Kategori: Opini

  • Realitas Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Prospek di Masa Mendatang

    Realitas Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Prospek di Masa Mendatang

    Oleh : Alius Setiawan, S.H.

    Realitas DPD yang baru terbentuk Dua periode menumbuhkan anggapan bahwa DPD secara kelembagaan dan terutama fungsinya, belum tersosialisasikan secara penuh seperti lembaga tinggi negara lain yang baru terbentuk sebagai hasil amandemen UUD 1945, misalnya mahkamah konstitusi (MK).

    Dalam suatu acara Temu Wicara, ketua MK bercerita bahwa anaknya disalahkan oleh gurunya saat menjawab pertanyaan salah satu lembaga tinggi negara adalah MK, justru gurunya menyebutkan jawaban yang benar adalah DPA (padahal DPA sudah dihapus). Ini menunjukkan lembaga-lembaga tinggi negara hasil amandemen UUD 1945 belum tersosialisasikan dengan baik.

    Hal itu pun menimbulkan anggapan bahwa kinerja para anggota DPD belum teruji, kualitas para anggotanya belum nampak, dan belum semua anggota dikenal kiprahnya di masyarakat daerahnya masing-masing. Para anggota DPD dianggap tidak memiliki agenda rutin yang jelas bagi daerahnya, baik secara personal maupun kolektif (4 orang wakil setiap daerah).

    Mereka sering dianggap mencari popularitas sendiri-sendiri dan terlihat sibuk hanya bila ada kasus-kasus besar yang mencuat di daerah. Ada juga anggota DPD yang lebih sibuk dengan urusan-urusan organisasi massa (ormas) asalnya (Muhammadiyah, NU, dll).

    Indikasi ini semakin buruk dengan semakin banyaknya anggota DPD yang berusaha alih fungsi dengan mencalonkan diri pada pemilihan-pemilihan kepala daerah, baik sebagai gubernur, bupati, walikota, atau wakilnya. Apapun alasannya, mereka dianggap tidak pernah serius menjadi anggota DPD sehingga terkesan hanya sekedar mencari jabatan yang lebih empuk.

    Realitas lain, para anggota DPD belum mampu membangun komunikasi politik dan koordinasi secara berkala untuk meningkatkan kapasitasnya dengan para anggota DPR sedaerah, DPRD, eksekutif, yudikatif, lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sosial budaya, serta konstituen di daerahnya. Sehingga setiap anggota DPD di provinsi belum mampu berperan sebagai wakil daerah yang menyerap secara efektif aspirasi dan persoalan-persoalan daerah.

    Oleh karena itu, meski mendesak, kondisi bangsa saat ini tidak cukup realistik untuk melakukan amandemen kembali atas konstitusi dalam jangka pendek. Pasca Pemilu serentak 2019, pertama-tama yang mendesak adalah revisi menyeluruh atas UU bidang politik yang mencakup UU Pemilu, UU Pilpres, UU Partai Politik, UU Susduk, dan UU Pemerintahan Daerah.

    Revisi UU bidang politik tidak pernah menjanjikan perubahan secara mendasar. Namun, melalui revisi yang bersifat menyeluruh, terarah, konsisten, dan visioner, kecenderungan tambal sulam perundang-undangan bidang politik bisa dikurangi, peran dan fungsi DPD dapat lebih ditingkatkan. Prioritas DPD saat ini akan lebih realistis bila menggalakkan sosialisasi tugas pokok dan fungsinya sambil membangun jaringan seluas-luasnya guna meningkatkan kapasitas kewenangannya di masa mendatang.

    Hal ini pula yang di kemudian hari mengundang permasalahan, sebab tak banyak yang paham bahwa DPD adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem parlemen yang dianut oleh Indonesia pasca amandemen UUD 1945.

    Ke depan DPD perlu memiliki kewenangan legislasi, budgeting, dan pengawasan; setidak-tidaknya sama-sama berhak mengusulkan undang-undang, berhak memutuskan, menyetujui atau menolak undang-undang, pejabat, dan perjanjian luar negeri. Kalaupun tidak sama persis kekuasaannya dengan DPR, minimal harus ”mendekati atau hampir sama”.

    Jika dua badan yang terpisah, yang satu mewakili parpol dan satunya mewakili rakyat daerah berwenang mempertimbangkan dan memutuskan setiap rencana undang-undang sebelum diberlakukan, maka akan dapat diantisipasi bahaya penetapan undang-undang yang tergesa-gesa dan banyak alpa. Badan yang satu senantiasa dapat mengawasi dan saling melengkapi badan yang lainnya.

    Kepentingan daerah-daerah tertinggal (dan daerah miskin seperti Lampung) yang memiliki perwakilan kuat di DPD akan dapat mengimbangi kepentingan parpol atau daerah maju yang mewakili jumlah penduduk besar dan mempunyai perwakilan besar di DPR. Ini merupakan mekanisme “pengawasan dan perimbangan pemerintahan” Check and balances”.

    Melalui pembagian sebagian kekuasaan dari masing-masing badan perwakilan (DPR & DPD) dalam MPR kepada badan yang lainnya sebenarnya akan lebih menjamin integritas konstitusionalnya masing-masing. Hal itu untuk memastikan transisi Indonesia menjauhi kekuasaan otoriter (sebagai warisan turun temurun) dan diarahkan kepada konsolidasi demokrasi.

    Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam parlemen Indonesia terlepas dari kuat atau lemahnya fungsi yang diemban oleh DPD, telah mampu memberikan stimulasi positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Sehingga apapun kondisinya, secara prinsip DPD harus tetap dipertahankan dengan mendorong terjadinya penguatan terhadap lembaga tinggi tersebut, baik oleh internal DPD, anggota DPR, maupun masyarakat.

    Permasalahan bahwa DPD memiliki tugas dan wewenang yang terbatas adalah sebuah realitas politik, namun realitas tersebut tidak sebagai sesuatu yang bersifat baku, melainkan masih mungkin dapat dilakukan perubahan yang sesuai dengan napas demokrasi (Muradi, 2007).

    Karena itu, guna meningkatkan kapasitas kelembagaan dan personalnya di masa mendatang, pertama, anggota DPD secara bersama perlu lebih menggalakkan sosialisasi tugas pokok dan fungsinya sambil membangun jaringan seluas-luasnya, dengan membangun dan mendirikan sekretariat bersama anggota DPD di tiap-tiap provinsi.

    Kedua, baik secara personal maupun kolektif, anggota DPD perlu memiliki tim ahli yang kapabel di daerahnya masing-masing untuk menyerap aspirasi dan menganalisis permasalahan daerah secara lebih akurat (bukan sekedar opini atau asumsi semata).

    Ketiga, melakukan komunikasi politik dan koordinasi secara berkala dengan para anggota DPR sedaerah, DPRD, pemerintah provinsi, kota dan kabupaten, lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sosial budaya, serta konstituen di daerahnya.

    Keempat, membangun empathy terhadap persoalan-persoalan masyarakat daerah, misalnya menggalang koalisi antikorupsi, beasiswa pendidikan anak-anak miskin, dan investigasi terhadap potensi konflik komunal.

    Akhirnya, semua tergantung kepada kemauan politik para anggota DPD untuk meningkatkan kapasistas dan posisi tawarnya, terutama bagi penguatan fungsi dan peran kelembagaannya sebagai salah satu kamar dalam sistem dua kamar parlemen Indonesia. **

    Penulis Ketua Bidang Hukum dan Ham, DPD KNPI Way Kanan

  • Memalak Rakyat Dengan Sederet Pajak

    Memalak Rakyat Dengan Sederet Pajak

    Oleh : Zainab Ghazali

    Ironi negeri ini, kaya sumberdaya alam malah rakyat jadi objek pemalakan. Tak tanggung-tanggung, semua berjalan secara sistematis. Hingga hal kecil pun tak luput dari kebijakan yang dianggap strategis. Sebelumnya ditetapkan pajak nasi bungkus, lalu lanjut pada plastik kresek.

    Tak sampai disitu, pajak pempek pun siap diberlakukan, bahkan tarif bea materi ikut naik tak mau ketinggalan. Katanya sih, semua telah dipertimbangkan dengan cukup matang. Bu Sri pun optimis jika kebijakan dapat berjalan lancar.

    Kembali rakyat hanya bisa menatap nanar atas kebijakan yang dibuat pemerintah. Mengeluh atau menjerit takkan mempengaruhi arah kebijakan mereka. Namun apa daya, negeri kaya ini telah lama hidup dalam paradigma kemimpinan kapitalistik. Sudahlah gagal mengelola SDA ditambah lagi menjadikan rakyat sebagai ajang mencari keuntungan.

    Para pengusaha dimanja dengan segala fasilitas yang menggiurkan, rakyat hanya numpang bekerja seperti “budak”, mendapat UMR dan tetap miskin. Negeri yang masih memiliki 21 juta penduduk miskin di Jawa dan 8 juta di Sumatera serta sekitar 8 juta lagi tersebar di pulau-pulau lainnya. Sementara SDA yang dimiliki tak memberi hasil untuk mengentaskan derita kemisikinan.

    Ntah dimana hati nurani, para politisi negeri dengan lega memberikan para korporasi dunia untuk berinvestasi dengan nyaman. Aturan dan Undang-undang yang dibuat membuat mereka bebas mengeruk kekayaan SDA. Makin hari makin banyak korporasi asing yang menguasai sektor hulu baik tambang dan migas hingga hilir.

    Wahai tuan penguasa, tugasnya duduk di bangku tahta menjual aset-aset negara, menjual hasil bumi dan tambang milik rakyat kepada swasta. Yang penting tuan senang, para politisi kenyang dan rakyat tak mengapa jika tak makan.

    Sang Pencipta Tuan telah menerangkan begitu jelas bahwa pemimpin memiliki fungsi sebagai raa’in (penggembala/pemimpin) yang bertugas menjaga dengan amanah. Ia juga sebagai junnah (pelindung). Kedua fungsi ini telah dijalankan oleh para Khalifah sampai 14 abad masa kegemilangan Islam.

    Tidakkah Tuan malu, seorang Umar bin Khattab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan sampai-sampai memasak batu. Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan.

    Begitupun yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.

    Wahai Tuan, takutlah tuan pada hari penghisaban, dimana Umar bin Abdul Aziz , saat dibaiat sebagai Khalifah kaum Muslimin, justru menangis merasakan beratnya beban yang harus ia pertanggungjawabakan di hadapan Allah.

    Umar bahkan menulis surat kepada para pejabat di bawahnya : “…dengan segala yang diujikan ini, aku sangat takut akan datangnya penghisaban yang sulit dan pertanyaan yang susah, kecuali apa yang dimaafkan Allah SWT..”

    Sebelum diakhiri tulisan ini, ingatlah sabda Rasul ini Tuan, “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).***

  • Idealisme Pemuda Muhammadiyah Dalam Kancah Politik di Lampung

    Idealisme Pemuda Muhammadiyah Dalam Kancah Politik di Lampung

    (Catatan Pelantikan PW Pemuda Muhamamdiyah Lampung Periode 2019-2023)

    Oleh. Hasbullah, M.Pd.I 

    Pringsewu (SL)-Pemuda dalam pepatah arab di sampaikan “subbanul yaumi rijalughoddi” yang maksudnya “Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan”. Begitu hebatnya pemuda bahwa perkembangan dunia dalam berbagai hal tak lepas dari penan anak-anak muda. Kemajuan umat pun digerkkan oleh kekuatan mereka.

    Kebanyakan Nabi dan Rasul diangkat di usia mudah bahkan remaja. Begitu banyak banyak pahlawan kebangsaan yang berjuang dan gugur pada usia muda. Artinya bahwa pada darah pemuda ada harapan yang dibebankan untuk melakukan perubahan. Andaipun berbagai masalah yang ada tidak ada kunjung menemukan jalan keluar, maka suda menjadi kewajiban bagi pemuda untuk menuntaskan masalah tersebut. Tapi pada realitanya banyak pemuda yang tidak pantas bahkan tidak mampu untuk menuntuaskan masalah tersebut.

    Pemuda dengan kecakapan ilmu serta kekuatan fisik harusnya menjadi seorang kesatria yang membawa senjata tajam, yang mampu menerjang dan menikam musuh sehingga mundur atau tunggang gelanggan dan kalah. Begitupun dengan keadaan negeri ini dan keadaan umat ini membutuhkan pemuda yang memiliki jiwa kesatria, tapi keadaan pemuda hari ini, seperti sapi ompong jika ada persoalan yang ada, terutama masalah politik yang akan menentukan masa depan kehidupan dan penghidupan.

    Pemuda hari ini khususnya pemuda Muhammadiyah sudah seharusnya berilmu, memiliki idealisme yang menjadi kapasitas mutlak pemuda Muhammadiyah sehingga mampu dan berani dalam menghadapi realita hari ini terutama realitas politik hari ini, kewibawaan dan kehormatan pemuda dan pemuda Muhammadiyah tetap terjaga.

    Pemuda Muhammadiyah tidak akan terpisah atau dipisahkan dengan kejolak politik, karena bagaianapun politik adalah hulu dari segala kebijakan, hanya saja kegiatan politik Pemuda Muhammadiyah adalah politik yang bermartabat dan tidak akan mengorbankan nilai-nilai kepatutan dan keIslaman.

    Jika lebih dalam kita memperhatikan saat ini ada dua kelompok dalam internal Pemuda Muhammadiyah yang memandang soal politik. Kelompok pertama, menginginkan Pemuda Muhamadiyah terlibat aktif dalam politik praktis, karena mereka menganggap tanpa mengambil poitik praktis, maka Pemuda Muhamadiyah akan kesulitan memperjuangkan kepentingan umat Islam dan pemuda Islam pada khususnya dalam ranah publik.

    Sedangkan kelompok yang kedua yang tidak ingin Pemuda Muhammadiyah terlibat aktif pada politik praktis, karena hanya akan membuat tarik menarik kepentingan yang hanya akan membuat kerugian dalam Pemuda Muhammadiyah serta melahirkan kader jadi-jadian di Pemuda Muhammadiyah.

    Keunikan dua pemikiran kubu ini seharusnya sudah dirawat dengan baik sebagai tanda kekayaan khasanah pemirkiran dan gerakan Pemuda Muhammadiyah dan tidak menjadikan jalan syaraf pemusuhan serta permusuhan melainkan menjadi kompetisi yang sehat dan menyehatkan.

    Pemuda Muhammadiyah sebenarnya tidak pernah melarang kadernya untuk terjun di kancah politik praktis, bahkan mendukung kadernya untuk berkiprah di ranah politik. Bahkan baru-baru ini kader Pemuda Muhamamdiyah terbelah dalam dukung mendukung calon yang sudah seharusnya tidak menjadi ladang permusuhan serta menjatuhkan tapi hal ini menjadikan proses pengkaderan secara langsung dalam dunia politik.

    Disisi lain bisa kita melihat bahwa ketika kader Pemuda Muhammadiyah sudah masuk dalam ranah politik, maka kepentingan praktis jangan dibawa ke dalam tubuh Persyarikatan terkhsus Pemuda Muhammadiyah, dan tetap menjunjung tinggi akhlaq sesuai dalam bingkai Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah.

    Dengan melihat langgam gerak Pemuda Muhammadiyah mengenai politik tersebut, anggota atau kader Pemuda Muhammdiyah yang aktif dalam Partai Politik jangan sampai mencampuradukkan dan membawa kepentingan politik ke dalam oranganisasi Pemuda Muhammadiyah. Lebih jauh lagi ketika konflik kepentingan dan pemikiran haruslah mengutamakan dan membela Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah.

    Dinamika Politik Provinsi Lampung

    Pada tahun 2020, ada delapan kepala daerah yang akan habis masa jabatannya, maka akan ada daerah yang akan melakukan pemilihan kepala daerah yang sudah seyogyanya pemuda Muhammadiyah menggambil peranan strategis dalam rangka melakukan edukasi-edukasi politik sehingga terlahir Pilkada yang bermatabat, menghadirkan kemenangan di atas jalan fasthabiqul khairat.

    Langkah strategis itu salah satunya menempatkan kader terbaik pemuda Muhammadiyah menjadi penyelenggara Pilkada dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan kader jadi-jadian atau kader lahir karena kepentingan politik belaka. Maka disinilah idealisme pemuda akan diuji dan dipertaruhkan.

    Adapun daerah tersebut antara lain Kota bandar Lampung, Kota Metro, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Pesawaran, Pesisir Barat dan Waykanan. Pamuda Muhammadiyah yang tesebar di delapan kabupaten tersebut harus mengambil peran-peran aktif sehingga pemuda Muhammadiyah menjadi pembeda dan memberikan warna politik yang berkemajuan. Yaitu politik yang membiarkan pilar demokrasi bermain sesuai dengan iramanya dan pemuda Muhammadiyah terus memproduksi wacana, sikap dan moralitas politik yang santun dan beradab.

    Dengan idealisme Pemuda Muhammadiyah hadir dan memberikan kontribusi bagi pembangunan politik lokal yang beradab, bermoral, dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Kader Pemuda Muhammadiyah yang hadir dalam rangkan menyukseskan PILKADA harus mengembangkan gagasan politik yang prospektif bagi konstruksi daerah tesebut yang beradab serta menjadi kader politik yang memiliki visi kemanusiaan, keIndonesiaan, dan kebangsaan. Dari situlah akan terlahir khoiru Ummat serta tercipta Baldatun Thoyibatun warobun ghofur.

    Dalam gerakan kancah politik dan dalam rangka menjaga idealisme Pemuda Muhammadiyah Lampung maka tidak salah jika kita mengingat 5 (lima) pondasi utama untuk dijadikan koridor penting sebagai batasan pijakan bersama untuk mencapai tujuan kemajuan Pemuda Muhammadiyah salah satunya tujuan dalam politik kebangasaan. Pondasi pertama Tauhid, Aqidah ini penting sekali sebagai dasar gerakan kita, jika keyakinan kita lemah maka akan sangat rapuh gerakan Pemuda Muhammadiyah.

    Pondasi kedua, adatah sistem moral yang benar berdasarkan wahyu illahi. Pondasi ketiga, adalah faith and action atau action base on faith, yaitu melakukan amal sholeh sebanyak-banyaknya yang didasarkan pada aqidah serta nilai-nilai moral yang benar, sehingga amal itu tidak hampa serta tujuan amal itu menjadi jelas arahnya. Pondasi keempat adalah Keadilan.

    Keadilan ini merupakan perintah pertama dalam Al-Quran Innallah ya’muru bil ‘adl wal ihsan, yakni berbuat keadilan dan kebajikan, karena memang begitu jelas benang meraih keadilan itu dalam konsep agama Islam. Pondasi kelima, adalah memiliki kecenderungan yang kuat untuk tidak putus-putusnya mengem bangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

    Maka idealisme pemuda dalam kacah politik harus di jaga setidaknya dengan dua hal pertama, tidak malas berfikir. Politik adalah dinamis serta selalu berkembang termasuk didalamnya adalah masalah sehingga membutuhkan kekuatan fikir yang kokoh. Sebab dalam politik itu akan berkaitan dengan kemasalahatan oranga banyak sebut saja kemaslahatan umat dan bangsa. Sehingga dibutuhkan kekuatan dan kegigihan dalam berfikir untuk mengahdirkan jalan keluar dari persoalan politik serta menjada idealisme Pemuda Muhammadiyah serta kader itu sendiri.

    Kedua, Idealisme akan senantiasa terjaga jiaka mempunyai daya inovasi yang tinggi. Inovasi dibutuhkan dalam rangak perkebangan dan kemajuan zaman, begitupun dengan suhu politik yang akan senantiasa berkembangan dan mengalami perubahan. Idealisme Pemuda Muhammadiyah harus mempu melahirna inovasi dalam fikiran dan tindakan, tidak monoton terkesan statis dan bahkan mendekati jumud.

    Maka perbedaan pemikiran, perkataan dan tindakan menjadi kekayaan bukan menjadikan alat pelemah atau bahkan menjatuhkan. Sebab dalam politik pasti akan menghadirkan kepentingan dan keberpihakan tetapi jika diwarnai dengan inovasi untuk kepentingan organisasi disitu akan terlahir kompetisi yang sehat yang tidak akan merasa terzolimi atau tersakiti.

    Maka Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Lampung kedepan harus mampu mengakomir kader terbaik yang ditempatkan untuk suksesi gerakan politik Pemuda Muhammadiyah. Dengan menempatkan kader terbaik, serta memiliki idealisme dalam kaca mata Pemuda Muhammadiyah, agar dapat membantu pemuda Muhammadiyah dalam menggerakan organisasi dalam rangka dakwah amar makruf nahi mungkar guna mewujudkan tujuan Pemuda Muhammadiyah “menghimpun, membina, dan menggerakkan potensi Pemuda Islam serta meningkatkan perannya sebagai kader untuk mencapai tujuan Muhammadiyah. ***

    Penulis adalah Dosen STIKes Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

  • Selamat Datang 03!

    Selamat Datang 03!

    Oleh : M. Wahid Setio Budi, S.E

    Berawal dari ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam pasal 222, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, bagi partai politik yang tidak mencukupi ambang batas 20 persen suara sah nasional, harus berkoalisi untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu tahun 2019.

    Tak ada partai politik yang bisa mengusung pasangan sendirian, demikian juga tak ada potensi banyak calon yang bisa diusung. Menilik hasil perolehan suara sah nasional 10 parpol dalam pemilu 2014, peraih suara tertinggi adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan 18,95% dan masih di bawah 20 persen.

    Suka tidak suka, pada akhirnya, peta koalisi Pemilu 2019 hanya menyuguhkan dua paslon dengan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin didukungan oleh PDI Perjuangan, NASDEM, HANURA, GOLKAR, PKB, PPP, PKPI serta didukung partai baru PSI dan PERINDO. Sedangkan di nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno didukung oleh GERINDRA, PKS, PAN, BERKARYA, DEMOKRAT.

    Konsekwensi atas dua pasangan calon ini segera berimplikasi pada dua kubu besar yang ‘berseteru’ sepanjang masa kampanye. Politik identitas mengemuka. Isu-isu terorisme, sparatis hingga kedaulatan sebagai bangsa meletup-letup bagai meriam. Terlebih setelah KPU mengumumkan perolehan suara pada dini hari, 21 Mei 2019. Iklim politik di negeri ini terasa makin membara.

    Caci-maki, saling serang, bahkan pengerahan masa, menjadi jalan menunjukan ekspresi yang mengkhawatirkan. Beruntung semua menjadi reda pasca Paslon 02 mengambil sikap konstitusional dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Proses sidang berjalan, argumen dan pendapat beradu. Dan pada 27 Juni 2019, dengan segala otoritasnya, MK menolak seluruh gugatan pihak penggugat 02 atas nama Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sempat kembali terjadi riak-riak kecil, namun kemudian semua normal kembali.

    Maka demikianlah demorasi kita. Uraian di atas hanya pengantar semacam renungan sebagai kajian terkait Pemilu mendatang bahwa, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang semakin besar itu, justeru kian mengecilkan peluang para kader terbaik bangsa menuju istana. Padahal, semakin banyak calon sesungguhnya alternatif untuk memilih yang terbaik juga menjadi sangat besar.

    Dalam konteks Pemilu serentak 2019, persoalan yang mencuat juga tidak melulu soal calon dan ambang batas. Keserentakan pemilu dengan memilih lima surat suara juga telah menyisakan permasalahan serius dengan meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu di seluruh negeri. Maksud efisiensi anggaran yang semula dirancang, ibarat pepatah, jauh panggang dari api.

    Para pengamat bahkan menyebut Pemilu kali ini sebagai Pemilu terboros dan paling tragis sepanjang sejarah Republik Indonesia. Artinya, penyelenggaraan pesta lima tahunan kali ini, secara kasat, memang masih memiliki banyak ruang untuk dievaluasi

    Sebagai referensi presidential threshold Pemilu ke depan, mungkin bisa diamati perolehan suara sah nasional Pemilu Legislatif tahun 2019 yang bersumber dari laman resmi KPU yakni: PDIP 27.053.961, 127 kursi (19,33%), GERINDRA 17.594.839 dengan 79 kursi (12,57%), GOLKAR 17.229.789 dengan 84 kursi (12,31%), PKB 13.570.097 dengan 59 (9,69%), NASDEM 12.661.792 dengan 58 kursi (9,05%), PKS 11.493.663 dengan 49 kursi (8,21%), DEMOKRAT 10.876.507 dengan 55 kursi (7,77%), PAN 572.623 dengan 47 kursi (6,84%), PPP 6.323.147 dengan 17 kursi (4,52%).

    Selanjutnya menurut pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai Politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam perolehan kursi anggota DPR. Karena itu, partai-partai semisal PERINDO dengan 3.738.320 atau 2,67%, BERKARYA dengan suara 2.929.495 atau 2,09%, PSI 2.650.361 atau 1,89%, HANURA 2.161.507 dengan 1,54%, PBB 1.099.848 0,79%, Partai GARUDA 702.536 atau 0,50%, dan PKPI 312.765 dengan prosentase 0,22%. Partai-partai ‘gurem’ ini, hampir bisa dipastikan, tak akan ada lagi keberadaannya pada Pemilu mendatang.

    Saatnya kembali mempersiapkan diri untuk Pemilu berikutnya yang semoga saja, saat nanti dilaksanakan, tak lagi menyisakan perpecahan dan seteru atau ancaman disintegrasi. Seteru 01 dan 02 sudah usai. Saatnya kita kembali pada kemenangan yang sesungguhnya yakni kemenangan 03: persatuan Indonesia. Selamat datang 03!

    Penulis adalah Eks Komisioner Panwaslu Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, 2019.

  • Pemilu 2019 Kembalikan Kepercayaan Publik Terhadap KPU dan Pimpinan Negeri

    Pemilu 2019 Kembalikan Kepercayaan Publik Terhadap KPU dan Pimpinan Negeri

    Oleh: Tri Sudarto, Spd (Ketua Buruh Tani dan Nelayan PWPM Lampung)

    Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum yang fenomenal pemilu Serentak yang yang pertama kali di lakukan selama Indonesia Merdeka. Pemilihan umum 2019 yang berjalan lancar menjadi bukti bahwa Indonesia mencatat sukses besar dalam melewati transisi demokrasi, Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.

    Secara umum dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keterlibatan warga negara dalam ikut serta memengaruhi pengambilan keputusan, dan memengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri dari masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik.

    Dalam hubungannya dengan demokrasi, partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Dalam suatu Pemilu misalnya partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi masyarakat kepada pasangan calon yang terpilih. Setiap masyarakat memiliki preferensi dan kepentingan masing-masing untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu.

    Bisa dikatakan bahwa masa depan pejabat publik yang terpilih dalam suatu Pemilu tergantung pada preferensi masyarakat sebagai pemilih. Tidak hanya itu, partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu dapat dipandang sebagai kontrol masyarakat terhadap suatu pemerintahan. Kontrol yang diberikan beragam tergantung dengan tingkat partisipasi politik masing-masing.

    Selain sebagai inti dari demokrasi, partisipasi politik juga berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak politik warga negara. Wujud dari pemenuhan hak-hak politik adalah adanya kebebasan bagi setiap warga untuk menyatakan pendapat dan berkumpul. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”

    Pemilu kita pernah mengalami trend penurunan angka partisipasi pemilih (voter turnout) sangat tajam sejak 1999 hingga 2009. Artinya, makin sedikit pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Trend itu untungnya tidak berlanjut terus. Sejak Pemilu 2014 terjadi rebound. Trend peningkatan kembali itu, syukurnya, terus berlanjut di Pemilu 2019 ini. Bahkan hingga melampaui target nasional (77,5%).

    Terlepas dari banyaknya kejadian yang menimpa Penyelenggara pemilu, namun yang jelas bahwa semakin banyak pemilih yang menggunakan kedaulatannya untuk memilih wakil-wakilnya sebagai pemimpin negeri ini. Kita patut mengapresiasi KPU, Bawaslu, peserta pemilu, serta TNI, dan pihak kepolisian yang tak henti-hentinya membuat pesta demokrasi ini berjalan baik.

    Partisipasi rakyat sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat kita sudah dewasa, serta sangat sadar pentingnya menggunakan hak politiknya serta terlibat aktif Sebagai penyelanggara Pemilu KPUD memiliki peran utama meningkatkan partisipasi politik masyarakat khususnya dalam hal menggunakan hak pilihnya.

    Hal tersebut termuat dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pasal 10 menyebutkan bahwa: “Salah satu tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota adalah menyelenggarakan sosialisasi dan penyelenggaraan Pemilu dan atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/ Kota kepada masyarakat”.

    17 KPUD meningkatkan partisipasi politik masyarkat melalui cara sosialisasi dan pendidikan politik masyarakat. Cara tersebut dilakukan melalui tiga tahapan yakni melalui komunikasi tatap muka, komunikasi melalui media, dan melalui movilisasi sosial. Kedua, peran Partai Politik. Partai politik dalam UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pada pasal 10 disebutkan: “tujuan khusus partai politik adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.”

    Selanjutnya dalam pasal 11 dijelaskan: “partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehiudpan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

    Sosialisasi dan pendidikan politik oleh Partai Politik sedikitnya dilakukan dalam tiga hal, yakni: melalui sosialisasi para kader, pendidikan politik, dan mellaui optimalisasi organisasi sayap partai. Ketiga, peran media massa. Di era Digital seperti saat ini, media memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada masyarakat.

    Melalui media cetak, telivisi media sosial, komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat menjadi lebih mudah. Begitu juga dalam Pemilu, media menjadi saluran komunikasi yang sangat tepat untuk menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat. Sebagai lembaga yang netral, saat ini media menjadi salah satu lembaga yang sangat dipercayai oleh masyarakat.

    Dengan begitu, dalam peningkatan partisipasi masyarakat media diharapkan mampu memberikan dorongan kepada masyarakat untuk mau menggunakan hak pilinya dalam Pemilu. “Ini patut dipuji. Sebelumnya banyak pihak khawatir angka golput tinggi. Ternyata banyak sekali pemilih, bahkan kita lihat sangat ramai hingga partisipasi pemilih Melampaui target KPU.

    Banyak yang memperkirakan, tingkat partisipasi pemilih kali ini akan turun jauh dari pemilu 2014,” Ternya Pemilu 2019 ini mampu mengembalikan kepercayaan Publik terhadap Penyelenggara pemilu dan para pemimpin dan wakil–wakil Negeri. (***)

  • Putusan MK, Putusan yang Mempersatukan

    Putusan MK, Putusan yang Mempersatukan

    Oleh : Yoanda Harun, SH *

    Pemilu Serentak 2019 telah usai dilangsungkan. Berbagai cerita di dalamnya menjadi satu fenomena tersendiri dari dinamika demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Dari berbagai fakta yang menjadi catatan sejarah dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang kali pertama dilangsungkan di negeri ini, rentetan persidangan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi satu perjalanan yang paling dinanti oleh seluruh warga Indonesia bahkan warga internasional untuk mengetahui hasil akhir dari perhelatan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2019-2024.

    Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seluruh gugatan dari pemohon ditolak. Meski demikian, hal tersebut bukanlah satu keputusan yang berdampak pada perpecahan anak bangsa.

    Secara harfiah, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan suatu upaya guna memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan dan komunikasi publik, komunikasi massa, lobi dan lain-lain kegiatan yang bersentuhan langsung dengan ilmu politik.

    Pada Pemilu Serentak 2019, legalitas formal yang mengatur serta meyusun hal-hal apa saja yang dilarang dalam pelaksanaannya termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.

    Dalam pelaksanaannya, seperti diamanatkan oleh Undang-Undang tentang kepemiluan tersebut, penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh tiga badan penyelenggara yang saling terintegrasi, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

    Ketiga badan penyelenggara Pemilu yang disetujui melalui Rapat Paripurna DPR-RI, medio 21 Juli 2017 lalu dan disahkan Pemerintah RI, pada 15 Agustus 2017, memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda, meskipun dilindungi dalam payung hukum yang sama, yakni UU No. 7/2017.

    KPU menjadi badan penyelenggara teknis tahapan kepemiluan. Sementara Bawaslu, dikonsentrasikan pada pengawasan tahapan penyelenggaraan kepemiluan. Guna mengawasi dan mengimbangi (check and balance) kinerja dari dua badan penyelenggara yang disebutkan terdahulu, KPU dan Bawaslu, merupakan tupoksi dari DKPP.

    Dalam hal mengatasi permasalahan persengketaan kepemiluan yang mengarah pada tindak pidana Pemilu, pemerintah membentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), dengan mengintegrasikan Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian. Keberadaan Sentra Gakkumdu ini dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu.

    Seperti diketahui, pelaksanaan Pemilu di Indonesia berlandaskan pada asas Jujur dan Adil (Jurdil), serta Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER), seperti diamanatkan dalam undang-undang.

    Terkait adanya persengketaan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 hingga keputusannya harus diambil melalui Mahkamah Konstitusi merupakan satu dinamika politik yang akan menambah referensi, khasanah, serta kekayaan sejarah perkembangan Bangsa Indonesia.

    Keputusan MK harus diterima sebagai keputusan bersama, keputusan Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. (***)

    • Penulis adalah Ketua LHKP Pemuda Muhammadiyah Lampung Utara

  • Sekelumit Catatan Situasi dan Tantangan Menjadi Saksi Penggugat di Mahkamah Konstitusi

    Sekelumit Catatan Situasi dan Tantangan Menjadi Saksi Penggugat di Mahkamah Konstitusi

    Oleh: M Said Didu

    1. Dibutuhkan orang bernyali kuat untuk menjadi saksi di MK dengan posisi sebagai saksi yang berhadapan dengan penguasa. Dan alhamdulillah masih ada yang bersedia dengan resiko dan pengorbanan yang tinggi

    2. Saksi 02 ibarat harus berjuang sendiri dalam banyak hal. Bahkan menuju MK pun harus dengan perjuangan karena jalan diblokir sebagian, hanya bisa berjalan kaki dan cukup jauh.

    3. Semua komunikasi harus diputus. Ketika masuk diperiksa sampai steril, HP wajib dititipkan dan saksi diwajibkan masuk ruang isolasi.

    4. Sebanyak 17 orang saksi dikumpulkan di ruangan yang sangat sempit (normalnya hanya bisa menampung 8 orang) dengan penjagaan yang sangat ketat. Jika sidang diskrors dan tim hukum bergabung maka ruangan tersebut diisi sekitar 25 orang (bernapas pun terasa kurang udara). Mohon maaf, kondisi bagaikan tahanan yang penuh dosa dan jahat.

    Bahkan di dalam ruangan pun kadang “pengawas” masuk menjaga. Kami semua “dijaga” bahkan ke toilet pun kami “didampingi”. “Pendampingan” seperti ini bernah saya rasakan saat transit di San Fransisco AS menuju Kolumbia karena tidak punya visa AS maka selalu “didampingi” selama di Bandara.

    5. Para saksi menunggu giliran sejak pagi. Alhamdulillahirrabbil’alamiin para saksi disaat menunggu giliran mereka dzikir, ngaji Al-Quran (banyak saksi yg membawa Al-Qur’an).

    6. Latar belakang para saksi betul-betul membuat terharu. Ada mahasiswa dari Semarang yang besoknya harus ujian skripsi dan sedang sakit. Semua memberikan semangat bahwa Allah akan memberikan pertolongan, bahkan gantian memijit.

    Usai menjadi saksi terpaksa pulang dengan mobil karena tiket yang sudah dipesan hangus karena tidak cocok waktu dengan saat dia bersaksi.

    Ada seorang Ibu yang anaknya sedang kecelakaan dan infonya luka parah tapi tidak bisa komunikasi karena semua komunikasi harus ditutup dan Ibu tersebut selalu pasrah bahwa Allah akan menolong dia dan anaknya – tidak terlihat rasa gundah.

    8. Waktu sholat adalah yang ditunggu-tunggu karena akan masuk ke ruangan yang lebih besar. Saat mau sholat semua dikumpulkan lalu digiring ke tempat solat, selesai solat wajib kembali ke ruang isolasi.

    9. Makanan dan minuman mencari sendiri, sementara di lokasi tidak tersedia penjual makanan.

    10. Obrolan-obrolan menarik selama diisolasi:

    a. Setiap saksi yang mendapat giliran, diibaratkan dipanggil malaikat maut. Karena setelah menjadi saksi, yang bersangkutan tidak boleh kembali ke ruang isolasi dan tidak boleh bertemu lagi dengan saksi lain.

    b. Setiap saksi yang mendapat giliran bersaksi, sebelum meninggalkan ruang isolasi semua berdoa bersama dan mengumandangkan ALLAHU AKBAR.

    c. Makanan tersedia untuk saksi berupa nasi kotak yang isinya hanya berupa nasi putih, sayur kol, telor bulat, sambal ijo. Bungkusnya masakan Padang. Mungkin ini masakan padang paket SANGAT SEDERHANA.

    d. Para saksi baru mengenal satu sama lain saat itu tetapi kami merasakan kebersamaan yang cukup erat senasib sepenanggungan untuk memperjuangkan kebenaran.

    e. Waktu sholat adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu karena para saksi merasakan udara yang segar, ketegangan mereda sesaat, bisa refresh dengan air wudhu, bisa curhat dan mengadu kepada Allah swt.

    Alhamdulillahirrabbil ‘alamiin selalu sholat berjamaah dengan tingkat kekhusuan yang benar-benar nikmat. Selesai sholat biasanya berebut bantal kursi untuk rebahan sebentar, tetapi belum sempat apapun petugas datang lagi dan meminta kembali ke ruang isolasi.

    f. Sambil bercanda, kami membayangkan. Saksi dan petugas KPU jauh lebih enak. Karena semua dibiayai oleh APBN. Sementara saksi dari 02 semua atas biaya keinginan sendiri dan biaya sendiri in syaa Allah IKHLAS

    Kesaksian mereka, dan keberanian mereka hanya dijamin oleh Allah SWT. In syaa Allah selalu dalam lindungan Allah SWT. Semua saksi seakan bahwa inilah kesempatan berjihad untuk menegakkan kebenaran dan menghentikan kecurangan di negeri ini. Mereka hanya mengharapkan ridho Allah SWT. Aamiin. ***

  • Kebijakan Childish Ala Panglima TNI dan Kapolri

    Kebijakan Childish Ala Panglima TNI dan Kapolri

    Oleh:  Aziz Ahmadi

    Sejak dilantik menjadi Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, berbenah. Beliau, sepertinya punya pandangan tersendiri terkait hubungan TNI-Polri. Panglima TNI dan Kapolri, sepertinya sarujuk hendak membalut luka dan memerban retak seribu, di seputar hubungan TNI-Polri.

    Berbagai kegiatan bersama (TNI-Polri), secara “TSM” ( terstruktur, sistemik dan masif, terus dikampanyekan. Panglima TNI dan Kapolri, tampil lengket layaknya amplop dg perangko/materei. Nyaris tiada hari tanpa runtang-runtung, (ke sana-kemari.)

    Salam komando, saling berangkulan, saling berkunjung satuan, tepuk tangan, pasang banner berbagai jenis dan ukuran, di digeber habis, di mana-mana. Bahkan saling suap makanan. Layaknya “LGBT” yang lagi mabuk kepayang.

    Terbaru, konon sempat beredar Nota Dinas Kapolri, Nomor : B/ND-894/VIII/KEP/2018/SSDM, tanggal 23 Agustus 2018, tentang (antara lain) pemasangan poto Panglima TNI dan Kapolri, di ruang publik jajaran Polri. Menyusul kemudian, terbit Surat Edaran Panglima TNI,* Nomor : SE/7/VIII/2018, tanggal 27 Agustus 2018, tentang pemasangan poto Panglima TNI dan Kapolri,* di ruang publik jajaran TNI.

    Langkah kebijakan yang ditunjukkan kedua petinggi itu, sesungguhnya tidak menyentuh akar masalah dan tidak pula memuat substansi apa-apa. Kebijakan itu, tidak lebih dari seremonial dan basa-basi belaka. Tanpa reasoing dan logika. Singkatnya, boleh dimaknai tidak bernilai strategis. Tidak pada tempat dan proporsinya.

    Paling jauh – jika kebijakan itu boleh disebut “bener”, tapi sama sekali tidak “pener”. Tidak penernya, sama dengan gaya Presiden. Acara/kegiatan bersifat kenegaraan, merasa cukup dengan berkaos atau berkemeja. Tapi bagi-bagi “sembako”, justru mengenakan jas.

    Kebijakan seperti itu, sangat tidak bijak, bahkan kurang patrap dan bersifat infantil atau childish (kekanak-kanakan). Lebih ironis lagi, kebijakan itu bisa dinilai sebagai sebuah pengakuan atau pembenaran, atas opini yang tidak jelas, jika TNI dan Polri tidak/kurang harmonis/kompak.

    Jikapun opini itu (mungkin) mengandung kebenaran, amat tidak tepat dan tidak perlu direspons dengan menari di atas gendang bani nyinyir. Tidak perlu masuk dalam perangkap jebakan batmen.

    Kiranya, patut diuji dan dipertanyakan, apa dan di mana yang tidak kompak itu? Bagaimana yang disebut kompak? Lalu, apa langkah mendasar sebagai solusinya?

    ***

    Untuk dua atau lebih institusi yang memang secara diametral berbeda spirit, tuntutan profesi dan budaya organisasinya, tentu masing-masing memiliki koridor dan standarnya sendiri-sendiri. Bayangkan, jika kebijakan, model dan cara kepemimpinan seperti itu, juga dilakukan oleh institusi atau kementerian lainnya. Hanya karena dalih mesti bersinerji, kompak, dan lain-lain.

    Langkah kebijakan childish dan tidak substantif seperti itu, pada saatnya atau pada titik tertentu, justru akan merugikan kedua belah pihak -TNI dan Polri itu sendiri. Kebijakan atau lebih tepatnya gaya kepemimpinan Panglima TNI dan Kapolri itu, terasa sekali menjadi amat di bawah standard.

    Tidak ada dampak signifikan terhadap pembinaan dan upaya penguatan soliditas dan solidaritas TNI-Polri. Apalagi, terhadap upaya penguatan dan pemantapan skill dan budaya organisasi, di masing-masing institusi. Justru yang terjadi kebanggan semu atau kesombogan spirit corps. Kasus paling viral, adalah yang terjadi di Cilacap. Inilah secuil contoh, sebagaimana dikutip dengan link di awal tulisan ini.

    Padahal, sekali lagi jika itupun ada benarnya tentu bukan itu akar masalah dan bukan pula begitu kebijakan dan solusinya. Jika soliditas, solidaritas dan integritas TNI-Polri memang perlu direpair, tentu tidak sesederhana runtang-runtung, tepuk tangan, suap-suapan dan pasang poto bersama.

    Bahkan perihal pasang poto misalnya, boleh jadi si poto malah dilecehkan. “Ngapain lu ada di sini? Ada di dindingku…?

    ***

    Jika memang harus ada yang direparasi, ada yang lebih strategis. Dari sini mestinya kebijakan dirumuskan lalu dimulai. Pointnya, “jika kusut di ujung kembalilah ke pangkal”.

    Pertama :

    Reparasi, atas apa dan bagaimana kebijakan politik negara/pemerintah, terhadap TNI/Polri. Seperti halnya TNI, dudukkan Polri secara layak dan terhormat dalam negara demokrasi. Tidak berada langsung di ketiak Presiden. Merusak hirarkhi. Menyimpang dari spirit reformasi dan demokratisasi.

    Kedua :

    Reparasi, terhadap peraturan per-UU-an, terkait kedua institusi (TNI-Polri). Lengkapi dan sempurnakan dengan berbagai peraturan dan atau per-UU-an yang diperlukan, sesuai dengan Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional yang dianut. Tentunya, sekaligus komitmen dan konsistensi dalam penerapan dan pelaksanaannya. Jelas batas-batas profesi dan fungsinya. Tidak saling merasa lebih tinggi, yang satu dari yang lainnya.

    Ketiga :

    Bangun kemampuan, kekuatan dan gelar, sesuai dengan kebijakan dan strategi masing-masing institusi. Ini penting agar juga makin benderang koridornya. Jelas, _siapa berbuat apa dan bagaimana? Jelas dan lugas, siklus operasionalnya dalam merespons suatu peristiwa. Pola bentukan siklusnya menjadi, kapan Polri berhenti dan TNI memulai. Kapan pula TNI berhenti dan Polri kembali memulai lagi.

    Sekedar catatan pengingat. “Militer itu harus membunuh”, sebagai kombatan. Walau memang bisa dan mungkin saja, dalam batas-batas tertentu harus tersenyum. Sebaliknya Polri. “Polri harus mengayomi, melindungi dan menyelamatkan”, sebagai non kombatan. Karenanya, tidak boleh membunuh. Tentu, sampai batas-batas tertentu pula. Jika demikian, maka pertanyaannya, apa yang harus didamaikan? Apa dan siapa yang harus bersolidaritas?

    ***

    Jika kebijakan “kekanak-kanakan” seperti itu over dosis dan berlanjut terus, sungguh fatal akibatnya. Bukan hanya melelahkan. Tapi Panglima TNI dan Kapolri akan kehabisan waktu. Bahkan untuk jangka waktu dan sampai titik tertentu, akan merusak semuanya. Pada titik dan saatnya, hal-hal naif di kedua belah pihak akan terjadi.

    Disatu sisi, Militer (TNI) akan menjadi banci dan kemayu. Pasti karena terjadi penurunan taste, volume, kapasitas, dan standard kualitas/ profesionalisme. Kenapa? Karena secara langsung atau tidak, ikut larut dalam dinamika penyesuaian dengan budaya Polri.

    Ironisnya, secara bersamaan terjadi gerak arus berlawanan dalam tubuh Polri. Managemen dan anggota Polri, akan makin keras dan galak. Menjadi sok militer. Bahkan merasa lebih militer. Kenapa? Karena secara sadar atau tidak, menyerap dan menerima asupan budaya TNI. Ada kecenderungan menyesuaikan dengan aura, gaya dan budaya tentara.

    Sampai titik ini, kiranya mulai terjawab tentang paradoksnya konsep Democratic Policing, karya Kapolri, Jenderal Pol. Prof. M. Tito Karnavian. Dengan konsep itu, dimaksudkan hendak mengubah citra Polri yang militeristik ke polisi sipil yang ramah dan adem. Namun, apa yang terjadi dalam tubuh Polri? Jauh panggang dari api.

    Seragam atau uniform, nyaris tidak berbeda dengan militer. Ada juga doreng di sana. Kerumunan berbagai atribut, jauh lebih heboh dari tentara. Lengkap dengan (sebutan) kepangkatan dan tongkat komando, yang sama sekali tidak mencerminkan institusi sipil.

    Perihal atribut, justru TNI malah cenderung makin sederhana. Model, bentuk dan ukuran atribut dan tanda pangkat, misalnya. Terus direvisi agar lebih praktis dan tidak terlalu mencolok. Contoh lain, atribut “tongkat komando”. Sejak sebelum reformasi, sudah dievaluasi. Tongkat komando, hanya untuk jabatan Komandan atau Panglima. Selain itu tidak boleh.

    Jabatan dengan sebutan, Kepala, Direktur, Koordinator, tidak beratribut tongkat. Itulah sebabnya, Kepala Staf Angkatan (AD, AL dan AU) walau berbintang empat  tidak bertongkat komando. Belum lagi, upaya Polri yang mengesankan aji mumpung. Berupaya “mepersenjatai diri secara berlebihan”. Konon, melampaui kapasitas, serta tuntutan profesi dan fungsinya.

    ***

    Kini tiba saatnya, untuk mengakhiri langkah “kekanak-kanakan” itu, lantas menunjukkan kebijakan yang linear dengan kepentingan tugas pokok dan fungsi masing-masing, sesuai tuntutan keadaan dan kemajuan jaman. Bagi TNI, tugas pokok dan fungsinya, tentu membangun kekuatan dan profesionalisme TNI, yg handal, militan dan penuh semangat kejuangan, sekaligus juga profesional dan modern.

    Ingat, kehidupan politik dan kualitas demokrasi di suatu negara, diukur dari :

    (1) Bagaimana lembaga-lembaga politik/demokrasi, bekerja secara substantif/bukan sekedar prosedural.

    (2) Bagaimana ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya terus tumbuh dan meningkat.

    (3) Bagaimana perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), terus terjaga.

    (4) Bagaimana kapasitas dan profesionalisme militernya, “bukan Polri” dalam mengawal itu semua. Mengawal kehidupan demokrasi dan (proses) demokratisasi yang demokratis.

    Dalam konteks peran strategis militer seperti itulah, menjadi terlalu kecil narasi, terlalu mahal tebusan, dan tidak cukup andilnya, dari sekedar berkutat pada relasi jadi-jadian, antara kedua institusi ini (TNI-Polri).***

    Jakarta, 1 Juli 2018, Aziz Ahmadi, Updating, 29/2018, dan  7/6/2019

  • Di belakang Kisah Tuduhan Makar Jenderal Nasionalis Jago Tempur Itu?

    Di belakang Kisah Tuduhan Makar Jenderal Nasionalis Jago Tempur Itu?

    Oleh : Adi Ketu

    Jendral Soenarko makar? 100 % aku ga percaya melihat pengorbanan dan dedikasi dia untuk Negara. Pertanyaan selanjutnya? mengapa Pak Narko diincar?, Apa karena dukung Pak Prabowo? Sejak 2014 juga beliau bela Pak PS, kog ga ada cerita miring?

    Apa karena teriak suruh kepung istana dan kpu? memang dia punya pasukan? Bukankah yang diserukan adalah demo damai dan sudah berijin?

    Apa karena senjata api illegal? banyak yang sudah menjawabnya bahwa itu tidak benar. Apalagi dikaitkan dengan demo 21 – 22 Mei 2019. Intinya aku bener bener ga percaya.. Nah kog bisa dijerat makar? Pasal ga main main lho ini. Saya coba selidiki, ada apa? Gak nyangka nemu beberapa berita tahun 2017 – 2018 … seperti di bawah ini.

    Diketahui setelah pensiun Jenderal Soenarko, ini menjadi seorang pengusaha tambang dengan nama Sebuku Group. Keberadaan tambang ini yang nampaknya membuat gerah sebagian pihak dan menimbulkan perseteruan.
    Perseteruan berawal dari kegiatan bisnis PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) dan PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM).

    SILO memiliki pertambangan bijih besi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan. Membangun fasilitas pemurnian bijih besi pada 2015, SILO memenuhi kebutuhan energinya lewat eksploitasi tambang batu bara di Pulau Laut, juga di Kalimantan Selatan. Izin penambangan telah dikantongi tiga perusahaan di grup itu.

    Pada saat hampir bersamaan, di lahan milik PT Inhutani yang bersisian dengan area tambang batu bara milik SILO, MSAM membangun perkebunan sawit. Konflik kedua perusahaan muncul ketika SILO mengklaim MSAM menggarap area yang merupakan bagian konsesinya.

    MSAM bukan perusahaan sembarangan. Pemiliknya adalah Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, pengusaha batu bara yang sejak dulu dikenal dekat dengan petinggi kepolisian. Dalam konfliknya dengan SILO, MSAM mempekerjakan personel Brigade Mobil untuk mengawal penanaman sawit.

    Di lapangan, entah atas perintah siapa, polisi memeriksa mereka yang menentang perkebunan sawit MSAM atau mendukung penambangan batu bara milik SILO.

    https://kolom.tempo.co/read/1077261/perang-tambang-perang-bintang/full&view=ok

    Soenarko Lapor ke Irwasum

    Melihat ketidaknetralan Polri di lapangan , maka sebagai warga Negara yang taat hukum, Soenarko, sebagai Dirut PT SILO tidak tinggal diam . Dia melapor Bareskrim dan Irwasum POLRI

    Dalam laporan tersebut, Soenarko menuturkan adanya ketidaknetralan polisi dalam menangani laporannya ke Bareskrim Polri terkait sengketa lahan antara perusahaan yang ia pimpin, PT Sebuku Tanjung Coal (STC) dengan PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) milik Haji Isam.

    Laporan yang masuk pada Mei 2018 itu sebelumnya sempat dilakukan penyelidikan awal, akan tetapi tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

    Dia membeberkan penyelidikan laporannya tersebut diintervensi oleh seorang petinggi Polri berpangkat Komjen. Namun, Soenarko enggan menyebutkan secara gamblang siapa petinggi itu.

    “Di atasnya Kabareskrim lah gitu aja, yang mengintervensi ini kira-kira. Iya (petinggi yang dilaporkan berpangkat Komjen),” ujar Soenarko.

    Soenarko telah memasukkan surat laporan tersebut ke Itwasum Polri untuk ditindaklanjuti. Soenarko juga menyinggung soal kasus yang dia laporkan pernah diberitakan Majalah Tempo

    Menanggapi hal itu, Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan laporan tersebut masih dicek terlebih dahulu oleh Itwasum.

    “Jadi nanti di Itwasum ada Irsus (Inspektur Khusus). Dia yang akan mengecek kalau memang itu apa yang seperti dilaporkan, ada prosesnya sendiri. Kalau siapa-siapa yang terlibat, nanti Propam yang akan turun,” kata Setyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (23/7).

    Setyo menegaskan polisi akan menindak lanjuti laporan dugaan pelanggaran yang diadukan Soenarko. Dia memastikan polisi tidak akan pandang bulu dalam memproses laporan masyarakat.

    “Kita enggak akan main-main, semua masyarakat bisa melihat apakah yang melapor jenderal atau itu masyarakat, tetap kita layani,” katanya.

    https://kumparan.com/@kumparannews/polisi-akan-teliti-laporan-eks-danjen-kopassus-soal-komjen-syafruddin-27431110790551884

    Namun laporan ini belum ada berita kelanjutannya..

    Pencabutan Ijin Tambang

    Pada awal 2018, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP)PT SILO . Pencabutan IUP itu dikeluarkan Gubernur Kalsel melalui keputusan nomor 503/120/DPMPTSP/2018 tertanggal 26 Januari 2018 dengan mempertimbangkan kepentingan umum, kepastian hukum, dan daya dukung lingkungan, serta berdasarkan kajian akademis perguruan tinggi.

    Namun, Sebuku Group menganggap pencabutan IUP tanpa melalui prosedur yang seharusnya. “Gubernur memang berwenang mencabut IUP, namun kami menilai pencabutan ini dilakukan secara sewenang-wenang dan alasan pencabutannya pun tidak berdasarkan peraturan yang berlaku,” kata Direktur Utama Sebuku Group Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD, Selasa, 20/2/18.

    Dia bilang, keputusan pencabutan IUP itu tanpa surat peringatan terlebih dulu.

    Selain itu, kata Soenarko, alasan pencabutan IUP didasarkan atas desakan warga yang tidak ada pertimbangan hukumnya. Ia malah mengklaim warga Kotabaru menerima keberadaan tambang Sebuku.

    http://www.moeslimchoice.com/read/2018/07/07/12150/yusril-di-pusaran-kemelut-tambang-batubara-(3-%7C-habis)

    Perlawanan Soenarko di Pengadilan

    Sengketa berlanjut di pengadilan setelah SILO memperkarakan pencabutan izin tersebut, dengan menunjuk kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra untuk berperkara.

    Kemudian pakar hukum tata Negara itu resmi mendaftarkan tiga objek gugatan terhadap tiga SK Gubernur Kalsel ke PTUN Banjarmasin, Jumat (9/2). PT Sebuku Iron Lateric Ores (SILO) untuk melawan keputusan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor, yang mencabut IUP operasi produksi batubara milik tiga anak perusahaan PT SILO Group di Kabupaten Kotabaru.

    “Ada tekanan ke PT SILO, ada perusahaan besar yang ingin lahan tersebut. Ini bukan soal politik, ini murni penegakan aturan. Kami akan kawal sampai tuntas kasus ini, kami siap ke Banjarmasin lagi untuk memastikan gugatan berjalan clear,” ujar Yusril Ihza Mahendra di sela pendaftaran gugatan ke PTUN Banjarmasin.

    Menurut Yusril, alasan Sahbirin Noor bahwa pencabutan IUP karena desakan warga yang menolak pertambangan batubara, itu tidak berdasarkan hukum. “PT SILO belum menambang,” dia berkata.

    Asal tahu saja, Gubernur Sahbirin Noor telah meneken tiga SK pencabutan IUP milik anak usaha PT SILO Group pada 26 Januari 2018. Pertama, SK bernomor 503/121/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan IUP OP untuk PT Sebuku Tanjung Coal di wilayah konsesi 8.990,38 hektare di Pulau Laut Tengah dan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru.

    Kedua, SK bernomor 503/120/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan IUPOP untuk PT Sebuku Sejaka Coal di atas luasan areal konsesi tambanga batubara seluas 8.139,93 hektare di Pulau Laut Timur. Adapun ketiga, SK bernomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang pencabutan IUP OP untuk PT Sebuku Batubai Coal dengan wilayah konsesi seluas 5.140,89 hektare di Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Tengah.

    Kepala Biro Hukum Setdaprov Kalsel, Ahkmad Fiddayeen, mengatakan siap meladeni gugatan Yusril dan PT SILO.

    https://kumparan.com/banjarhits/kisruh-pt-silo-yusril-ada-tekanan-perusahaan-tambang-lain

    Demo Massa (bayaran-kah?

    Pada kedatangannya di Pulau Laut Yusril sebagai kuasa hukum SILO, di bandara dia sempat mendapat halangan demo masyarakat. Aksi saling dorong pun akhirnya tak terhindarkan. Terdengar juga teriakan marah warga yang terkena tameng polisi. Yusril lantas meminta mikrofon dan menawarkan warga untuk dialog terbuka.

    Namun, warga meneriakkan kata ‘tidak’. “Tidak ada negosiasi! Yusril balik kanan, kami balik kiri!” teriak warga, dikutip dari Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), Sabtu (7/7). Terdengar berbagai kecaman warga, seperti Yusril sudah menjual Pulau Laut. Peristiwa tersebut berlangsung sekitar 20 menit, hingga tiba-tiba muncul sosok ulama kondang, Arifin Ilham.

    Di hadapan massa, Arifin mengatakan, dia datang ke Kalsel untuk mengisi ceramah agama di Masjid Raya Khusnul Khatimah. Berbeda agenda dari Yusril. Kendati begitu, Arifin meminta warga mengizinkan Yusril masuk ke Pulau Laut dan menyelesaikan urusannya. Namun, permintaan Arifin itupun ditolak massa. Arifin lantas meminta jalan dan melangkah maju.

    Kapolres, Dandim, serta polisi membuat benteng ketat. Yusril berjalan di belakang Arifin. Terjadi aksi dorong-dorongan di sana. Namun akhirnya rombongan Yusril dapat masuk ke dalam bus polisi. Mereka kemudian bergerak ke arah kota.

    Rupanya, Yusril menuju lapangan basket indoor di depan Makodim 1004 Kotabaru, sekitar dua kilometer dari pusat kota. Tampak beberapa orang berbaju panitia dengan lambang Sebuku Group. Tampak pula Direktur Utama Sebuku Group Mayjen TNI Purnawirawan Soenarko. Ternyata, Yusril tengah menghadiri acara halalbihalal Sebuku Group dan masyarakat Pulau Laut.

    Banyak hal yang disampaikan oleh Yusril dalam agenda tersebut, mulai dari persoalan hukum hingga kondisi pertambangan di Indonesia. Dia pun mencontohkan, sektor pertambangan menjadi sumber pendapatan daerah di Belitung, dan masyarakat tidak pernah demo.

    Bekas areal tambang di Belitung pun masih bernilai ekonomi lantaran dijadikan objek wisata. Selain soal tambang, Yusril juga menyindir janji pemerintah membuka lapangan pekerjaan. “Jokowi bilang kerja, kerja, kerja. Tapi, mana lapangan pekerjaannya?” kata Yusril disambut tepuk tangan.

    Usai acara, Yusril yang dikonfirmasi soal peristiwa di bandara sesumbar bahwa massa tidak berani menghadapinya dengan dialog. “Menghadapi demo seperti itu saya biasa. Dulu kalau saya didemo gitu saya bukan mundur, malah saya datangi. Dan saya ajak berdialog dan saya ajak ngomong,” kilahnya.

    “Tadi pun saya sudah mulai ngomong pakai mic itu. Saya bilang sama yang orasi itu, ayo dong saya juga berdiri di situ, biar saya ngomong juga. Tapi, mereka nggak berani,” imbuh Yusril.

    Yusril yakin, tidak seluruh warga menolak keberadaan tambang di Kotabaru. “Biasanya yang pro itu silent, dia pasif. Yang kontra biasanya sangat proaktif. Apalagi ada yang mendorong mereka begitu,” jelasnya.

    Dikonfirmasi terpisah, Direktur Utama Politeknik Kotabaru Ibnu Faozi menyampaikan, ide menghadang Yusril di bandara adalah ide spontan. Faozi yang menghadang Yusril menuturkan, aksi massa itu murni aspirasi warga.

    Terkait penolakan dialog, Faozi menegaskan percuma berdialog dengan Yusril, yang jelas-jelas sudah berbeda pandangan soal keberadaan tambang. Kendati begitu, dia menjamin warga tidak akan bertindak anarkistis, meski Yusril memaksa masuk Pulau Laut.

    “Dorong-dorongan itu bentuk kekecewaan saja. Dari dulu, sejak tahun 2000 kami sudah menolak tambang di Pulau Laut. Yang terjadi di bandara hanya bentuk kekecewaan,” pungkasnya.

    https://www.jawapos.com/jpg-today/07/07/2018/bela-pengusaha-tambang-yusril-ihza-mahendra-ditolak-masuk-pulau-laut/

    Logika hukumnya, bila ada keberatan dari masyarakat tentu tidak akan keluar ijin tambang karena ijin tambang mutlak harus menyertakan HO atau surat tidak berkeberatan dari masyarakat setempat sesuai UU Ijn Gangguan.Bila demikian yang demo siapa?masyarakat setempatkah atau massa bayaran?

    Penangkapan Karyawan Sebuku

    Aksi penekanan kepada STC tidak berlanjut sampai disitu.
    Setelah Yusril dihadang masa, besoknya giliran pegawai perusahaan pertambangan batu bara diciduk aparat keamanan.

    Direktur Utama PT STC Mayjen (Purn) Soenarko mengungkapkan, ada 130 anak buahnya yang diamankan Polres Kotabaru, Kamis (19/8). Menurutnya, penangkapan terhadap ratusan karyawannya tidak memiliki dasar hukum dan melanggaran hak asasi manusia (HAM).

    Soenarko menjelaskan, awalnya ratusan anak buahnya menjaga areal lahan yang sudah lama dibebaskan PT Sebuku. Namun, tiba-tiba ada pihak yang mengklaim lahan itu dan melakukan pembersihan atau land clearing menggunakan buldoser tanpa dasar jelas.

    “Lalu karyawan kami menghentikan land clearing itu. Nah, kemudian puluhan preman mendatangi karyawan kami dengan menggunakan senjata tajam. Kami menambah petugas keamanan, tapi kenapa karyawan kami yang dibawa ke Polres. Ini maksudnya apa,” kata Soenarko melalui siaran pers ke media.

    Karena itu, mantan Danjen Kopassus tersebut mengecam jajaran Polres Kotabaru yang terkesan memihak kelompok penyerobot lahan milik PT STC. Apalagi, imbuh dia, ada ratusan polisi bersenjata lengkap memasuki areal perusahaannya. “Seolah-olah ada perang saja. Kemudian mengangkut beberapa petugas kami. Ini kan bentuk keberpihakan aparat kepada pihak yang jelas-jelas merampas areal milik PT Sebuku Tanjung Coal,” tegasnya.

    Soenarko menambahkan, tindakan jajaran Polres Kotabaru seolah mendukung pelaku perampasan lahan. Padahal, sebelumnya Polres Kotabaru sudah menggelar pertemuan mediasi antara PT Sebuku dengan pihak yang juga mengklaim lahan yang kini dipersoalkan.

    Menurut Soenarko, pihak PT Sebuku Grup dalam mediasi itu memaparkan proses pembelian lahan dari warga yang sudah berlangsung lama. Wilayah itu yang dibeli merupakan areal konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara. Sementara mereka yang mengklaim tidak menunjukan surat-surat yang benar. Kok sehari kemudian karyawan kami ditangkapi,” kata mantan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda Aceh ini.

    https://www.jpnn.com/news/kemarin-yusril-diadang-kini-130-pegawai-sebuku-digelandang

    Sidang Gugatan digelar, SEBUKU menang

    Kuasa Hukum PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) Group Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa dua ahli yang diajukannya ke persidangan PTUN Banjarmasin pada Kamis pekan lalu, Heriyanto dari Kementerian ESDM dan Esther Simon dari Kementerian LH dan Kehutanan, sama-sama sependapat bahwa tidak terdapat cukup alasan bagi Gubernur Kalsel Sahbirin Noor untuk mencabut IUP OP tiga perusahaan anak usaha SILO Group di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru.

    Alasan penolakan masyarakat tanpa memerinci apa sebab penolakannya, tidak dapat dijadikan dasar pencabutan IUP OP. Kalau alasannya masalah lingkungan, apa yang dikemukakan baru bersifat asumsi. Asumsi tidak bisa mengalahkan kesimpulan akademik secara multidisipliner sebagaimana tertuang dalam AMDAL.

    Sampai sekarang, PT SILO Group belum melakukan kegiatan penambangan di Pulau Laut, meski izin sudah dimiliki sejak tahun 2010. Karena itu penolakan masyarakat disebabkan akan terjadinya kerusakan lingkungan belum terbukti. Kalaupun kegiatan penambangan sudah dilakukan dan benar terjadi dampak lingkungan, maka AMDAL harus direvisi.

    Kalaupun terjadi kerusakan lingkungan yang serius setelah dilakukan penelitian oleh Inspektur Tambang, maka yang dilakukan Pemerintah adalah penghentian sementara kegiatan penambangan sampai AMDAL direvisi, bukan mencabut Izin Tambang atau IUP.

    Dengan demikian, maka pencabutan IUP OP terhadap ketiga perusahaan anak usaha SILO Group di Pulau Laut oleh Gubernur Kalsel adalah tindakan prematur dan tidak beralasan hukum. Dalam keterangannya, Yusril juga membantah pernyataan pengacara Gubernur Kalsel Andi M Asrun yang mengatakan bahwa SILO Group tidak membayar PNBP kepada Pemda Kalsel sebesar 1,7 juta dollar.

    Menurut Yusril, Asrun bicara asal omong saja tentang utang ini tanpa pernah membuktikanya dalam persidangan PTUN Banjarmasin. PT SILO Group, menurut Yusril, tidak punya tunggakan apapun kepada Pemda. Bukti-bukti pelunasan semua kewajiban telah diserahkan ke PTUN Banjarmasin. Di pengadilan yang kita butuhkan adalah bukti, bukan cerita ngarang yang disiarkan ke publik sekedar untuk membentuk opini yang negatif.

    https://kumparan.com/banjarhits/hak-jawab-yusril-soal-sidang-silo-group

    Putusan Sidang, SEBUKU menang seluruhnya

    Pada sidang gugatan PT Sebuku Sejaka Coal dengan nomor perkara 4/G/2018/PTUN.BJM dipimpin hakim ketua Luthfie Ardhian, dalam pertimbangannya menyatakan, tidak ditemukan surat aspirasi masyarakat melalui Peraturan Bupati Kotabaru 29 Desember 2004 berupa larangan aktivitas pertambangan Batubara di Pulau Laut. Selain itu pencabutan izin lingkungan bukan atau tidak sama dengan pencabutan izin usaha produksi.

    Sehingga majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat sepenuhnya dan oleh karenanya Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan yang menjadi obyek sengketa batal dan mewajibkan tergugat mencabut SK Gubernur serta menghukum biaya perkara sebesar Rp277.500.

    Sedangkan pada perkara nomor 5/G/2018/PTUN.BJM yang diajukan PT Sebuku Tanjung Coal, majelis hakim PTUN Banjarmasin yang diketuai Retno Widowati juga memenangkan penggugat. Begitu juga majelis hakim yang menyidangkan perkara nomor 6/G/2018/PTUN.BJM dari PT Sebuku Batubai Coal yang dipimpin hakim ketua Dafrian.

    https://kalsel.antaranews.com/berita/67758/hakim-ptun-kabulkan-tiga-gugatan-pt-sebuku-atas-gubernur

    Kuasa hukum Sebuku Group, Yusril Ihza Mahendra, mengapresiasi positif atas vonis gugatan Sebuku Sejaka Coal. Yusril mengatakan perkembangan hakim cukup jernih dan gamblang berdasarkan argumen, bukti, saksi fakta, dan saksi ahli yang jelas. “Hakim memutuskan bahwa SK pencabutan tersebut bertentangan dengan Undang-undang,” kata Yusril di sela sidang vonis, Kamis (7/6).

    Kesimpulan sementaranya, menurutku adalah ada hubungan antara tuduhan untuk menghabisi Pak Narko dengan bisnis pengusaha batubara lawannnya, yang diback up POLRI, dan Gubernur Kalimatan Selatan yang terganggu oleh bisnis Pak Narko. Juga ada investor yang sedang mengincar tambang biji besi dan batu bara miliknya di Pulau Laut.

    Artinya Bisnis legal mantan Jendral ini sudah membuat tidak nyaman kolusi antara calon investor, investor, oknum pengusaha, oknum aparat Polri dan oknum Pemerintah setempat. Dan karena beliau menang secara hukum maka bisa saja ada yang berpikir … dia harus dihabisi … Caranya? ya itu … pasal Makar.

    Ternyata menjadi seorang pengusaha nasionalis yang taat hukum dan lurus itu tidak mudah. Harus berhadapan dengan mafia kekuasaan. Untuk itu hanya bisa berkata LAWAN MAFIA KEKUASAAN yang atas namakan rakyat!!!

  • Jokowi Effect

    Jokowi Effect

    Oleh: M Rizal Fadillah

    Kemenangan Jokowi yang dinilai kontroversial karena dinilai berbau curang nampaknya berbuntut panjang. Sikap Pemerintahan Jokowi yang represif sebagai tindak lanjut ucapan dan kebijakan Menkopolhukam Wiranto telah membuat garis luka. Penanganan aksi yang brutal oleh aparat tidak mudah hapus dan perlu pengusutan lebih lanjut.
    Kondisi negara yang krisis saat ini adalah akibat dari semangat tak terkendali Jokowi untuk menjabat lagi. Mungkin saja segala upaya itu bisa berhasil tetapi bayaran mahalnya adalah Jokowi effect.

    Efek utama yang muncul adalah kedaulatan hukum yang tergerus. Hukum sangat dirasakan menjadi kepanjangan tangan kekuasaan. Semakin banyak tokoh dan aktivis diperiksa bahkan ditahan. Peristiwa 22 Mei menjadikan aparat penegak hukum khususnya kepolisian menjadi sorotan bukan saja di dalam negeri tetapi juga dunia. Masyarakat hukum Internasional mulai terlibat. Pelanggaran HAM menjadi isu menarik.

    Selanjutnya kedaulatan ekonomi goyah. Semangat menarik investasi membawa Indonesia berada dalam jalur hegemoni ekonomi Cina. Proyek OBOR terus dipaksakan meski banyak kritik. Debt trap menganga di depan. Sementara neraca APBN kita defisit begitu juga dengan defisit transaksi berjalan. Perdagangan luar negeri parah. Jika efek boikot atau rush jadi perlawanan rakyat, maka ekonomi akan semakin berantakan.

    Terlalu memihak dan kental bermitra atau bersekutu dengan Cina menciptakan pertarungan kekuatan global di Indonesia. Amerika, Eropa dan Australia, juga Jepang akan “datang” ke negara kita dengan kekuatan militernya. Berlabuhnya kapal perang negara-negara tersebut di Surabaya dan Jakarta serta pesawat tempur Perancis di Aceh adalah sinyal bahaya efek Jokowi. Dari pengentalan blok yang dibuat antara rakyat dan pendukung Jokowi memungkinkan menggeserkan “proxy war” menjadi ajang tempur global.

    Yang kini aktual dan bahan perbincangan media khususnya medsos adalah “Jokowi Effect” pada aspek geopolitik. Mulai muncul riak riak keinginan Aceh memisahkan diri. Jika Timtim lepas dengan referendum, mengapa tak bisa dengan Aceh. Tak ingin negara dipimpin Jokowi. Lalu “drive to the south” Sumatera yang bukan basis kemenangan Jokowi juga bisa berfikir serupa. Nah jika ini menggumpal maka NKRI terancam. Masih selamat jika hanya bergeser pada bentuk negara federal seperti jaman RIS dahulu, jangan jangan menjadi negara terpecah seperti Uni Sovyet.

    Jika Pemerintah Pusat tidak arif dan merasa sombong dengan kekuasaan yang dipegangnya, memaksakan kehendak lalu menindas oposisi, apalagi memusuhi kekuatan umat Islam, maka Jokowi effect akan menemukan bentuk yang merugikan dirinya sendiri. Ini tentu bukan bagian dari politik “genderuwo” yang menakut nakuti, melainkan sebagai effek dari penggunaan “politik genderuwo” yang menakut nakuti rakyat. Jokowi effect adalah efek domino yang menakutkan.

    Bandung, 28 Mei 2019