Kategori: Opini

  • Jaksa Baharuddin Lopa Biang Kejujuran, Bila di Kepolisian ada Hoegeng Imam S

    Jaksa Baharuddin Lopa Biang Kejujuran, Bila di Kepolisian ada Hoegeng Imam S

    Oleh : Beny Rusmawan

    Baharuddin Lopa, lebih kurang 29 tahun silam, tatkala mendiang Prof Dr Baharuddin Lopa masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, panggung hukum Indonesia geger oleh munculnya sosok Lopa yang jujur, antikorupsi, dan nyali bak harimau. Ia tidak kenal warna abu-abu, sebab bagi dia warna itu hanya hitam dan putih. Benar atau salah.

    Ada banyak cerita tentang kejujuran mantan Jaksa Agung (2001) dan mantan Menteri Kehakiman (2001) ini. Ketika Lebaran menjelang, ia tegaskan kepada anak buahnya untuk tidak menerima parsel Lebaran. Ia menggelar jumpa pers yang di antaranya mengumumkan, seluruh aparat kejaksaan Sulawesi Selatan tidak terima hadiah dalam bentuk apa pun.

    Ketika tiba di rumah, ia melihat ada dua parsel di rumahnya. ”Eh, siapa yang kirim parsel ke sini,” ucap Lopa dengan raut masam. Seisi rumah bungkam karena tahu Lopa geram. Lopa kemudian sangat terkejut ketika melihat salah satu parsel tersingkap 10 cm. ”Aduh, siapa yang membuka parsel ini?”

    Seorang putrinya maju ke depan dan dengan jujur menyatakan dialah yang buka dan mengambil sebuah cokelat. ”Mohon maaf Ayah,” ujar anak perempuan itu. Lopa menghela napas, ia tidak bisa marah kepada putrinya, tetapi tidak urung ia memperingatkan untuk tidak melakukan hal itu lagi. Pria Mandar ini menyuruh putranya membeli cokelat dengan ukuran dan jenis yang sama. Cokelat itu dimasukkan ke bungkusan parsel dan segera dikembalikan kepada pengirimnya.

    Suatu hari ia bercakap-cakap dengan istrinya dan mengajak istrinya menghitung tabungan mereka. ”Oh, uang itu sudah cukup untuk uang muka mobil Toyota Kijang,” ujar Lopa.

    Maka datanglah ia ke distributor mobil di Makassar. Ia langsung menemui direktur utama perusahaan itu. Lopa menyampaikan keinginannya membeli mobil dengan uang muka sekian rupiah, sisanya dicicil. Sang dirut menawarkan diskon yang biasa ia berikan kepada kawan-kawannya.

    Lopa terkejut ketika tahu besaran diskonnya. Sebab bagi dia, diskon lebih dari 3 persen dari harga barang sudah melampaui batas kepantasan. Saudagar tersebut menyatakan, ”Saya penjual, saya hendak beri berapa persen diskonnya, kan, terserah saya, bukankah itu wilayah saya?”

    Lopa tetap menolak dan menyatakan diskon hanya 3 persen. Akhirnya, usahawan itu mengalah dan menerima keinginan Lopa. Belakangan, urusan ini membuat ia kikuk karena setiap bulan Lopa datang sendiri menyetor cicilannya. Dan penyetoran itu jauh sebelum tanggal jatuh tempo. Bukan apa-apa, Lopa adalah temannya, ia kikuk harus menerima cicilan langsung dari teman dekat selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ia menghormati Lopa yang memegang teguh prinsip hukum yang ”serba hitam putih” itu.

    Cerita tentang Lopa yang jujur menjadi semacam legenda di panggung hukum nasional. Suatu hari, ia hendak menunaikan ibadah haji. Seorang teman sekolahnya sejak SD hingga perguruan tinggi, yang sukses sebagai pengusaha, memberinya 10.000 dollar AS. Lopa terkejut dengan pemberian ini. Pada kesempatan pertama ia datang ke rumah temannya dan mengembalikan uang itu.

    Lopa berkata, ”Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja, ya.” Pengusaha itu tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengusap air matanya karena terharu.

    Lopa mengungkapkan, seorang penegak hukum mutlak berintegritas. Ia boleh hidup ekstra sederhana, tetapi itu tidak bisa menjadi alasan menerima apa pun dari siapa pun. ”Banyak di antara masyarakat tidak menyadari, tegaknya hukum menentukan kinerja ekonomi. Sebab, munculnya supremasi hukum akan membuat pelaku bisnis tenang. Kalaupun bisnisnya ”diusik”, para pebisnis itu akan tenang karena ada hukum. Jaksa akan menjalankan tugasnya dengan baik dan hakim akan menjatuhkan vonis yang sesuai hukum dan rasa keadilan.”

    Lopa benar. Lihatlah, semua negara yang ekonominya maju, praktik hukumnya pasti baik. Kita masih jauh dari pelaksanaan hukum yang ideal. Hukum masih dipermainkan kekuasaan, mafia peradilan, dan aparat yang tidak jujur.  (**)

  • Sekadar Mengamati Video Sadis 23 Mei

    Sekadar Mengamati Video Sadis 23 Mei

    Oleh: Asyari Usman

    Hampir tidak ada bedanya dengan keberingasan tentara Israel ketika mengejar anak-anak remaja yang melakukan ‘intifada’. Bahkan, mungkin yang ini lebih sadis lagi. Jangan-jangan mereka telah dikursuskan tentang cara melakukan kesadisan. Cara menyiksa dengan mengeroyok.

    Begitulah kesimpulan saya setelah memutar beberapa kali video yang menunjukkan seseorang yang tak lagi berbaju, sedang dikeroyok oleh sekitar 8-10 petugas yang berseragam gelap. Mereka ada yang memegang senjata laras dan alat-alat proteksi tubuh yang cukup lengkap. Beberapa orang menyandang tameng (perisai). Rata-rata mereka memegang semacam kayu panjang (diperkirakan potongan rotan).

    Video ini direkam dari posisi gedung bertingkat. Lokasi kejadiannya tampak seperti halaman masjid. Perekam video itu berkomentar bahwa seseorang yang dikeroyok itu kemungkinan anak remaja.

    Para pengeroyok itu beringas bagaikan sudah lama tidak berjumpa mangsa. Yang dikeroyok tampak tidak lagi bergerak. Apalagi melawan. Ada sesekali dia terlihat menggerakkan kakinya. Mungkin, itulah gerakan terakhir anak tsb.

    Metode penyiksaan itu tidak tanggung-tanggung. Para petugas yang memegang senjata laras memukulkan popor dan batang senjata mereka dengan ‘full force’ (sekuat tenaga). Yang lain-lainnya memukulkan rotan ke tubuh yang tampak telah lembik terkulai-kulai itu.

    Dengan kaki yang terbungkus sepatu ‘riot gear’ (sepatu keras), salah seorang petugas berseragam gelap itu menendang bagian dada atau kepala anak itu. Sekuat tenaga juga. Bayangan saya, seandainya pun badan anak itu sedang dibalut alat proteksi, hampir pasti dia akan mengalami luka berat. Luar-dalam. Tak mungkin selamat dengan tendangan yang diayunkan sepenuh hati itu.

    Dalam keadaan yang sudah tak bergerak lagi, masih sanggup para pengeroyok bersenjata lengkap itu memukuli si anak malang tsb. Luar biasa hebat aparat seragam gelap. Setelah puas mengeroyok anak itu, dua orang petugas menyeret tubuh yang ‘telah diam’ itu ke satu tempat. Rekaman video pun selesai.

    Setelah melihat video itu, saya bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan aparat seragam gelap menjadi begitu sadis, beringas, kalap dan lupa diri? Pendidikan atau pelatihan macam apa yang diberikan kepada mereka? Indoktrinasi seperti apa yang disuntikkan ke kepala mereka?

    Terus, apakah ada SOP untuk mengeroyok target yang sudah tak berkutik, yang telah terkulai-kulai? Apakah ada materi pelatihan yang khusus menghilangkan rasa kasihan terhadap korban yang sudah tak berdaya?

    Apakah tidak ada materi tentang kemanusiaan dan keberadaban? Apakah mereka sengaja dilatih untuk menjadi seperti, maaf, srigala kelaparan? Yaitu, srigala yang akan mengeroyok mangsanya sampai mati?

    Aparat seragam gelap di video itu bagaikan tidak pernah tahu Pancasila. Bagaikan tak kenal Tuhan. Seperti orang yang tak beragama. Bagaikan tak punya anak-kemenakan remaja.

    Ingin rasanya mendapatkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi, ada video lain yang bisa “menghibur”. Yaitu, rekaman yang menunjukkan ratusan seragam gelap berjoget gembira di jalanan. Mereka tampak senang. Melompat-lompat kegirangan. Kurang jelas apakah mereka berjoget-ria setelah berhasil mengeroyok sampai tuntas anak remaja itu.

    Saya teringat dengan nasib rakyat Palestina yang dikejami terus-menerus oleh polisi dan tentara Israel. Teringat dalam konteks begini: mengapa tidak kita salurkan saja kehebatan seregam gelap itu untuk melindungi warga Palestina?

    Saya bayangkan, ketangkasan keroyok seragam gelap itu mungkin bisa menghalau tentara Israel dari tanah Palestina. Barangkali perlu kita coba. Siapa tahu!

    (Penulis adalah wartawan senior)

  • Maaf Bonek, Bapakmu Mesti Pulang Kampung

    Maaf Bonek, Bapakmu Mesti Pulang Kampung

    Oleh: Wirahadikusumah

    Bonek dan Bonita saat ini mungkin sedang merasa kehilangan. Sebab, Kombes Rudi Setiawan mesti pulang ke tanah kelahirannya. Dia mendapatkan promosi menjadi Wakapolda Lampung. Semasa menjabat Kapolrestabes Surabaya, Rudi Setiawan memang terkenal sangat dekat dengan Bonek Mania. Bahkan, di Kota Pahlawan itu, Rudi diangkat menjadi Bapak’E (Bapaknya, Red) Bonek.

    Karenanya, wajar Rudi dilepas sangat meriah oleh puluhan ribu Bonek Mania di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) pada Sabtu (11/5/2019). Malam itu, manajemen Persebaya Surabaya sengaja mengadakan pertandingan bertajuk Jogo Suroboyo Games di GBT.

    Selain sebagai uji coba jelang bergulirnya Liga1, tujuan diadakannya pertandingan antara Persebaya Surabaya melawan Persela Lamogan itu juga sebagai bentuk persembahan dan penghormatan kepada Rudi Setiawan lantaran akan meninggalkan Kota Surabaya.

    Saat jeda pertandingan, Rudi dengan ditemani Kapolrestabes Surabaya yang baru Kombes Sandi Nugroho dan Wakil Wali Kota Wisnu Sakti Buana serta Presiden Klub Persebaya Surabaya Azrul Ananda sempat berjalan mengitari tribun stadion.

    Dari tepi lapangan, Rudi menyapa Bonek Mania. Dia juga sempat menaiki tribun yang sering digunakan dirijen Bonek. Kala itu, terdengar nyanyian yel-yel dari puluhan ribu supporter klub berjuluk Bajul Ijo tersebut. Mulai dari yang liriknya berbunyi ”We Love You Bapak Rudi”, ”Selamat Jalan Bapak Rudi”, ”Terima Kasih Bapak Rudi”. Yel-yel itu dinyanyikan Bonek Mania berulang-ulang.

    Hingga akhirnya, Rudi melalui pengeras suara sempat menyampaikan pesan dan kesannya kepada Bonek Mania. Salah satu pesannya adalah agar Bonek selalu menjaga ketertiban Kota Surabaya. ”Saya bangga sama Bonek, saya cinta sama Bonek, I Love You Bonek, I Love You Persebaya, I Love You Surabaya. Salam Satu Nyali…Wani!” teriak Rudi kepada Bonek Mania di Stadion GBT.

    Sebelum Rudi meninggalkan Surabaya, beberapa pemain Persebaya dan ribuan Bonek juga sempat mengarak Rudi bersama Sandi Nugroho dari Mapolrestabes Surabaya menuju Tugu Pahlawan di kota tersebut. Sama seperti di Stadion GBT, sepanjang perjalanan, Bonek Mania menyanyikan yel-yel yang bunyinya mengucapkan terima kasih serta menyampaikan selamat jalan kepada Rudi.

    Dari mana saya tahu itu semua? YouTube! Ya, itu semua bisa kita lihat di video-video yang bertebaran di YouTube. Kita bisa saksikan di video-video itu, begitu dekatnya Rudi dengan Bonek Mania. Dari video-video di YouTube itu juga, saya mengetahui Rudi ternyata hafal semua yel-yel yang sering dinyanyikan Bonek ketika Persebaya bertanding. Bahkan, dia juga hafal lirik lagu sakral Persebaya Surabaya yang berjudul Song For Pride.

    Saya berharap, keberhasilan Rudi di Surabaya itu bisa diterapkannya saat menjabat Wakapolda Lampung. Dan saya yakin hal itu bisa dilakukannya. Sebab, Rudi adalah putra daerah Lampung. Tak hanya itu, dia juga adalah orang Lampung berdarah biru. Di provinsi ini, Rudi memiliki gelar kebangsawanan adat. Yakni Pangeran Sangun Khatu Ya Bandakh II Makhga Legun.

    Dengan modal itu, saya yakin, Rudi bisa lebih dekat dengan warga Lampung. Tentunya juga, kehadirannya bisa lebih mendekatkan Polda Lampung dengan warga provinsi ini. Saya memandang, hal itu memang mesti dilakukannya. Sebab, saya menilai, Kapolda Lampung Irjen Purwadi Arianto sepertinya tidak begitu suka muncul ke publik.

    Itu bisa dilihat dari jarangnya jenderal bintang dua tersebut muncul di media massa lokal maupun nasional. Karena itu, wajar saja nama Purwadi di provinsi ini tidak se-familiar kapolda-kapolda Lampung sebelumnya.

    Seperti Brigjen Purnawirawan Edwardsyah Pernong, Irjen Ike Edwin, Irjen Sudjarno, Irjen Suroso, serta Irjen Suntana. Lima mantan Kapolda Lampung itu dahulu cukup familiar namanya di masyarakat Lampung lantaran sering muncul di media massa ketimbang Irjen Purwadi Arianto.

    Nah, dengan kehadiran Rudi Setiawan, saya berharap bisa menjadi solusi atas hal tersebut. Rudi harus bisa lebih mendekatkan Polda dengan masyarakat Lampung. Saya sangat menyakini itu bisa dilakukannya. Sebab, Bonek Mania saja bisa menerimanya, apalagi masyarakat di kampung halamannya sendiri. Semoga!(**)

  • Tiga Permohonan Kepada Presiden

    Tiga Permohonan Kepada Presiden

    Oleh: Jaya Suprana

    SAYA termasuk warga yang beruntung tidak jatuh menjadi korban Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 meski hanya dengan susah-payah berhasil menyelamatkan dua keponakan perempuan saya untuk melarikan diri dari Jakarta ke Semarang sementara saya sendiri beruntung dipedulikan bahkan diselamatkan oleh teman-teman saya yang secara suku dan etnis (termasuk Prof Emil Salim dan Yusuf Ngadri) justru berbeda dari saya yang kebetulan beretnis China ini.

    Duka

    Namun di samping tak henti bersyukur atas keberuntungan nasib saya sendiri, saya berduka atas nasib para warga yang jatuh sebagai korban penganiayaan, pemerkosaan bahkan pembinasaan yang dilakukan oleh para oknum durjana secara biadab. Di samping berduka, saya juga terbebani rasa bersalah karena tidak berdaya meringankan beban derita para sanak keluarga para korban dan para korban yang masih bertahan hidup sampai kini.

    Prihatin

    Setelah duapuluhsatu tahun berlalu, pihak pemerintah masih belum secara resmi memberikan suatu pengakuan, penyesalan serta permohonan maaf atas malapetaka kemanusiaan yang secara nyata telah menimpa rakyat Indonesia pada tanggal 12 sampai dengan 15 Mei 1998.

    Demi mampu memberikan sedikit sumbangsih saran solusi permasalahan , saya mencoba mencari informasi dan data dari berbagai narasumber terutama mahaguru kemanusiaan saya yang kebetulan adalah pimpinan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (Truk) serta anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi 12-15 Mei 1998 yaitu Sandyawan Sumardi.

    Permohonan

    Dari perca perca informasi dan data fragmental yang saya peroleh dari hasil investigasi TruK dan TGPFT 12-15 Mei yang dibentuk atas instruksi Presiden BJ Habibie , dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri mengambil kesimpulan mengenai apa yang sebenarnya dikehendaki oleh para korban beserta para sanak keluarga para korban yang pada hakikatnya terdiri dari tiga harapan kepada Presiden Republik Indonesia.

    Maka melalui naskah sederhana ini , dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri mengungkap tiga harapan tersebut ke dalam tiga permohonan kepada yang terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia , Ir Joko Widodo sebagai berikut:

    Pengakuan

    Permohonan Pertama: mohon perkenan Bapak Presiden secara resmi memaklumatkan pernyataan pengakuan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa kekerasan massal 12-15 Mei 1998, sebagaimana dinyatakan dalam hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi 12-15 Mei 1998.

    Kemauan Politik

    Permohonan Kedua: mohon perkenan Bapak Presiden secara resmi memaklumatkan permohonan maaf atas nama pemerintah bahwa Pemerintah telah sangat lambat dalam upaya penyelesaian tragedi kekerasan politik ini, utamanya mendorong kelanjutan dari penyelidikan TGPF ke penyidikan di Kejaksaan Agung RI, sesuai dengan hukum hak asasi manusia yang berlaku di negeri ini.

    Preventif

    Permohonan Ketiga: mohon Bapak Presiden berkenan secara resmi membentuk Tim Kerja Khusus untuk menyusun sistem hukum kenegaraan, kebangsaan, kerakyatan dan terutama kemanusiaan demi mencegah jangan sampai kekerasan oleh sesama manusia terhadap sesama manusia Mei 1998 kembali terjadi di persada Nusantara tercinta ini

    Bagi Para Korban

    Saya tahu benar bahwa Ir. Joko Widodo sama sekali tidak bersalah atas malapetaka kemanusiaan Mei 1998. Namun Ir Joko Widodo kini adalah Presiden Republik Indonesia, maka beliau bukan berkewajiban namun berhak untuk atas nama pemerintah memberikan pengakuan serta permohonan maaf atas kesalahan yang dilakukan di masa lalu mau pun berupaya mencegah jangan sampai tragedi kemanusiaan terjadi kembali di Indonesia.

    Tiga permohonan yang diajukan kepada Bapak Presiden Jokowi bukan untuk kepentingan diri saya pribadi namun tulus demi mengurangi beban derita para korban dan sanak keluarga korban Tragedi Mei 1998.

    Pada hakikatnya tiga permohonan yang diajukan bukan mustahil dipenuhi namun dapat dipenuhi selama ada kemauan para abdi rakyat yang telah dipilih oleh rakyat untuk menjunjung tinggi harkat, marabat serta kepentingan rakyat yang telah memilih para abdi rakyat untuk memimpin negara, bangsa dan rakyat Indonesia. MERDEKA! []

    Jakarta, 15 Mei 2019

    Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan yang prihatin atas derita para korban dan sanak-keluarga korban Tragedi Kemanusiaan Mei 1998, G-30-S, penggusuran atas nama pembangunan serta rakyat yang belum menikmati kemerdekaan Indonesia.

  • Adakah “Feeling” Presiden Jokowi Dalam Kajian Ilmiah Tokoh Pendidikan Lampung?

    Adakah “Feeling” Presiden Jokowi Dalam Kajian Ilmiah Tokoh Pendidikan Lampung?

    Oleh: Junaidi Ismail

    SUNGGUH luar biasa membicarakan sosok seorang guru dimata dunia, dimata orang-orang sukses, dimata orang-orang pandai, karena mereka pasti sepakat bahwa tak ada pahlawan yang lebih berjasa bagi mereka selain guru. Tema menarik untuk menghargai profesi pengajar dan tenaga kependidikan yang telah mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Melihat seorang guru bagaikan melihat sebuah masa depan cerah yang telah terpampang dan menjanjikan untuk dunia ini. Ingatkah kita ketika Negara Jepang pernah terpuruk dengan hancurnya kota Nagasaki dan Hiroshima oleh serangan bom Amerika?

    Jepang saat itu lumpuh total, korban meninggal mencapai jutaan, bangunan gedung mewah hangus bagaikan padang pasir putih yang mengkilau di pinggir pantai tanpa halangan apapun, efek radiasi bom yang diperkirakan membutuhkan 50 tahun lamanya untuk menghilangkan semuanya. Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jenderalnya yang masih hidup dan menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang masih tersisa?“

    Para jenderalnya pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar.

    Kita kuat dalam senjata dan strategi perang, akan tetapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”

    Cerita diatas mengajarkan dan dijadikan sebagai renungan kita bersama terutama para guru, apakah guru-guru yang dimiliki bangsa ini merupakan guru-guru yang pantas dibanggakan sebagaimana guru-guru Jepang yang dibanggakan Kaisar Hirohito pada tahun 1945 silam? Oleh karena itu, guru perlu dihargai karya pengabdiannya.

    Di Indonesia kebangkitan bangsa dari kemuliaan para guru itu telah tampak semenjak awal kemerdekaan seperti kiprah tokoh-tokoh yang tergabung dalam organisasi Budi Utomo atau tercermin pada sosok Ki Hajar Dewantara. Bahkan di era sekarang, kebangkitan itu muncul dengan potensi lebih besar lagi dibandingkan dengan sekedar kisah kebangkitan bangsa Jepang diatas.

    Keyakinan ini bermula dari dicetuskannya wacana pemindahan pusat pemerintahan negara dari Jakarta oleh beberapa kepala negara termasuk presiden Sukarno, hingga keberanian kepala negara untuk memutuskan memindahkan ibukota negara dari Jakarta, baru-baru ini.

    Keputusan presiden itu sontak disambut antusias oleh berbagai tokoh masyarakat berbagai bidang yang dipelopori diantaranya para guru besar hingga para rektor yang notabene tenaga pendidik yang memilih mengabdi di Provinsi Lampung.

    Mereka dengan penuh keyakinan dan semangat mengajukan langsung proposal hasil kajian ilmiahnya. Saya melihat kesungguhan para pengajar ini, mereka mantap mengusulkan Provinsi Lampung sebagai daerah khusus ibukota negara pengganti Jakarta. Saya tidak akan lagi mengupas tentang se ilmiah apa hasil kajian mereka, sebab saya tidak menemukan satu hal pun yang meragukan kompetensi mereka.

    Di Lampung, secara umum kestabilan keempat unsur alam  sangat mendukung (air, api, tanah dan udara) selain juga jarak yang cukup dekat dengan Jakarta. Bagaimanapun pusat pemerintahan negara yang baru tidak bisa jauh dari Jakarta karena historia perjalanan bangsa tersimpan didalamnya.

    Dukungan alam, sarana dan prasarana serta sumber daya manusianya pun sudah mumpuni, negara tinggal segera menentukan pilihannya. Dengan diinisiatori langsung akademisi para pencetak SDM dibalik semua upaya yang tidak kenal lelah selama bertahun-tahun mempertahankan kajiannya, adalah nilai lebih dari harapan itu. Inikah “feeling” yang sedang dicari kepala negara? Tepat.

    Sejarah kebangkitan bangsa Jepang, membuktikan jika kebesaran sebuah bangsa takkan pernah lahir dan takkan pernah siap untuk membangun peradaban tanpa campur tangan seorang pendidik. Dengan ketulusannya dalam mengajar, membimbing, melatih anak-anak bangsanya untuk menjadi teladan terbebas dari kebodohan, menuju sebuah keberhasilan.

    Semoga, firasat Presiden adalah harapan yang sedang kita jemput bersama. Harapan atas tegaknya pusat pemerintahan negara kesatuan republik Indonesia yang tidak hanya monumental dalam upaya negara membangun peradaban tetapi bersama campur tangan para ilmuwannya terdedikasi sebagai cikal bakal pusat peradaban dunia.

    Karya besar anak bangsa itu laik mengagung di Kawasan Timur Lampung. Alasan terpenuhinya harapan mulia tersebut sangat mendasar, kajian mendalam oleh para ahli sesuai keilmuannya serta tidak ada unsur kepentingan politik tertentu didalamnya. (*)

    *) Wartawan Utama, Owner Mediafaktanews.com

  • Konflik Hubungan TNI dan Polri, Grand Design Pelemahan NKRI

    Konflik Hubungan TNI dan Polri, Grand Design Pelemahan NKRI

    Oleh: Letjen Marinir (Pur) Suharto

    Assalamu’alaikum Wr.Wb.

    Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Pada kesempatan ini apa yang akan saya sampaikan adalah pendapat pribadi saya. Jangan dianggap ini sebagai pendapat TNI. Apa yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini adalah hasil analisa saya terutama menyangkut persoalan skema pelemahan internal NKRI, yang kini muncul kepermukaan menjadi skema konflik TNI-Polri.

    Kalau boleh saya katakan, apa yang dihasilkan oleh Reformasi 1998, menurut saya adalah sebuah penyimpangan. Karena reformasi itu hadir begitu cepat, sedang kita sendiri belum siap. Sehingga perjalanan reformasi ini kemudian “dibajak” oleh orang-orang yang telah siap finance dan programnya. Mereka adalah empat belas menteri yang mengkhianati Pak Harto. Merekalah yang kemudian menjadi “lokomotif” yang menyalip di tengah jalan.

    Kembali kepada TNI dan Polri. Saya merasakan ini memang suatu kesengajaan. Kalau mau jujur saya katakan bahwa TNI dan Polri merupakan suatu badan yang berbeda. TNI itu adalah suatu institusi kombatan (tempur). Sedangkan Polri itu bukan institusi kombatan. Polri adalah non kombatan

    Polri itu sebetulnya hanya menangani apa yang disebut dengan crime justice system, atau yang lebih kita kenal dengan Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat (Tramtibmas). Tapi apa lacur pikiran kita dibelokkan sehingga dengan serta merta kita ikut latah dengan istilah pertahanan dan keamanannya TNI, seakan sama dengan istilah keamanannya Polri. Itu tidak betul. Keamanan ini security. Security as a whole include di dalamnya.

    Dahulu masalah itu diributkan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, itu sudah betul. Ironisnya sekarang setelah institusi TNI-Polri dipisah kok seakan semua setuju. TNI sebagai kombatan sudah kembali ke barak, dan meninggalkan sosial politiknya. Tapi ketika saya tanya, apakah Polisi Back to barrack? Tidak. Bahkan Polisi dipersenjatai seperti kombatan.

    Ketika saya masih menjadi Irjen Dephan, saya habis-habisan menentang ini. Kenapa minta senjata AK? AK 97 adalah senjata kombatan bukan senjata Polisi. Senjata Polisi hanyalah untuk memberikan peringatan dan untuk membela diri. Makanya Polisi di Inggris senjatanya pakainya pentungan. Di Indonesia, Polisi malah dipersenjatai, pangkatnya persis pangkat tentara.

    Jenderal itu pangkat tentara bukan pangkat polisi. Kalau pangkat Polisi yang betul ya Inspektur, Komisaris, Ajun, sampai dengan Super Intendan. Tapi kita tidak, kita perkuat pangkat sama dengan Jenderal. Brimob disusun sampai susunan tempur, dulu saya sampai terkejut ketika hendak diberikan tank.

    Jadi kita tidak tahu lagi mana yang kombatan dan mana yang non kombatan. Pada waktu acara di Kampus UNAIR, yang dihadiri pula oleh beberapa petinggi Polisi, saya sampaikan kalau nanti sistemnya seperti ini, polisi yang tidak back to barrack. Kalau tidak back to barrack nanti kewenangan Polisi melampaui kapasitasnya.

    Siap tidak siap, mau tidak mau, nanti akan jadi tirani baru. Nah apa yang sekarang kita rasakan ini harus diwaspadai. Apalagi DPR sekarang tidak mengerti mana ketahanan mana keamanan sehingga secara membabi buta menyatakan keamanan tugas polisi, pertahanan tugas TNI, ini yang saya kira harus kita pelajari lebih mendalam.

    Kalau kita belum bisa mendefinisikan dengan benar fungsi dan peran TNI-POLRI, maka sulit bagi kita mengandalkan keterlibatan mereka untuk memperkuat NKRI.

    Kenapa saya katakan polisi kewenangannya melampaui kapasitasnya? Pertama, polisi di bawah presiden melampaui kapasitasnya, di negara yang paling maju dimanapun tidak ada polisi di bawah presiden. Ini kewenangan melampaui kapasitasnya. Apalagi sekarang kita melihat kalau sidang kabinet, Polri hadir, panglima TNI juga hadir. Bagaimana kita tidak mengatakan bahwa TNI dan Polri tidak terlibat dalam politik?!

    Sekali lagi saya katakan pendapat saya, kalau salah dibuang, kalau benar saya kira bisa kita lanjutkan. Untuk itu, sekarang bagaimana solusi untuk mendinginkan ini. Sulit. Kalau kita berkaca pada sistem yang ada ini memang sulit. Belum lagi ada kata kecemburuan sosial, anak-anak saya itu kalau cerita diam-diam dan dibelakang. Saya tanya, “Le, kenapa kamu tidak akur dengan polisi? Bagaimana ndan, kita itu gajian satu bulan sekali dia gajian tiap hari.” ini guyonan tapi menyengat. Karena masalah itu, kita paten-patenan.

    Tahun 1998 yang kita selamatkan mereka. Ditahun itu kalau Polisi diuber-uber, kita yang selamatkan. Sampai Brimob yang ada di perempatan, bila tidak ada Marinir, sudah habis itu

    Jadi, itu yang saya terus ingat. Itu salah satu kelebihan. Ada satu kapasitas lagi, Polisi mengurus mobil, BPKB, STNK, itu kan pajak-pajak mobil. Itu sebetulnya sektor keuangan, ranahnya Depkeu, bukan ranahnya polisi.

    Waktu saya Irjen ditahun 2000, ada lima (persoalan, red) yang diribut-ributkan, ada di Tempo. Lucu kalau saya ingat itu. Pertama, gedung PTIK, lahan PTIK yang akan diruilslah. Padahal menurut peraturan pemerintah harus izin ada izin Presiden, Sekeu, Departemen Keuangan. Dia mau rislah, dananya mau diambil sebagian untuk membuat Markas Besar Polisi, yang waktu itu terbakar.

    Kedua, masalah mobil Timor. Mereka membeli mobil Timor 1033 dengan harga 60 juta, padahal saya marinir membeli mobil timor dari Mas Bambang 24,550 juta, dan Ketiga, masalah senjata. Dia mengajukan kepada Dephan, Pak Yuwono, minta 16.000 membeli senjata AK 97 dengan harga 63 juta. Beliau minta disposisi kepada saya. Saya lalu menghadap. Saya katakan, bahwa Senjata AK 97 ini dengan harga 7 juta.

    Lebih aneh lagi kok minta 16 ribu (pucuk). Seingat saya, Marinir, anak buah saya cuma 16 ribu. Dan seingat saya Brimob itu tidak sampai sepertiga Marinir. Selebihnya senjata untuk siapa? Padahal proses pengajuan senjata itu dilihat dari klasifikasi senjatanya. Klasifikasi dilihat mana yang rusak berat, sedang, ringan. Keuangan kita hanya mencapai itu. Untuk rusak berat yang dibeli, itu yang rusak berat. Rusak ringan maupun rusak sedang masih dikalibrasi dengan depo senjata, yang ada di angkatan masing-masing.

    Keempat, dana operasional SIM dan STNK. Dana ini adalah dana publik, uang rakyat. Polisi tidak boleh mengatur itu. Seharusnya SIM dan STNK ini dikerjakan oleh Depkeu dan Sekeu Departemen Perhubungan. Bukan oleh polisi. Ini yang harus diluruskan. Harus di reformasi. Kalau Mabes Polri perlu anggaran, dia harus mengajukan daftar usulan pembangunan kepada pemerintah.

    Pemerintah kemudian mengalokasikan dana sesuai kemampuan, dana harus masuk pemerintah dulu tidak boleh langsung dikelola hartanya sampai angka 45-46 Miliar. Saya kemudian cek ke Singapura alat komunikasi dengan spesifikasi dan merek ini berapa harganya untuk sekian unit. Saya dapatkan harga tidak sampai 5 M. Lalu terjadi kehebohan. Bahkan sampai bocor ke media. Saya lalu bilang kepada Pak Yuwono, “Kalau kebocoran itu berasal dari saya, hari ini saya siap untuk dipecat.”

    Bagaimana mengetahui bocor atau tidaknya di wartawan. Oh gampang Pak, saya kalau membuat laporan tebusannya itu ada nomornya. Jadi nomor 1 adalah bapak Menhan, nomor 2 ini, lihat saja di wartawan pak itu jatuh dicopy nomor berapa. Kalau itu copy ada di dalam lingkungan Dephan, saat itu saya berhenti. Dan ternyata kebocoran itu ada di pihak Polisi sendiri, karena saat itu ada persaingan tahta kepolisian.

    Ini ilustrasi saya yang bisa disampaikan terkait hubungan antara TNI dan polisi. Dan hal ini memang harus diselesaikan. Polisi kita sudah diciptakan seperti TNI. Unit non kombatan sudah kita jadikan seperti kombatan. Dan mereka sendiri sudah nikmat dan sulit untuk bisa kita ubah.

    Tampaknya Polisi sudah merasa nyaman dengan Sistem ini. Saya kira satu-satunya jalan adalah merangkul kembali Polisi dan TNI dalam satu badan dan harus kita pikirkan kemana larinya? Atau posisi yang kedua mereka dikembalikan kepada Departemen Dalam Negeri seperti yang diwacanakan oleh Jokowi-JK.

    Mereka dulu paparan di Dephan, pokoknya kalau Mas Harto sudah pindah dari Dephan, kita akan paparan ulang di Dephan. Setelah saya tidak di Dephan lagi, konsep itu diterima oleh DPR. Itu yang saya takutkan Makanya sistem ini terus berjalan. Apakah ini merupakan skema pelemahan NKRI? Menurut saya ya. Sulit kita pungkiri kalau hal ini bukan merupakan bagian dari grand desain untuk pelemahan Republik ini.

    Saya melihat bahwa pelemahan Republik ini sudah sejak tahun 1955. Sejak maklumat wakil presiden nomor 50. Disitulah saat Indonesia dimasuki oleh alam liberal. One man one vote.

    Disinilah awal kita meninggalkan amanah founding fathers kita yang terdiri dari berbagai suku. Maaf kalau saya katakan, terserah mau dinilai apa saya nanti. Maklumat Wapres itu wujud daripada pengkhianatan. Seperti kami di TNI, dalam kesatuan Batalyon, ada keluar perintah Wakil Komandan Batalyon. Wadanyon baru bisa memberikan perintah pada pasukan saat Komandan Batalyon mati. Begitu juga di Republik ini, maklumat Presiden harusnya baru bisa keluar bila Presiden sudah mati.

    Kita sudah meninggalkan kebersamaan. Kita sudah meninggalkan semangat gotong royong. Kalau kita bicara gotong royong, bukan hanya sekedar pilar bangsa kita tapi juga dasar bangsa. Dimana dari dasar negara tersebut, ditegakkanlah pilar-pilar tersebut. UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Disitulah tiga pilar itu berdiri. Jadi bukan empat pilar berdiri disitu.

    Sekarang kita sudah tahu kelemahan-kelemahan kita? Seperti pelajaran budi pekerti apakah masih diajarkan di sekolah? Sayang sudah dihapus. Padahal budi pekerti itu adalah bagian yang paling dasar dari Pancasila. Kita sudah tidak mengenal lagi gotong royong. Termasuk pelajaran ilmu bumi sudah tidak diajarkan lagi. Supaya apa? Supaya warga negara kita, anak bangsa kita tidak mengenal lagi tanah airnya.

    Saya terperangah pada saat ada perlombaan di televisi, dimana pelajar-pelajar SMA sebagai pesertanya tidak tahu Pontianak itu ada dimana. Ya Allah, Ya Rabbi. Itu juga bagian dari pelemahan.

    Seperti halnya Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, masa dia katakan Banjarnegara di Jawa Barat. Nah itu adalah produk. Kalau dia katakan, dia adalah tokoh Pancasila, rasanya tidak percaya saya. Saya kira itu pelemahan.

    Apakah nanti TNI dan Polri bersatu lagi dalam rangka penguatan NKRI, kita bisa kaji lagi. Yang jelas, seperti kita saksikan sekarang ini mereka sudah memberikan kontribusi kepada pelemahan NKRI. Karena memang sudah samar wilayahnya. Samar sektornya. Ini kombatan, non kombatan atau dua-duanya kombatan. Sehingga sekarang bisa gagah-gagahan, mau bedil-bedilan ayo mari. Selama belum mengerahkan tank, loe punya senjata, gue juga punya.

    Inilah satu hal yang bisa saya sampaikan. Kedepan saya optimis mereka mampu secara internal menyelesaikan ini. Apabila semua pemimpin kita menyadari bagaimana problema kita dan yakin bisa kita atasi dengan sebaik-baiknya.

    Saya melihat hanya ada dua jalan bagi Polisi, pertama kembali kepada Dephan, atau kembali kepada Depdagri. Yang pertama tidak populer, apalagi sekarang sedang didengungkan civil society itu bagian di luar ABRI. Padahal kalau kita gali lebih dalam, civil society itu include di dalamnya TNI. Karena TNI itu juga bagian dari rakyat.

    Rakyat yang bertugas untuk pertahanan namanya TNI. Bidang pemerintahan namanya Pamong, bidang hukum adalah Hakim dan Jaksa semua itu dalam rangka civil society. Itu yang kita tanamkan kepada anak-anak kita. Namun saya tetap memberikan suatu optimisme kepada kita semua, bahwasannya NKRI Insya Allah, jika kita sadar, kita tetap bisa mempertahankannya. Kita tetap memilih NKRI daripada kita memilih 47 negara bagian. Terima kasih. ***

  • Memuliakan Ramadhan Melahirkan Keberkahan Hidup

    Memuliakan Ramadhan Melahirkan Keberkahan Hidup

    Oleh : Hasbullah, M.Pd.I 

    Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang sangat selalu dirindukan kedatangannya dan dinanti-nantikan oleh setiap orang mukmin, sebab pada bulan suci Ramadhan merupakan penghulu (sayyidusysyuhur) dari keseluruhan bulan dalam satu tahun. Dalam bulan suci Ramadhan setiap Mukmin melaksakan ibadah Shiyam (puasa). Shiyam secara bahasa memiliki arti menahan diri dari sesuatu, sedangkan secara istilah Syiam memiliki arti menahan diri dari makan, minum dan segala yang membatalkan sejak dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari dengan niat kaderena Allah SWT.

    Adapun Esensi dari pengertian di atas bahwa Ramadhan harus dimuliakan, dan dari ibadah yang kita kerjakan dibulan suci Ramadhan harus melahirkan keberkahan bidup. Hal ini dapat dari landasan seorang mukmin melaksanakan ibadah puasa, sebagaimana firman Allah QS. Al Baqarah:183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Maka Iman menjadikan modal utama, sebab iman merupakan cara Allah swt untuk memuliakan hidup manusia.

    Selanjutnya bahwa puasa di bulan suci ramadhan harus mencontoh orang-orang yang dahulu, yang mana orang-orang terdahulu ada para sahat Rasulullah merupakan orang-orang yang berkah hidupnya.selanjutnya bahwa kita perlu merenungkan bahwa sudahkan kita merasa ada perubahan ataupun mendapat predikat Muttaqin (orang bertakwa) sebagaimana disebutkan di akhir surah Al-Baqarah ayat 183.

    Sekarang bulan suci Ramadhan tinggal menghitung hari, kalaupun dengan menggunakan jari tangan maka masih ada sisa dari perhitungan untuk bulan suci ramadhan. Harus dipahami bahwa ramdahan merupakan mometum yang sangat tepat untuk siapapun untuk melakukan perbaikan kehidupan.

    Sehingga, momentum tersebut merupan waktu yang tepat untuk mencoba memuliakan diri sendiri dengan nilai-nilai Ibadah serta dari hal yang dilakukan selama bulan suci ramdhan maka keberkahan hidup sangat bernilai harganya. Pertanyaan selanjutnya adalah sudahkah kita siap dan mempersiapkan semua hal untuk menghadapi ramadhan, sehingga kemulian yang sebenarnya (iman) dan keberkahan hidup (takwa) akan di peroleh dari ibadah puasa yang dikerjakan.

    Pada hakekatnya puasa telah mengajarkan kemuliaan kepada manusia itu sendiri, sebab dalam mengerjakan puasa ada orang yang diwajibkan, ada orang yang tidak diwajibkan dan adapula orang yang boleh meninggalkan puasa. Meraka yang diwajibkan berpuasa Ramadhan adalah semua muslim serta muslimat yang mukallaf, mereka yang tidak wajib berpuasa Ramadhan yaitu perempuan yang mengalami haid dan nifas di bulan Ramadhan dan wajib menggati puasanya di luar bulan suci Ramadhan.

    Sedangkan mereka yang boleh meninggalkan puasa adalah orang yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua, sakit yang menahun, perempuan hamil dan perempuan yang menyusui, maka orang yang meninggalkan puasa menggatinya dengan fidyah 1 mud (0,5 kg) atau lebih makanan pokok, untuk setiap hari. Sehingga kita dapat melihat bahwa puasa Ramadhan itu sebenarnya menghadirkan kemuliaan bagi orang yang menjalankan serta orang yang tidak menjalankan karena alasan syari.

    Maka seorang mukmin yang memuliakan Ramadhan dengan menjada dan mendirikan amalan-amalan Ramadhan akan menjadi sebuah kepastian kehidupannya akan diberikan kemuliaan oleh Allah swt. Bagaimana puasa bukan saja menahan lapar dan haus saja tetapi dalam ramadhan memberikan kebaikan untuk diri sendirinya sebagaimana hadist rasulullah saw. “Dari Abu Hurairah r.a (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Bersabda Rasulullah saw, Jika seseorang di antar kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor pada hari itu, dan janganlah berbuat gaduh.

    Jika dimarahi oleh seseorang atau dimusuhinya, hendaklah ia berkata:”saya sedang berpuasa” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Dan disinilah terlihat bagaimana puasa Ramadhan ingin menjadi orang beriman menjdikan dirinya mulia serta hidupnya menjadi berkah. Sebab di dalam puasa ada usaha untuk menjada lisan dari ucapan yang tak berguna, menjada raga agar tidak berprilaku sesukanya dan juga menjaga hati dari penyakit hati.

    Bulan Ramadhan adalah bulan yang memperingan diri untuk jalan kebaikan, bulan yang di dalamnya terdapat nilai kesabaran yang memperingan kaki untuk mendapatkan surga. Bulan ramdahan bulan dimana semua jenis makanan keluar dan dipermudah untuk di dapatkan serta untuk membaginya. Disetiap sudut masjid akan terdengar bukans aja lantunan ayat suci Al Qur’an melainkan nyinyir suara anak kecil serta gurauan gurungaji diserambi masjid untuk menunggu kebahagiaan dan kegembembiraan bulan suci ramadhan.

    Keberkahan akan hidup ada dan terlihat jelas dengan bersama menikmati makan di sore hari disebut dengan berbuka dan makan bersama menjelang serta menyampung sang surya yang disebut sahur menjadi sisi lain yang patut untuk menjadi hikmah terbesar dalam proses menjemput keberkahan hidup. Keberkahan kehidupan Ramadhan bukan saja untuk sendiri melainkan untuk orang lain, bukan saja hidup di dunia melainkan kehidupan di akhirat.

    Dapat kita rasakan dan lihat, bulan ramadhan benar-benar menjadi kesempatan yang terbaik untuk beramal. Sebab dalam bulan Ramadhan Allah SWT menyiapkan banyak sekali amalan yang bisa dilakukan agar mendapt ganjaran yang sangat luar biasa. Dengan memberika buka puasa berupa air putih, secangkir teh, sebuah kurma ataupun kue sebagai snack hal itupun bisa menjadi ladang pahala.

    Sehingga sebagai orang yang beriman, yang memiliki naluri kecerdasan dalam mendapatkan pahala dan ingin memaksimalkan amalan Ramadhan tidak akan lewat begitu saja. Berikut ini adalah sabda Rasulullah yang berkaitan dengan amalan memberikan makan terhadap orang berpuasa: “siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya padahal seprti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurahi pahala orang yang berpuasa sedikit pun juga” (HR. Tirmizi).

    Ath Thobari rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa yang menolong seorang mukmin dalam beramal kebaikan, maka orang yang menolong tersebut akan mendapatkan pahala semisal pelaku kebaikan tadi. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar bahwa orang yang mempersiapkan segala perlengkapan perang bagi orang yang ingin berperang, maka ia akan mendapatkan pahala berperang. Begitu pula orang yang memberi makan buka puasa atau memberi kekuatan melalui konsumsi makanan bagi orang yang berpuasa, maka ia pun akan mendapatkan pahala berpuasa.

    Satu sisi lain bahwa bulan puasa Ramadhan mengahdirkan sikap yang positif bagi yang menjalankan yang akan menghadirkan kemulian bagi dirinya dalam serta hidupa yang lebih baik. Sikap dan sifat positif tesebut antara lain: sabar, disiplin, peduli kepada sesama manusia, mempererat persaudaraan (silaturrahim), berakhlak yang terpuji, mengendalikan diri, menghormati yang kurang, lebih mendekatkan diri kepada Allah, mejaga lisan dan pandangan serta sifat-sifat positif lainnya.

    Yang mana sikap-sikap ini akan menjadirkan dirinya pribadi yang mulia dengan kata lain manusia yang bertaqwa. Maka takwa merupakan tujuan akhir dari menjalankan ibadah puasa bulan suci Ramadhan setiap tahuannya, dengan segala akrifitas ibadahnya. Taqwa menjadi prestasi tertinggi dari ibadah puasa Ramadhan yang dijalankan oleh setiap mukmin sebagai bentuk penghambaan dan ketaatan kepada Allah SWT, Taqwa merupakan jalan setiap mukmin untuk mendaptkan kemuliaan di sisiNya,

    sebagaimana dijelaskan dalam firmaNya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujrat:13). Taqwa adalah upaya untuk senantiasa melaksanakan segala perbuatan yang disukai/diperbolehkan oleh Allah dan meninggalkan/menghindari perbuatan yang dilarang/tidak disukai oleh Allah SWT.

    Dalam Al-Qur’an terdapat idak kurang dari 208 ayat yang berkaitan dengan taqwa, antara lain terdapat dalam Qs. Al Baqarah ayat 2-5 dan Qs. Al imran ayat 17. Dua surat tersebut menjawab pertanyaan tentang orang bertaqwa: surat pertama, mereka yang bertaqwa itu adalah beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan sebagai rezeki, meyakini kitab Al-Qur’an serta kitab sebelum AlQur’an dan meyakini hari kiamat. Kedua, oarang bertqwa itu adalah mereka orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.

    Ibadah Puasa Ramadhan itu bermodalkan Iman (keyakinan), keimana itu adalah keiman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, Rasul, Hari Kiamat serta Iman kepada Qodo dan Qodar. Modal itu harus di sesuaikan dengan contoh pelaksanaan puasa Ramadhan seperti yang dicontohkan Rasul dan para sahabat yang diisi dengan sholat malam (Tarawih), Tadarus Al-Qur’an, berinfaq, beritikhaf, berbuka puasa di awal waktu, mengakhirkan makan sahur dan menjada sholat lima waktu dengan berjamaah.

    Selanjutnya dengan dua hal tersebut maka ketaqwaan merupakan tujuan yang kan menjadikan gambaran bahwa kita memuliakan Ramadhan dan menjadikan hidup kita berkah di dunia menuju akhirat yang diridhai Allah SWT. (***)

    Penulis adalah Dosen AIK STIKes Muhammadiyah Pringsewu

  • Pilpres 2019 : Hoax-Hoax Resmi Berbayar di Media Massa

    Pilpres 2019 : Hoax-Hoax Resmi Berbayar di Media Massa

    Oleh : Hersubeno Arief

    Hoax alias kabar bohong tidak hanya ditemukan di media sosial. Bila mau sedikit cermat, hoax juga berseliweran di media massa “mainstream”. Hoax jenis ini jauh lebih berbahaya. Diproduksi secara terencana, melibatkan lembaga resmi, memerlukan dana besar, dan yang paling parah adalah dampaknya.

    Kabar bohong di media massa semacam ini cenderung lebih dipercaya publik. Dianggap lebih kredibel karena muncul di media resmi. Hanya kalangan praktisi media, atau mereka yang terlibat dalam “bisnis” ini yang memahaminya. Contoh paling baru adalah berita tentang ucapan selamat dari 21 kepala negara/pemerintahan karena Jokowi telah memenangkan Pilpres 2019.

    Beritanya dimuat di laman detik.com, Pada hari Kamis (18 /4) pukul 16:47 WIB detik.com memuat berita dengan judul : “Sudah 21 Kepala Negara Ucap Selamat ke Jokowi, Erdogan Juga akan Telepon”

    Dalam berita itu dikutip seakan Jokowi sudah mendapat ucapan selamat atas kemenangannya. Wartawan detik.com bahkan melaporkan mereka menyaksikan dan mendengar sendiri ketika Jokowi menerima telefon dari PM Singapura Lee Hsien Loong. “Dari obrolan tersebut, terdengar pembahasan hasil hitung cepat lembaga survei. _”Yes, ninety nine percent yes PM Lee,”_ kata Jokowi soal akurasi hitung cepat lembaga survei,” tulis detik.com.

    Untungnya detik.com masih mencoba “jujur,” dengan menautkan video ketika Jokowi menerima telefon dari Lee. Pembaca langsung bisa membandingkan antara isi berita dengan fakta sesungguhnya. Sepanjang percakapan Jokowi hanya menyampaikan kata-kata yang pendek. _Thank you PM Lee. Thank you PM Lee._ Disambung dengan kata-kata “ ya..ya.”

    Satu-satunya kalimat yang cukup panjang diucapkan Jokowi —setelah tampak berpikir sejenak— _“I will decide tomorrow”._ Tidak ada ucapan selamat kepada Jokowi. Yang ada ucapan selamat kepada bangsa Indonesia karena berhasil melaksanakan pemilu damai.

    Berita semacam itu di kalangan media disebut sebagai _native ads._ Konten berbayar yang dikemas seolah berita. Ada pesan khusus yang ingin disampaikan si pemasang berita. Prabowo tak perlu lagi melakukan perlawanan. Dunia internasional sudah mengakui kemenangan Jokowi. Info lain yang penting gak penting, ternyata Presiden Jokowi jago juga berbahasa Inggris.

    Berita itu seolah hasil laporan wartawan media yang bersangkutan. Padahal kontennya, bahkan biasanya berita utuhnya sudah dibuat oleh si pemasang _native ads._ Tinggal muat saja dengan tarif tertentu. _Native ads_ biasanya mainannya tim marketing. Tapi ada juga beberapa wartawan, bahkan petinggi media yang menjadi perantaranya.

    Ada juga berita pesanan yang langsung ke wartawan dan redakturnya. Namanya secara resmi belum ada. Di kalangan wartawan disebut dengan berita “jale” Sebuah kata dari bahasa Minang yang berarti “jelas,” ada 86-nya.

    Berita model begini banyak tersebar di media massa _mainstream._ Sebelumnya yang banyak digunakan model advertorial, atau ada juga yang menyebutnya pariwara. Berbeda dengan _native ads,_ advertorial relatif lebih jujur. Dikemas persis seperti berita, namun di bagian atas atau di bawah berita ditulis keterangan _advertorial,_ atau cukup dengan kode adv.

    Salah satu contoh berita advetorial yang cukup menarik perhatian adalah saat Setya Novanto —ketika masih menjadi ketua DPR— menunaikan salat dhuha di ruang tunggu bandara Halim. Berita yang dimuat di Jawa Pos News Network (JPNN) itu dikemas sangat menarik. Mengangkat sisi kesalehan personal Novanto. Dalam kondisi sangat sibuk pun tetap menuaikan salat sunah.

    Pesan dari berita itu kira-kira, kalau salat sunah saja ditunaikan, bagaimana dengan salat fardunya. Namun ketika dicermati ternyata berita itu berkode adv alias _advertorial._ Jadi itu konten berbayar. Bukan berita yang dibuat oleh wartawan Jawa Pos.

    Silakan buka link aslinya : https://www.jpnn.com/news/sebelum-terbang-setya-novanto-salat-duha-di-bandara-halim

    Memelintir dan menggoreng berita

    Tidak semua berita yang bersifat _native ads_ masuk kategori hoax kelas berat seperti berita Jokowi menerima ucapan selamat. Ada juga yang sering disebut sebagai berita yang diplintir dan digoreng, atau diplintir sekaligus digoreng. Kalau perlu sampai gosong. Modusnya bermacam-macam. Namun dampaknya tetap saja sama.

    Salah satu contoh berita yang dipelintir dan sekaligus digoreng adalah pernyataan Sandi yang menilai Pilpres 2019 sudah jujur dan adil. Target berita ini jelas untuk mengadu Sandi dan Prabowo. Sebab Prabowo selalu menyuarakan narasi pilpres curang. Yang cukup mengagetkan berita itu masih muncul di laman tribun.com Jumat, 26 April 2019 07:17 WIB.

    http://www.tribunnews.com/pilpres-2019/2019/04/26/prabowo-bilang-pemilu-curang-sandiaga-uno-nilai-pemilu-jujur-dan-adil.

    Padahal sehari sebelumnya Sandi sudah membantah berita tersebut. “Sekarang ada penggiringan (berita) kemarin, tadi malam, bahwa Sandi sudah meyakini pemilu jujur adil. Saya belum… karena menurut saya yang memberikan laporan adalah kalian semua yang hadir di lapangan apakah pemilu ini jujur dan adil,” ucap di Insomniak Coffe And Lounge, Jalan Tarumanegara, Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (25/4/2019) sebagaimana dikutip detik.com.

    Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga menjadi korban pemelintiran berita. Rabu (24/4) Zulhas bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka. Sejumlah media membuat framing seolah PAN sudah membelot ke kubu Jokowi meninggalkan Prabowo. Spekulasi itu semakin kuat karena ada pernyataan Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan. PAN, kata Bara, mempertimbangkan dukungan kepada Jokowi.

    Laman liputan6.com edisi Kamis 25 Apr 2019, 14:05 WIB menurunkan berita:

    https://www.liputan6.com/news/read/3950077/jokowi-dan-zulkifli-hasan-bertemu-pan-kami-pertimbangkan-dukungan

    Berita itu dilengkapi dengan foto Jokowi dan Zulhas sedang makan siang. Keduanya nampak mengenakan batik. Bagi yang membaca berita ini infonya sangat lengkap. Ada berita dan ada fotonya. Jelas ada sesuatu yang serius bila sampai Zulhas makan siang bersama Jokowi di Istana.

    Seorang pemilik lembaga survei yang sering membuat meme, menggoreng berita ini sampai hangus-ngus. “Babak akhir Pilpres: Kalah tak mau mengakui, maka kawanpun akan ditinggal” cuitnya sambil melampirkan berita yang di kutip dari CNN:

    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190425174938-32-389667/pan-buka-kemungkinan-keluar-dari-koalisi-prabowo-sandi

    CNN melengkapi beritanya dengan foto sejumlah petinggi PAN, termasuk Bara Hasibuan sedang mengadakan jumpa pers. Padahal itu foto lama yang tidak ada kaitannya dengan berita. Jadi siapa yang tidak percaya bahwa benar PAN akan meninggalkan Prabowo.

    Bagaimana faktanya? Zulhas datang ke istana dalam kapasitas sebagai Ketua MPR menghadiri pelantikan Gubernur Maluku terpilih. Benar bahwa Zulhas sempat bertemu dan berbicara dengan Jokowi.

    Tidak ada makan siang hanya berdua dengan Jokowi. Coba perhatikan pakaian yang digunakan oleh keduanya. Zulhas hari itu hadir dalam acara resmi, sehingga dia mengenakan pakaian sipil lengkap, jas dengan dasi. Bukan batik seperti dalam foto yang ditampilkan liputan6.com.

    Sementara posisi Bara Hasibuan? Benar dia salah satu wakil ketua umum. Wartawan yang lama bertugas di desk politik pasti tahu bahwa Bara adalah _outsider._ Posisinya tidak diperhitungkan. Tidak layak kutip. Wakil Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo secara tegas pernah meminta Bara melepas baju PAN karena selalu membela dan mendukung Jokowi.

    Goreng menggoreng, plintir memelintir berita, menjadi fenomena yang memprihatinkan dalam industri media di Indonesia. Teori tembok api _fire wall_ yang membatasi independensi media dari kepentingan politik, apalagi bisnis, tampaknya sudah lama menghilang.

    Benar tidak semua insan media sudah kehilangan idealisme. Ada yang mencoba tetap menjunjung tinggi independensi. Tapi mereka kalah dan harus tunduk kepada kepentingan manajemen dan pemilik. Ada pemilik yang mencoba bersikap independen, tapi harus tunduk dan bertekuk lutut karena dihadapkan kepada realitas, agar tetap eksis media membutuhkan pemasukan besar dari iklan.

    Ada pemilik yang mencoba bersikap independen, tapi harus tunduk dan bertekuk lutut karena tekanan penguasa. Jika tetap melawan, bisnisnya dipersulit dan kasus hukum atau pajaknya dibongkar.

    Seorang redaktur di sebuah media online mengatakan, operasi media itu dilakukan oleh TKN Jokowi-Ma’ruf. Komandannya seorang sekjen partai. Operatornya ketua salah satu partai berbasis Islam. “Tapi tolong jangan sebut infonya dari saya ya mas,” ujarnya sambil berbisik.

    Sebagai bukti dia menunjukkan WA berupa instruksi dari petinggi TKN agar berita kecurangan pilpres dan deklarasi masyarakat menolak pemilu curang, tidak lagi diberitakan. Sang redaktur juga membuka email media tempatnya bekerja. Dia menunjukkan berita-berita yang harus dimuat, berupa berita positif untuk paslon 01 dan berita negatif tentang paslon 02. Semuanya dalam bentuk berita yang sudah jadi. Tinggal tayang.

    Mereka inilah yang sering mengorder berita mana yang boleh dimuat, tidak boleh dimuat, di _black out_ diplintir, digoreng, atau diplintir sekaligus digoreng sampai gosong. Syeedaaaaap! (***)

  • Kenapa Mesti Koran Lagi?

    Kenapa Mesti Koran Lagi?

    Oleh: Wirahadikusumah

    Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Tabik Pun…

    Saya kembali. Ke dunia yang pernah saya geluti selama sepuluh tahun. Yaitu: Jurnalistik. Sebelumnya saya memang sempat ”tersesat” selama sepuluh bulan. Sejak Juli 2018 hingga 17 April 2019. Di dunia yang saya tak mengerti apa-apa. Yang tak tahu bagaimana ”rule of the games”-nya.

    Selepas mengundurkan diri dari Pemimpin Redaksi SKH Radar Lampung pada 17 Juli 2018, saya memang tidak meninggalkan sama sekali dunia jurnalistik. Sebab, dalam perjalanannya, saya memiliki saham di perusahaan media online Rilis.id dan Rilislampung.id.

    Namun, selama menyandang status sebagai calon anggota legislatif (caleg), tak pernah sama sekali saya ikut-ikutan keredaksian di dua media online yang bermarkas di Jakarta dan Lampung tersebut.

    Saya masih patuh dengan janji yang pernah saya katakan. Yakni, tidak akan mencampur adukkan kepentingan politik dan jurnalistik. Karena itu, meskipun tercatat sebagai salah satu pemilik Rilis.id dan Rilislampung.id, saya tak pernah sama sekali membuat atau mengediting berita di dua media ini. Apalagi mengintervensi beritanya.

    Nah, saat ini saya tak lagi berstatus caleg. Karenanya, saya memutuskan kembali ke dunia jurnalistik. Tentunya di Rilis.id dan Rilislampung.id. Termasuk di koran Rilisid Lampung. Yang edisi perdananya terbit hari ini (29/4). Sebagai jurnalisnya. Juga di manajemen perusahaannya.

    Lalu kenapa Rilis.id menerbitkan koran? Bukankah sudah banyak contoh perusahaan media cetak gulung tikar di era digital ini? Ada beberapa alasannya. Pertama, karena saya belum sepenuhnya percaya dengan prediksi yang menyatakan bisnis koran akan mati. Saya lebih sepakat jika dikatakan sedang mengalami penurunan.

    Bahkan, dari lubuk hati saya yang paling dalam, masih terbersit harapan media cetak berkibar lagi. Saya berharap ini hanya sebuah siklus yang nantinya media cetak akan berjaya kembali.

    Saya juga ingat perkataan Pak Dahlan Iskan (DIS) tahun lalu. Dalam diskusi bertajuk Konvensi Nasional Media Massa. Pada Hari Pers Nasional 2018 di Padang, Sumatera Barat. Yang pernyataannya itu saya dapat dari JawaPos.com.

    Pak DIS mengatakan, perkembangan zaman saat ini sudah cukup pesat. Sehingga sulit memprediksi masa depan. Karena perubahan melaju begitu cepat.

    Dengan kondisi tersebut, semua orang tidak tahu masa depan. Menurutnya, orang saat ini tidak perlu terlalu banyak mendengar nasehat dan prediksi hingga perencanaan jangka panjang. Karena perubahan berlangsung terlalu cepat.

    Untuk itu, lakukanlah apa yang harus dilakukan. Tanpa ada keraguan atau ketakutan akan kegagalan. Keberanian dalam melakukan apa yang harus dilakukan tentunya adalah kunci utama dalam melakukan suatu perubahan. Demi menghadapi revolusi digital yang kapan saja bisa membuat industri media hancur.

    Saat ini, internet dan media sosial memang tengah menjadi raja dalam dunia media. Namun tetap tidak menjamin masa depan media. Penyebabnya, karena sangat sulit untuk diramalkan. Karena perkataan Pak DIS itulah, saya masih ada keyakinan koran tetap bisa hidup di era digital ini. Sebab, masa depan media massa nantinya seperti apa, siapa yang tahu? Bisa jadi koran berjaya kembali.

    Walaupun ternyata pada akhirnya koran nanti mati, dan media online tetap berjaya, saya memandang itu sudah takdirnya. Toh, koran Rilisid Lampung masih ada media online-nya Rilislampung.id dan ”ibunya” Rilis.id.

    Sehingga, saya masih bisa beraktivitas di dunia jurnalistik. Intinya, mengutip perkataan Pak DIS: Koran boleh mati, tapi jurnalistik tidak boleh mati. Meskipun saat ini, saya sangat berharap, koran masih bisa hidup. Di zaman ini, maupun masa depan.

    Nah, jika sudah berbicara harapan, tinggal bagaimana mewujudkannya. Caranya? Kerja keras dan cerdas untuk menyajikan berita berkualitas kepada pembaca. Jika isi koran masih sama beritanya dengan media online, ya pasti akan mati. Koran harus bisa menyajikan berita yang lebih mendalam daripada media online.

    Harus dapat mendeskripsikan suatu peristiwa. Menceritakan secara detil sehingga bisa menjadi panduan pembaca dalam mendapatkan informasi. Intinya, tidak boleh menyajikan berita yang ala kadarnya.

    Karenanya harus dipikirkan rubrikasi yang menarik di koran. Melakukan liputan yang harus berbeda dengan koran lain. Termasuk media online dan media sosial. Jika tidak, tentu saja akan ditinggalkan.

    Karena itu jugalah, nantinya koran Rilisid Lampung isinya tidak boleh sekadar memindahkan berita dari online ke koran. Tetapi kebalikannya, setelah terbit di koran beberapa jam, baru pindah ke online.

    Konsep yang diusung juga mirip-mirip magazine style. Dalam satu halaman, hanya satu hingga dua berita yang disajikan dengan berbagai angle.

    Tentunya, konten beritanya sudah melalui proses pemikiran tim redaksi di rapat perencanaan atau proyeksi. Sehingga, news value yang didapatkan bisa tinggi. Sebab, penilaiannya menggunakan rumus yang diciptakan Pak DIS: New Rukun Iman Berita.

    Sesekali saya juga akan menggunakan ”jurus” NSN (new straight news) dalam mengediting berita. ”Jurus” ini diturunkan Pak DIS, saat saya menjadi muridnya selama sepuluh hari. Pada 2014, di Graha Pena Jakarta.

    Alasan kedua karena kredibilitas media cetak di masyarakat akibat maraknya hoax. Sering saya jumpai pembaca dengan gampangnya memvonis suatu berita di media online atau media sosial adalah hoax. Padahal sebenarnya sudah sesuai fakta.

    Sementara jika di koran, cukup sulit masyarakat menyatakan beritanya hoax. Karena itulah, saya memandang kredibilitas media cetak masih tinggi. Untuk referensi atau sumber terpercaya masyarakat.

    Alasan ketiga karena gaya hidup. Di masa saya masih duduk di bangku SMP, hadirnya VCD atau DVD membuat bioskop-bioskop di zaman itu gulung tikar. Nah, saat ini bioskop di Indonesia kembali digandrungi. Baik dari anak-anak muda, orang dewasa, hingga orang tua.

    Saya menilai penyebabnya karena prestise dan kenyamanan. Meskipun sudah banyak yang memiliki VCD atau DVD di rumah, banyak masyarakat saat ini yang malah memilih menonton di bioskop.

    Inilah yang saya lihat terjadi di media cetak. Saya yakin, masih banyak masyarakat yang lebih nyaman membaca koran daripada media online. Sebab, ada ”rasa” yang berbeda.

    Alasan lainnya adalah minat baca. Saya sangat yakin, jika masih ada minat baca di masyarakat, koran masih bisa tetap hidup. Buktinya masih ada buku yang best seller di zaman digital ini.

    Saya melihat faktornya karena isi dari buku itu yang menarik orang untuk membelinya. Demikian pun koran. Akan tetap dicari dan dibeli, jika beritanya menjawab keinginan tahu masyarakat. Menyediakan informasi yang dibutuhkan pembaca. Yang isinya harus lebih dari yang ada di media online.

    Saya ingat perkataan Direktur Utama Jawa Pos Leak Kustiya. Ketika menjadi pemateri dalam pelatihan redaktur Jawa Pos Group pada 2015. Yang saya adalah salah satu peserta pelatihan yang diadakan selama sepekan di Graha Pena Surabaya, Jawa Timur, tersebut.

    Saat itu, mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos itu menyakinkan kepada peserta pelatihan, koran akan tetap hidup selama manusia masih beraktivitas. ”Yakinlah, di mana ada keruwetan manusia, di situ ada kehidupan koran,” ucapnya kala itu.

    Lalu, apakah dengan menerbitkan koran, Rilis.id akan mematikan online-nya? Tentu saja tidak! Media online dan offline (koran) harus berjalan beiringan. Saat ini, sebagian orang ada yang memandang media online adalah kompetitor koran. Cara pandang ini mesti dirubah. Sebab, keduanya harus berjalan seirama. Layaknya orang berdansa.

    Meminjam istilah Ketua Kadin Lampung DR. Muhammad Kadafi, saat ini adalah masanya dancing with competitor. Bukan fighting with competitor. Harus sama-sama menjaga pasar. Agar semuanya bisa terus hidup.

    Saya yakin, bersama tim di Rilisid Lampung, kami bisa menyajikan berita-berita berkualitas untuk pembaca. Terlebih karyawan di media ini banyak yang sudah berpengalaman. Bahkan 75 persen di antaranya adalah alumni Radar Lampung Group.

    Selain saya sendiri, di antaranya ada Ade Yunarso yang kini merupakan Pemimpin Redaksi (Pemred) Rilisid Lampung. Sebelumnya, Mas Ade (sapaan akrab Ade Yunarso) juga pernah menjadi Pemred Radar Lampung. Saat menjabat Wakil Direktur Bidang Keredaksian, dia mengundurkan diri dan kini bergabung di Rilisid Lampung.

    Kemudian, Adi Pranoto sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Rilisid Lampung. Sebelumnya ia pernah bekerja di Radar Lampung sebagai Pemimpin Redaksi Radarlampung.co.id.

    Lalu Segan Petrus Simanjuntak selaku Pemimpin Perusahaan Rilisid Lampung. Dahulu ia juga pernah bekerja di Radar Lampung dengan posisi terakhir sebagai asisten redaktur. Dia juga sempat bergabung di Radar Banten.

    Selanjutnya Asep Supriyadi alias Kang Ayep Kance selaku Manajer IT Rilisid Lampung. Dahulu dia juga adalah karyawan Radar Lampung di bagian IT.

    Kemudian beberapa jurnalis Rilisid Lampung baik di kota dan kabupaten, juga pernah bergabung di Radar Lampung Group. Akhirnya, melalui tulisan ini juga, saya memohon izin dan dukungan kepada masyarakat Lampung. Sekaligus juga melapor.

    Bahwa saya, sudah kembali ke ”khittah”. Juga melakukan ”taubatan nasuha”. Setelah sempat ”murtad” dari alam saya yang sebenarnya. Yakni: Jurnalistik. Saya akan kembali berkiprah di dunia ini. Di media massa yang baru: Rilis.id, Rilislampung.id, dan koran Rilisid Lampung.

    Tabik…

    Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.(whk)

  • Surat Terbuka Untuk BEM Se-Indonesia

    Surat Terbuka Untuk BEM Se-Indonesia

    Surat Terbuka Pernyataan Keprihatinan

    Kepada Yth.
    Saudara Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia
    Saudara-saudara Para Ketua BEM Fakultas se Universitas Indonesia

    Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

    Saya menuliskan surat terbuka ini diiringi keprihatinan mendalam. Saya bertanya-tanya, kemana para mahasiswa Universitas Indonesia (UI), di tengah kondisi bangsa yang terpuruk ke titik nadirnya pasca Pemilu 17 April yang merupakan Pemilu paling kisruh dan paling jorok sepanjang usia Republik ini? Apakah kalian buta, tuli dan bisu? Ataukah hati nurani kalian sudah mati?

    Dugaan kecurangan yang masif dan sistemik sudah mengoyak hingga compang-camping kepercayaan rakyat terhadap penyelenggaraan Pemilu yang lalu. Pengerahan berbagai institusi yang sejatinya merupakan pelayan seluruh rakyat, untuk mengamankan kemenangan Petahana, sudah sedemikian terang-benderang, sehingga menyesakkan dada dan mencekik kesadaran anak-anak bangsa yang masih berusaha menjaga akal sehat mereka. Manuver para pejabat publik yang khianat dan politisi busuk, sudah melampaui derajat yang paling menjijikkan, dan melibas habis nalar kolektif masyarakat.

    Lalu kalian di mana, wahai mahasiswa Universitas Indonesia? Lupakah kalian bahwa almamater di mana kalian bernaung menyandang nama bangsa yang harus dijaga kehormatan dan kemuliaannya? Lupakah kalian bahwa kita punya slogan *Veritas, Probitas, Iustisia*? Kok kalian bisa diam saja ketika kebenaran, kejujuran dan keadilan diperkosa dan dihinakan dalam momen terpenting dari siklus kehidupan NKRI sebagai negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat?

    Mengapa tidak ada teriakan keras dari BEM terhadap polah penguasa yang memamerkan kedurjanaan yang jelas meampaui batas? Lalu di manakah peran BEM sebagai lokomotif gerakan mahasiswa yang semestinya meresonansikan jeritan rakyat yang merindukan keadilan dan perubahan?

    Apalagi yang kalian tunggu? Tidak malukah kalian jika akhirnya emak-emak dan rakyat jelata yang harusnya kalian bela, kemudian berbaris turun ke jalan, untuk meneriakkan sendirikegetiran, kegeraman dan kemarahan atas suara hati dan rasa keadilan mereka yang dirampas penguasa?

    Sungguh saya tak mengerti, kemana hilangnya gelora teriakan “Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia!” Saya juga tidak paham, apakah memang suara kalian para mahasiswa sudah dibeli oleh penguasa, ataukah nyali kalian sudah dikebiri oleh rasa takut terhadap risiko perjuangan.

    Biarlah waktu yang akan menjawab, dan sejarah yang akan mencatat.

    Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

    Arief Munandar
    Pengamat Sosial-Politik, Alumnus UI