergabung di Majalah Tempo. Di media itu Karni dipercaya menangani liputan masalah hukum. Setelah 11 tahun mengabdi di Tempo, Bang One kemudian pindah dan menjadi pemimpin redaksi Majalah Forum Keadilan. Karni telah membukukan Catatan Hukum, kumpulan tulisannya di MajalahForum yang isinya mengkritisi praktek penegakan hukum di Indonesia.

    Ketika berhenti di Majalah Forum (1999)–dia sendiri menggunakan istilah dipecat–Karni berniat pulang kampung menghabiskan masa tuanya sambil menulis buku. Entah bagaimana ceritanya, dia kemudian menerima tawaran menjadi pemimpin redaksi Liputan 6/Direktur Pemberitaan SCTV.

    Praktis sejak itu, ia terlibat dalam jurnalisme televisi. Di SCTV, dia mengintrodusir program diskusi Jakarta Lawyers Club (JLC)–tayang sekali sebulan. Saat itu, kebetulan ia menjadi ketua forum para lawyer Jakarta, JLC. Kelak JLC menjadi ILC, Indonesia Lawyers Club.

    Karni Ilyas sosok wartawan pekerja keras dan inovatif. Bekerja di manapun selalu melahirkan gagasan segar dan orisinil. Liputan tentang terorisme tiada yang bisa menandingi. tvOne melambungkan namanya setara pejabat penting negara dan bintang sinetron yang dipuja banyak orang. Disambut dimana-mana. Dia sendiri sering geli melihat dirinya dikerubuti fans yang minta foto bersama dan tanda tangannya.

    Di tempat-tempat umum, seperti bandara, petugas selalu memberi perhatian lebih, tidak perlu sampai mengantre. Yang luar biasa, orang bisa mengenali cukup dengan mendengar selintas suaranya yang khas. Suatu kali di Palembang, dalam keadaan gelap tukang duren pinggir jalan langsung mengenali Bang One hanya dari suaranya.

    Suara khas Bang One itu boleh dibilang membawa rezeki. Suara serak menjadi ciri khasnya sekaligus selling pointnya. Tidak sedikit yang menyebut suaranya itu sexy. Pergaulannya amat luas di hampir semua kalangan. Tetapi kalau diminta memilih, ia lebih menyukai menggunakan sisa waktu sehari-hari kerja bertemu rekan satu komunitas di dunia pers.

    Dalam bersahabat, dia amat setia dan loyal. Ia menjadi tempat berguru banyak teman wartawan. Sebagian bahkan menganggapnya suhu. Banyak bekas anak buahnya kini memang menjadi pemimpin redaksi media. Hubungan pertemanan tetap dijalin sampai sekarang.

    Karni salah satu tokoh penting dunia televisi Indonesia sekarang ini. Prestasinya memang luar biasa, tak cuma memimpin, tetapi juga berhasil “menemukan” tvOne. Yang utama : Bang One berhasil mengubah paradigma televisi swasta di Indonesia yang sebelum ini lebih dianggap media hiburan semata. Berita yang selama ini terbatas di kalangan tertentu penontonnya, berhasil disejajarkan bahkan kadangkala melampaui sinetron dan acara hiburan yang menjadi mainstream televisi.

    Melalui pelbagai program tvOne, Karni mengedukasi masyarakat dengan wawasan berbangsa dan bernegara, serta berpikir merdeka. Dia berhasil mengubah kebiasaan rakyat Indonesia yang cuma memburu hiburan di televisi. Dia menyuntikkan daya tarik dalam program news. Kontribusi yang tak kalah penting : ikut juga mengubah pandangan masyarakat bahwa presenter tidak harus bersuara bagus dan handsome dengan dandanan kelimis kayak bintang sinetron.

    Staminanya luar biasa. Ayah tiga anak dan kakek lima cucu ini bekerja rata-rata lebih banyak dibandingkan wartawan segenerasi atau seumur dengan dia. Ia biasa pulang kerja sampai rumah waktu dinihari. Setiap pekan sekitar tiga jam harus berdiri mengawal tiap kali JLC/ILC (Indonesia Lawyer Club) tayang. Selama tiga jam itulah dia menyihir pemirsa. Di tvOne dia tidak hanya mengawal redaksi dan program ILC, tetapi ia juga sediakan waktu untuk dubbing kartun Bang One yang kocak.

    Suami Yulinas Sukarni, serta ayah tiga anak (Renold, Romy, Helen) dan kakek lima cucu ini meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. (*)

  • SGC Panen Tebu Kami Dapat Debu, Pemerintah Pro Siapa?

    SGC Panen Tebu Kami Dapat Debu, Pemerintah Pro Siapa?

    Oleh: Sandi Fenanda

    Kesewenang wenangan pihak Sugar Group Companies (SGC) semakin merajalela tak lagi peduli akan kesehatan masyarakat yang terkena dampak dari pembakaran tebu yang mereka lakukan saat masa panen. Saya selaku pemuda dan atas nama masyarakat Tulang Bawang sangat miris melihat setiap harinya masyarakat Menggala mengeluh harus membersihkan rumah mereka dari dampak debu yang di kirim oleh perusahaan SGC.

    Ini sudah tidak bisa lagi di biarkan, karena mengacu pada aturan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (“UU Perkebunan”), Setiap pelaku usaha Anak perusahaan Subsidiaries, dilarang Membuka Dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran, dan kerusakan fungsi fungsi Lingkungan Hidup.

    Dan ini bisa dikatakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat dilihat dalam Pasal 9 UU Pengadilan HAM sebagai berikut; Kejahatan Kemanusiaan merupakan perbuatan kejahatan yang ditujukan pada penduduk sipil guna kepentingan suatu kelompok atau individu.

    Saya berharap Pemerintah daerah Provinsi Lampung dan pemerintah Kabupaten Tulang Bawang untuk tidak berdiam diri melihat masyarakatnya mengalami keluhan dari pencemaran lingkungan yang bisa berakibat pada gangguan kesehatan.

    Disini kami ingin melihat keberpihakan pemerintah, pro rakyat atau pro perusahaan kah. Kalau memang pemerintah perduli dengan kami maka cabut izin perusahaan biarkan kami hidup sehat tanpa debu dari SGC. Tapi jika pemerintah tidak mau memperdulikan kesehatan kami maka jangan salahkan kalau kami tidak lagi percaya dengan pemerintah yang menjadi pemimpin kami hari ini. Dan kami siap akan melakukan reaksi dengan aksi. ***

    Sandi Fenanda adalah aktivis pemuda di Tulang Bawang

  • Terbentur UUD 1945 Pasal 6?

    Terbentur UUD 1945 Pasal 6?

    Oleh: Mochamad Toha (Wartawan Senior)

    Rangkaian pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Presiden Joko Widodo, dilanjutkan pertemuan Prabowo – Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo – mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati.

    Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada!

    Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu, meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019, namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik.

    Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

    Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

    Semua UU, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 19445, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas saat pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya.

    Para elit politik sudah tahu jika Jokowi tak bisa dilantik MPR, karena PKPU tentang Pilpres melawan UUD 1945. DPR terpilih juga tak bisa mengubah UUD 1945 dengan amandemen, karena perubahan hanya berlaku untuk Pilpres 2024. Bukan 2019!

    Jadi, Jokowi – Ma’ruf terancam gagal dilantik sebagai Presiden – Wapres RI periode 2019-2024. Meski menang secara yuridis formal, secara politis Jokowi – Ma’ruf bisa saja gagal dilantik oleh MPR, sesuai pasal 6A UUD 1945.

    Menang pada Pilpres 2019 lalu, tapi tak otomatis bisa dilantik. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen.

    Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut KPU), tapi keduanya menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 poin versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin.

    Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo – Sandi, bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Kalau MPR ngotot melantik Jokowi, itu melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi – Ma’ruf dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa.

    Kedua, pemilihan ulang. Banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo – Sandi. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024.

    Perlu dicatat, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui amandemen dalam Sidang Umum MPR, bukan melalui sidang MK atau keputusan KPU yang memenangkan Jokowi – Ma’ruf. Kalau ada putusan yang bertentangan dengan isi UUD 1945, maka batal demi hukum.

    Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan, paslon Presiden dan Wapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wapres.

    Dalam pasal tersebut ada tiga syarat dalam memenangkan Pilpres, yakni memperoleh suara lebih dari 50 persen, memenangkan suara setengah dari jumlah provinsi (17 provinsi) dan terakhir, di 17 provinsi lainnya kalah minimal suara 20 persen.

    “Jangan lupa masalah itu sudah diputus MK tahun 2014. MK memutuskan kalau pasangan capres hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi,” kata Yusril Izha Mahendra, mantan penasehat hukum Jokowi – Ma’ruf.

    Pada 2014, MK berpendapat pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak berlaku ketika hanya terdapat dua pasangan calon sehingga pasangan yang mendapat suara lebih dari 50 persen, tidak perlu lagi menggunakan aturan tentang sebaran.

    Menurutnya, kalau ada lebih dari dua pasangan, maka jika belum ada salah satu pasangan yang memperoleh suara seperti ketentuan di pasal 6 UUD 1945, maka pasangan tersebut belum otomatis menang. Maka ada putaran kedua.

    Yusril menambahkan, pada putaran kedua, ketentuan itu tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah yang mendapat suara terbanyak. “Begitu juga jika pasangan sejak awal memang hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak,” kata Yusril.

    Namun, yang dilupakan Yusril adalah bahwa Jokowi – Ma’ruf tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 6A ayat (3) tersebut. Jokowi – Ma’ruf hanya menang di 8 provinsi, tidak sampai separuh dari jumlah provinsi (17 provinsi).

    Sedangkan Prabowo – Sandi menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Sehingga, keduanya telah memenuhi syarat sesuai pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu. Inilah dasar hukumnya mengapa Jokowi – Ma’ruf tidak bisa dilantik.

    Berikut bunyi lengkap Pasal 6A UUD 1945:

    (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

    (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

    (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

    Coba simak, dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, secara implisit dapat dikatakan Jokowi – Ma’ruf belum bisa dinyatakan sebagai pemenang karena belum “setengah jumlah provinsi”.

    Makanya, karena tak bisa dilantik, maka Prabowo – Sandi yang memenuhi syarat itulah yang harus dilantik MPR. Prabowo – Sandi menang di lebih dari setengah jumlah provinsi, yakni tepatnya 26 provinsi dengan suara lebih dari 20 persen suara.

    Jokowi – Ma’ruf sendiri masih ada beberapa provinsi yang perolehan suaranya kurang dari 20 persen. Makanya, kalau Jokowi sangat ingin bertemu Prabowo itu tidak lain maksudnya adalah untuk mendapatkan legitimasi Prabowo secara politis.

    Perlu dicatat, jika Prabowo memberi jalan pada Jokowi – Ma’ruf untuk dilantik di MPR, justru mantan Danjen Kopassus ini bisa dianggap telah melanggar UUD 1945. Karena itulah, dia harus bisa menerima keputusan MPR atas dirinya.

    Bersama Sandi, Prabowo dilantik MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Ini juga perlu dicatat bahwa MK tidak berhak untuk mengubah UUD 1945. Catat! UUD 1945, bukan UU! Kedudukan MK tidak boleh di atas UUD 1945.

    MK itu tak berwenang mengganti atau memasukkan norma baru ke dalam materi muatan (ayat, pasal dan/atau bagian) UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Bahwa salah satu wewenang MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

    Demikian yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi, jika ada putusan MK yang bertentangan dengan UUD 1945 maka dinyatakan batal demi hukum! Dan semua pihak harus menerima dan menghormati itu!.***

  • Beramai-ramai Membunuh Kebenaran, Agar Bersama-sama Hidup Dalam Aib

    Beramai-ramai Membunuh Kebenaran, Agar Bersama-sama Hidup Dalam Aib

    Oleh: Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri.

    Tentara musuh memasuki sebuah desa. Mereka menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, kecuali seorang wanita yang selamat dari penodaan. Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.

    Ketika seluruh tentara sudah pergi meninggalkan desa itu, para wanita malang semuanya keluar dengan busana compang-camping, meraung, menangis dan meratap, kecuali satu orang wanita tadi. Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil menenteng kepala tentara itu dengan tangan kirinya.

    Para wanita bertanya: “Bagaimana engkau bisa melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini.?”

    Ia menjawab: “Bagiku hanya ada satu jalan keluar. Berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan.”

    Para wanita mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana nanti jika para suami menyalahkan mereka gara-gara tahu ada contoh wanita pemberani ini. Mereka kawatir sang suami akan bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati dari pada ternoda..?”

    Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan yang memuncak. Bawah sadar ketakutan para wanita itu seperti mendapat komando. Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya. Ya, membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam fatamorgana bersama.

    Beginilah keadaan kita saat ini, orang-orang yang terlanjur rusak. Mereka mencela, mengucilkan, menyerang dan bahkan membunuh eksistensi orang-orang yang masih konsisten menegakkan kebenaran, agar kehidupan mereka tetap terlihat berjalan baik.

    Walau sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, pengkhianatan, ketidakberdayaan, dan menuju pada kehancuran yang nyata. Sebelum terlambat, pastikan berani berpihak kepada KEBENARAN.*

    Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri (tokoh militer Indonesia)

  • Wartawan Kita

    Wartawan Kita

    Oleh : Ilham Bintang

    Saya yakin semua kita tahu, namun saya tidak pernah jemu untuk mengingatkan kembali. Sampai hari ini wartawan, termasuk satu dari 4 professi yang diakui oleh masyarakat. Tiga lainnya: guru, advokat, dan dokter. Sekurangnya, ada empat syarat yang harus dipenuhi seseorang disebut professional.

    1. Punya pekerjaan tetap yang dari pekerjaan itu dia memperoleh nafkah.
    2. Pekerjaannya punya organisasi.
    3. Organisasinya memiliki kode etik
    4. Organisasinya memiliki lembaga pengawasan penaatan kode etik. Wartawan professional tentu harus memenuhi empat syarat itu.

    Tidak Berorganisasi

    Dalam banyak acara diskusi dengan wartawan di banyak daerah di Indonesia, saya mencatat beberapa data mencengangkan. Ternyata tidak semua wartawan berorganisasi. Saya pernah menghentikan pemaparan oleh sebab itu. Sia- sia berdiskusi dengan pihak yang mengaku wartawan tapi tak berinduk pada satu pun organisasi wartawan.

    Tidak berorganisasi otomatis yang bersangkutan juga tidak menaati kode etik jurnalistik. Bagaimana mereka bisa bekerja benar sebagai wartawan? Bagaimana mereka bisa meyakinkan masyarakat sebagai pengemban amanah fungsi kontrol sosial secara terukur menurut prinsip kerja jurnalistik yang benar? Namun faktanya, mereka tetap aman bekerja, dipercaya publik dan didengar para pejabat. Mungkin berkat itu, karena sampai hari ini, wartawan masih termasuk satu dari 4 professi yang diakui oleh masyarakat.

    UU Pers no 40 / 99 menyebut terang benderang kedudukan organisasi wartawan dan kode etik jurnalistik di dalam Pasal 7. Ayat 1 pasal 7 UU Pers itu menyebutkan “ wartawan bebas memilih organisasi wartawan”.
    Sedangkan Ayat 2, menyebutkan “wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik”.

    Memang pernah dalam satu kurun ayat 1 “wartawan bebas memilih organisasi wartawan” menimbulkan perdebatan. Padahal, pasal itu hanya menggugurkan kedudukan PWI yang puluhan tahun menjadi satu- satunya organisasi wartawan di Indonesia. Bukan dimaksudkan wartawan bebas tidak berorganisasi.

    Persoalan makin keruh karena paham itu justru dikembangkan oleh seorang tokoh pers yang pernah memimpin Dewan Pers. Ini bertentangan sendiri dengan tujuan Dewan Pers mendata dan melakukan verifikasi terhadap organisasi wartawan.

    Tidak jelas apakah itu yang menyebabkan hingga saat ini hanya tiga organisasi wartawan yang diakui atau memenuhi syarat Dewan Pers. Padahal, kita mencatat ada puluhan organisasi wartawan yang ikut membentuk Dewan Pers di awal reformasi. Termasuk menyusun KEJ itu.

    Turut menambah kegaduhan adalah Komisi Penyiaran Indonesia yang mau mengatur pula produk jurnalistik. Landasannya hanya pada P3SPS produk KPI. Padahal itu domain UU Pers No 40 /1999. UU no 32 Tentang Penyiaran tahun 2002 sendiri pun mengecualikan karya jurnalistik dari pengawasan KPI. Lihat pasal 42. “ Wartawan penyiaran yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundangan lainnya.”

    Pertanyaan berikutnya: kode etik jurnalistik apa yang dipedomani oleh wartawan yang tidak berorganisasi itu? Padahal, kita tahu kode etik jurnalistik pada awal reformasi adalah produk dan pemberlakuannya disepakati bersama oleh 26 organisasi wartawan pada tahun 1999 dengan nama KEWI.

    Yang jelas, beberapa hasil survey yang pernah dilaksanakan Dewan Pers di lapangan mengkomfirmasi tingkat pengabaian kode etik jurnalistik oleh wartawan. Hasil penelitian Dewan Pers terhadap pemahaman Kode Etik Jurnalistik tahun 2007 berikut ini.

    1. Sebanyak 22% pernah membaca KEJ seluruhnya.
    2. Sebanyak 18% tidak pernah membaca sama sekali.
    3. Sebanyak 60% pernah membaca tetapi sebagian (beberapa pasal KEJ aja).
    Dengan kata lain, 78% tidak pernah membaca KEJ secara lengkap (Wina Armada Sukardi, _Close Up Seperempat Abad Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik_ , Dewan Pers, Oktober 2007)

    Tahun 2010 Dewan Pers memulai usaha mengatasi problem pengabaian kode etik jurnalistik melalui ujian kompetensi wartawan. Tujuannya mengetatkan rekrutmen wartawan. Supaya hanya wartawan yang telah mengantongi sertikat kompetensi wartawan yang boleh beroperasi di lapangan. Hingga saat ini, tercatat sekitar 15 ribu wartawan telah mengantongi sertifikat kompetensi itu, terbanyak dari PWI, sekitar 13 ribu. Selesaikah persoalan?

    Menurut Marah Sakti Siregar, Tenaga Ahli dan anggota Pokja Pendidikan dan Pengembangan profesi kewartawanan Dewan Pers, UKW itu belum efektif. “ Data pertengahan Juli 2017 tercatat peningkatan pelanggaran KEJ sampai 20 %. Jika pd periode yg sama masuk 800 laporan pengaduan masyrakat. Maka pertengahan Juli saja sudah ada 600 laporan yg masuk. Jadi diperkiran angka laporan itu bisa naik mencapai minimal 1000 pengaduan.

    Dan sama sepert hasil tahun sebelumnya, 75-80 % pengaduan tersebut setelah diperiksa Komisi Pengaduan, benar pelanggaran KEJ. Dan terbanyak adalah pelanggaran pasal 1 (berita kurang atau tidak berimbang) dan pasal 3 ( kurang uji informasi alias kurang verifikasi).

    Namun, mantan Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat ini, masih akan meneliti lebih dalam soal jumlah pengaduan itu. Apakah berkaitan langsung dengan pelanggaran wartawan atau lebih menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengadu,” tambah Sakti.

    Konsep Operasional Moral Wartawan

    Prinsip kerja jurnalistik secara universal adalah membuka semua hal, termasuk hal yang mau ditutupi oleh orang lain. Siapa pula yang mau dibuka hal yang justru mau ditutupnya. Itulah sebabnya wartawan dilengkapi kode etik jurnalistik yang wajib ditaati selain peraturan perundang-undangan yang memberi hak dan perlindungan terhadap professi wartawan.

    Kode etik itu yang mengajari wartawan bersikap kesatria, jujur, tidak manipulatif, tidak berniat buruk, — meski peluang itu terbuka luas dan bisa terbebas dari jerat hukum. Ambil contoh misalnya, kode etik itu melarang wartawan berlaku seperti intel. Kode etik itu mencegah wartawan jadi maling, misalnya menaruh alat rekam secara tersembunyi.

    Memang betul, tidak semua kasus yang menyalahi asas kepatutan bisa diidentifikasi sebagai pelanggaran etik, dan juga pelanggaran hukum sekaligus. Pelanggaran kode etik pun belum tentu melanggar hukum. Atau melanggar hukum tidaklah dengan sendirinya melanggar kode etik.

    Kita memiliki contoh kasus media yang sangat bagus yang terkait dengan pelanggaran hukum tetapi justru oleh karena kepatuhannya mentaati kode etik. Kasus itu terjadi pada tahun 1968 — hanya beberapa waktu saja setelah Orde Baru berkuasa untuk mengoreksi penyimpangan rezim pemerintah Orde Lama. Kasus itu menyebabkan Majalah Sastra ditutup dan pemimpinnya HB Jassin diseret ke penjara dengan tuduhan menghina Islam dan Tuhan. HB Jassin dihukum karena bersikukuh tak mau menyebut penulis cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Ki Panjikusmin.

    Langit Makin Mendung dimuat pada tanggal 8 Agustus 1968 di Majalah Sastra. Polemik keras yang timbul setelah pemuatan cerpen itu tidak hanya melibatkan para sastrawan tetapi juga melibatkan pelbagai unsur masyarakat. Akhir kasus itu, Majalah Sastra diberangus, dan HB Jassin dihukum penjara satu tahun.

    Sampai sekarang pun, 51 tahun setelah peristiwa itu berlalu —- nama Ki Panjikusmin, pengarang cerita pendek Langit Makin Mendung, masih menyisakan misteri. Hingga HB Jassin sampai tutup usia nama itu tak pernah terang. Ada dua pendapat yang sempat beredar. Pendapat pertama, Kipandjikusmin adalah nama samaran HB Jassin sendiri, maka itu dia tak mau buka mulut ketika dia diadili di pengadilan.

    Pendapat kedua, Ki Panjikusmin adalah nama pena seorang sastrawan pemula yang saat cerpen tersebut dilarang, pengarang tersebut berdiam di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan Islam. Banyak yang setuju pada pendapat kedua ini.

    Sikap HB Jassin ini sepenuhnya tunduk pada pasal kode etik jurnalistik yang mengatur mengenai kewajiban melindungi sumber berita. Kewajiban ini diatur dalam pasal 7 KEJ : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitasnya maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “ off the record” sesuai dengan kesepakatan”

    Urusan nara sumber ini memang sangat utama bagi wartawan. Wartawan diminta untuk memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita. Kewajiban ini diatur dalam pasal 11 KEJ PWI. Dalam Pasal 3 KEJ Dewan Pers, ditulis : “ Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

    Coba luangkan waktu beberapa jenak. Buka gadget Anda. Akses beberapa link media on line. Niscaya dengan mudah bisa ditemukan berbagai sumber berita yang tidak kompeten. Biasanya sumber cukup ditulis, viral di media sosial. Masih lumayan kalau wartawan kemudian mengkonfirmasi peristiwa itu pada sumber terkait. Yang banyak terjadi, media melepaskan saja berita itu turun, dan menganggap informasi di media sosial adalah fakta tanpa perlu diverifikasi lagi.

    Baru beberapa hari lalu saya membaca berita yang meliput video yang diklaim viral di medsos. Peristiwa itu genting. Namun, wartawan dengan ringan menyebut, sampai berita diturunkan belum jelas kapan dan dimana peristiwa itu terjadi.

    Memang benar, wartawan bebas menerima informasi darimana pun datangnya. Hatta, dari hantu blau sekalipun. Namun, secara bersamaan wartawan juga diberi kehormatan oleh UU dan kode etiknya untuk bersikap meragukan informasi dari mana pun datangnya, kecuali dari Tuhan dan Nabi. Prinsip utama di sini adalah melakukan verifikasi, cek dan ricek sebelum berita dipublish.

    Prinsip cek dan ricek memang tidak sederhana dalam pelaksanaannya. Pada banyak karya jurnalistik prinsip itu dipraktekkan secara sedehana, standar minimun. Paling banyak hanya meminta tanggapan pihak terkait atas tuduhan satu sumber berita. Padahal yang benar adalah terlebih dahulu meneliti kebenaran materi yang dituduhkan sumber pertama.

    Itu cukup menjelaskan mengapa banyak berita isinya hanya menyiarkan fakta orang bicara dibandingkan fakta peristiwa. “ Talking news, istilah sekarang. Pernah di sebuah stasiun televisi ada sebuah peristiwa dibahas berhari-hari dengan hanya menyajikan fakta orang bicara, bertengkar, saling menuding, namun sampai berita itu selesai, tidak jelas bagi pemirsa apa duduk perkaranya. Saya khawatir wartawannya sendiri pun tidak menguasai duduk perkara yang dibahasnya.

    Yang sering diberitakan akhir-akhir ini adalah laporan masyarakat kepada polisi. Kasusnya macam- macam, mulai dari dugaan perselingkuhan, ujaran kebencian, sampai urusan dugaan penistaan agama. Padahal, wartawan tahu, polisi sekarang memang wajib menerima laporan apa saja , darimana saja, kapan saja, dan laporan kepada siapa saja. Namun laporan kepada polisi faktanya baru sebatas laporan.

    Namun sudah ramai diberitakan sebelum diverifikasi sendiri oleh polisi apakah laporan cukup layak, didukung bukti-bukti material yang kuat. Makanya sering pula pemberitaan menimbulkan kegaduhan di masyarakat sebelum jelas duduk perkaranya. Saya ulang kembali pengutipan pasal 3 KEJ : “Wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

    Dasar pertama sebuah berita adalah fakta. Tetapi wartawan yang baik tahu tidak semua fakta dapat diberitakan. Bagaimana mengetahui batasan sebuah fakta tidak layak diberitakan? Tanya seorang kawan. Kode etik menyandarkan kepada hati nurnani wartawan. Namun, kita bisa menyederhanakan dengan melokalisir pada persoalan yang bermuatan SARA. Negeri kita diberi berkah oleh Tuhan memiliki banyak suku, ras dan agama. Tetapi fitrah itu juga rentan. Ibarat korek api, satu batu batangnya yang tersulut bisa membakar satu korek api itu.

    Kegamangan wartawan juga dapat kita lihat saat memberitakan kasus asusila dan kasus anak- anak yang melibatkan anak-anak di bawah umur. “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” ( Pasal 5 KEJ).

    Lihatlah pada kasus Manohara dan Abul Qadir Jaelani yang merebak dan menjadi trending topic di media beberapa bulan.

    Pada awalnya semua wartawan berempati lantaran Manohara perempuan di bawah umur mengalami pelecehan seksual oleh suaminya. Kita “ perjanjikan bersama” dia sebagai korban. Namun, kita tak kuasa menahan diri saat memberitakannya. Bukan hanya identitas, tetapi dada wanita muda yang disayat-sayat oleh suaminya kita pertontonkan habis kepada publik siang malam.

    Begitu pula halnya ketika bocah AQJ mendapat musibah mengalami kecelakaan yang merenggut banyak jiwa. Kita memang menyingkat namanya menjadi AQJ, tetapi tanpa sadar kita membuka habis identitasnya. Bukan hanya menyebut nama orang tua dan rumahnya, bahkan sampai kita masuk dalam ruang perawatannya di rumah sakit dan menyiarkannya.

    Saya mengusulkan dalam forum komunitas Pemred ini untuk membuat pedoman penulisan di bidang- bidang yang kerap memperangkap wartawan melanggar kode etik. Pedoman semacam itu pernah dibuat oleh PWI pada program Karya Latihan Wartawan ( KLW) yang dipimpin wartawan senior Rosihan Anwar. Ada banyak pedoman penulisan berita berbagai bidang liputan pers yang lahir di masa 70 an itu. ***

  • Rahasia Kecerdasan BJ Habibie Yang Tak  Terungkap

    Rahasia Kecerdasan BJ Habibie Yang Tak  Terungkap

    oleh : Wildan Nugraha
    (Quranic Motivation)

    Dalam suatu kesempatan, saya pernah menghadiri sebuah kajian Ustadz Bachtiar Nasir, Lc pada saat itu di sebuah masjid daerah Bandung. Ada cerita menarik yang disampaikan oleh Ust Bachtiar tentang sosok Eyang Habibie.

    Sebagaimana yang kita ketahui, sosok Habibie lahir dari keluarga yang religius.  Ayahnya bahkan wafat ketika mengimami shalat keluarganya, tak kurang dari 2 juz dalam sehari ayahnya membaca Al-Quran. Jangan tanya keshalihan ibu nya. Beliau Ahli Ta’lim, dalam sepekan, dan tak pernah dilewati kecuali khatam Al-Qur’an.

    Suatu ketika, Pak Habibie bertutur tentang kisah perjuangannya selama di Jerman. Beliau berkompetisi dengan 2 orang Yahudi. Yang mana… 2 orang Yahudi ini selalu menjadi juara di kelasnya. Sampai suatu ketika, Eyang Habibie merasa penasaran rahasia apa sih yang membuat mereka itu begitu cerdas, padahal Eyang Habibie sudah begitu keras dan mati-matian dalam belajar.

    Sampai akhirnya dia bertanya ke orang Yahudi itu apa rahasia mereka bisa pintar? Diajaknyalah Habibie menginap di Asrama Yahudi tersebut. Ketika menginap disana, Pak Habibie kaget, karena jam 2 malam orang Yahudi itu sudah bangun, membaca buku, belajar.

    Didekatinya diam-diam. Lalu ditanyakan kepada orang Yahudi tersebut tentang buku itu. Kamu membaca apa? Orang Yahudi itu kaget, terperanjat, dengan segera buku itu disembunyikan disebalik badannya.

    Setelah lama berkutat, akhirnya pak Habibie mendapatkannya. Ketika di buka ternyata itu adalah Al-Qur’an. Betapa kagetnya Pak Habibie. Lalu ia berkata, “Ini kan Al-Quran, kitab suci saya, kitab suci ummat Islam kenapa kamu baca ini?”

    Orang Yahudi tersebut kemudian berkata, “Rudy… Seandainya ummat Islam membaca Al-Qur’an dan menaruh perhatian kepadanya, maka niscaya mereka tidak akan pernah bisa dikalahkan. “Inilah kunci kesuksesan ummat Islam, yang ditinggalkan oleh ummat Islam sendiri”.

    Akhirnya, setelah menyadari hal itu, setiap jam 2 malam Pak Habibie selalu bangun, mandi, shalat tahajjud dan membaca Al-Quran, istiqamah dalam rutinitasnya.

    Kita pun bisa menemukan keshalihan yang lainnya, Pak Habibie suatu ketika ditanya, “Disisa waktu-waktu yang Eyang miliki, mau dipakai apakah waktu yang sangat terbatas ini?”

    Eyang dengan nada khasnya menjawab, “Saya akan habiskan waktu untuk membuat pesawat R80, agar Bangsa Indonesia bisa memiliki pesawat sendiri.

    Sebagian waktu yang lain, akan Eyang gunakan untuk membaca Al-Quran sebanyak-banyaknya. Eyang ingin bertemu dengan Ibu Ainun. Ibu Ainun itu orang yang baik, orang yang shalih, rajin beribadah, saya yakin Ibu Ainun ada di Surga. Maka saya harus membaca Al-Qur’an untuk memantaskan diri, supaya bisa bertemu Ibu Ainun di surga.

    Dalam sebuah kesempatan Konfrensi di Mesir, Pak Habibie pernah berkata, “Saya ini adalah seorang teknokrat, saya bisa membuat pesawat terbang, saya memiliki ilmu itu. Tapi setelah saya sadari, bahwa ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu Ilmu Agama”

    Ustadz Adi Hidayat, Lc MA pun pernah bercerita tentang kedahsyatan Pak Habibie ini, semata-mata karena didikan orang tua yang mendidik Pak Habibie seperti Imam Nawawi, gemar belajar, ibadah dan membaca buku.

    Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, siapapun yang dekat dengan Al-Quran akan diberkahi dan teranugerahi kecerdasan yang luar biasa. Sosok Eyang Habibie saya rasa salah satunya.

    Masyaa Allah…
    Hari ini kita kehilangan sumber mata air Indonesia. Semoga kedepan Indonesia bisa kembali teranugerahi sosok seperti Pak Habibie.

    Alfatihah… (***)