Kategori: Opini

  • Penyelenggara Pemilu Yang Netral

    Penyelenggara Pemilu Yang Netral

    Oleh : Fariza Novita

    Salah satu keberhasilan penyelenggara pemilu yang Netral bisa dilihat dari Hasil penyelenggara KPU Tulang Bawang dalam pesta demokraasi serentak 2019. Dalam pemilu serentak 2019 yang baru-baru ini dilaksanakan. Sikap netralitas penyelengara pemilu sangat penting dan menjadi poin utama yang dikaitkan dengan dalih-dalih Hukum yang sudah ditentukan yang menegaskan afiliasi politik bagi para penyelenggara Pemilu.

    Salah satu satu contoh konflik pada tahapan pemilu di Indonesia adalah faktor integritas dan ketidaknetralitas penyelnggara pemilu,yang dapat menimbulkan rasa ketidakpercayaan terhadap masyarakat yang memiliki hak pilih.
    Untuk menghindari hal ini KPU Tulang Bawang dalam satuan kerja penyelenggara dalam melaksanakan peran serta tanggung jawab kerjanya,mengedepankan prinsip kedisiplinan dan kepatuhan untuk bisa mencapai suatu sikap tegas dan sikap arip dari setiap aparatur penyelenggara pemilu agar dapat bersikap netral.

    Tidak heran, bahwa netralitas penyelenggara pemilu diperlukan, tanpa harus menghilangkan hak-hak politiknya sebagai warga negara. Bilamana norma atau hukum yang mewajibkan netralitsas bagi penyelengggara pemilu dikaitkan pada penerapan faktualnya, maka akan ditemukan suatu indikator menarik.

    Hasil pengamatan selama ini,ada beberapa kasus yang ditemukan bahwa dalam penggunaan hak memilih penyelenggara pemilu telah dijadikan peluang bagi masuknya intrik dan kepentingan golongan yang menimbulkan gejolak masa dalam aktivitas politik praktis. Sehingga hal tersebut, menjadi sumber konflik dan keretakan soliditas internal di lembaga penyelenggara pemilu itu sendiri.

    Sementara dalam hal ini dapat dilihat agar konflik tersebut tidak berkembang menjadi conflict of interest, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tulang Bawang harus dijauhkan dari segala tarikan kepentingan golongan maupun aktivitas politik praktis dari partai politik peserta pemilu.

    Hal itu juga harus diperkuat dengan memastikan kode etik yang telah diatur dalam peraturan DKPP RI NO 2 Tahun 2017 tentang Pemilu dan pedoman perilaku penyelenggara pemilihan umum,aturan yang dibuat untuk ditaati oleh seluruh penyelenggara pemilu.aturan ini menjelaskan bahwa penyelenggara pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika dan filosopi yang menjadi pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh seluruh penyelenggara pemilu. (**)

    Penulis adalah aktivis Perempuan Pemerhati Pemilu Lampung

  • Peran Masyarakat Dalam Pemilu Yang Demokratis, Jujur dan Adil

    Peran Masyarakat Dalam Pemilu Yang Demokratis, Jujur dan Adil

    Oleh: Fariza Novita

    Salah satu wujud dari masyarakat Indonesia dalam pemilihan umum yang demokrasi ialah ketika masyarakat memberikan hak pilihnya dalam proses politik adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat Indonesia dalam memberikan hak pilihnya untuk ikut menentukan pemimpin dan arah kepemimpinan Negara atau daerah dalam periode tertentu.

    Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan.

    Bahwa dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 perlu diselengarakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu sebagai sarana kedaulatan Rakyat dengan tujuan memperkuat sistem ketatanegaraan yang Demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu. Dan mewujudkan pemilu yang efektip dan efisien.dengan memberikan kepastian hukum Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan.

    Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu.

    Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen.

    Dalam hal Pemilu yang adil untuk seluruh masyarakat KPU sebagai penyelenggara Pemilu sangat memperhatikan hak penyandang Disabiltas yang memenuhi sarat yang sama sebagai pemilih,sebagai calon anggota DPR,DPRD,DPD Dan sebagai penyelenggara pemilu. **

    Penulis adalah aktivis Perempuan Pemerhati Pemilu.

  • Urusan Nyawa Rakyat Kok Dihitung Untung Rugi?

    Urusan Nyawa Rakyat Kok Dihitung Untung Rugi?

    Oleh : Zainab Ghazali

    Begitu menyedihkan nasib rakyat kecil di negeri ini. Sudahlah jatuh tertimpa tangga, sekarang justru dibuat mati perlahan. Bagi mereka yang sakit akan bertambah ‘sakit’. Karena sejak kamis, 1 Agustus 2019, BPJS menonaktifkan 5,2 juta peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan dengan dasar Surat Keputusan Menteri Sosial No 79 Tahun 2019 soal penonaktifan dan perubahan data peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan.

    Pemerintah berdalih, pemutakhiran data diperlukan karena ada 114 ribu jiwa peserta yang tercatat meninggal dunia. Di luar itu ada pula peserta yang sejak 2014 tidak pernah akses layanan kesehatan ke faskes yang telah ditentukan.

    Menghadapi protes masyarakat, pemerintah enteng saja menyatakan, mereka yang dinon aktifkan tak perlu khawatir karena sudah disiapkan kebijakan lanjutan. Pertama, mereka mendaftar kembali menjadi peserta PBI melalui Dinsos dan Dinkes di daerah masing-masing sehingga iuran menjadi beban APBD.

    Kedua, jika daerah tidak punya dana, maka daerah yang akan mengajukan ke kemensos pusat. Ketiga, jika mereka mampu membayar iuran sendiri, mereka disarankan langsung mendaftar sebagai peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah alias PBPU dengan ‘keringanan’ hanya menunggu 14 hari masa verifikasi. Kebijakan itu berlaku sampai 31 Agustus 2019.

    Lihatlah, betapa rakyat dipermainkan dengan kebijakan negara yang tak bijak. Pusat dan daerah malah bisa saling lempar tanggungjawab soal pengurusan nyawa rakyat. Tak ada penjelasan, bagaimana jika opsi ke dua rakyat miskin tak lolos juga? Nampak jelas, negara ingin berlepas tangan dari kewajibannya mengurus rakyat.

    BPJS memang selalu mengaku tekor. Setidaknya, tahun ini defisit mencapai Rp 28 triliun. Bukan hanya peserta yang dipangkas, bahkan kerjasama dengan beberapa rumah sakitpun terpaksa harus diputus.

    Di luar itu, opsi suntikan dana pemerintah jelas tak bisa terlalu diharapkan. Tahu sendiri, pemerintah sudah pusing dengan beban utang yang makin membesar. Maka, jadilah opsi menaikkan iuran sebagai solusinya. Lagi-lagi rakyatlah yang dikorbankan.

    Beginilah jika sistem kapitalisme yang diterapkan. Negara seolah sedang berdagang. Urusan nyawa rakyat pun dihitung dari keuntungan dan kerugian. Alih-alih berupaya memberikan mutu kesehatan terbaik buat rakyatnya. Negara, malah memeras rakyat atas nama iuran jaminan kesehatan.

    Negara terus mempropagandakan, saling menolong sesama warga negara adalah bentuk kebaikan. Padahal negara sedang memindah paksa kewajibannya memenuhi hak rakyat atas jaminan kesehatan, hingga rakyatlah yang saling menjamin kesehatannya sendiri. Jika demikan, apa fungsi dan peran negara untuk rakyatnya?

    Zhalim namanya, jika negara terus ‘memalak’ rakyat lewat iuran jaminan kesehatan yang nilainya terus dinaikkan. Padahal kondisi ekonomi kian sulit dirasakan. Dan lantas peserta PBI pun dinonaktifkan. Benarlah apa yang Sekjen Perhimpunan RS se-Indonesia, Wasista Budi Waluyo katakan. Bahwa aturan aktivasi dan pendaftaran yang ruwet menyebabkan jatuhnya korban.

    Hal senada dikatakan Hariyanto, Peneliti kesehatan Pusat Studi Nusantara. Bahwa produk peraturan yang dibuat BPJS justru menyulitkan masyarakat. BPJS memiliki pola bagaimana memperbanyak jumlah iuran, bukan bagaimana memberikan pertolongan segera bagi rakyat yang membutuhkan.

    Sejatinya, kesehatan adalah hal vital yang mesti dijamin oleh negara. Tapi negara malah tak sungkan berlepas tangan, memangkas hak miskin untuk dibantu disejahterakan. Buru-buru mengambil keputusan penonaktifan. Sementara rakyat lain diburu untuk taat bayar iuran. Dan jika tak tepat waktu membayar, sanksi pun siap dilayangkan.

    Iuran dinaikkan, jutaan peserta dinonaktifkan, dan diminta kembali melakukan pendaftaraan jika masih mau jaminan kesehatan diberikan. Malang nian kondisi rakyat di negeri yang konon kaya raya ini. Himpitan ekonomi yang sulit tak cukup membuat penguasa kasihan. Kini ditambah lagi dengan jeratan keruwetan BPJS yang sungguh menyakitkan.

    Mana suara pemimpin negeri? Bukankah mereka harus bertanggungjawab atas hal ini?, Sayangnya, mereka sedang sibuk dengan urusan mengamankan kursi di parlemen, lalu mencari posisi untuk anggota partainya dalam pemerintahan. Sementara sang pemimpin utama, sedang sibuk atas pencalonan anak sendiri naik ke kursi kekuasaan di kampung halaman. Dan tentu saja, berasyik masyuk dengan berbagai proyek mercusuar yang menjadi jalan asing menguasai berbagai kekayaan milik rakyat kebanyakan.

    Padahal bukankah pemimpin layaknya seorang pelayan? Sebagaimana Rasulullah Saw pernah sabdakan : “ Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).

    Semestinya, negaralah yang wajib melayani rakyat atas segala kebutuhan dasar mereka. Dan kesehatan hanyalah salah satunya. Negara wajib memenuhi layanan kesehatan dengan murah bahkan cuma-cuma. Bukan sebaliknya, rakyat yang justru melayani penguasa dengan memasok kantong keuangan negara demi kepentingan mereka dan kroni-kroninya.

    Sungguh jahat sistem hidup yang sekarang sedang diterapkan. Yang membuat penguasa kehilangan rasa kemanusiaan. Dan negara kehilangan kedaulatan. Hingga kekayaan melimpah ruah yang Allah swt berikan, tak bisa jadi modal kesejahteraan, apalagi membawa keberkahan. MENYAKITKAN!. ***

  • Diaz Hendropriyono Layak Jadi Menteri Muda Jokowi?

    Diaz Hendropriyono Layak Jadi Menteri Muda Jokowi?

    Oleh : Ara’Sit

    Menteri muda dan dinamis menjadi incaran Jokowi untuk menjadi ‘pembantunya’ di periode mendatang. Kriterianya disebut berusia 20 tahun ke atas. Beragam nama pun ditawarkan masyarakat.

    Saya jadi tergelitik untuk menawarkan satu sosok muda tapi juga ‘kekinian’ yang saya anggap mumpuni untuk menjadi pembantu Presiden. Yaitu Rekan saya Diaz Hendropriyono atau yang biasa dipanggil Masbos.

    Kesan millenial ini saya tangkap ketika ia menyuguhkan video kampanye PKPI pada musim Pemilu 2019 lalu. Video kampanyenya jauh berbeda dari kampanye partai-partai lainnya yang masih terkesan klasik dan konvensional.
    Itu dari sisi ‘kekinian’ ya…

    Nah, dari sisi pendidikan, Diaz memiliki tiga gelar master dari Amerika dan doktor dari Amerika. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Diaz melanjutkan studi ke Norwich Military University, Amerika Serikat (AS). Gelar Bachelor of Science (B.Sc.) Ia raih dengan predikat cum laude hanya dalam waktu dua tahun, tepatnya pada tahun 1999.

    Selain itu, Diaz juga masih menyabet penghargaan Dean’s List dan Delta Mu Delta. Dean’s List diberikan kepada mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) di atas 3,6 dan nilai minimal A- untuk semua mata pelajaran. Sementara itu, Delta Mu Delta dianugerahkan kepada mahasiswa manajemen yang menduduki peringkat 20% teratas.

    Selepas pendidikan sarjana, Diaz menempuh studi pascasarjana hingga tiga kali di AS. Pertama-tama Diaz mengambil program Master of Public Administration di Virginia Tech University dan lulus dengan memperoleh predikat Graduated with Distinction di tahun 2010.

    Pendidikan pascasarjana berikutnya ia ambil di Hawaii, yakni program Master of Business Administration dan Master of Arts in Global Leadership dari Hawaii Pacific University. Meskipun keduanya ditempuh di waktu yang bersamaan, ia berhasil lulus dengan predikat Graduated with Honors pada kedua program tersebut di tahun 2003.

    Saat ini, Diaz masih terdaftar dalam program Doctor of Philosophy in Public Administration di Virginia Tech University dan telah menyelesaikan disertasinya. Selain beberapa pendidikan formal tersebut, ia juga telah menempuh program pendidikan informal.

    Salah satunya yaitu, Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) pada tahun 2013.

    Saat berada di Washington, DC, Diaz sempat bekerja sebagai analis di sebuah perusahaan konsultan politik (lobbying firm), yang dipimpin oleh mantan Senator Bennett L. Johnston, dan sebagai research associate di sebuah “think tank” RAND Corporation.

    Memang banyak sosok millenial seperti Diaz. Muda, berbakat, kuliah di luar negeri dan memiliki pengalaman di bidang politik. Tapi Diaz memiliki keunggulan dibanding kaum ‘millenial’ lainnya. Ia punya pengalaman kerja keras dan cerdas baik di swasta dan birokrasi pemerintahan.

    Sama hal dengan perjalanan akademisnya, pria beranak tiga ini menorehkan pengalaman yang beragam selama berkarier di sektor swasta. Pengalaman profesional pertama Diaz didapatkan ketika bekerja sebagai sales dari PT KIA Otomotif Indonesia.

    Ia menghabiskan waktu total satu tahun (1999-2000) bekerja di perusahaan yang berbasis di Republik Korea (Korea Selatan) tersebut. Selanjutnya, selama tahun 2000-2001, Diaz dipercaya menjadi Direktur dari PT Ulam Sari Samudra, sebuah perusahaan yang fokus pada kegiatan distribusi makanan laut yang dibekukan (frozen seafood).

    Berlanjut di tahun 2011 – 2014, Diaz menjadi Direktur Pengembangan Usaha, PT Andalusia Andrawina sebuah operator Hotel Amaris, Pancoran. Bersamaan juga beliau menjadi Direktur di PT Etam Coal, sebuah perusahaan batubara di tahun 2012 – 2013. Dan sampai sekarang, ia menjadi Senior Advisor di PT Segara Laju sebuah perusahaan kapal sejak tahun 2015.

    Diaz juga banyak berkecimpung sebagai komisaris di berbagai perusahaan besar. Di tahun 2015 – 2018, Diaz menjadi Komisaris Telkomsel, setelah sebelumnya ia berstatus sebagai komisaris PT Andalusia Antar Benua, sebuah franchise dari Western Union. Kemudian ia pernah menjadi Komisaris di PT Fit by Beat, sebuah franchise dari Gold’s Gym (2010 – 2016). Sampai saat ini ia menjadi Komisaris PT Arena MMA Indonesia (2013 – sekarang).

    Selain bekerja di sektor swasta, pengalaman anak ketiga mantan Kepala BIN A.M Hendropriyono ini bekerja di sektor publik juga cukup banyak.  Ia merupakan seorang tokoh pemuda yang aktif mendukung Joko Widodo dalam masa kampanye pemilihan Presiden RI tahun 2014.

    Diaz merupakan Ketua Umum Kawan Jokowi dan pernah bersama sama dgn saya sebagai relawan jokowi, terakhir Kami bekerjasama di Team Transisi Jokowi tahun 2014. Ia pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Analis Strategis di Badan Intelijen Negara dari tahun 2012 – 2015.

    Dan berlanjut ia menjadi Staf Khusus bidang Intelijen di Kemenko Polhukam dari tahun 2014 – 2016. dan pada Mei 2015, Menpora Imam Nachrawi menunjuk Diaz Hendropriyono sebagai anggota Tim Transisi PSSI dari tahun 2014 – 2016.

    Diaz juga pernah menjadi staf ahli di Kemenkopolhukam serta di BIN. Dan saat ini masih menjadi staf khusus Presiden RI sejak tahun 2016 sampai sekarang.

    Jadi, kemampuan bekerja di lingkup birokrasi pemerintahan tak perlu diragukan lagi.

    Tak hanya muda, Diaz merupakan paket lengkap; muda, jaringan luas, pengalaman mumpuni di sektor publik dan swasta, mendapat dukungan politik.

    Disamping pintar gaul dan membawakan diri diaz juga seorang yg cukup humble dan suka berbagi serta memperjuangkan kawan kawannya membuat ia diterima diberbagai bidang, salah satunya berkecimpung di dunia pemuda dan olahraga.

    Diaz sangat layak diperhitungkan Jokowi menjadi Menpora. Mari masbos kita toz dulu Rempah Nusantaranya biar tetap sehat dan semakin berprestasi buat bangsa dan negara. Anda Sependapat!!?

    Penulis adalah DPN RaJA (Rumah Jokowi Amin)

  • Deklarasi Tanpa Permisi ?

    Deklarasi Tanpa Permisi ?

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    SEJUMLAH elite ramai-ramai meneken deklarasi sebagai bentuk mendukung Ibukota RI pindah ke sini (Lampung,Red). Deklarasi tersebut ditandatangani seluruh rektor perguruan tinggi negeri dan swasta di Lampung, serta sejumlah elemen masyarakat, kemarin.

    Namun disayangkan. deklarasi tanpa melibatkan pemuka adat. Sialan! Kemana mereka? Apakah tak penting lagi mendengar pendapat pemuka adat kita? Lampung adalah negeri para raja-raja. Mereka ada, punya rasa, dan pantas dimintakan pendapat. Sangat mungkin mereka tidak menolak daerah ini menjadi ibukota negara.

    Tapi sepantasnya, terkait rencana besar ini mereka turut dilibatkan. Etika kesantunan terhadap tokoh adat seharusnya tetap dijunjung tinggi, sebagai wujud keadaban kita di ‘Tano Lada’. Pemindahan Ibukota Negara adalah salah satu megaproyek pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode 2019-2024.

    Hal itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 edisi revisi bulan Juni 2019 yang diluncurkan, Kamis (25/7). Dalam RPJMN tersebut, proyek Pemindahan Ibukota Negara berada dalam program Prioritas Nasional nomor dua, yaitu Mengembangkan Wilayah Untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan.

    Proyek tersebut rencananya akan berdurasi 5 tahun (2020-2024) yang mana sepanjang kepemimpinan Jokowi. Perkiraan alokasi dana yang dibutuhkan pemerintah untuk melancarkan pemindahan Ibu Kota mencapai Rp83,8 triliun. Sumber pendanaan proyek ini nantinya akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Swasta.

    Alokasi dana ini tampaknya hanya untuk tahap awal, karena Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono pernah menyebut jumlah dana yang dibutuhkan untuk memindahkan Ibukota mencapai lebih dari Rp400 triliun.

    Pemerataan ekonomi memang menjadi isu penting dibalik pemindahan Ibu Kota. Namun persoalan Ibukota Negara pindah ke sini bukanlah persoalan sepele. Perlu sosialisasi soal untung ruginya. Pemindahan Ibukota Negara tidak berarti memindahkan ‘sorga’, pun bisa menetaskan ‘neraka’. Sudah siapkah kita!

    Penulis Adalah wartawan senior

  • Jabung Tak Lagi soal Begal, Tapi soal Pemenang MTQ Tingkat Internasional

    Jabung Tak Lagi soal Begal, Tapi soal Pemenang MTQ Tingkat Internasional

    Oleh: Budi Hutasuhut (wartawan Senior)

    JABUNG distigma publik sebagai “kampung begal”. Media berperan penting untuk menghalalkan vonis sosial itu, sehingga seluruh warga Jabung harus menanggung akibatnya. Aparat pemerintah, terutama para penegak hukum, ikut-ikutan membangun konvensi sosial seakan-akan Jabung “daerah gelap”.

    Dampak sosiologisnya, generasi muda asal Jabung “dipaksa” mengalami degenerasi. Padahal, anak-anak yang lahir dari lingkungan masyarakat itu, punya nilai lebih dibandingkan anak-anak dari daerah lain di Kabupaten Lampung Timur. Tekanan publik yang begitu keras dan menyakitkan, mendorong mereka untuk lebih keras berjuang.

    Siska Fitriyani, siswi SMK Muhammadiyah 3 Metro, salah satu contoh. Gadis kelahiran Jabung dan bersekolah di Kota Metro ini, mengikuti “The International of Qur’an and Technology” Musabaqoh Tilawatil Qur’an tingkat SMA/SMK di Jakarta. Tak dinyana, ia menjadi Juara 1 putri.

    Siska dan Siska lain melimpah dari Jabung. Mereka mengasah diri untuk menjadi figur yang mampu membalik citra negatif kampungnya. Dan, tentu, tidak mudah bagi mereka untuk melakukan hal itu. Stigma adalah hukum sosial yang bisa diatasi tidak dalam hitungan detik, jam, atau hari. Stigma negatif hanya bisa diselesaikan dalam waktu lama dan panjang.

    Maka, generasi muda asal Jabung, jika suatu hari Anda punya waktu mampir ke sana, adalah anak-anak muda yang punya semangat luar biasa untuk melanjutkan pendidikannya. Mereka, sebagian besar, memutuskan bersekolah di luar Jabung. Tak sedikit dari anak-anak itu yang pindah ke Kota Metro, lalu mengasah kreativitasnya di lingkungan baru, di antara generasi muda lain yang mengenyam pendidikan.

    Kadang, stigma negatif itu melekat. Para induksemang, pemilik rumah-rumah kontrakan di Kota Metro, tidak sedikit yang menutup diri bagi anak-anak asal Jabung. Setiap pelajar atau mahasiswa, yang hendak mencari rumah kontrakan di Kota Metro, selalu mengubah asal usul daerahnya. Mereka tidak dari Jabung, karena pemilik rumah kontrakan memakai syarat: “Menerima kontrakan yang bukan dari Jabung.”

    Publik di luar Jabung, sesungguhnya, telah mengambil peran Tuhan. Mereka menghukum orang-orang dari Jabung seperti Tuhan menghukum ummat manusia. Padahal, kita tahu persis, semua ummat manusia lahir dengan kemurnian masing-masing. Tak ada anak-anak yang ingin dilahirkan di Jabung, tak ada pula dari mereka yang ingin Jabung terstigma terus-menerus.

    Jadi, jika nama Jabung menjadi menyeramkan, itu karena pikiran kita sendiri. Kita membangun hal-hal menyeramkan untuk menakut-nakuti diri sendiri. Apa yang kita lakukan, mirip orang yang tak punya rasa percaya dri. Kita seperti penderita paranoia. Takut akan hal-hal yang sebetulnya kita ciptakan sendiri. Kita buat hantu, lalu kita takut akan hantu yang kita buat itu.

    Dan, tentu, kita lebih mirip orang-orang rasis di luar negeri sana. Seperti orang-orang Amerika menghukum kulit hitam, kita pun menghukum generasi muda Jabung. Padahal, sebetulnya, kita sedang menghukum diri sendiri. Kita mengurung pikiran sendiri di dalam sungkup dan tidak bisa melepaskan diri.

    Kita yang cetek, kentara kurang memahami nilai habblu minnanas dalam kehidupan sosial, dan karena itu kita sibuk menyalahkan orang-orang dari Jabung. ***

  • Rusuh Mesuji Tamparan Untuk Pejabat Lampung?

    Rusuh Mesuji Tamparan Untuk Pejabat Lampung?

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    RUSUH Mesuji seperti tak ada habisnya. Daerah Otonom berusia muda ini selalu saja menampar-nampar muka masyarakat Lampung hingga stigma Lampung rawan dan Mesuji angker semakin rekat.

    Konflik lahan selalu menjadi pemicu utamanya, sejak dulu, dan tak pernah bisa dituntaskan sampai kini. Akar persoalan (konflik agraria) di kawawan register hingga sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan juga masih menganga.

    Kabupaten Mesuji seperti dibiarkan dalam situasi mencekam. Padahal, setiap peristiwa berdarah di daerah ini selalu menimbulkan korban jiwa.

    Terakhir, konflik lahan di sini telah merenggut 3 nyawa, bahkan kabar lain menyebutkan ada 4 korban jiwa. Beritanya menghiasi hampir semua media, termasuk di media sosial yang hingga kemarin ramai memuat gambar atau foto korban yang berdarah-darah. Tayangan foto di media sosial begitu vulgar, dan perlu kiranya ditertibkan.

    Tak elok rasanya mengungkap sederetan peristiwa yang pernah terjadi di daerah ‘keras’ ini. Terlalu mengerikan, sebenarnya.  Tapi oke, cukup satu saja. Dulu, 2011 lalu, pernah ada peristiwa yang bikin heboh dunia.

    Komisi III DPR didatangi warga Mesuji, melaporkan adanya dugaan pembantaian terhadap petani Mesuji di perkebunan sawit. Dilaporkan korban mencapai 30 orang. Ke-30 petani itu dikabarkan dibunuh dengan cara keji.

    Semua pihak pasti tahu, apa akar masalah Mesuji mudah meletup, yakni konflik lahan yang tak terselesaikan. Jika akar masalahnya sudah diketahui, tunggu apa lagi, segera bereskan! (*)

  • Politik Dinasti

    Politik Dinasti

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    POLITIK dinasti (Poldin) sesungguhnya adalah praktik haram yang untuk sementara ini menjadi halal oleh sebab kepentingan politik kekuasan. Poldin cendrung muncul oleh sebab-sebab negatif (rakus kekuasaan) dan rasa percaya diri super berlebihan. Poldin dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

    Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan yang sesuai pakemnya akan mewariskan kekuasaan secara turun temurun dari ayah kepada anak, agar kekuasaan akan tetap berada di  lingkaran keluarga. Politik dinasti terkini lebih parah dari itu, dimana kekuasaan bisa diwariskan kepada istri atau sebaliknya.

    Pada era kekuasaan sabahat, Umar bin Khatab, model Poldin sempat ditawarkan oleh para pembantunya kepada Amirul Mukminin, sebelum ia wafat. Meski tawaran itu tidak menimbulkan pertentangan, Umar bin  Khatab keras menolaknya.

    Teladan baik yang ditunjukkan Amirul Mukminin tersebut kini justru berusaha keras ditentang dengan sejumlah
    argumen pro demokrasi, yakni bahwa setiap orang berhak memilih dan dipilih. Padahal, Poldin secara etis memang
    tidak sehat dan memiliki potensi kecurangan.

    Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

    Banyak hal yang memunculkan Dinasti Politik, antara lain; adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan. Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.

    Adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. Adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya
    korupsi.

    Dampak buruknya Politik Dinasti adalah membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak
    mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. (*)

  • Investasi dan Konflik Agraria di Lampung Masih Mengangga

    Investasi dan Konflik Agraria di Lampung Masih Mengangga

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    ADA yang menarik yang seharusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintahan Jokowi bilamana ingin membuka keran investasi seluas-luasnya. Bahwa kebijakan membuka keran investasi berpotensi memicu konflik agraria antara masyarakat dengan investor.

    Pernyataan bernama ancaman bagi siapa pun yang dianggap menghambat investasi dapat menimbulkan kesalahpahaman yang secara tidak langsung sudah distempelkan kepada masyarakat sekitar lahan investasi serta aktivis lingkungan hidup yang kerap dicap sebagai pihak yang menghambat.

    Mengacu pengalaman di masa lalu, investasi selalu menimbulkan potensi konflik lahan yang sulit diselesaikan. Bahkan, tidak sedikit akhirnya menimbulkan kerusuhan massa. Investasi berpotensi menggerus lahan-lahan masyarakat dan mengurangi luasan lahan konservasi. Padahal saat ini, sudah hampir 62 persen luas daratan Indonesia dikuasai investor. Terutama perusahaan di bidang tambang, kehutanan, kelapa sawit, dan migas.

    Penguasan lahan oleh investor yang sudah menguasai 62 persen tersebut masih menyisakan berbagai konflik agraria di hampir semua daerah. Di Lampung, misalnya, menurut data LBH Bandarlampung 2018 lalu, masih diwarnai konflik agraria yang tak sulit dituntaskan.

    Berdasar data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, konflik pertanahan terjadi di beberapa kabupaten/kota. Data LBH 2018 menyebutkan, daerah konflik agraria terjadi di Kabupaten Tulangbawang (25%), Kabupaten Pesawaran (6%), Kota Bandarlampung (44%), dan Kabupaten Lampung Selatan sekitar 12%.

    Perkara konflik agraria di Lampung masih menumpuk, terutama di Mesuji yang memiliki banyak perkara pelik konflik agraria. Perkara-perkara itu nyaris tidak ada yang terselesaikan dengan baik hingga saat ini. LBH Bandarlampung menyimpulkan menumpuknya perkara agraria di Lampung terjadi akibat ketidakseriusan dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikannya.

    Bahkan, saat Joko Umar Said menjabat Wakil Gubernur Lampung mengakui pemerintahannya kewalahan untuk mengatasi maraknya konflik agraria. Setiap tahun muncul 10 kasus besar baru. Hampir 60 persen dari sekitar 350.000 hektar luas wilayah hutan register di Lampung kini ditinggali perambah. (*)

  • Peluang Dan Tantangan Pemilu Serentak Dalam Persefektif Masyarakat Madani

    Peluang Dan Tantangan Pemilu Serentak Dalam Persefektif Masyarakat Madani

    Oleh: Wagiman, S.E.

    Pemilihan Umum atau disingkat dengan Pemilu dalam Negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatangeraaan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga Negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengmabilan keputusan kenegaraan.

    Sebuah Negara berbentuk republic memiliki system pemerintahan yang tidak pernah lepas dari pengawasan rakyatnya. Adalah demokrasi, sebuah bentuk pemerintahan yang terbentuk karena kemauan rakyat dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri. Demokrasi sendiri merupakan sebuah proses, artinya sebuah republic tidak akan berhenti di satu bentuk pemerintahan selama rakyat Negara tersebut memiliki kemauan yang terus berubah.

    Ada kalanya rakyat menginginkan pengawasan yang superketat terhadap pemerintaha, tetapi ada pula saatnya rakyat bosan dengan para wakilnya yang terus bertingkah karena kekuasaan yang seakan-akan tak aka nada batasnya. Berbeda dengan system kerajaan yang menjadikan garis keturunan sebagai landasan untuk memilih pemimpin. Pada republic demokrasi diterapkan azas kesamaan di mana setiap orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin dapat menjadi pemimpin apabila ia disukai oleh sebagian besar rakyat.

    Pemerintah telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengna istilah kontrak social. Dalam sebuah republic demokrasi, kontrak social atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi wakilnya dalma proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan masa depan sebuah Negara.

    Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses pencipataan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi social yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.

    Masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui, emansipasi dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratif.

    Masyarakat madani adalah kelembagaan social yang akan melindungi warga Negara dari perwujudan kekuasaan Negara yang berlebihan. Bahkan masyarakat madani tiang utama kehidupan politik yang demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi warga Negara dalam berhadapan dengan Negara, tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi masyarakat.

    Pemilu adalah merupakan ajang penyaluran aspirasi masyarakat melalui suara yang diperuntukan bagi para pelaku pemerintahan, baik anggota dewan, presiden, gubernur, dan bupati. Pemilu menjadi harapan besar bagi masyarakat madani untuk mendapat perubahan baik secara structural organisasi pemerintahan maupun secara fisik pelaksanaan pembangunan.

    Pelaksanaan pemilu serentak dapat membuahkan peluang dan tantangan yang dihadapi baik oleh pihak penyelenggara maupun masyarakat madani. Masyarakat madani sebagai tiang utama kehidupan politik yang demokratis, mempunyai persepsi dalam memandang peluang dan tantangan pada pelaksanaan pemilu serentak.

    Persepsi ini muncul didasarkan bahwa masyarakat madani adalah pelaku sasaran utama dalam pencarian suara. Penulis sebagai bagian dari masyarakat madani dan aktif dalam berpartisipasi pada pemilu serentak tahun 2019, mengamati bahwa pemilu serentak kali ini menorehkan banyak persepsi dilihat dari sisi peluang dan tantangannya.

    UU No 7 tahun 2017 menjelaskan bahwa pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 2945.

    Pengertian lain Pemilu adalah salah satu upaya dalam mempengaruhi rakyat secara persuasive (tidak memaksa) dengan melaksanakan aktivitas retorika, hubungan politik, komunikasi massa, lobi dan aktivitas lainnya.

    Sedangkan tujuan dari pemilu adalah sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan pemerintahan Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Prihatmoko (2003: 19) Pemilihan Umum didalam pelaksanaannya mempunyai tiga tujuan, yaitu :

    Sebagai system kerja untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternative kebijakan umum. Pemilu adalah sarana untuk pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang sudah dipilih atau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.

    Pemilu sebagai sarana memobilisasi, penggerak atau penggalang dukungan rakyat kepada Negara dan Pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Sebagai masyarakat madani yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaan pemilu dan sebagai sasaran utama yang masuk dalam system Daftar Pemilih Tetap secara langsung melakukan pengamatan atas perjalanan pemilu yang ada.

    Masyarakat madani mempunyai persepsi terkait peluang dan tantangan dalam pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019. Mendapatkan seseorang yang mampu mewakili masyarakat madani menjadi peluang yang diharapkan bagi masyarakat akan adanya pemilu.

    Karena pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Peluang atau kesempatan besar ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pemilu, sehingga terlihat makin meningkat jumlah partisipasi masyarakat, atau semakin sedikitnya tingkat golput.

    Dengan pemilu yang dilaksanakan secara serentak ini mengundang tantangan tersendiri bagi masyarakat antara lain terkait : kecermatan dalam memahami kertas suara, lamanya waktu saat berada dalam bilik suara, kecermatan dalam melihat, memilih dan menentukan calon yang akan di pilih, banyak munculnya praktik politik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dilakukan secara bersama entah itu untuk DPR, DPRD, DPD dan atau Presiden.

    Sehingga dengan kejadian ini akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat madani dalam memilih. Dan di perkirakan menjadi penyebab munculnya kesalahan atau surat suara gagal karena terdapat lebih dari satu coblosan. Prinsip dasar bagi masyarakat madani, siapa yang sudah memberi maka akan di pilih semua, tanpa mempertimbangkan ketentuan dan syarat sah pencoblosan.

    Pandangan peluang dan tantangan seperti ini seharusnya sudah mampu ditangkap oleh penyelenggara pemilu, sehingga perjalanan pelaksanaan pemilu semakin ke depan semakin membaik. Masyarakat madani sebagai kelembagaan social harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap pengambilan kebijakan. ***

    Penulis adalah wartawan sinarlampung.com Biro Pringsewu, Sekretaris Kominfo Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Lampung