Kategori: Opini

  • Journalist Boarding School, Bangun Karakter “Siddiq-Amanah-Tabligh Fathanah”

    Journalist Boarding School, Bangun Karakter “Siddiq-Amanah-Tabligh Fathanah”

    Oleh: Amir Machmud

    Jurnalisme Kenabian (Prophetic Journalism). Berlebihankah impian ini, ketika kegalauan tentang bias dalam praktik jurnalistik mengembang di era disrupsi, yang antara lain memunculkan fenonema kabar bohong (hoax) dan informasi palsu (fake news)?

    Idealisme memang boleh menabrak realitas, karena hanya dari impianlah manusia akan merajut arah hidup, membangun cita-cita untuk meraih masa depan. Di tengah arus kemarakan media sosial yang menggeser peran praksis media arus utama itulah, seorang tokoh media, Firdaus Zainuddin Dahlan digelisahkan oleh pikiran tentang upaya-upaya untuk kembali ke substansi jurnalisme, yakni menyampaikan kebenaran dan keadilan.

    Tokoh pers Banten itu, sejak pertengahan dasawarsa 2000-an menggagas, lalu pada 2018, benar-benar mewujudkan gagasannya untuk mendirikan lembaga pendidikan jurnalistik yang menjadi antitesis fenomena kekinian. “Sementara ini saya menamainya Journalist Boarding School atau JBS, tempat menempa para calon wartawan dan praktisi multimedia dengan tinggal di pondok pesantren yang berbasis tahfiz Alquran di berbagai level,” tutur Firdaus.

    Berlokasi di Jalan Cikerai, Desa Kalitimbang, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, Provinsi Banten, walaupun masih berupa bangunan gedung yang sekelilingnya masih digarap, “pesantren jurnalistik” itu berdiri megah. Sebagai mantan Ketua PWI Banten, Firdaus juga mendedikasikan gedung tersebut sebagai Pusdiklat PWI Banten, dan pada 6-7 September lalu dijadikan tempat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) untuk 27 wartawan dari kabupaten dan kota di provinsi Banten dan Jakarta.

    “Saya akui, Pak Firdaus selalu punya ide kreatif untuk memberi warna dalam kehidupan dunia jurnalistik di Provinsi Banten. Kami kolega-koleganya tentu mendukung gagasan besar pengembangan Jurnalisme Kenabian ini,” tutur Moh Hofip, pengurus PWI Provinsi Banten yang di kalangan dunia radio lebih dikenal sebagai Iqbal.

    Dua Program

    Firdaus Zainuddin Dahlan, yang juga Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat itu menjelaskan, JBS merupakan program berkelanjutan yang menyasar anak muda milenial dan kaum profesional untuk memiliki kemampuan jurnalistik, public relations, dan kehumasan.

    JBS juga bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Banten, dalam waktu dekat akan kerjasama dengan perguruan tinggi dan beberapa kementerian. “Kami punya dua program. Pertama, Program Intensif, mukim dan tidak mukim yang bersifat reguler, dengan masa pendidikan dan pelatihan selama satu minggu, satu bulan, dan tiga bulan,” katanya.

    Pada tahap pertama setelah pembukaan program, dibatasi 20 peserta. Mereka dibimbing oleh para profesional media, baik dalam pengenalan dan praktik-praktik berjurnalistik dan bermedia, maupun dalam eksplorasi etika profesi.

    Kedua, Program Intersip, pendidikan selama setahun setara D1. Tiap peserta akan mendapat pembinaan dan pendidikan agam berupa tahfiz Alquran. “Ini menjadi standar nilai (way of life) yang harus dimiliki oleh setiap kader JBS. Lalu Program Intensif Mukim, yakni peserta program satu tahun untuk alumni SMU, dan sarjana,” tutur Firdaus yang juga Sekjen Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat itu.

    Kurikulum JBS disusun dengan mengacu pada dasar-dasar penyampaian informasi (dakwah) yang berbasis sifat-sifat kenabian, yakni siddiq, amanah, tabligh, fathanah. Dengan karakter ini, nilai-nilai pendidikan ditransformasikan untuk membentuk anak-anak muda berkemampuan jurnalistik dengan tetap memegang prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan sebagai way of life.

    “Kita bermaksud melawan realitas kondisi sekarang ini, yakni penyampaian informasi dan menerima informasi yang berkecenderungan membelakangi nilai-nilai kebenaran,” jelas Firdaus.

    Program lain yang disiapkan oleh JBS adalah wisata religi. Program ini diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat yang berniat menyegarkan visi kehidupan dan ingin kembali kepada ketenangan dan kedamaian spiritual.

    JBS akan menyediakan tempat untuk berwisata religi dengan hunian tempat mukim yang setara hotel, tetapi tidak dengan kelengkapan fasilitas televisi. Peserta memang diajak melepaskan diri dari rutinitas kehidupan. “Selain program-program keagamaan seperti shalat berjamaah dan berzikir, peserta kita ajak untuk menjalankan penyegaran aktivitas kemasyarakatan yang bersifat alternatif, seperti membuat batu bata, menyiangi tanaman, membuat tahu, dan sebagainya,” tuturnya.

    Firdaus menambahkan, kurikulum JBS disusun antara lain dengan mengadopsi ide-ide yang diserap dari sejumlah koleganya yang berpengalaman berkiprah di dunia media. Maka terasa spirit kebangsaan dalam menopang konsep Jurnalisme Kenabian yang mentransformasi penyerapan dan pengayaan nilai-nilai.

    Untuk mendedikasikan sumbangan pikiran kawan-kawannya, Firdaus mengabadikan nama mereka untuk menandai nama setiap ruang, kamar, dan sudut bangunan JBS. “Setiap saat, secara teragenda kami akan mengundang kawan-kawan dan para stakeholder untuk mengevaluasi program, pelaksanaan, dan capaiannya. Ini penting untuk pengembangan ke depan impian ini,” ungkapnya. (*)

    Amir Machmud adalah Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah juga Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan SMSI Pusat

  • Forum Ilmiah Tidak Boleh Dipersekusi Berdasarkan Asumsi dan Tendensi

    Forum Ilmiah Tidak Boleh Dipersekusi Berdasarkan Asumsi dan Tendensi

    (Catatan Hukum, Tanggapan Atas Kritik Saudara Goenawan Mohamad Terhadap Ust. Felix Siauw)

    Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.

    Saudara Goenawan Mohamad mengkritik hadirnya Felix Siauw di ajang Indonesia International Book Fair (IIBF) 2019. Dalam kicauannya di akun Twitter, ia menyayangkan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai penyelenggara yang mengundang Ust Felix Siauw.

    Menurut Goenawan, acara Indonesian International Book Fair dibiayai dana publik. Namun, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menghadirkan Felix Siauw, orang yang menurutnya menentang asas NKRI. Bahkan, dia menyebut kehadiran Ust Felix Siauw sebagai sebuah hipokrisi.

    Saudara Goenawan melalui akun Twitternya menyatakan membatalkan kehadirannya di IIBF 2019. “Besok, 6 September, Indonesian International Book. Festival, berencana menghadirkan panel diskusi, dgn pembicara Jürgen Bosch, direktur Frankfurt Book Festival, dan saya. Saya membatalkan diri,” kicau Goenawan.

    Pihak penyelenggara telah memberikan klarifikasi. Menurut Ketua Panitia IIBF 2019, Djadja Subagdja, Siapa pun yang tampil di IIBF, koridornya adalah buku dan yang dibicarakan adalah buku yang tidak melanggar hukum.

    Di hari pertama penyelenggaraan IIBF, Felix Siauw hadir dalam diskusi buku ‘Heritage of Ottoman’. Itulah jadwal yang tertera dalam flyer dan buku agenda IIBF pukul 16.00-17.30 WIB di panggung utama yang berlangsung di Hall A, Jakarta Convention Center. Meski kemudian Felix Siauw hadir dalam sesi diskusi buku ‘Heritage of Ottoman’, namun Djadja menuturkan buku yang dibahas oleh sang ustadz di IIBF berganti menjadi ‘Wanita Berkarier Surga’.

    Nampaknya, saudara Goenawan sedang menerapkan standar ganda dalam pernyataannya. Lebih jauh, saudara Goenawan membuat narasi hipokrit kepada pihak yang memiliki perbedaan pendapat, sementara dirinya justru enggan hadir untuk berdiskusi.

    Hipokrisi saudara Goenawan makin akut, selain mengkritik dia juga ‘mengancam’ membatalkan hadir dalam diskusi IIBF berdalih adanya Ust Felix Siauw yang dituding sebagai orang yang menentang asas NKRI.

    Tidak jelas, apa yang dimaksud oleh saudara Goenawan tentang tudingan ‘orang yang menentang asas NKRI’. Sepanjang kiprahnya sebagai Ustadz dan penceramah, Ust Felix Siauw tidak pernah mempersoalkan asas NKRI. Ust Felix juga tak pernah menyinggung eksistensi NKRI, apalagi menuntut pemisahan diri dari NKRI sebagaimana digaungkan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Penulis justru heran kepada saudara Goenawan, dia begitu sibuk mengkritik kehadiran Ust Felix dalam forum ilmiah di IIBF, tapi kenapa tak terlalu perhatian dengan krisis OPM yang secara nyata ingin merongrong kedaulatan NKRI ?

    Kalau kritik saudara Goenawan itu dibangun berdasarkan asumsi bahwa Ust Felix Siauw terafiliasi dengan HTI, mengusung ide khilafah, lantas apa dasar hukum melakukan ‘persekusi’ terhadap diskusi ilmiah Ust Felix Siauw ? Bukankah diskusi adalah bagian dari kebebasan berfikir dan berekspresi, suatu aktivitas yang selama ini didewa-dewakan oleh Goenawan dan konco-konconnya?

    Lagipula, terkait organisasi dakwah HTI hingga saat ini tidak ada satupun keputusan Pemerintah, Putusan Pengadilan, dan norma Peraturan Perundang-undangan lainnya yang menyatakan organisasi dakwah HTI sebagai ormas terlarang. Organisasi dakwah HTI hanyalah dicabut status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) nya.

    Adapun mendakwahkan ajaran Islam, yaitu Khilafah, bahwa ajaran Islam Khilafah tidak pernah dinyatakan sebagai paham terlarang baik dalam surat keputusan tata usaha negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan atau produk hukum lainnya sebagaimana larangan tegas terhadap paham komunisme, marxisme/leninisme dan atheisme, yang merupakan ajaran PKI melalui TAP MPRS NO. XXV/1966. Artinya, sebagai ajaran Islam Khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan ditengah-tengah umat.

    Mendakwahkan ajaran Islam Khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama Islam, dimana hal ini dijamin konstitusi. bahwa Islam adalah agama yang diakui dan konstitusi memberikan jaminan untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya berdasarkan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu siapapun yang menyudutkan ajaran Islam, termasuk Khilafah maka dapat dikategorikan tindak pidana penistaan agama.

    Karena itu, pihak panitia sebaiknya mengabaikan kritik saudara Goenawan. Jika saudara Goenawan ‘ngambek’ tidak mau hadir sebagai nara sumber diskusi, itu urusan dia dengan panitia yang punya acara. Karena sikap Goenawan lebih kental bernuansa tendensi, karena Ust Felix lekat sebagai aktivis Islam sementara saudara Goenawan berada di garda kaum liberal.

    Di Republik ini, masih banyak nara sumber lain yang kompeten untuk diajak berdiskusi dan mau berdamai dengan perbedaan pandangan dengan pihak lainnya. Jika kehadiran Ust Felix Siauw di IIBF dipersoalkan hanya karena ‘kritik’ yang berdasar asumsi dan tendensi, jelas hal ini akan mematikan nalar intelektual dan tradisi ilmiah dalam mencari hakekat sebuah kebenaran.***

    Ahmad Khozinudin, S.H, adalah Ketua LBH PELITA UMAT

  • Siapakah Sosok Hikman Sanggala?

    Siapakah Sosok Hikman Sanggala?

    Oleh : Nasrudin Joha

    Saya menerima kabar ini, dari sanad yang sahih, dapat dipercaya. Soal Hikma Sanggala, saya pernah menuliskannya namun masih ada kisah lain yang perlu saya bagi. Hikma, bukanlah sosok mahasiswa yang dapat berkuliah hanya bermodal kemauan. Keluarganya, bukanlah termasuk strata orang berpunya sehingga mampu membiayai Hikma menuntut ilmu hingga ke bangku perkuliahan.

    Hikma, sempat berhenti sekolah pasca SMA sebelum akhirnya melanjutkan kuliah di IAIN Kendari. Sampai ia diterima di IAIN Kendari, ia harus melalui sejumlah perjuangan hidup. Hikma adalah anak ke-2 dari 5 bersaudara. Sejak kecil Hikma biasa disiplin, hidup bersahaja, dan pekerja keras. Ia biasa berjualan kue sejak SD untuk ikut membantu kebutuhan keluarga. Kemudian, Hikma menekuni pekerjaan jualan kopi.

    Kuliah di IAIN Kendari adalah pilihan Hikma menjadi bagian aktivis pengemban dakwah. Setelah mengenal Islam dan “Hijrah” Hikma meninggalkan beberapa pekerjaan yang pernah digelutinya, seperti kerja ditempat karaoke, kafe dan fokus terlibat aktif bergelut dengan dakwah kampus.

    Cara Hikma menyambung hidup dan biaya kuliah lewat pekerjaan serabutan. Anda ingin tahu apa pekerjaan Hikma? sekali lagi maaf, Hikma sambil kuliah di IAIN Kendari nyambi buruh bangunan, kuli bangunan. Mengikuti jejak sang ayah.

    Diantara rutinitas mengaduk semen, menyusun batu bata, mengaduk pasir, diantara peluh dan keringat sebagai pekerja kuli bangunan itulah, Hikma mengenyam pendidikan di kampus IAIN Kendari. Dengan keterbatasan waktu yang dibagi dengan kerja dan dakwah, Hikma tetap mampu menjadi mahasiswa berprestasi.

    Hikma termasuk mahasiswa berprestasi dengan nilai IPK berturut turut 3.60, 3.91, 3.74, 3.74, 3.70, 3.67, 3.67, 2.68 dan bahkan pernah mendapatkan Piagam Sertipikat Penghargaan Sebagai Mahasiswa Dengan IPK Terbaik se-fakultas.

    Hikma saat ini sedang menyusun skripsi. Namun diujung perjuangan pendidikan di IAIN Kendari itulah seorang Rektor bernama Prof Fauziah Binti Awad membuyarkan cita-cita Hikma. Sang Rektor tak pernah menyelami betapa berat perjuangan Hikma untuk kuliah di IAIN Kendari.

    Hikma dituding berafiliasi dengan aliran sesat dan faham radikalisme yang bertentangan dengan ajaran Islam dan nilai-nilai kebangsaan. Penjatuhan sanksi berat kepada Hikma dibuat tanpa pembuktian. Hikma di DO dari kampus IAIN Kendari oleh sang Rektor.

    Apakah Rektor IAIN Kendari pernah mempertimbangkan keringat dan peluh Hikma yang bekerja sebagai buruh bangunan untuk menopang kebutuhan biaya kuliah ? Tak terbesit kah dibenak sang Rektor, perasaan orang tua dan keluarga Hikma mendengar keputusan DO sang Rektor ?

    Ironi sekali. Disaat bangsa ini krisis insan kampus yang berprestasi, yang kritis, berkomitmen dengan dakwah Islam, terbebas dari virus sekulerisme liberalisme, sosok seperti Hikma Sanggala justru dipersekusi.

    Membuat keputusan salah terhadap Hikma mungkin saja bisa dimaafkan, tetapi memframing dakwah Islam sebagai sebab penjatuhan sanksi DO jelas sangat menyakitkan. Apalagi, tindakan ini dikeluarkan oleh institusi kampus yang berlabel Islam.

    Apakah ini akibat proses seleksi Rektor yang keliru? Apakah ini mengkonfirmasi buruknya seleksi jabatan dilingkungan Kemenag ? Apakah, kasus Romi atau Rohmahurmuzy juga menyebar hingga ke proses pilihan Rektor IAIN Kendari?

    Aneh sekali rezim saat ini, dakwah Islam di kampus dipersoalkan tetapi pikiran sesat yang menghalalkan zina diberi ruang dan diapresiasi. Sudah seperti mengundang azab saja negeri ini. ***

  • Surat Terbuka Buat Menteri Keuangan, Sri, Sebenarnya Kamu Kerja Untuk Siapa?

    Surat Terbuka Buat Menteri Keuangan, Sri, Sebenarnya Kamu Kerja Untuk Siapa?

    Oleh: Edy Mulyadi

    Aku mau to the point saja. Sri, sebenarnya kamu kerja untuk siapa? Sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia, bukankah semestinya kamu kerja untuk rakyat Indonesia? Bukankah gaji dan seabrek fasilitas serba wah yang kamu nikmati itu dibayari oleh rakyat Indonesia? Bukankah dalam sumpah yang kamu ucapkan waktu dilantik sebagai menteri antara lain berbunyi:

    “Saya bersumpah, bahwa saya, setia kepada UUD Negara Republik Indonesia19945 dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Bahwa saya, dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesejahteraan Republik Indonesia.”

    Sri, sumpahmu itu berat, lho. Apalagi kalau tidak salah, sebelum bersumpah, kalian para menteri yang muslim, termasuk kamu, mengatakan “demi Allah aku bersumpah…” Sumpah itu menyebut-nyebut asma Allah Yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Sumpah itu berimplikasi pada tanggungjawab dunia dan akhirat. Allah pasti akan mintai pertanggungjawabannya. Maksudku, itu kalau kamu percaya adanya kehidupan setelah mati, di akhirat.

    Tapi, terlepas kamu percaya atau tidak dengan balasan di akhirat kelak atas segala perbuatan di dunia, yang pasti kamu sudah bersumpah. Kamu juga sudah menikmati gaji dan bergelimang fasilitas sebagai menteri yang dibayari semuanya oleh rakyat Indonesia. Secara etik, mestinya kamu harusnya merasa punya utang budi kepada rakyat Indonesia. Kamu punya tanggungjawab moral untuk memenuhi sumpah kamu itu.

    Tapi Sri, kenapa justru perilakumu menabrak sumpah suci itu? Kenapa segala kebijakanmu justru banyak menyusahkan rakyat?

    Aku tidak mau membahas bagaimana kamu gigih memperjuangkan dan mengusung ekonomi neolib yang terbukti di banyak negara, dan juga di negeri kita, gagal mensejahterakan rayat. Aku juga tidak berminat menyoal hobimu membuat utang ribuan triliun dengan bunga supertinggi. Aku pun tidak mau singgung soal dari tahun ke tahun kamu alokasikan sebagian besar dana di APBN untuk membayar utang.

    Aku juga ogah ngomongin kenapa kamu justru rajin memangkas belanja sosial (subsidi) Pemerintah untuk rakyat Indonesia yang berakibatnya naiknya harga-harga kebutuhan dasar. Aku pula tidak ingin bicara tentang kepanikanmu dalam menggenjot penerimaan pajak, dengan cara sibuk memajaki aneka hal remeh-temeh yang membebani UMKM dan rakyat kecil. Padahal, pada saat yang sama kamu justru mengurangi bahkan membebaskan bermacam pajak (tax holiday) barang-barang mewah dan bagi pengusaha dan asing dengan dalih investasi.

    Kenapa semua kali ini aku tidak berminat membahas itu semua? Karena kamu orang yang kopeg, ndableg. Tidak mempan masukan, apa lagi kritik. Berapa banyak orang dan pihak yang berteriak soal-soal tersebut? Tapi kan kamu selalu ngeles dengan berbagai dalih. Utang terkendali, lah.

    Mengelola APBN secara prudent, lah. Dan serenceng jurus berkelit lainnnya yang jadi andalanmu. Kamu abaikan semua kekhawatiran dan ketakutan akan kebijakanmu yang lebih banyak menyenangkan ‘pasar’ sekaligus pada saat yang sama justru menyusahkan rakyat Indonesia sendiri.

    Jadi, pertanyaan di pembuka surat ini sekali lagi aku ajukan kepadamu. Pertanyaan ini makin menemukan konteksnya, ketika kamu mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus SIM dan sekolah anaknya. Sadarkah kamu ketika mengucapkan usul ini? Sehatkah kamu saat mulutmu berucap seperti ini?

    Sri, kamu kan menteri. Mosok kamu tidak tahu, bahwa perpanjangan SIM itu penting banget, khususnya bagi para sopir dan pengendara motor, termasuk tukang ojek. Kamu bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka kalau saat bekerja di atas roda tanpa mengantongi SIM yang masih berlaku? Jika lagi apes, mereka akan ketanggor polisi. Mereka bisa kena tilang atau memberi ‘uang damai’ kepada Polantas. Mereka harus keluar uang tambahan, Sri.

    Kamu tahu, kan, bahwa mereka adalah orang-orang kecil yang mengandalkan duit receh agar bisa menghidupi anak, istri dan keluarganya. Dengan uang recehan itu mereka membeli beras, membayar tagihan dan atau pulsa listrik, membeli gas ukuran tiga kg, membayar uang sekolah anak-anak, membayar belanjaan di pasar-pasar tradisional, dan membayar segala kebutuhan dasar mereka.

    Jadi, kalau rakyat telat atau tidak sanggup membayar iuran BPJS, karena uang mereka sudah habis untuk berbagai kebutuhan dasar tadi. Jangankan membayar denda, untuk membayar iuran rutin bulanan saja mereka tidak sanggup. Mereka tidak punya duit, Sri!

    Kamu tahu konsekwensi bagi para penunggak iuran BPJS? Pasti kamu baca berita, ada yang tidak bisa membawa pulang jenazah keluarganya dari rumah sakit karena menunggak iuran BPJS seperti yang dialami Lilik Puryani, anak Suparni. Dia terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil jenazah ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun yang menyodorkan pembayaran sebesar Rp6.800.000. Padahal, sangat boleh jadi, sepeda motor itu menjadi tulang punggung keluarga tadi dalam mengais nafkah yang receh-receh.

    Kamu pasti tahu persis, rakyat kecil tidak sama dengan kamu yang menteri. Buat kamu, Rp6,8 juta pasti tidak berarti, bahkan jika deretan nolnya ditambah beberapa lagi. Rakyat harus berjuang ekstra keras agar bisa sekadar bertahan hidup di tengah gempuran harga-harga yang terus merangkak naik. Sedangkan kamu, gajimu besar. Kekuasan dan kewenanganmu lebih besar lagi.

    Listrik dan kebutuhanmu yang lainnya ditanggung oleh negara. Supirmu dibayari negara. BBM mobil supermewahmu dibayari negara. Baju dinas di kementerianmu yang mentereng itu, juga dibeli dengan uang rakyat. Perjalanan dinasmu yang terbang dengan kelas eksekutif, kamar hotel mewahmu, kartu kreditmu semua dibayari negara. Kamu hidup dengan serba gratisan, Sri. Dan semua itu dibayari oleh rakyat. Kamu tahu persis, kan, Sri?

    Satu lagi. Sri, kamu kan intelektual. Gelar akademismu doktor lulusan luar negeri, Amerika Serikat pula. Keren sekali. Sebagai intelektual, kamu pasti paham betul pentingnya pendidikan. Kamu pasti tahu persis, bahwa dengan pendidikan peluang seseorang memperbaiki nasibnya lebih terbuka lebar ketimbang orang yang tidak atau kurang berpendidikan.

    Tapi, Sri, sebagai intelektual dan menteri kenapa kamu tega mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus sekolah anaknya. Jahat sekali kamu! Kalau dulu penjajah Belanda melarang rakyat Indonesia yang mereka sebut inlander untuk bersekolah, aku masih bisa memahami alasannya. Belanda tidak ingin rakyat Indonesia pintar, agar mereka bisa melestarikan penjajahannya atas negeri yang berjuluk rangkaian Jamrut Katulistiwa.

    Tapi Sri, usul yang berimpilkasi menghalangi rakyat Indonesia bersekolah dan menjadi pintar kali ini datang dari kamu. Seorang menteri, intelektual sekaligus WNI asli keturunan Indonesia. Aku harus bilang apa dengan fakta seperti ini? Kamu benar-benar jahat. Kamu sadis terhadap rakyat Indonesia yang sudah menanggung gaji dan bermacam fasilitasmu sebagai menteri.

    Atau, barangkali kamu mau mengelak, bahwa tidak semua kebutuhan hidupmu dibayari rakyat? Mungkin kamu juga dapat penghasilan dari jasa atau sebagai pembicara di aneka forum bergengsi karena intelektulitas dan atau pengalamanmu. Tapi Sri, biarkan aku mengingatkanmu, bahwa betapa pun dan bagaimana pun, kamu tetaplah WNI. Kamu tetap rakyat Indonesia asli, bukan keturunan. Mosok kamu tega dan jahat kepada saudara-saudaramu sesamat rakyat Indonesia?

    Sri, sebagai menteri dan intelektual, kamu pasti tahu, bahwa ada amanat konstitusi yang mewajibkan negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau kamu lupa, aku kutipkan sebagian dari paragraf empat UUD 1945: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, *mencerdaskan kehidupan bangsa,”

    Cetak miring dan bold sengaja kulakukan untuk memberi penekanan, barangkali kamu luput memperhatikan. Pertanyaannya, bagaimana rakyat bisa cerdas jika kamu yang jadi menteri justru menghalang-halangi mereka bersekolah hanya karena mengunggak iuran BPJS? Di mana hati nuranimu? Masih adakah? Kalau pun ada, masihkah hati nuranimu itu hidup?

    Tidakkah cukup penderitaan rakyat saat bosmu yang presiden itu akan menaikkan iuran BPJS dua kali lipat? Di mana juga hatimu, ketika dengan enteng kamu bermaksud menaikkan gaji direksi BPJS? Padahal, fakta dan bukti menunjukkan mereka tidak becus mengelola perusahaan asuransi yang di back-up kekuasaan.

    Terakhir, sebagai menteri keuangan, tentu kamu paham betul bahwa BPJS bukanlah pajak atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP) . Tidak ada secuil pun aturan apalagi UU yang mewajibkan rakyat membayar iuran BPJS. Kalau sekarang rakyat dipaksa ikut dan membayar iuran BPJS, dengan segala sanksinya yang tidak masuk akal dan kejam, itu karena kalian para pejabat publik telah berlaku sangat zalim kepada rakyatnya sendiri.

    Bagaimana mungkin menteri keuangan dan intelektual seperti kamu tidak paham perbedaan antara pajak, PNBP, dan iuran? Namanya saja iuran, mana bisa dijadikan kewajiban. Iuran itu hanya berlaku bagi yang terlibat. Iuran RT, misalnya, hanya wajib bagi warga lingkungan RT yang bersangkutan.

    Lagi pula, BPJS sejatinya adalah manipulasi negara terhadap rakyat. BPJS bukanlaah jaminan kesehatan oleh negara kepada rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945. Di situ disebutkan, “Negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.”

    BPJS hanyalah perusahaan asuransi yang berlindung di balik ketiak penguasa, ya di antaranya kamu. BPJS adalah bentuk kesewenang-wenangan negara yang amat luar biasa terhadap rakyatnya. Tolong tunjukkan kepadaku, di belahan bumi mana ada negara yang mewajibkan rakyatnya untuk menjadi peserta asuransi?

    Sudahlah Sri, bertobatlah. Jabatan yang kamu banggakan itu sama sekali tidak abadi. Cepat atau lambat akan selesai. Berakhir. Dan, yang lebih penting lagi, kalau kamu orang yang beragama, tentu kamu yakin adanya akhirat. Kelak, kamu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan mahkamah yang anti suap dan KKN. Ngeri, lho Sri!. **

    Jakarta, 6 September 2019, Edy Mulyadi adalah wartawan senior

  • Kita Jaga Alam, Alam Akan Jaga Kita

    Kita Jaga Alam, Alam Akan Jaga Kita

    Oleh : Alius Setiawan, S.H.

    Pentingnya menjaga Alam wajib harus kita tanamkan sejak dini. Penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan, polusi air dari limbah industri dan pertambangan, polusi udara di daerah perkotaan, dan masalah mengenai rusaknya Alam kita khususnya di Indonesia bukan merupakan masalah yang baru lagi, yang seharusnya dibenahi sesegera mungkin. Bagaimana tidak, masalah ini tidak luput dari peran pemerintah dan masyarakat yang harus berdampingan menjaga Alam Sekitar kita ini.

    Alam yang merupakan tempat tinggal semua makhluk hidup yang ada di muka bumi, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan harus kita jaga kelestariannya. Alam sangat penting bagi kelangsungan hidup bagi makhluk hidup. Karena apabila Alam tidak ada maka manusia, hewan, dan tumbuhan tidak dapat bertahan hidup.

    Namun, sekarang Alam mengalami kerusakan. Itu semua akibat ulah dari manusia yang tidak bertanggung jawab. seperti menebang pohon secara liar yang tidak diselingi dengan penanaman pohon kembali sehingga hutan menjadi gundul dan tanah tidak dapat menyerap air bahkan pohon tidak dapat menghirup karbondioksida diudara.

    Penambangan batu bara secara terus-menerus yang dapat menyebabkan tanah yang dikeruk semakin habis dan akan rusak, penggunaan kendaraan bermotor dan pendirian industri yang menyebabkan asap pabrik pada rumah kaca sehingga tingginya emisi gas buang diudara yang mengakibatkan polusi udara dan pemanasan suhu dibumi.

    Serta membuang sampah sembarangan yang berdampak buruk pada kehidupan makhluk hidup. Ulah manusia tersebut dapat berakibat fatal, mereka berani mengatasnamakan bisnis dan mengesampingkan lingkungan tanpa memikirkan anak cucu mereka kelak. Mungkin berbuat itu sangat mudah tapi kalau mengembalikannya seperti semula sangat sulit.

    Oleh sebab itu, agar bencana alam tidak terulang terus-menerus, kita sebagai manusia yang hidup dimuka bumi yang telah diberikan kekayaan alam yang melimpah, seharusnya kita berterima kasih kepada Tuhan semesta Alam Allah SWT dengan cara menjaga dan melestarikan alam sekitar. Mulai dari sekarang marilah kita membenahi dan menjaga alam sekitar kita, Kita jaga alam maka alam juga yg akan menjaga kita. (***)

    Penulis adalah Ketua Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Lampung

  • “Menggendong” Eva ke Mana-mana

    “Menggendong” Eva ke Mana-mana

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    ADA yang menarik pada acara pelantikan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Badan Narkotika Maksiat (BNM) Kota Bandarlampung di Gedung PKK, Rabu (21/8) lalu.

    Saat memberikan sambutan, Walikota Herman HN sibuk menanyakan keberadaan istrinya, Eva Dwiana, kepada ajudan istrinya. “Mana…coba hubungi dulu. Kalau sudah selesai, cepat ke sini,” cetus Herman yang belakangan dikasih tahu kalau Eva sedang menerima kedatangan istri Wakapolda Lampung di Gedung PKK.

    Lantas Herman berkata, “Saya tidak maksa dia (Eva) maju ya. Ini bukan kampanye,” kata Herman bercanda.

    Pernyataan Herman bahwa ia tidak memaksa istri maju pada Pilwako, tentu mungkin-mungkin saja. Namun dari gimik politik yang dimainkan Herman HN akhir-akhir ini, jelas ia sangat ingin Eva melanjutkan kepemimpinannya.

    Gimik politik Herman itu mudah terbaca, bahkan masif menyeruak ke ruang-ruang publik dan berbagai acara. Gambar Herman dan Eva ada di mana-mana, ada di Puskes, sekolahan, kantor kecamatan, kelurahan, hingga tepi jalan.

    Kini, tak ada lagi tampak gambar pasangan Herman HN dengan wakilnya M Yusuf Kohar yang seperti kita tahu sudah lama action sendirian.

    Kota kini dijejali spanduk bergambar Herman dan Eva, lagi gandengan, mirip gambar pasangan para sultan atau raja dan permaisuri negeri jiran, Diraja Malaysia.

    Herman pun makin sering membawa Eva pada hampir seluruh kegiatan pemerintahan. Mereka duduk berdampingan tanpa kehadiran wakil walikota yang disebut-sebut akan menjadi pesaing berat Eva Dwiana pada pilwako 2020 nanti.

    Harus diakui, Eva punya kans besar untuk berjaya pada pilwako Bandarlampung nanti. Bukan cuma karena Eva istri petahana yang dikenal sukses membangun banyak flyover dan memberikan perhatian besar pada sektor pendidikan dan kesehatan.

    Bukankah Eva adalah sosok fenomenal. Ia pernah menjadi news maker saat mengumumkan pemunduran dirinya dari Ketua Partai Demokrat Kota Bandarlampung, persis menjelang Pilgub Lampung 2014 lalu.

    Eva juga dikenal punya hubungan sangat dekat dengan emak-emak yang aktif di kelompok pengajian Rahmat Hidayat. Emak-emak sangat mencintainya, dan pasti datang berduyun-duyung dengan kerudung putih ke Masjid Al Furqun. Emak-emak inilah portofolio utama yang memberikan suara paling banyak untuk Eva pada pemilu lalu.

    Sekali lagi, Eva memang luar biasa. Tapi ia juga bisa menjadi beban Sang Walikota. Mungkinkah Herman mampu “menggendong” Eva ke mana-mana?. ***

    Penulis adalah wartawan senior

  • Jelajah Hukum Terkait Kepengurusan KONI Provinsi Lampung Periode 2019-2023

    Jelajah Hukum Terkait Kepengurusan KONI Provinsi Lampung Periode 2019-2023

    Oleh : Gindha Ansori Wayka

    Musyawarah Propinsi Komite Olahraga Nasional Indonesia (Musprov KONI) Provinsi Lampung yang dihelat 7 Agustus 2019 berjalan dengan mulus dan sukses, dalam Musprov ini telah ditetapkan Ketua Umum (Ketum) KONI Lampung Terpilihnya adalah Dr. Ir. Muhammad Yusuf Sulfarano Barusman, MBA.

    Tentunya pasca terpilihnya ini Ketum KONI Provinsi Lampung terpilih akan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka mengisi kepengurusan yang akan duduk dijabatan-jabatan yang telah tersedia. Harus dipahami bahwa menyusun kepengurusan ini telah banyak menguras energi dan waktu, sehingga Ketum KONI Lampung terpilih harus mengakomodir saran dari semua pihak sehingga pengurusnya pun terkesan gemuk.

    Menjadi menarik untuk ditelisik, mengapa kepengurusan KONI Provinsi Lampung ini terkesan gemuk karena mengingat target “Olahraga Lampung Berjaya” yang tentunya harus ditopang oleh pengurus-pengurus yang mumpuni dan menguasai bidang kerjanya untuk meningkatkan prestasi olahraga di Lampung yang telah di patok yakni pada Pekan Olahraga Nasional (PON) 2020 di Papua, Provinsi Lampung harus menduduki peringkat 10 Besar. Untuk mewujudkan hal ini, Ketum KONI Lampung terpilih nampaknya harus segera membenahi mulai dari kepengurusan hingga kepada pembinaan atlet dan pelatih, sehingga target capaian dapat tercapai dengan pasti.

    Terlontarnya pernyataan Ketum KONI Lampung terpilih, bahwa jika Provinsi Lampung Gagal dalam PON 2020 di Papua dengan tidak menduduki 10 besar, maka Ketum KONI Lampung terpilih akan mengundurkan diri adalah sikap yang harus dicermati secara jeli. Munculnya pernyataan ini, nampaknya bukan kemudian pasrah pada nasib atau bermain kaki, tetapi harus dilihat dari proses perubahan paradigma dan manajemen dalam sistem keolahragaan di Lampung yang mulai dipangkas oleh Ketum KONI Lampung terpilih adalah bentuk nyata dari upaya tidak berpangku tangan pada keterbatasan (nasib) untuk mewujudkan olahraga Lampung berjaya.

    Ada beberapa hal keadaan yang muncul dari proses penyusunan kepengurusan KONI Provinsi Lampung periode 2019-2023, yang dapat kita amati yang keadaannya jauh berbeda dari kepengurusan KONI Lampung sebelum-sebelumnya, diantaranya pertama adalah Kepengurusan KONI Lampung periode 2019-2023 di bawah Pimpinan Ketum KONI Lampung terpilih saat ini sudah meminimalisir pelanggaran terhadap aturan yang ada.

    Yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 27/PUU-V/2007 terkait penolakan permohonan uji materi Pasal 40 UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan dan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 800/148/sj 2012 tanggal 17 Januari 2012 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah pada Kepengurusan KONI, PSSI Daerah, Klub Sepakbola Profesional dan Amatir, serta Jabatan Publik dan Jabatan Struktural serta Surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No B-903 01-15/04/2011 tertanggal 4 April 2011 tentang hasil kajian KPK yang menemukan adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan.

    Kedua, karena sadar bahwa aktifitasnya sangat banyak, maka Ketum KONI Lampung terpilih membentuk kepengurusan Ketua Harian yang dapat mengambil alih jika dalam kondisi mendesak karena untuk olahraga tidak boleh terkendala oleh seorang Ketum KONI Lampung terpilih apabila sedang berhalangan.

    Ketiga, bahwa perlu masyarakat ketahui bahwa Kepengurusan KONI Provinsi Lampung periode 2019-2013 mengalami perubahan yang signifikan dari Kepengurusan yang sebelumnya dimana Pengurus KONI Lampung tidak diberi honor atau digaji setiap bulannya dan setiap pengurus telah menyatakan dirinya untuk tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi di KONI Lampung sebagaimana fakta integritas yang telah ditandatangani oleh masing-masing calon pengurus sebelum di terbitkan Surat Keputusan (SK).

    Keempat, bahwa Perubahan Paradigma di dalam KONI Lampung periode 2019-2023 telah mulai dilakukan sejak Gubernur Lampung Arinal Djunaidi keberatan untuk didapuk sebagai Ketum KONI Lampung karena alasan taat asas dan taat hukum, maka Ketum KONI Lampung terpilih pun saat ini dalam menyusun kepengurusannya telah melakukan upaya yang serupa yang maksimal dengan sikap Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.

    Dalam menyusun kepengurusan ini tentunya Ketum KONI Lampung terpilih sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir pelanggaran terhadap aturan hukum dan ini jauh berbeda dengan kepengurusan yang sebelum-sebelumnya dan termasuk KONI di beberapa daerah saat ini, hal ini nampak bahwa di Kepengurusan KONI Lampung periode 2019-2023 tidak ada pengurus yang menjadi Anggota Legislatif, kalaupun ada sekarang maka periode ke depannya tidak lagi menjabat sebagai anggota Legislatif yakni Wakil Ketua Umum IV Hidir Ibrahim, sehingga saat SK nya diterbitkan yang bersangkutan tidak lagi sebagai Anggota Legislatif.

    Disisi lain ada nama Hanibal sebagai Ketua Harian dan Agus Nompitu yang juga menjabat sebagai sebagai Waketum III, adalah 2 (dua) nama yang sangat dekat dengan insan olahraga di Lampung selama ini. Masuknya Hanibal dan Agus Nompitu sebagai pengurus KONI Lampung periode 2019-2023 melalui proses verifikasi yang sangat sulit dan perdebatan yang panjang karena pada dasarnya publik menginginkan KONI Lampung ke depan harus bebas dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Struktural, namun yang menjadi kendala nampaknya adalah menemukan sosok yang “minimal sama dengan” kemampuan keduanya saat ini dirasakan sulit, sehingga Ketum KONI Lampung meminta kepada Gubernur Lampung agar keduanya dapat membantu memperkuat organisasi karena diletakkan sesuai bidangnya.

    Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Provinsi Lampung melihat kondisi antara kepengurusan KONI Lampung yang sebelum-sebelumnya dan dengan Kepengurusan KONI Lampung periode 2019-2023 sudah banyak sekali perkembangan dan perubahannya serta telah Nampak upaya meminimalisir pelanggaran hukum oleh Ketum KONI Lampung terpilih, semoga ke depan kondisi ini akan segera dapat diatasi jika ada tokoh atau sosok yang mumpuni untuk menjabat dijabatan keduanya, maka kepengurusan ini harus di restrukturisasi untuk tujuan penyempurnaan sesuai dengan aturan yang berlaku.

    Tentunya pasca perhelatan Musprov KONI Lampung tahun 2019 ini, bukan hanya memikirkan soal kepengurusan saja, akan tetapi bagaimana upaya mewujudkan Provinsi Lampung untuk menduduki peringkat 10 besar PON 2020 di Papua karena ini tanggungjawab dan beban berat dipundak Ketum KONI Lampung terpilih dan Pengurus KONI Lampung yang perlu didukung oleh seluruh elemen dalam ikut mensukseskan “Olahraga Lampung Berjaya”. ***

    Penulis adalah Koordinator Presidium KPKAD (Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah) Provinsi Lampung

  • Pesta Demokrasi 2020

    Pesta Demokrasi 2020

    Oleh: Fibriand Andika

    Pesta demokrasi 2019 kemarin belum hilang dari ingatan tidak lama lagi akan akan digelar kembali pesta demokrasi di beberapa daerah di Lampung dari 15 Kabupaten dan Kota ada 8 daerah yang ikut menyelenggrakan pilkada serentak pada tahun 2020 mendatang, perbincangan untuk dukung mendukung calon sudah mulai terdengar di kalangan petinggi partai politik, pengamat politik maupun masyarakat yang antusias menunggu pesta 5 tahun sekali ini.

    Para elite politik sudah mulai mempersiapkan strategi untuk mengikuti pesta lima tahunan ini, mulai dari petahana hingga calon penantang target dari strategi itu ialah calon pemilih terutama masyarakat yang akan disuguhkan dengan janji – janji manis seperti sekolah gratis, kesehatan gratis, harga bahan – bahan pokok murah dan lain – lain entah akan dipenuhi atau menjadi pemanis dalam orasi politik.

    Dalam setiap pesta demokrasi masyarakat seharusnya memahami calon pemimpin yang akan dipilih sehingga nanti ketika memimpin benar – benar mampu menyelasaikan program – program yang mampu mensejahterakan masyarakat, masyarakat jangan hanya dijadikan objek rebutan suara dalam kontestasi politik sebaliknya harus terlibat aktif dalam menentukan kualitas hajatan demokrasi.

    Uang dan Kekuasaan

    Uang sepertinya tidak bisa dilepaskan dari proses hajatan politik, logika kekuasaan saat ini dan masa mendatang ada pada lembaran uang, ada hubungan yang sangat erat antara kekuasan dan uang di mana ada uang, di sana ada kekuasaan.

    Uang menjadi keharusan dalam perebutan kursi kekuasaan pemilihan umum. Hal ini menjadi kewajiban dan tuntutan apalagi untuk menaikan citra bukan untuk adu program yang akhirnya melahirkan pragmatisme dalam berkuasa.

    Calon pemimpin dan partai politik harus mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Khususnya pada saat membeli perahu untuk berlayar, pendaftaran, kampanye, media massa, jasa konsultan politik dan lai lain. Secara logis ongkos memperebutkan kekuasaan itu sangat besar yang tidak sebanding dengan uang gaji jabatan yang akan di dapatkan jika menjabat atau berkuasa.

    Secara kasar, calon pemimpin dan partai politik sebenarnya sudah membawa epidemi korupsi bahkan sebelum mereka berkuasa. Korupsi yang melibatkan banyak politikus dan pejabat sebenarnya bukan hal yang absurd dan tiba-tiba. Ini adalah konsekuensi logis dari logika uang. Modal yang di keluarkan wajib kembali atau minimal impas.

    Maka, kita menghadapi lingkaran setan logika uang. Sejumlah uang mampu untuk mendapatkan kekuasaan – kekuasaan akan menghasilkan uang lagi begitu seterusnya berputar, sehingga tidak heran melihat Lampung dalam 1 tahun terdapat hattrick OTT KPK karena ongkos politik yang begitu mahal. ***

    Penulis adalah Kader HMI, Bandar Lampung

  • Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan

    Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan

    Oleh: Sofyan Akbar Budiman, M.Pd

    Salah satu tahapan Pemilihan Umum 2019 adalah Pemutakhiran Data Pemilih. Tahapan ini merupakan tahapan yang penting dan berlangsung paling lama diantara tahapan pemilu lainnya. Proses pemutakhiran Data Pemilih pada Pemilihan Umum 2019 ini berbeda dengan pemilu sebelumnya.

    Setidaknya ada 2 (dua) cara dalam memulai proses pemutakhiran Data Pemilih Pada Pemilu 2019. Pertama, bagi daerah yang melaksanakan pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota (Pilkada) tahun 2018 maka proses penyusunan daftar pemilih hanya menambahkan pemilih yang memenuhi syarat yang belum masuk di Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada tahun 2018.

    Kedua, bagi daerah yang tidak melaksanakan Pilkada tahun 2018 maka proses pemutakhiran data pemilih diawali dengan melaksanakan pencocokan dan penelitian (coklit). Langkah selanjutnya adalah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Setelah DPS ditetapkan selanjutnya anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) mengumumkan DPS di tempat- tempat strategis untuk mendapatkan masukan dari masyarakat yang nantinya digunakan untuk memperbaiki DPS.

    Pada Pemilu 2019 kali ini proses pemutakhiran data sangat panjang dan melelahkan. Beberapa kali Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Daftar Pemilih Tetap. Mulai dari Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan 1 (DPTHP 1) sampai DPTHP 3. Perbaikan DPT tersebut disebabkan banyaknya masukan dari partai politik maupun tim kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

    Banyak energi yang terkuras dari masukan tersebut sehingga menyebabkan banyak penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan dan desa yang kelelahan dan bahkan ada yang masuk ke rumah sakit. Dari sisi anggaran juga mengalami beberapa kali revisi bahkan terkadang nilainya tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan.

    Untuk pemilu yang akan data ketersediaan anggaran yang cukup menjadi perhatian sebagai upaya mengantisipasi lamanya proses pemutakhiran data yang memakan waktu, tenaga dan biaya. Namun terlepas dari itu semua hal positif yang dapat diambil dalam proses ini adalah semakin akurat data yang dihasilkan.

    Masalah Data Pemilih

    Dalam setiap tahapan pemutakhiran data pemilih memunculkan beberapa permasalahan diantaranya : kualitas SDM Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Pemilih yang belum memiliki KTP daerah tempat tinggal, Pemilih yang pindah domisili, Pemilih yang sudah meninggal namun masih masuk ke dalam Daftar Pemilih, pemilih ganda, Pemilih di lapas dan masih banyak persoalan lainnya.

    Dari sekian banyak persoalan data pemilih yang terus terjadi adalah permasalahan orang yang sudah meninggal masih masuk di Daftar Pemilih. Persoalan ini memang persoalan klasik yang terus menerus terjadi yang seolah-olah menjadi masalah warisan. Di dalam kependudukan memang jumlah penduduk sangat fluktuatif. Disatu sisi berkurang dan disisi lainnya bertambah.

    Pengurangan jumlah pendudukan di suatu daerah disebabkan karena orang meninggal dan orang berpindah ke tempat lain (pindah penduduk). Sedangkan penambahan penduduk disebabkan karna adanya kelahiran dan orang pindah penduduk dari tempat lain. Untuk mengatasi persoalan ini memang harus di selesaikan secara komperhensif dengan melibatkan pihak-pihak lain baik Pemerintah daerah, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), Pemerintahan Desa, Komisi Pemilihan Umum maupun Masyarakat itu sendiri.

    Hal yang penting dan utama adalah dibutuhkan proaktif dari masyarakat, karena proses menghapus data orang meninggal tidak bisa dilakukan kecuali dari masyarakat yang melaporkan keluarganya atau saudaranya yang meninggal. Terkadang memang ada rasa enggan dari masyarakat untuk melaporkan dan mengurus surat kematian. Hal ini disebabkan salah satunya adalah tidak ada insentif ketika mengurus surat kematian.

    Berbeda dengan keluarga Aparatur Sipil Negara (ASN) ketika mengurus surat kematian mereka akan mendapatkan uang duka (kematian) dari TASPEN. Di dalam Pemerintahan Desa sendiri juga terhambat oleh persoalan sumber daya manusia (SDM) yang mengurusi kematian. Memang di masing-masing desa ada petugas kematian.

    Namun petugas tersebut hanya bertugas menggali kuburan. Selebihnya mereka tidak ada tugas lain. Faktor lain adalah tingkat pendidikan yang rendah sehingga untuk urusan catat mencatat mereka kurang mampu. Dan masih ditambah lagi dengan persoalan tidak adanya insentif yang jelas, terkadang hanya sumbangan sukarela dari masyarakat berupa padi/beras.

    Pemerintahan desa juga bersikap pasif, mereka hanya akan membuatkan surat kematian jika ada laporan dari masyarakat. Namun aparat desa harus juga teliti dan cermat ketika mendapatkan laporan kematian. Perlu adanya pengecekan di lapangan. Karna jangan sampai terjadi orangnya masih hidup namun sudah dibuatkan surat kematian. Hal ini akan menimbulkan masalah.

    Pihak Disdukcapil selaku Pihak yang mengelola data juga bersikap pasif. Jika tidak ada surat kematian, maka data orang yang sudah meninggal tidak akan dihapus dari data kependudukan. Data orang meninggal tersebut akan tetap ada di database kependudukan. Hal inilah yang menyebabkan ketika pemilu, data tersebut masih masuk ke data pemilih. KPU sendiri memang dalam proses tahapan pemilu melakukan pencocokan dan penelitian (coklit).

    Proses coklit ini dilakukan oleh PPDP dengan mendatangi rumah penduduk. Namun persoalannya memang terkadang ada PPDP tidak melaksanakan tugas dengan baik.mereka hanya mengerjakan ditas meja. Sehingga data yang dihasilkan tidak akurat.

    Di dalam bimbingan teknis (Bimtek) sendiri sering berulang-ulang diingatkan agar petugas PPDP turun kelapangan mendatangi rumah kerumah.Namun tidak semua mematuhi dan melaksanakan instruksi tersebut.Meskipun sebagian besar melakukannya dengan baik.

    Solusi masalah Data Pemilih

    Hal yang harus kita yakini adalah dalam setiap masalah pasti ada solusi. Solusi untuk mengatasi persoalan data pemilih harus dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan pihak-pihak terkait.Untuk mengatasi persoalan diatas ada beberapa solusi yang dapat dilakukan diantaranya : Pertama, Pemerintah Daerah bekerjasama dengan pemerintah desa merekrut SDM khusus yang menangani pencatatan kematian penduduk, bisa berasal dari aparat pekon/desa sendiri atau tenaga khusus yang nantinya diberikan insentif.

    Kedua, Pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah desa memberikan insentif bagi warga yang proaktif melaporkan kematian keluarganya atau saudaranya. Tentunya besaran insentif disesuaikan dengan kemampuan daerah. Ketiga, Pihak Disdukcapil berkoordinasi secara proaktif dengan pemerintahan desa untuk mendapatkan data kematian penduduk.

    Keempat, Komisi Pemilihan Umum tingkat Provinsi maupun Kabupaten berkoordinasi secara periodik dengan Disdukcapil untuk melakukan pemutakhiran secara berkelanjutan setiap 6 bulan sekali. Kelima, Komisi Pemilihan Umum tingkat Provinsi maupun Kabupaten merekrut SDM PPDP yang berkualitas seperti halnya petugas sensus sehingga datanya bisa lebih akurat. ***

    Penulis adalah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pringsewu Periode 2014-2019.

  • Menyiapkan Calon Watawan Profetik di Journalist Boarding School

    Menyiapkan Calon Watawan Profetik di Journalist Boarding School

    Oleh: Aat Surya Safaat

    Para jurnalis (wartawan) pada hakikatnya mengemban amanah yang sangat berat tapi mulia. Kenapa? Tidak lain karena mereka sejatinya mewarisi apa yang disebut “tugas kenabian”. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus para rasul, kecuali untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 56).

    Bunyi surat Al-Kahfi itu bersesuaian dengan fungsi pers yang diakui di seluruh dunia, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur dan menjadi alat kontrol sosial (masyarakat). Ketiga fungsi pertama sebagaimana disebutkan di atas sama artinya dengan menyampaikan kabar gembira, sedangkan fungsi keempat sama dengan memberi peringatan kepada publik (masyarakat).

    Terinspirasi oleh ayat suci itu, setelah lebih dari 40 tahun berprofesi sebagai wartawan, mantan Pemimpin Umum LKBN ANTARA yang juga pernah menjadi Dirut RRI Pardi Hadi terdorong untuk menulis buku berjudul “Jurnalisme Profetik: Mengemban Tugas Kenabian”.

    Nabi dalam bahasa Inggris adalah “prophet”. Dengan alasan itu, ‘genre’ jurnalisme yang diusung Pardi Hadi disebut juga “Prophetic Journalism” (Jurnalisme Profetik atau Jurnalisme Kenabian). Jurnalisme profetik mengacu pada Al-Quran, Hadits dan akhlak mulia Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bisa disingkat STAF, yakni Shidiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah.

    Shidiq berarti mengungkapkan sesuatu berdasarkan kebenaran, tabligh berarti menyampaikan kepada orang lain dengan cara mendidik, amanah berarti dapat dipercaya atau akuntabel, dan fathonah berarti penuh kearifan (cerdas). Jadi, misi jurnalisme kenabian sejatinya adalah mengajak orang untuk berbuat kebaikan dan memerangi kejahatan, atau dalam Islam disebut “amar ma’ruf nahi munkar”.

    Terkait dengan dunia jurnalistik itu sendiri, saat melaksanakan tugas sehari-hari, para wartawan harus berhati-hati dalam menerima dan mengolah bahan berita agar berita yang ditulisnya layak siar dan bermanfaat untuk masyarakat.

    Dasarnya ada dalam Al-Qur’an yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu kabar, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [Al Hujurat: 6].

    Karena sumber dan acuan utamanya adalah Kitab Suci dan akhlak Rasulullah, dalam praktiknya wartawan profetik melibatkan sisi spiritualitas, di samping akal dan upaya-upaya lahiriah. Dengan kata lain, wartawan profetik saat bertugas mengemban misi memberi informasi (informing), mendidik (educating), menghibur (entertaining), memberi advokasi (advocating), mencerahkan (enlightening), menginsiprasi (inspiring), dan memberdayakan (empowering).

    Kemudian, meski mengajarkan “welas asih” (compassion) kepada sesama makhluk, jurnalis profetik tetap harus kritis, tegas, dan berupaya keras turut memberantas kejahatan, termasuk tindakan korupsi yang masih sering terjadi sampai saat ini.

    Justru karena menyandang “tugas kenabian”, maka para wartawan dan media massa profetik harus lebih berani melakukan “investigative reporting” atau laporan investigasi untuk mengungkap kejahatan yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan.

    Mengikuti Perkembangan Zaman

    Ketika internet ditemukan dan koran elektronik baru diperkenalkan di Amerika awal tahun 1990-an, kebanyakan orang kemudian mendapatkan informasi dari layar komputer atau dari telpon seluler ketimbang dari lembaran kertas koran.

    Bagi media massa Islam, perkembangan teknologi informasi seperti itu sejatinya merupakan peluang, karena pers Islam pun pada dasarnya juga bergerak pada bisnis penyediaan jasa informasi dengan mengkonstruksi realita sosial dan membingkainya sesuai kebijakan internal dalam nuansa jurnalisme kenabian.

    Oleh karena itu, jika sekarang disebut abad informasi, maka perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang informasi, termasuk pers Islam mestinya juga bisa terus hidup dan makin berkembang, apalagi pangsa pasarnya relatif luas.

    Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya kunci sukses bagi media massa Islam dan jurnalis muslim adalah kesiapannya untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan teknologi informasi.

    Media massa di negara mana pun yang selalu siaga dengan berbagai kemungkinan telah terbukti, bukan saja tetap ‘survive’, melainkan juga hidup makmur dan berpengaruh.

    Di sinilah tantangannya. Jurnalis muslim perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi agar kehadirannya tetap bermanfaat bagi masyarakat, bahkan makin diperlukan bangsa dan negara di masa mendatang. Tentu saja aspek penting lainnya yang harus dikuasai seorang jurnalis profetik, baik yang bekerja di media cetak maupun online atau radio dan televisi adalah berfikir secara jernih serta berkomunikasi melalui lisan atau tulisan secara efektif dan bermanfaat bagi banyak orang.

    Sekolah Jurnalistik Plus

    Menyiasati perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, sekolah-sekolah jurnalistik saat ini pada umumnya berkonsentrasi pada pendidikan dan keterampilan kewartawanan berbasis digital. Namun sekolah jurnalistik yang satu ini berbeda, karena juga mengajarkan siswanya untuk bisa membaca dan menghafal Al-Qur’an. Sekolah ini menjadi kian penting karena keberadaannya seperti oase di pusat hiburan, di tengah kota Cilegon yang merupakan salah satu kota industri tersibuk di Indonesia.

    Dengan nama “Journalist Boarding School” (JBS), sekolah jurnalistik itu berupaya menekankan dua sisi secara berimbang, yakni keterampilan jurnalistik dan sisi spiritualitas, sehingga mereka diharapkan nanti benar-benar menjadi wartawan profetik yang mumpuni.

    “Sekolah jurnalistik plus” itu berlokasi di Gedung Pusdiklat PWI Banten, Jalan Kalitimbang Lingkar Krotek RT 02/RW 05 Jalan Lingkar Selatan, Kecamatan Cibeber Kota Cilegon Provinsi Banten. Konsep sekolah jurnalistik itu digagas oleh Firdaus, pendiri Teras Media Group yang menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Banten dua periode (2010-2015 dan 2015-2019).

    Wartawan senior yang berdomisili di Cilegon Banten itu saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat serta merupakan penggagas sekaligus salah seorang pendiri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang kemudian didaulat menjadi sekretaris jenderal di organisasi media tersebut.

    Menurut Firdaus, “Journalist Boarding School” itu sendiri berada di bawah naungan Yayasan Akademi Multimedia Nusantara (AMN). Tempat pendidikan dan pelatihan jurnalistik itu terbuka untuk alumni SMA maupun alumni perguruan tinggi.

    Di sekolah jurnalistik itu para peserta mendapatkan pelatihan jurnalistik yang meliputi “6M”, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Materi wajib lainnya adalah desain grafis untuk media atau sarana tercetak, olah foto, digital marketing hingga pengelolaan media sosial agar menjadi sumber pendapatan.

    Tidak hanya itu, para siswa juga akan diajarkan membuat blog atau website. Satu lagi, materi kearifan lokal juga diajarkan, yaitu keterampilan olah kanuragan. Selain pendidikan jurnalistik dan digital, pihak sekolah juga akan membuat paket wisata religi untuk umum yang konsepnya sedang terus dimatangkan.

    Sekolah jurnalistik itu sendiri hadir dalam upaya menjawab tantangan di era modern dengan konsep pendidikan yang mengkombinasikan nilai-nilai religius dengan nilai-nilai kearifan lokal. Para siswa nantinya akan menempuh masa pendidikan selama satu tahun, setara dengan pendidikan D1, dan selama mengikuti pendidikan, mereka akan dimukimkan seperti halnya santri di pondok pesantren.

    Firdaus juga menjelaskan, materi-materi umum akan diberikan kepada seluruh peserta lulusan SMA maupun perguruan tinggi. Tetapi kemudian pada tahapan pengkonsentrasian, materinya akan berbeda. Khusus untuk sarjana akan dikonsentrasikan pada jurnalistik profetik sebagai bagian dari kelompok penyeru bagi kepentingan publik dan kepemimpinan, sementara peserta tamatan SMA akan dikonsentrasikan pada penguasaan keterampilan media digital seperti desain web, pengelolaan medsos, dan digital marketing.

    Pertama di Asia

    Terkait “Journalist Boarding School”, Konsultan Manajemen Akademi Multimedia Nusantara (AMN) GS Ashok Kumar menyatakan, lembaga pendidikan jurnalistik tersebut adalah “Sekolah Jurnalistik Plus” pertama di Indonesia, bahkan di Asia karena juga mengajarkan siswanya untuk bisa membaca dan menghafal Al-Qur’an.

    Peserta didik disediakan penginapan di bangunan berlantai dua dengan luas 300 meter persegi. Dengan begitu setiap peserta dapat diasuh dan diawasi secara langsung oleh para mentor handal yang masing-masing memiliki kompetensi berbeda.

    Para peserta didik wajib shalat berjamaah di awal waktu. Seusai shalat magrib dan subuh mereka diwajibkan belajar membaca dan menghapal Al-Qur’an serta belajar tajwid. Mereka juga secara berkala dilatih “public speaking” dan menjadi Imam shalat.

    “Journalist Boarding School” yang dilaunching pada akhir April 2019 itu siap menampung 30 peserta setiap tahun. Setiap peserta akan mengikuti pendidikan selama satu tahun, dengan peningkatan materi secara berjenjang. Sekolah jurnalistik itu dibangun, bukan semata berorientasi bisnis, tetapi lebih kepada ihktiar bersama dalam rangka mempersiapkan wartawan profetik yang kian diperlukan kehadirannya di era konvergensi media sekarang ini.

    Perjuangan jajaran pengurus sekolah jurnalistik di Cilegon Banten untuk menyiapkan calon-calon wartawan profesional dan berakhlak mulia itu masih panjang dan penuh tantangan. Karenanya perlu kerja keras dan kerja ikhlas semua pihak terkait dengan tetap mengedepankan “akhlaqul karimah” (sikap sopan santun) sebagaimana diajarkan Rasulullah Muhammad SAW.

    Dalam kaitan ini, pemikir Islam terkemuka Imam Al-Ghazali menyatakan: “Manakala yang dicita-citakan itu baik serta mulia, maka pasti sulit ditempuh serta panjang jalannya. Beliau pun pernah mengingatkan bahwa “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras dan tidak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun”.

    Penulis adalah Pemred Kantor Berita ANTARA 2016-2017 yang juga pernah menjadi Kepala, Biro Kantor Berita ANTARA di New York AS tahun 1993-1998. Wartawan senior kelahiran Pandeglang Banten itu saat ini mendapat amanah sebagai Asesor Wartawan Utama pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta menjadi anggota Dewan Penasehat PWI Provinsi DKI Jakarta (PWI Jaya).