Kategori: Opini

  • Quick Count Meleset dan Situng KPU Akrobat?

    Quick Count Meleset dan Situng KPU Akrobat?

    Situng KPU pada hari ini, Jumat 26 April, sekitar pagi hingga siang menunjukkan data 100% real count di Provinsi Bengkulu dengan Jokowi Maruf Amin meraih 49,88% dan Prabowo-Sandi memperoleh 50,12%. Artinya, 02 menang di Provinsi Bengkulu.

    Padahal tiga Lembaga Survei mengeluarkan hasil Quick Count (QC) dengan memenangkan Jokowi-Maruf. Poltracking salah fatal karena QCnya meleset jauh. Hasil QC Poltracking 01 meraih 58,78% dan 02 meraih 41,22%. Jadi QC Poltracking meleset 8,9%.

    Lembaga Survei lain yang meleset adalah Indikator. QC Indikator menyimpulkan 01 meraih 52,61% dan 02 meraih 47,39%. QC Indikator meleset 2,73%.

    Lembaga Survei yang lain adalah LSI. QC LSI 01 meraih 50,01% dan 02 meraih 49,99%. LSI berbeda 0,13%. Tentu ini tipis sekali dan paling mendekati.

    Tiga Lembaga Survei lainnya juga meleset sekalipun memenangkan 02. QC SMRC, 01 meraih 47,03% dan 02 meraih 52,97%. SMRC meleset 2,85%. Lembaga Survei lainnya adalah Indo Barometer. QC Indo Barometer, 01 meraih 47,37% dan 02 meraih 52,63%. QC Indo Barometer meleset 2,41%. QC Charta Politika 01 meraih 47,28% dan 02 meraih 52,72%. QC Charta Politika meleset 2,6%.

    Selain itu, beberapa Lembaga Survei secara berkala hampir setiap bulan mengeluarkan hasil surveinya. Dalam berbagai survei tersebut, Jokowi-Makruf dipredikai menang hingga sekitar 20%. Namun, dengan hasil QC dari Lembaga Survei yang sama, ternyata melesetnya juga jauh.

    Sebabnya, rata rata hasil QC menempatkan Jokowi-Makruf selisih hanya sekitar 8-9%. Hasil QC beberapa Lembaga Survei sebenarnya telah menunjukkan kesalahan survei mereka.

    Selain melesetnya berbagai Lembaga Survei di atas, Situng KPU juga hari Jumat tanggal 26 April telah bermain akrobat. Pada jam 16.45.03, Situng KPU menampilkan 01 menang dengan 58,10% (1.224.654 suara) dan 02 meraih 41,99% (883.192 suara).

    Tentu ini adalah mustahil karena total pemilih berarti 2.107.846 suara. Padahal DPT Provinsi Bengkulu hanya 1.382.760. Berarti ada penambahan 725.086 pemilih. Ini mustahil.

    Situng KPU kemudian berubah lagi. Tapi sempat ada yang menscreen. Jam 17.00.05 Situng KPU menampilkan 01 menang lagi dengan angka yang berbeda. Kali ini 56,31% (32.972.554 suara). Paslon 02 meraih 43.69% (25.580.338 suara).

    Ini mustahilnya mustahil. Total pemilih 58.552.892. Ada apa dengan Situng KPU? Entah darimana Situng KPU memunculkan angka pemilih ajaib ini.

    Akhirnya, sekitar Jumat malam, 26 April 2019, Situng KPU berubah lagi. Kembali seperti Jumat pagi. Namun masih sedikit berubah. Paslon 01 meraih 49,87% dan 02 meraih 50,13%.

    Akrobat Situng KPU hari Jumat tanggal 26 April 2019, berubah tiga kali. Padahal, semua data sejak Jumat pagi adalah 100%. Jadi, data 100% pun masih berubah-ubah.

    Manipulasi hasil pemilu adalah pidana. Perubahan Situng KPU sungguh meresahkan. Sudah keharusan bagi Bawaslu dan pihak-pihak terkait untuk melakukan forensik Situng KPU, karena ini bukan lagi persoalan salah input. Tapi ada dugaan intruders telah masuk ke Situng KPU.

    Semua ini juga menunjukkan hasil akhir dari pemilu 2019 memang harus menunggu rekapitulasi manual yang berjenjang. Apalagi Situng KPU juga sudah tidak bisa lagi dipercaya.

    Apapun hasilnya, Pemilu 2019 telah ternodai. Penjahat-penjahat Demokrasi bermunculan. Sikap brutal pihak-pihak yang melakukan kecurangan sangat melukai hati masyarakat.***

  • Jokowi vs People Power

    Jokowi vs People Power

    Oleh: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

    Kabarnya akan ada aksi massa besar-besaran. Di mana? Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya. Benarkah? Perlu klarifikasi dan investigasi. Jika benar, ini harus jadi perhatian serius.Lalu, apa yang dituntut? Mendiskualifikasi Paslon 01. Kenapa? Karena telah melakukan Kecurangan.

    Ada yang mengatakan itu bukan sekedar kecurangan, tapi extra ordinary crime. Kejahatan pemilu yang luar biasa.Pasca reformasi, baru kali ini pemilu masif dengan kecurangan. Demokrasi yang menjadi hasil perjuangan reformasi mendadak mati. Tepatnya dimatikan. Oleh siapa?

    Hanya penguasa yang bisa melakukan itu.Ulama dikejar-kejar, pers dibungkam, mahasiswa dibuat diam dan tak berkutik, semua aparat, birokrasi dan institusi negara dikendalikan untuk memperpanjang kekuasaan. Seolah tak tersisa!Rakyat marah, bahkan teramat marah.

    Hanya dua hal yang bisa mendorong kemarahan itu untuk meledak: pertama, komando. Jika Prabowo, atau para ulama dan tokoh pendukung Prabowo memberi komando, people power ini bergerak. Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia akan dipenuhi massa yang membludak.Kedua, jatuhnya korban.

    Jika jatuhnya Orde Baru menelan 7 nyawa jadi korban, maka gerakan people power, jika benar-benar terjadi saat ini diprediksi lebih mengerikan. Dari mana tahu? Pola berpolitik penguasa selama ini yang menghalalkan segala cara dan mengintimidasi semua yang tak “satu langkah” dan tunduk padanya.

    Di sisi lain, rakyat sudah kehilangan batas kesabarannya. Urat takut rakyat sudah putus untuk menghadapi pressure kekuasaan.Jika Jokowi itu arif, dan memiliki sensitivitas kerakyatan dan kebangsaan yang tinggi, lebih baik mengalah. Serahkan negara ini kepada Prabowo, maka Jokowi akan jadi bapak bangsa yang terhormat.

    Dikenang sebagai pemimpin yang lebih mendahulukan bangsa dan rakyatnya. Kenapa bukan Prabowonya yang mengalah? Prabowonya bisa mengalah, tapi rakyat yang di bawah tak bisa terima Jokowi jadi presiden lagi. Kepercayaan mereka terhadap Jokowi sudah punah.

    Anda nonton video saat Jokowi diteriakin rakyat: curang…curang… Sungguh tak lagi ada rasa hormat kepada Jokowi sebagai presiden. Hukuman sosial ini akan terus berlanjut sebelum Jokowi lengser dari kursi presiden. Jika dipaksakan, tak akan kondusif untuk menjalankan pemerintahan yang akan datang.

    Sebab, pemerintah tanpa kepercayaan rakyat akan rapuh.Lebih baik Jokowi mengalah dari pada harus berhadapan dengan people power yang jika salah respon dan reaksi aparat, bisa berakibat jatuhnya banyak korban dari anak bangsa. Korban yang semestinya tak perlu ada.

    Siapapun yang ganggu pemilu, tembak di tempat, kata polisi. Rakyat sepertinya sudah tak lagi takut pada peluru. Kemarahan rakyat tak lagi bisa dibendung oleh nasehat dan ancaman peluru. Mereka siap mati Sahid.

    Upaya Jusuf Kalla (JK) dan sejumlah tokoh, termasuk para jenderal dari kubu 01 untuk memanggil, membujuk dan merayu para ulama dari kubu 02 agar menahan adanya people power, sepertinya tak berhasil.

    Bahkan sebagian besar menolak untuk bertemu. Coba anda bayangkan, wapres saja ingin bertemu, ditolak sama mereka. Ini menunjukkan adanya satu tekad mereka; mendeligitimasi dan mendiskualifikasi Jokowi. Intel bisa cek di semua wilayah dimana pendukung Prabowo mayoritas.

    Para aktifis masjid, pesantren, majlis ta’lim dan para ulamanya dari berbagai daerah menyatakan tak akan mundur menghadapi kekuasaan yang dianggap curang ini. Kabarnya sudah ada komando berantai di kelompok ulama ini. Satu ditangkap atau dibunuh, satu lagi pegang kendali. Ditangkap dan dibunuh lagi, yang lainnya pegang kendali. Dan seterusnya.

    Ini warning buat bangsa. Ngeri kali? Begitulah situasinya sekarang.Ini semua karena rakyat sudah muak dengan tingkah polah kekuasaan. Dan klimaksnya adalah pemilu yang masif kecurangan. Telanjang di depan mata, dan telah melampui batas dinding pertahanan psikologi rakyat.

    Jokowi tak lagi legitimed di mata rakyat setelah kecurangan demi Kecurangan yang terakumulasi jadi perlawanan rakyat. Perlawanan ini diperkirakan akan sangat masif. Ancaman rakyat untuk meninggalkan Prabowo jika ia mau bertemu dengan orang dari kubu Jokowi, itu tanda nyata dari kemarahan itu.

    Jika Prabowo paksakan, ia pun akan mendapatkan kutukan yang sama.People power seperti harga mati. Rakyat siap menghadapi kekuatan Jokowi dengan semua risiko, termasuk kematian. Narasi “mati Sahid” para ulama di Solo Raya seolah mewakili suara umat. Jika sudah seperti ini, siapa yang mau mengalah untuk keberlangsungan masa depan bangsa dan negara?

    Jakarta, 25/4/2019

  • People Power, State In Emergency ! (Catatan Untuk Ir. Joko Widodo Presiden RI 2014-2019)

    People Power, State In Emergency ! (Catatan Untuk Ir. Joko Widodo Presiden RI 2014-2019)

    Oleh: Natalius Pigai

    Pemilihan Umum 2019 telah memunculkan ketidakpastian di publik. ada yang merasa cemas, was was meskipun kedua Calon Presiden telah menyatakan agar masyarakat tetap menjaga ketertiban dan keamanan. Meskipun demikian dalam dunia politik segalanya mungkin. Apalagi rakyat melihat ada indikasi kuat dugaan manipulasi secara masif dibalik penggiringan opini yang dilakukan oleh lembaga lembaga penggiring opini yang sebagian berafiliasi ke Tim Sukses Petahana, media mainstream alat propaganda penguasa dan para pengamat. Sedangkan sedari awal rakyat merasakan aroma kemenangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

    Dalam hal ini apa yang akan terjadi apabila ternyata hasil pemilu ditentukan oleh para penghitung suara dan manipulator, bukan oleh pemilik dan pemberi suara. Secara spontan Amin Rais telah melontarkan akan ada people power jika penyelenggara pemilu tidal netral. Tetapi yang patut diduga dan diikuti adalah Petahana memiliki indikasi yang kuat menyiapkan pernyataan negara dalam keadaan darurat. silakan membaca.

    Pemilihan Presiden itu Jujur dan Adil

    Tulisan ini adalah analisa saya berpedoman pada petunjuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pemilihan (United Nation Guidelines on Human Right and Election) tahun 1994. Bahwa pelaksaan Pemilu sejatinya adalah momentum terpenting bagi sebuah Negara untuk memperbaiki iklim demokrasi dan meningkatkan nilai hak asasi manusia.

    Ada 4 variabel utama terkait pemilu yang ditegaskan oleh PBB: 1). Hak untuk memilih (right to vote). 2) Hak untuk dipilih (right to take a part of government and Politics). 3) Pelaksaan Pemilu secara jujur dan adil (free and fair elections). 4. Negara Dalam Keadaan Darurat (State in emergencies) dan People Power.

    Pertanyaannya adalah apakah dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019, ketiga variabel (1-3) tersebut di atas berlangsung sesuai dengan standar internasional dan prinsip-prinsip demokrasi? Perlu diperdebatkan!.

    1. Perdebatan terkait Hak Memilih sedari awal sudah bermasalah. Penentuan jumlah pemilih pada Pemilu Presiden 2014 sebanyak 190 juta, sedangkan DPT Pilpres 2019 sebanyak 192 juta. Peningkatan jumlah DPT sebesar 2 juta tentu tidak rasional. Belum lagi berbagai polemik terkait KTP.

    Pada pemilihan 2019 ada kecenderunganm berpotensi munculnya Pemilih Terselubung dan Pemilih Hantu (ghost voters). Negara juga hampir turut mengabaikan kelompok rentan (vurneable groups) khususnya disabilitas sebanyak 20 juta orang. DPT 17,5 juta dan dugaan menyusupnya warga negara asing sebagai pemilih turut menyuburkan dugaan terjadinya manipulasi secara massif penyelenggaraan pemilu 2019.

    2. Negara juga belum mampu menjamin warga Negara untuk ikut serta dalam pelaksaan pemilu di negeri ini. Sedari awal, di bawah resim Joko Widodo, Negara dengan sadar dan sengaja melakukan pembatasan setiap warga Negara untuk ikut bertarung dalam pilpres. Pembatasan melalui undang-undang pemilu yang menegaskan Calon Presiden hanya dapat diusung partai politik dengan persentasi dukungan politik sebesar 20%.

    Partai-partai kecil tidak punya peluang dan kesempatan untuk mengusung kader-kader terbaik untuk menjadi calon presiden. Banyak tokoh-tokoh politik terbaik di Indonesia yang kecewa. Akibatnya puncuk pimpinan nasional hanya dimonopoli oleh sekelompok oligarki politik dan oligarki ekonomi dan berpotensi melahirkan pemimpin kurang kompeten dari kelompok pemilih mayoritas khususnya Pulau Jawa.

    3. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang kurang kompeten, profesional berpengaruh pada penyenggaraan pemilu yang tidak jujur dan adil. Pemberian kisi-kisi kepada Capres dalam debat pertama 17 Januari 2019 menunjukkan bahwa KPU tidak punya visi untuk melahirkan seorang pemimpin yang kompeten. Rakyat cenderung melihat KPU membantu Capres tertentu yang disadari umum memilih kemampuan intelektual, kompetensi kepemimpinan lemah. Demikian pula, penegakan hukum yang tidak berimbang dipertontonkan oleh Bawaslu adalah wujud nyata tidak adil dan jujur.

    Proses hukum oleh penyelenggara pemilu lebih cenderung menyulitkan Calon Presiden Prabowo Subianto dan para pendukung untuk meraih kekuasaan secara demokratis. Pentersangkaan terhadap K.H. Slamet Maarif adalah satu satu contoh betapa tidak adilnya para penjaga keadilan. Demikian pula dipihak lain, Luhut Panjaitan, Sri Mulyani di Forum IMF Bali, Gubernur Bali, Bupati Bandung Barat yang memerintahkan pengangkatan Pegawai Honorer dengan jaminan memilih PDIP dan berbagai kesalahan lainnya yang dilakukan oleh Tim Petahana (Joko Widodo) nyaris tidak pernah diproses hukum secara adil. Tindakan tidak netral ini berpotensi mengganggu asas non diskrimasi dihadapan (due proses of law).

    Manipulasi Masif

    Pemerintah mesti memahami intensi dasar dari sebuah perhelatan demokrasi bahwa pemilihan tidak hanya pemberian kedaulatan kepada seorang Presiden Prabowo atau Joko Widodo, tetapi rakyat juga ikut menentukan masa depan selama 5 tahun. Kedaulatan yang diperoleh seorang Presiden juga merupakan resultante kedaulatan-kedaulatan individu untuk mengelola Negara (summa potestas sive sumum sive imperium dominium).

    Apakah relevan bahwa hari ini Joko Widodo adalah pemegang kedaulatan dan pengelola kedaulatan? Sebagai Presiden tentu saja benar!, Namun Joko Widodo dalam kapasitas sebagai Calon Presiden 2019-2024 kedaulatannya terkunci atau dikunci oleh sumber kekuasaan yaitu Undang-Undang Pemilu dan Etika Berpolitik dan Berpemerintahan.

    Karena itu Presiden tidak bisa serta merta menggunakan kekuasan (otoritas) dan sumber daya publik (negara) untuk kepentingan mengdongkrak elektabiltas. Kecenderngan penyalagunaan kekuasaan untuk meningkatkan elektabilitas sangat terang benderang. Apalagi semakin hari semakin membahayakan karena mengancam tata kelolah pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

    Berbagai kebijakan dan tindakan Joko Widodo yang bersifat bantuan secara lansung maupun tidak langsung makin meyakinkan rakyat bahwa pemerintah secara terencana, terstruktur, sistemtis dan massif menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pemilihan Presiden. Ada beberapa tindakan atau kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengancam hak pemilih dalam demokrasi yang dapat berpotensi memupuk kekecewaan rakyat diantaranya:

    1. Kobarkan Sindrom Kekuasaan

    Menurut ilmu Polemologi, pemimpin yang mengambil keputusan perang adalah pemimpin yang memang haus akan kekuasaan dan bertujuan untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan. Selain itu juga pemimpin yang secara terang-terangan mendeklarasikan perang di hadapan rakyatnya jelas membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang ambisius. Perang dalam ilmu polemologi sendiri tidak hanya berwujud perang fisik melainkan perang non fisik. Perang non fisik adalah kekerasan verbal isinya bertentangan dengan hukum yaitu agitasi, propaganda atau hatespeech. Pidato Presiden Joko Widodo dalam rapat umum relawan di SICC, Bogor, Jawa Barat, Sabtu tanggal 4 Agustus 2018 menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

    Pasalnya, Joko Widodo yang menjadi petahana pada Pilpres 2019 meminta para relawannya untuk berani jika diajak berantem alias berkelahi. Selain pernyataan-pernyataan yang mengancam dan membahayakan instabilitas sosial dan integritas nasional juga kata-kata seperti sebutan Genderuwo, Sontoloyo, propaganda Rusia, Pernyataan perang total oleh Moeldoko dan pernyataan yang mengejutkan seperti 4 tahun bersabar menghadapi tekanan oposisi oleh Joko Widodo dan yang terakhir serangan kepada Prabowo saat debat capres ke 2 tanggal 17 Pebruari 2019.

    Perilaku yang ditunjukkan oleh Joko Widodo tersebut, seakan-akan menyembunyikan ketidakmampuannya (inkompetensi) dalam memenuhi janji-janji pilpres 2014 seperti; Pemantapan Kedaulatan bangsa melalui komitmen tidak impor (beras, garam, kedele, cabe, pembelian kembali indosat), pembukaan lapangan kerja 10 juta, pembukaan lahan pertanian baru sebesar 1 juta Ha dll.

    2. Keputusan Eksperimental Dan Blunder

    Pernyataan terkait Pembebasan Bersyarat Ustad Abubakar Ba’asyir pada pertengahan Januari 2019 menghebohkan publik Indonesia. Keinginnan Joko Widodo untuk memberi Pembebasan Bersyarat rupanya tidak tulus sehingga tidak dilakukan secara formal sebagai Kepala Negara dengan menggerakan institusi Negara yang terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, BNPT tetapi justru dilakukan melalui pihak-pihak yang tidak kompeten dan berwenang seperti Yusril Isha Mahendra.

    Sebenarnya Joko Widodo maunya memberi isyarat bahwa beliau bisa berbuat baik untuk Ulama, namun ternyata diketahui setelah ditentang oleh orang-orang atau pihak-pihak dilingkungan Joko Widodo sendiri seperti; Mahfud MD, Hasto Kristiyanto, Kuasa Hukum TKN, Kepala KSP Moeldoko bahkan Menkopolhukam Wiranto mengeluarkan pernyataan yang bersifat insubordinatif terhadap atasannya. Polemik pembebasan Ustat Abubakar Ba’asyir telah melecehkan dan merendahkan Ulama dan Umat Islam Indonesia sehingga saat ini Umat Islam makin hari kian tersakiti.

    3. Pembagian Uang dan Bingkisan atas Nama Joko Widodo

    Tugas dan Kewajiban Presiden Joko Widodo sejatinya adalah memastikan adanya pemenuhan kebutuhan hidup baik pangan, sandang dan papan. Karena itu, tidak tepat mengatakan hanya semata-mata karena “hasrat baik Jokowi” (willingness) ketika pembangian uang dan sembako secara gratis atas nama Presiden kepada rakyat. Namun pembagian uang dan sembako dalam momentum pemilu tidak wajar apalagi bertepatan dengan kunjungan atau bingkisan yang tertulis calon Presiden Petahana. Tindakan-tindakan yang dipertontonkan Joko Widodo ini dapat mencederai perasaan publik bahwa rakyat Indonesia itu gampang dibeli hanya dengan uang, sembako atau gampang dibohongi dengan lantaran kebijakan populis terkait bantuan sosial, dana desa, pengangkatan pegawai.

    Pemanfatan jabatan untuk kepentingan pribadi terkait Pilpres termasuk kategori memperdagangkan pengaruh atau dagang pengaruh (trading in influensi) yang bertentangan dengan hukum, etika dan nilai moralitas. Meskipun rakyat tidak akan terpengaruh dengan tindakan-tindakan tersebut, namun demikian perasaan publik tercederai sebagai bangsa miskin yang berharap pada tuan (manunggaling kawulo gusti) atau dianggap hamba sahaja.Jokowi berbuat kurang elok dan tidak mampu meninggalkan legasi moral kepada rakyat. Pemahaman bernegara secara picik yang dipraktekan dalam perilaku birokrasi patrimonial, pemimpin sebagai “patron” dan rakyat diperlakukan sebagai “klain” di Negara Demokrasi Republik Indonesia yang sejatinya “pemimpin” maupun “rakyat” memiliki kedaulatan yaitu Kewajiban Negara dan Hak Asasi Warga Negara sesuai UUD 1945.

    4. Pengekangan Kebebasan Sipil, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

    Presiden Joko Widodo dilantik pada 21 Oktober 2014 dengan ekspektasi perubahan demokrasi, hak asasi manusia, kekebasan sipil dan keadilan sosial. Pilar-pilar penting yang merupakan jargon-jargon yang ditulis dalam cita-cita Nawacita, dan diucapkan dalam berbagai kesempatan oleh Joko Wiidodo. Namun berbagai harapan akan perubahan pupus ketika formasi kabinet dan realisasi kebijakan yang jauh dari harapan dan bahkan meninggalkan tujuan dan cita-cita awal. Oposisi sudah mulai kritik Pemerintahan ketika institusi penegak hukum dan lembaha rasuah (KPK) diganggu bahkan diintervensi justru oleh kekuatan-kekuatan yang melingkari Presiden termasuk Partai Politik.

    Apapun yang dilakukan oleh kelompok sipil, intelektual, aktivis, komunitas agama dan rakyat mereka menyadari sepenuhnya bahwa untuk membangun negara harus berada dalam dua ranah yaitu partisan dan oposan. Partisan (pemerintah) membangun negara melalui otoritas dan sumber daya pemrintah, sedangkan aspek-aspek yang tidak diisi oleh negara diisi oleh kelompok oposisi. Itulah esensi bernegara yaitu pentingnya chack and balances untuk menjada pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamaian, keadilan sosial terlestari.

    Mengingat pentingnya oposisi sebagai penyeimbang kekuatan politik dan saluran persoalan (instrument) artikulator berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, maka kebebasan mengutarakan pikiran, perasaan dan pendapat harus dijamin dan terlestari. Demikian juga pers sebagai pilar penting demokrasi harus dilindungi, bukansebagai alat penguasa (hegemoni) rezim yang berkuasa. Salah satu kegagalan Joko Widodo dalam 4,5 tahun kepemimpinan adalah bahwa seluruh pilar-pilar tersebut diatas tergerus dan terancam.

    Masyarakat saat ini terbayangi oleh bahwa ada praktir-praktik tirani kekuasaan hadir ibarat monster leviathan yang menerkam rakyat sipil terutama kelompok oposisi dan pemuka agama. Karena itulah oposisi harus diberikan ruang kebebasan untuk berkreasi menyampaikan pikiran, perasaan, dan pendapat. Hari ini ruang kebebasan terancam mustahil untuk diraih karena seluruh instrumen kekuatan itu dimanfaatkan hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Media dimanfaatkan untuk membangun sebuah framing tentang kebaikan-kebaikan dan citra positif pemerintah di atas keterpurukan bangunan ketatanegaraan dan ketataprajaan dan segala sendi kehidupan.

    5. Rakyat Tergiring Arus Besar Non Literasi

    Media mainstream yang didukung rezim penguasa sebenarnya beracun dan penuh tipu daya serta propaganda busuk. Media-media massa yang sepenuhnya didukung penguasa inilah yang sepenuhnya berfungsi sebagai corong propaganda untuk melanggengkan penjajahan yang menipu para pembacanya.

    Hari ini media massa bukan lagi sebagai jendela Indonesia dan dunia. Media hadir sebagai corong penguasa dan telah membangun masyarakat yang tidak cerdas dan mengancam rakyat dalam arus besar nonliterasi. Penyebab utama bukan pada media karena diikat oleh berbagai aturan dan rambuh-rambuh hukum dan etika tetapi akibat Intervensi Negara secara masif dan sistematis melalui pemilik media yang dikuasai oleh para kapitalis, punggawa kuasa dan politikus atau komprador. Di Orde Baru ketika pers dibungkam masih ada sastra sebagai instrument penyaluran ekspresi atas rintian, ratapan, penderitaan ataupun ekspresi hiburan dan kegembiraan sebagaimana dilukiskan dalam buku Omi Intan Naomi berjudul “Anjing-Anjing Penjaga Pers Di Rumah Orde Baru, Ketika Pers dibungkam sastra Harus Bicara”.

    Meskipun Tahun 2019-2024 paska pergantian kekuasaan akan terjadi perubahan dengan merevisi Undang Undang Pers atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang substansinya mengatur kepemilikan Media agar media massa tidak boleh dimiliki oleh politisi dan bisnismen. Namun demikian kebebasan yang terkekang akan menjadi ibarat puncak gunung es yang terancam meledak jika kebebasan hakiki tersandera atau disandera.

    6. Negara Mengkerdilkan Peran Umat Muslim tetapi Membiarkan Primordialisme

    Pernyataan Moeldoko hari ini Tanggal 18 April 2019 bahwa kekuataan agama berpengaruh pada kemenangan Prabowo dan Joko Widodo dijadikan sebagai pemimpin anti tesa Islam mainstream. Komentar Kepala Staf Presiden secara tersirat mengkerdilkan kekuatan sivil societi terutama umat muslim Indonesia. Komentar Moeldoko sangat berbahaya dalam situasi dimana umat Islam merasa disingkirkan dan diamputasi kekuatan negara.

    Sangat wajar jika umat Islam marah karena Umat Islam memiliki peran penting dalam historiografi bangsa, pahlawan perintis kemerdekaan diritis oleh kaum bersorban; Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegro, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanudin. Demikian pula ketika negara ini merdeka, secara kuantitas dimerdekakan karena peran tokoh-tokoh Islam. Umat Islam juga merelahkan 7 kata (Syariat Islam) dihapus untuk mendirikan Indonesia yang majemuk dan negara unitarian. Tahun 1955 NU dan Masyumi yang menjadi kekuatan politik besar juga dibonsai dalam senyawa nasionalisme dan komunisme melalui Nasakom. Tahun 1973 umat Islam dikandangkan dalam satu kekuatan partai yaitu PPP, dan lebih sadis lagi di tahun 1982 dimana penerapan asas tunggal, mengancam eksistensi nilai spiritualistas agama dalam pengelolaan negara, tahun 1999 umat muslim mulai bangkit melalui hadirnya Cides, Republika dan BJ Habibie hanya bertahan 8 bulan, demkian pula Gus Dur hanya bertahan 11 bulan.

    Setelah Gus Dur tidak ada kekuataan Islam yang menjadi besar, PKB tersandera dalam pragmatisme politik dan menggadaikan spritualitas agama dan nilai Kitha 1926. Ancaman nyata terhadap Umat Islam semakin keras ketika Joko Widodo menjadi Presiden tahun 2014 mulai kriminalisasi, tangkap, aniaya, bunuh terhadap para Ulama, Kiai, Habaib, Ustad, Ustadah dan aktivis Islam.

    Saya mesti menegaskan adaikan Joko Widodo dimenangkan melalui manipulasi massif, sistemtis dan terstruktur maka apa yang diucapkan oleh Moeldoko telah secara nyata menenggelamkan dan mengkerdilakn peran umat Islam. Umat Islam tidak akan tinggal diam untuk menentang kezaliman dampknya negara dalam ancaman potensi perpecahan bangsa. Bukan tidak mungkin konflik horizontal suku, agama, ras dan antar golongan dapat mengancam integritas nasional 2019-2024. Sebagaimana diucapkan oleh Joko Widodo pada saat debat ke-4 calon Presiden tanggal 30 maret 2019 bahwa “NKRI bubar bukan karena ancaman negara lain, tetapi labilitas integrasi sosial”. Dengan kata lain bahwa Indonesia dengan jumlah suku sebanyak 714, berbeda agama, ras, dan golongan adalah ancaman nyata jika negara tidak menjadi perekat.

    Belum lagi 73 tahun demokrasi hanya dirancang untuk memenangkan mayoritas suku yaitu “maaf saya sebut; Suku Jawa”. Kalau Umat Islam dikucilkan dan negara masih menerapkan demokrasi satu orang, satu suara dan satu nilai diganti dengan demokrasi berbasis perwakilan pada Pilpres 2024, maka tinggal tunggu waktu peristiwa tahun 2000 dimana pengusiran suku Jawa di Aceh, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua akan terulang dan akan makin berbahaya. Itu yang negara harus catat.

    Skenario State In Emergency dan People Power

    Pernyataan “perang dan lawan” yang dikeluarkan oleh Joko Widodo, Pernyataan “perang total” oleh Moeldoko, dan beberapa pernyataan Wiranto yang “blunder” tentang ancaman pengenaan pidana terorisme bagi mereka mengajak golput. Sejak tahun lalu komunitas Islam dianggap sebagai kelompok radikal dan teroris yang mengancam kepentingan nasional, mengancam ideologi Pancasila yang dimunculkan dengan menuduh sejumlah masjid dan kampus terpapar radikalisme yang dimunculkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang diucapkan oleh Wawan Purwanto juru bicaranya dapat dipahami sebagai skenario dan framing Indonesia dalam seakan-akan ancaman dan bahaya.

    Framing yang dibangun negara tersebut selain mereka menyampaikan ke dunia internasional untuk membangkitkan Islamophobia juga memberi signal adanya Indonesia dalam ancaman demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian. Pernyataan Amin Rais tentang People Power dan Konfrensi Pers Panglima TNI hari ini tanggal 18 April 2019 yang mengancam aksi-aksi tuntutan demokrasi sudah bisa menjadi salah satu signal bagi Presiden Joko Widodo berpotensi mengeluarkan pernyataan negara dalam keadaan darurat (state in emergency).

    Namun perlu diketahui bahwa tanpa melalui indikasi pernyataan darurat untuk merespons ancaman people power juga, Joko Widodo dan kelompok oligarkinya dengan berbagai indikasi di atas sudah bisa ditebak bahwa sedari awal mereka telah menyiapkan kekacauan domestik untuk memuluskan adanya pernyatan darurat (state in emergencies). Saya menyimak betul apa yang diucapkan oleh Prabowo Subianto sebagaimana diberitahu oleh seorang rekannya bahwa “bahwa Prabowo akan terpilih tetapi yang akan dilantik adalah orang lain, bukan Anda”.

    Demokrasi berbicara tentang resultante dari satu orang, satu suara dan satu nilai, demokrasi tidak bisa di bypass oleh perspektif opini, survei, quick count atau media dan pendapat ahli dan ekpresi penguasa. Pemilihan juga tidak bisa ditentukan para penghitung suara tetapi penghitung suara mengucapkan keinginan rakyat karena rakyat tidak hanya memilih pemimpin Prabowo atau Joko Widodo, tetapi rakyat ikut menentukan arah perjalanan negara untuk 5 tahun ke depan.

    Perilaku pongah yang dipertontonkan oleh para elit kuasa, oligarki dan komprador telah membawa negara dalam situasi kacau. Dan hari ini ancaman nyata negara dalam keadaan darurat (state in emergencies) dan people power makin nyata dan kian jadi.

    Sebagai pembela kemanusiaan, demokrasi, perdamaian dan keadilan perlu menegaskan bahwa suasana ketidakpastian dan kerusakan tatanan demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian di negeri ini merupakan tanggungjawan negara (state obligation), bukan rakyat, karena negara harus bertanggungjawadan.

    Oleh karena itu, semua berpulang kepada sikap negarawan Ir. Joko Widodo selaku Presiden RI 2014-2019. Kecuali, negara meyakinkan kepada rakyat atas hasil pemilu yang akuntabel. Seandainya tidak, maka tidak ada jaminan Joko Widodo bertahan sampai 2024. Bangsa ini punya pengalaman 4 Presiden (Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur) dari 7 Presiden Indonesia pernah diturunkan ditengah jalan. Saya berharap Indonesia tetap aman dan damai.***

    Natalius Pigai, Aktivis Pro Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Komisioner Komnas HAM 2012-2017

  • Apresiasi TNI-POLRI, dan Survey SOHN Foundation

    Apresiasi TNI-POLRI, dan Survey SOHN Foundation

    Oleh : Gregorius Natal Soedibjo

    Pemilihan Umum Presiden Indonesia sudah terlaksana dengan baik pada 17 April 2019, meskipun ada yang tidak puas atau berpendapat pemilu penuh kecurangan, boleh saja dan kita serahkan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini Bawaslu. Tetapi saya menyanjung tinggi kepada aparat keamanan dari TNI serta Polri yang membuat Pemilu kemarin berjalan lancar.

    Bulan Januari 2019 saya dikabari oleh sahabat karib seorang wanita akademisi warganegara Denmark yaitu *Gillana Paulsen*. Dia adalah pimpinan sebuah lembaga survey pemilu dan statistic di kota Esbjerg Denmark. Gillana mengabarkan akan datang pada 12 April 2019 ke Indonesia untuk mengadakan survey sekaligus memantau kegiatan pemilu di Indonesia dengan membawa nama yayasan swadaya masyarakat yang berpusat di Esbjerg Denmark yaitu SOHN Foundation.

    Lembaga ini khusus membuat survey hitungan cepat melalui basis suara yang akurat. SOHN Foundation pengalaman bekerja di pemilu Zimbabwe, India, Kenya, Malaysia, dan Afrika Selatan dengan hasil yang baik serta terpercaya.

    Membawa personil 26 orang dari berbagai negara ditambah 2600 akademisi asli Indonesia dari berbagai daerah, SOHN Foundation sudah bersiap di seluruh Indonesia sejak 15 April 2019. Akademisi Indonesia dalam arti Mahasiswa dari berbagai daerah yang juga sebagian besar memilih golput karena tidak ada satu pasang calon Presidenpun yang menurut mereka yang cocok untuk memimpin negara Indonesia. “Kami ke Indonesia untuk mengadakan pengamatan dan mendapat hasil pemilu Presiden melalui pencatatan suara sah per distrik (Kecamatan maksudnya)” kata Gillana Paulsen

    Melalui metode pencatatan bertingkat sampai kecamatan dengan hanya surat C1 yang dihitung dan disebar seluruh Propinsi terutama propinsi padat penduduk seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Akademisi yang disebar jumlahnya proporsional sesuai persebaran penduduk.

    “Dana ini kami peroleh dari swadaya masyarakat Uni Eropa yang ingin membantu kami untuk melihat demokrasi di negara Asia yang berkembang, dan kami datang dengan “Silent Operation” untuk menjaga netralitas serta tidak mengenal siapapun di Indonesia kecuali staff Kedutaan dan penulis” lanjut Gillian.

    18 April 2019 jam 16.10 kabar datang dari Gillian Paulsen tentang hasil pemilu dari semua Propinsi dan diyakinkan bahwa sudah mewakili 7200 Kecamatan seluruh Indonesia.

    “Berdasarkan hasil C1 Formulir yang sudah divalidasi oleh Akademisi lapangan SOHN Foundation, hasil dari Pemilu Presiden adalah:

    *Joko Widodo dan Ma’ruf Amin  : 42.3% suara*

    *Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno : 58.5%*

    Data tersebut dari 2600 Akademisi yang sedang belajar atau mendalami ilmu statistic, Matematika, Fisika, Sosial, Teologi, dan Ekonomi, disebar di seluruh Indonesia dengan tingkat akurasi 99%.

    “Kami sekali lagi tidak kenal dengan semua partai pendukung dan calon Presiden serta teamnya, kami hanya ingin melihat Indonesia menyelenggarakan pemilu dengan kepentingan mempertajam keilmuan kami sebagai lembaga survey dan statistic, karena tantangan sangat besar di Indonesia yang menyelenggarakan pemilu hanya dalam satu hari” kata Gillana Paulsen

    Sebagai info SOHN Foundation selama di Indonesia mengambil markas di sekitar Jalan Kemang Dalam Jakarta Selatan dan izin kunjungan social. Saya Gregorius Natal Soedibjo lulusan Matematika dan Sains di St. Petersburg Polytechnic University, Rusia dan bersahabat baik saat belajar di Rusia dengan Gillana Paulsen pemimpin SOHN Foundation. Tulisan ini saya buat untuk mempertajam ilmu teman teman dari SOHN Foundation serta 2600 Akademisi berbagai daerah Indonesia. God Bless Indonesia.****

  • Surat Terbuka Kepada Panglima TNI dan Kapolri

    Surat Terbuka Kepada Panglima TNI dan Kapolri

    Oleh : Anton Permana.

    Kepada Ykh ;
    Bapak Panglima TNI berserta Kepala Staf Angkatan dan Jajaran Dibawahnya.
    Bapak Kapolri berserta Kapolda dan Jajaran Dibawahnya.

    Bahwasanya, hari ini kita telah menyaksikan bersama perhelatan akbar Pemilu dan Pilpres yang berjalan cukup sukses dari segi keamanan fisik dan keributan. Alhamdulillah, ini sebuah bukti bahwa bangsa Indonesia sudah matang dalam berdemokrasi.

    Tapi apakah itu sudah cukup ? Apakah Pemilu dan Pilpres sudah bisa kita anggap selesai dan tuntas ? Tentu belum dan masih sangat jauh kalau kita anggap selesai melihat perkembangan terakhir.

    Justru sekarang ini muncul bibit baru permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Secara dimensi keamanan fisik dan kasat mata, memang pemilu berjalan damai. Namun, sangat banyak catatan buruk yang sampai sekarang menghantui proses penyelenggaraan pemilu ini yang bisa menjadi bom waktu dan siap meledak kapan saja. Bom waktu yang kalau tidak diantisipasi, cegah dini, tangkal dini, bisa menjadi pintu konflik yang serius. Yaitu buruknya tata kelola penyelenggaraan pemilu baik dari luar negeri maupun dalam negeri.

    Dimulai dari aparat penyelenggara yang tidak netral dan terang-terangan mendukung salah satu paslon, sampai kepada pendistribusian logistik, surat suara tercoblos, kotak suara rusak, surat suara kurang, masyarakat banyak tidak bisa memilih, arogansi aparat, dan banyak lagi permasalahan terjadi dilapangan yang terindikasi semua terjadi dalam rangka penyuksesan salah satu paslon.

    Dan yang paling krusial juga adalah, mengenai quick count di televisi yang jauh dari kondisi real dilapangan. Quick Count yang seakan dipaksakan untuk membentuk opini (framing) penenangan kepada salah satu calon. Dengan alibi science dan ilmiah, tetapi mereka diduga telah memperkosa dan merusak suasana demokrasi bangsa ini. Ini tidak terjadi sekarang saja, tapi sudah acap terjadi sejak zaman Pilkada DKI, Jabar, dan Jateng.

    Lembaga survey dan quick count yang seharusnya netral dgn konsepsi ilmiahnya, sekarang malah menjadi dewa penentu kemenangan paslon. Parahnya, penentuan ini berujung kepada siapa yang berani bayar mahal, maka mereka akan siap melacurkan intelektualitasnya.

    Bapak Panglima. Bapak Kapolri Yang kami hormati dan muliakan.

    Sebagai institusi profesional yang mempunyai jaringan sampai keseluruh pelosok negeri. Kami rakyat Indonesia tidak meragukan lagi kemampuan Bapak tentang membaca dan penguasaan informasi dilapangan.

    Kami yakin Bapak tentu lebih tahu apa yang kami tidak tahu. Bapak tentu lebih luas pengerahuannya dari kami rakyat biasa. Tetapi yang kami ragukan hanyalah kenetralitasan prajurit Bapak dilapangan. Ketidak berpihakkan Prajurit Bapak untuk tidak ikut politik praktis dalam mendukung salah satu kubu. Untuk itu pada kesempatan ini izinkan kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut :

    1. Kami berharap TNI-Polri tetap setia kepada sumpah prajurit, yaitu setia kepada negara bukan penguasa. Dengan cara, pastikan institusi TNI-Polri Netral dalam segala bentuk aktifitas politik praktis.

    2. Kepada Polri untuk tidak tebang pilih dalam penegakan hukum, tidak ikut mengintimidasi masyarakat yang berbeda pilihan dengan penguasa sekarang ini. Dan tidak memberikan dukungan dalam bentuk apapun kepada para politisi.

    3. Kepada TNI. Tentara itu lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Dan bersama rakyat TNI kuat. Untuk itu, kami berharap doktrin ini jangan hanya sekedar jargon pemanis spanduk atau baliho ditengah kota. Mari tunjukkan kebersamaan TNI dalam mengawal proses penyelenggaraan pemilu sekarang ini dengan memberikan rasa aman, dan ketenangan kepada masyarakat. Yaitu TNI hadir bersama rakyat pada momen monen krusial perhitungan suara hari ini.

    4. TNI-Polri hidup dari uang rakyat. Dididik, dilatih, disekolahkan, diberi fasilitas, semua dari uang rakyat. Pangkat dan jabatan juga hadiah dari rakyat. Semua itu berasal dari NEGARA. Dan kedaulatan tertinggi Negara itu ada ditangan rakyat. Bukan penguasa yang hanya bersifat sementara dan dipilih secara demokratis secara berkala.

    5. Sekarang ini, rakyat sedang dipertontonkan oleh prilaku politik yang sangat merusak tatanan demokrasi kita. Bumi pertiwi sedang diperkosa. Para pengkhianat negara sedang bergentayangan untuk merampok kedaulatan negara ini untuk kepentingan politik pribadi dan kelompoknya. Itu semua di mulai dari proses pemilu dan pilpres ini.

    Untuk itu kami berharap, TNI-Polri peka terhadap ini. Jangan tutup mata dan hati Bapak Bapak semuanya. Jangan bohongi hati nurani Bapak. Kami rakyat biasa saja bisa dengan jelas melihat ini semua dengan terang benderang. Kami yakin Bapak Bapak seharusnya lebih tahu dari pada kami. Dan kami juga sangat berharap Bapak Bapak tidak termasuk dalam bahagian dari itu semua. Kalaupun sudah terlanjur masuk, keluarlah segera sekarang juga.

    6. Kami berharap Bapak tidak perlu berpihak kepada salah satu paslon. Tapi berpihaklah kepada kebenaran. Berpihaklah kepada kepentingan negara. Jangan terseret dengan rayuan para politisi yang menggiurkan. Jangan mau diperalat penguasa serta politisi untuk menjadi ‘alat kekuasaan’ mereka dengan alasan apapun. Loyalitas Bapak adalah kepada negara. Sesuai dengan sumpah prajurit Bapak selama ini.

    7. Jangan biarkan rakyat galau dan larut dalam perpecahan yang semakin mendalam. Jangan biarkan para politisi berakrobat, menari nari memainkan trik politiknya dengan sewenang wenang. Kasihan rakyat Indonesia yang menjadi korban provokasi mereka.

    Lihatlah sekarang ini wajah rakyat Indonesia yang lelah dan haus serta ingin sebuah perubahan yang kebih baik terhadap bangsanya. Jangan biarkan kegembiraan demokrasi ini rusak oleh tangan jahat para politisi yang sibuk mengadu domba dan memecah belah bangsa. Maling teriak maling. Fitnah sana sini, dan membuat tipu daya yang sangat membahayakan keutuhan bangsa ini.

    8. Jangan pernah percaya dengan politisi Pak. Sekarang karena Bapak punya jabatan atau ‘diberi’ jabatan Bapak mereka sanjung dan beri fasilitas, tapi jangan harap nanti setelah Bapak tidak menjabat lagi. Karena tidak ada kawan abadi dalam politik. Yang ada hanya kepentingan. Belajarlah dari sejarah bagaimana PKI mengkhianati bangsa ini dengan biadab. Setelah menguasai Istana, setelah itu mereka fitnah tentara dengan isu dewan jendral, lalu mereka bantai dengan sadis para senior dan orang tua Bapak, lalu mereka ganti ideologi negara ini dengan komunisme.

    Untung ketika itu rakyat dan tentara segera bergerak serentak. Allah masih sayang dengan bangsa Indonesia. Sehingga Indonesia masih utuh sampai sekarang. Untuk itu jangan biarkan sejarah ini berulang kembali. Seekor keledai pun tak mau terperosok masuk lubang untuk yang kedua kalinya.

    9. Jangan Diam Pak. Jangan bisu. Jangan tutup mata batin Bapak melihat kekacauan yang sedang dimainkan oleh para politisi. Mana data inteligent Bapak yang hebat ? Mana laporan kondisi teritorial prajurit Bapak (Babinsa/Babinkamtibmas) yang terlatih itu ?

    Bersuaralah Pak. Berikan hak kami tentang arti sebuah ketenangan. Ingat pangkat jabatan serta bintang yang ada di pundak Bapak. Bintang itu melambangkan Bapak adalah wakil Tuhan bagi muka bumi ini. Bagi rakyat. Dan bagi bumi pertiwi.

    Mana semangat bhayangkari dan patriot sejati yang selalu Bapak suarakan ? Kami butuh tindakan nyata Bapak. Bukan baliho salam komando Bapak dengan tongkat komando semata. Tapi aksi nyata untuk menjadi penengah kegalauan yang terjadi ditengah masyarakat. Lerai masyarakat yang bertikai. Beri pemahaman bahwa demokrasi adalah sarana bukan tujuan untuk mencapai kesejahteraan.

    Demokrasi adalah proses pergantian kepemimpinan yang konstitusional. Bukan provokasi isu pergantian ideologi Pancasila, buat negara khilafah, atau isu pembodohan lainnya.

    10. Ayo bangun Bapak. Dengarkan jeritan rakyatmu. Pekalah dengan suara kebatinan para prajuritmu. Kami yakin Bapak sudah tahu bagaimana kondisi sejatinya dilapangan hari ini. Mari selamatkan bangsa ini yang sudah terlalu dekat kedepan pintu perpecahan. Perpecahan ini kalau dibiarkan bisa menjadi pemicu konflik bahkan perang saudara.

    Kalau ini sampai terjadi, maka Bapak Bapak lah yang paling bertanggung hawab atas semua ini. Baik didunia maupun diakhirat kelak. Dan ingatlah Pak. Jabatan itu hanya sementara. Kekuasaan itu dipergilirkan oleh Yang Maha Kuasa. Pada akhirnya Bapak juga akan kembali kepada rakyat. Karena setiap orang itu ada masanya, dan setiap masa itu ada orangnya. Dan semoga Bapak meninggalkan sejarah yang baik bagi masyarakat dan anak cucu Bapak kelak dikemudian hari dengan prediket membanggakan.

    11. Terakhir kami sampaikan. Agar Bapak berani untuk mengatakan yang benar itu adalah benar. Yang salah itu adalah salah. Kepada siapapun. Walaupun kepada kepala negara sekalipun. Walaupun kepada para senior atau politisi yang memberi fasilitas kepada Bapak sekalipun. Karena kepentingan negara kita, diatas kepentingan pribadi dan jabatan. Jadilah seorang pemimpin kami yang terhormat Pak. Tanhana Dharma Mangrava, tidak ada kebenaran yang mendua. Setialah kepada merah-putih. NKRI harga mati.

    Demikian surat terbuka ini sengaja kami tulis dari lubuk hati yang paling dalam. Sebagai bahagian dari keluarga besar TNI. Sebagai anak TNI. Anak Bapak. Sebagai rakyat yang bangga mencintai dan sangat menghormati Bapak, dan bergarap agar Bapak Bapak kembali berdiri ditengah, menjadi penjaga NKRI sejati.

    Dan semoga apa yang kami sampaikan ini dapat diterima dengan baik dan bijaksana. Mohon maaf lahir dan batin. Terimakasih.

    Bravo TNI-POLRI. NKRI HARGA MATI ! Indonesia Jaya !

    Jakarta, 18 April 2019.

    (Penulis adalah keluarga besar TNI-Polri, kader FKPPI dan Alumni PPRA Lemhannas RI angkatan LVIII tahun 2018).

  • Kebohongan Rezim Terhadap Organisasi Dakwah Islam HTI Dalam Persfektif Hukum

    Kebohongan Rezim Terhadap Organisasi Dakwah Islam HTI Dalam Persfektif Hukum

    Oleh : Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H  (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekjen LBH Pelita Umat).

    Sejak tahun 2017 hingga saat ini rezim senantiasa membangun narasi atau framing atau sebagai objek monsterisasi yang ditujukan terhadap organisasi dakwah Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan ajaran Islam. Oleh karena itu wajar apabila ditengah masyarakat muncul opini atau pendapat yang menyatakan bahwa rezim saat ini adalah rezim anti Islam.

    ilustrasi foto/dok/net)

    Saya menduga kezaliman yang ditimpakan rezim kepada HTI tidak lepas dari persoalan politik. Kekalahan Ahok di Pilkada DKI Jakarta serta peran politik HTI yang ketika itu lantang menyuarakan aspirasi politik ‘tolak pemimpin kafir’ diduga menjadi sebab utama kemarahan.

    Sejak saat itu narasi jahat ditabuh rezim, dari tudingan ormas yang memecah belah, mengusung ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila, anti NKRI, sampai akhirnya pada tanggal 18 Juli 2017 rezim melalui Kemenkumham secara sepihak mencabut status BHP HTI. Hingga saat ini, pasca BHP HTI dicabut, narasi jahat yang menuding khilafah sebagai ideologi pemecah belah terus disuarakan rezim sebagai narasi jahat untuk memisahkan umat Islam dari ajaran Islam khilafah yang mulia.

    Berbagai tudingan, klaim sepihak, serta berbagai fitnah dan tipu daya terus dilakukan rezim. Tujuannya jelas, rezim ingin menjauhkan HTI dari umat, dari ibu kandungnya, dimana HTI lahir dan dibesarkan bersama umat.

    Berkenaan dengan hal tersebut saya akan menyampaikan pendapat hukum mengenai berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada HTI, sebagai berikut :

    Pertama, Dituduh Menyebar Faham Radikal 

    Organisasi dakwah Islam HTI, selama ini selalu menyebarkan dakwah dengan cara damai tanpa kekerasan, dakwah yang disampaikan diantaranya adalah penting dan perlunya penerapan syari’ah Islam dalam bingkai Khilafah.

    apakah bisa penerapaan Syariah Islam tanpa khilafah? Bisa, hanya saja parsial semisal hukum waris, perceraian, kompilasi hukum Islam, zakat, wakaf, bank syariah. Kalau mencakup hukum pidana (jinayah), rasanya sulit. Aceh saja mengalami banyak rintangan dari dalam dan luar negeri.

    Apabila mempelajari dan menyampaikan Khilafah tidak diperbolehkan dengan tuduhan sebagai faham radikal. Pertanyaannya kenapa disekolah dan perguruan tinggi dipelajari mengenai faham, ideologi yang berasal dari barat atau Eropa dan Amerika Serikat misalnya republik, negara kesatuan (serikat), kerajaan, monarchi, sistem parlementer dan presidensiil, demokrasi, feminisme, kesetaraan gender dan masih banyak lagi.

    Bahkan faham atau ajaran Yunani dan Romawi diperbolehkan dipelajari hingga saat ini diantaranya Plato, Socrates, Aristoteles, Thales dll. Sementara pada ajaran Islam diantaranya seperti sistem pemerintahan Islam (Khilafah), Syari’ah, Hijab, Jihad dituduh sebagai ajaran atau faham radikal?!.

    Bukankah menjalankan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagimana Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”). Bahwa Khilafah adalah ajaran Islam, dalam pemahaman dan keyakinan agama Islam Khilafah hukumnya Wajib (Fardu). Mengemban, mengajarkan dan menyebarluaskan kewajiban Ajaran Islam Khilafah merupakan bagian dari Ibadat menurut agama Islam.

    Khilafah merupakan Ajaran Agama Islam, dimana agama Islam adalah agama resmi yang diakui oleh negara. Membuat atau memberikan Tafsir Ajaran Agama Islam yakni Khilafah yang ditafsirkan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sama saja telah menodai Agama Islam dan melanggar ketentuan pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965, Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

    Kedua, Dituduh Ingin Mengganti Pancasila dan UUD 1945

    Organisasi dakwah Islam, HTI. Tidak memiliki perwakilan anggota di Parlemen dan eksekutif Pemerintahan. Oleh karena itu HTI tidak memiliki kewenangan dan kemampuan merubah dan mengganti dasar negara dan sistem Pemerintahan.

    Sementara yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk melakukan perubahan adalah Pemerintah dan parlemen. Misalnya Indonesia pernah terjadi pergantian sistem Pemerintahan dari Parlementer menjadi Presidensial dan sebaliknya. Juga pernah terjadi perubahan bentuk negara dari NKRI menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat) dan sebaliknya. Begitu juga konstitusi kita pernah berganti diantaranya UUD 1945, UUD RIS 1949 dan UUDS RI 1950. Bahkan UUD 1945 telah terjadi amandemen (perubahan). Artinya hanya orang yang memiliki kewenangan dan diatur oleh peraturan perundang-undangan untuk mengganti dan/atau merubah.

    Ketiga, HTI Dituduh Menyebarkan Ideologi Yang Anti Pancasila

    Ideologi yang dimaksud dituduhkan oleh rezim adalah Khilafah. Perlu diketahui bahwa Khilafah bukanlah ideologi, melainkan bagian dari ajaran Islam. Lebih tepat yang disebut ideologi adalah Islam, karena Islam bukan sekedar agama melainkan pandangan hidup yang memiliki aturan yang lengkap, termasuk Khilafah.

    Khilafah merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan sistem kepemimpinan umat Islam untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia. Unsur Khilafah ada 3 (tiga) yaitu ukhuwah, syari’ah dan dakwah. Maksudnya, Khilafah perlu tegak untuk mewujudkan persaudaraan dan penerapan syari’ah serta melaksanakan dakwah.

    Oleh karena itu bahwa Khilafah bukanlah ideologi, melainkan bagian dari ajaran Islam.

    Keempat, HTI Dituduh Memecah Belah Bangsa dan Negara

    Syari’ah Islam dan khilafah yang senantiasa didakwah kan oleh HTI untuk diterapkan di Indonesia dituduh sebagai pemecah belah bangsa dan negara. Saya khawatir rezim ini dangkal memahami hukum Islam, transformasi hukum dalam pembangunan hukum nasional. Sehingga menimbulkan kelicikan dan salah kebijakan serta penilaian terhadap segala sesuatu yang “berbau Islam” sehingga menjadi politik Islamo Phobia.

    Rezim ini kiranya lupa atau bahkan tidak tahu bahwa hukum yang berlaku di negara kita tidak lepas dari pengaruh dari luar, misalnya terdapat pengaruh dari hukum Belanda, Perancis dan Romawi. Jika ingin konsisten, tentu saja harus ditolak.

    Kok bisa hukum Romawi berlaku di Indonesia? Karena Indonesia dijajah Belanda. Sementara sistem hukum di Negeri Belanda didasarkan pada sistem hukum perdata Perancis dan dipengaruhi oleh Hukum Romawi. KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis.

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan sebagainya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi dari hukum Napoleon. Perancis adalah negara yang melakukan kodifikasi terhadap hukum Romawi. Kaisar Napoleon pada tahun 1800 an membentuk suatu panitia yaitu Portalis, Trochet, Bigot de Preameneu dan Malleville yang ditugaskan untuk membuat rancangan kodifikasi. Sumber bahan kodifikasi adalah hukum Romawi.

    Dalam menerapkan hukum Romawi yang terkodifikasi, Prancis tidak hanya memakai satu hukum tetapi juga menggunakan kebiasaan lokal atau yang lebih dikenal dengan istilah customary Law (hukum kebiasaan). Hukum Romawi telah berlangsung selama ribuan tahun – dari Leges Duodecim Tabularum tahun 439 SM hingga Corpus Juris Civilis (528–35 AD) yang diperintahkan oleh Kaisar Yustinianus I. Undang-undang Yustinianus berlaku di Romawi Timur (331–1453), dan juga menjadi dasar hukum di Eropa.

    Hukum Romawi yang dikenal juga dengan istilah Civil Law atau Hukum Sipil. Hukum sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam corpus juris civilis Justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia.

    Pernahkah rezim ini bertanya mengapa hukum Romawi atau Perancis atau Belanda ini dipaksakan berlaku kepada semua orang, termasuk kepada umat Islam? Bagaimana kalau ada yang menyatakan bahwa negara ini telah menjadi antek Belanda dan radikalis pro Belanda dengan pemaksaan berlakunya hukum Belanda itu?.

    Wallahualam bishawab

    IG @chandrapurnairawan
    Twitter @chandra_idea

  • Koalisi Prabowo Bersama Rakyat Melawan Siapa?

    Koalisi Prabowo Bersama Rakyat Melawan Siapa?

    Oleh: Azwar Siregar

    Saya tidak pernah kasihan kepada Pak Prabowo walaupun misalnya pesawat beliau harus “ngerem” mendadak dan kembali mesti “take off ulang” karena mendadak di jalur lintasannya lewat Pesawat Tempur memotong jalur. Mungkin saja pilot pesawat tempurnya bekas sopir angkot Medan jurusan Sambu yang memang terkenal ugal-ugalan. Paling-paling kalau terjadi kecelakaan, si Pilot dan Pak Prabowo meninggal dunia. Selesai.

    Saya juga tidak kasihan kepada Pak Prabowo dengan koalisi 5 Partainya melawan Petahana yang di dukung 9 Parpol + 34 Kementerian + 30 Gubernur + ratusan Bupati/Walikota + hampir semua Camat dan Lurah/Kepala Desa Se Indonesia.

    Lawan Pak Prabowo masih ditambah lagi Oknum-oknum nakal yang massif dan bisa saja terstruktur di KPU, Bawaslu dan Kepolisian. Khusus yang terakhir paling saya sayangkan, karena semakin merusak citra Lembaga Kepolisian.

    Misalnya bagaimana bisa para petinggi Kepolisian membuat acara yang ngga penting-penting amat di Monas (Kartini Run 2019) padahal sudah tahu di hari yang sama ada Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno?

    Kenapa tidak menunggu habis Pemilu dan Pilpres? Apakah memang sengaja berniat mau “mengganggu” Kampanye Nasional Prabowo-Sandi atau mau test adu kuat-kuatan massa?

    Tapi begitupun saya tetap tidak kasihan kepada Pak Prabowo. Karena saya tahu Pak Prabowo didukung ratusan juta rakyat. Koalisi 5 Partai Pak Prabowo hanyalah syarat secara undang-undang. Pak Prabowo sejatinya berkoalisi dengan Emak-emak se Indonesia.

    Pak Prabowo berkoalisi dengan suami emak-emak dan anaknya emak-emak yang jumlahnya ratusan juta dan semuanya menginginkan perubahan. Koalisi Pak Prabowo adalah Koalisi Rakyat melawan Tiran kekuasaan yang kita sebut saja Koalisi Pejabat (boleh di baca : Koalisi Penjahat).

    Kalaupun Pak Prabowo di curangi atau sengaja “di kalahkan”, saya tetap tidak kasihan kepada Pak Prabowo. Saya tahu tujuan hidup beliau secara pribadi sudah selesai. Hidup beliau sudah tercukupi. Hidup beliau sudah makmur dan bahagia. Tujuan beliau mencapres semata-mata demi mensejahterakan rakyat Indonesia.

    Jadi dengan semua upaya kecurangan kepada Pak Prabowo justru membuat saya jatuh kasihan kepada kita rakyat Indonesia. Rakyat yang sudah puluhan tahun merdeka dan hidup di Negara kaya tapi mencari makan tiga kali saja sangat susah. Rakyat yang hidup di atas tambang-tambang emas, minyak, batubara dan mineral-mineral berharga lainnya tapi terpaksa harus jadi Kuli dan Pembantu Rumah Tangga ke Malaysia.

    Rakyat yang seharusnya hidup makmur karena negeri kita yang sangat subur tapi kenyataannya kehidupan sosial-ekonominya hancur.

    Saya kasihan kepada diri saya sendiri. Saya kasihan kepada anak cucuku kelak. Saya kasihan kepada tetangga-tetangaku termasuk cebong-cebong biadab yang hidupnya tersesat. Sungguh saya jatuh kasihan. Kenapa ada orang baik yang berusaha membuat Negeri kita Adil dan Makmur tidak membuat kita bersyukur?

    Apakah kita akan membiarkan tujuan mulia Pak Prabowo dicurangi tangan-tangan gelap dari para Pengkhianat?, Ingat sahabat, Prabowo-Sandi hanya alat. Sekali lagi Prabowo-Sandi hanya alat rakyat. Alat kita untuk membuat bangsa ini bisa hidup adil, makmur dan sejahtera. Kita bukan mendukung Prabowo-Sandinya sebagai sosok pribadi. Tapi kita mendukung dan memperjuangkan alat kita untuk memakmurkan Indonesia. Jadi kita tidak akan biarkan Prabowo berjuang sendirian !!!

    #14HariMenujuIndonesiaAdilMakmur
    #KamiBersamaPrabowo
    #KoalisiRakyatMelawanKoalisiPejabat
    #TirikYaluk

  • Pembusukan Terhadap Prabowo Subianto Di Institusi Kepolisian Begitu Kejam

    Pembusukan Terhadap Prabowo Subianto Di Institusi Kepolisian Begitu Kejam

    Oleh : Natalius Pigai
    MENJELANG Pemilihan Umum 17 April 2019, salah satu institusi negara yang galau, cemas, was-was adalah institusi Kepolisian. Apakah memang karena ada indikasi kuat Prabowo Subianto akan perlemah Kepolisian atau opini sesat yang sengaja dimainkan untuk menarik Kepolisian dalam politik untuk tidak netral, benci kepada Prabowo Subainto, opini dibangun agar polisi membantu memenangkan Calon Presiden Joko Widodo, juga menjadi mesin pendulang suara (vote getter).

    Bayangkan begitu kejamnya opini negatif terhadap seorang Prabowo yang akan memimpin negara, akan memperbaiki negara, akan memperkuat negara dicitrakan dengan kata-kata berlogika sesat (fallacy), “Jika Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, maka Kepolisian akan dilemahkan (diperlemah), Kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri atau bahkan melebur dengan TNI sebagaimana orde lama”.

    Entahlah, tetapi harus diketahui bahwa skenario pembusukan citra Prabowo Subianto di dalam institusi polisi sangat masif, sistematis, meskipun tidak terstruktur karena pucuk pimpinannya Kapolri Prof. Dr. H. Tito Karnavian, MA secara resmi menegaskan netralitas Kepolisian.

    Penetrasi pembusukan terhadap Prabowo Subianto di tubuh institusi Kepolisian dapat diduga berasal dari beberapa perjuru: Pertama, Tim Sukses Joko Widodo; kedua, orang-orang yang melingkari kekuasaan, kaum ambisius dan machiavelian; ketiga, satu atau dua orang petinggi polisi yang sengaja untuk menarik perhatian petahana demi jabatan dan karier; keempat, bisa juga berasal dari senior polisi purnawiran perwira tinggi yang mendukung Joko Widodo.

    Skenario pembususkan terhadap Prabowo Subianto menciptakan efek ketakutan (terrible effect) pada bawahan khususnya perwira menegah yang masih panjang meniti karier dan anggota kepolisian pada umumnya. Dan bisa dimaklumi bila anggota polisi tersandera dengan opini sesat tersebut di atas karena Tim Sukses Prabowo Subianto tidak pernah mampu menterjemahkan gagasan dan ide besar Prabowo Subianto tentang penguatan institusi penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.

    Calon Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto pada saat debat pertama tanggal 17 Januari 2019, debat keempat 30 Maret 2019 dan berbagai kesempatan menekankan: “Pentingnya negara yang kuat, negara kuat jika institusi atau lembaga negara kuat, demikian pula ditunjang dengan pengelola negara yang professional, bersih dan berwibawa”.

    “Bangsa yang kuat, mandiri, berdaulat maka akan dihargai dan dihormati bangsa-bangsa lain termasuk dalam diplomasi”. “Keamanan dalam negeri terpelihara jika institusi Kepolisian negara yang kuat”. “Rakyat mendapat keadilan di hadapan hukum, jika institusi Kepolisian terpercaya, bekerja secara independen, profesional, moderen, sejahtera”.” Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) harus kenyang, sehat dan pintar supaya bekerja profesional, objektif dan imparsial dalam menegakan hukum”.

    Pandangan Calon Presiden Prabowo Subianto saat debat keempat tanggal 30 Maret 2019, memang benar, bahwa apapun yang dilakukan pemimpin bangsa ini tentu mempertimbangkan kepentingan inti negara Indonesia (core of national interest) yaitu; sesungguhnya negara yang maju dan berkembang berada pada penguatan hukum untuk mengatur ketertiban, keamanan dan rasa keadilan bagi rakyat. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai lembaga penegak hukum yang berada di beranda depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) tentu menjadi pilar terpenting bagi negara ini.

    Jika membaca pandangan Prabowo Subianto sebenarnya secara tersirat menyatakan kegaulauan atas kegagalan pemerintah saat ini yang membawa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman dan negara makin tidak berwibawa karena perilaku amoralitas penguasa; kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela, memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan, perilaku mesum yang justru dilakukan oleh orang-orang yang melingkari Istana, pusat kekuasaan negara.

    Pemerintah juga menyandera pilar-pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamain dan keadilan melalui instrumen demokrasi yaitu partai politik, media massa, lembaga penegak hukum. Bangsa ini sedang mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan landasan idil.

    Prabowo Subianto sangat paham tentang Kepolisian sudah selayaknya diapresiasi. Aparat kepolisian bertugas untuk mewujudkan salah satu inti kepentingan nasional (core of national interest) dengan memastikan kebutuhan warga negara terpenting  yaitu: hak atas rasa aman dan hak untuk mendapat keadilan dihadapan hukum.

    Prabowo memahmai, Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan yang kompleks. Ancaman bisnis trans-nasional, kejatahan dunia maya (cyber crime), terorisme, penyelundupan dan perdagangan narkotika, kejahatan perdagangan manusia (human trafficking), pencucian uang (money loundering), korupsi dan perdagangan jabatan, perilaku amoralitas pejabat negara, ancaman konflik horizontal dan konflik vertikal antara negara dan rakyat dan lain sebagainya.

    Semua permasalahan di atas tidak sekedar mengancam instabilitas sosial dan integritas nasional, namun juga mengganggu nilai-nilai fundamental seperti kebhinekaan dan Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimpulkan ada dua ancaman yang dihadapi saat ini yaitu;

    pertama, ancaman kejahatan konvensional yang membutuhkan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana; kedua, menguatnya kelompok eksklusivme suku, agam, ras dan antar golongan serta penetrasi kapital dan hegemoni negara idikasi adanya komprador antara negara dan swasta. Selain gangguan keamanan dan ketertiban dalam negeri (internal disorder) juga ancaman eksternal (externar threat) berupa ancaman negara lain, pengaruh perang proxy dan lain sebagainya.

    Pada saat ini Kepolisian Negara sedang menghadapi tugas berat untuk menuntaskan berbagai persoalan keamanan dan penegakan hukum. Sebagai lembaga yang berada di beranda depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), harapan publik tertuju kepada lembaga kepolisian.

    Namun yang menjadi pertanyaannya adalah seberapa jauh kesiapan lembaga kepolisian untuk mampu merespons berbegai persoalan yang membelit negeri ini. Di satu sisi Kepolisian menerima begitu banyak pengaduan berbagai kasus, namun di sisi lain Kepolisan juga dianggap sebagai lembaga yang lebih banyak diadukan sebagai lembaga yang belum dapat memenuhi rasa keadilan ke lembaga pengawas internal (inspektorat, propam dan kompolnas) serta lembaga eksternal Kepolisian seperti Komnas HAM, Ombudsman. Demikian pula, institusi kepolisian mendapat sorotan publik semakin memburuk citranya sebagai penegak keadilan ketika terjadi konflik dengan mitra penegak hukum lainnya seperti KPK dan Komnas HAM.

    Tuntutan dan harapan publik agar institusi kepolisian melakukan reformasi substansial semakin besar, itulah yang mendorong Prabowo melakukan kebijakan progresif untuk penguatan institusi yang independen dan mandiri, modernisasi instrumental, profesionalisme dan peningkatan kualitas hidup melalui perbaikan kesejahteran upah dan gaji. Itu artinya Prabowo sudah mendeteksi persoalan untuk mempermuda melakukan reformasi substansial.

    Meskipun di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian Indonesia termasuk negara yang mengalami surplus keamanan, namun harus diakui bahwa kepolisian tidak bisa melepaskan diri dari tarikan dunia politik dan kepentingan penguasa. Rakyat cenderung apatis terhadap jawaban-jawaban retorika yang cenderung merespons reaksi publik dan itu tidak berarti rakyat membenci kepolisian, justru karena menjadi tumpuan harapan dan terminal akhir pencarian keadilan. Rakyat lebih menyukai kinerja yaitu perbaikan institusi Kepolisian melalui perbaikan internal dan penegakan hukum yang berkeadilan.

    Seluruh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus pahami bahwa Presiden Joko Widodo yang justru memperlemah dan mengamputasi kewenangan polisi, bahkan menabrak konstitusi dengan mengeluarkan kebijakan melalui Perpres Nomor 2/2015: Keamanan integratif yaitu memutus sebagian kewenangan Kepolisian misalnya bidang keamanan laut, penanganan narkotika, termasuk hal-hal yang bersifat keamanan insani (inhuman security) lainnya.

    Akibatnya reformasi di Kepolisian tidak bisa berjalan dengan baik. Anggaran mengalami penyusutan, Kepolisian belum bisa melakukan revitalisasi instrumental, peningkatan profesionalisme dan perbaikan kesejateraan. Dampaknya tugas pelayaan belum cukup memberi kepuasan dan keadilaan.

    Hari ini perbuatan Presiden Joko Widodo ini menyebabkan 1.400 Kombes tidak bisa naik pangkat ke bintang, 230 Periwira Bintang 1 yang masih antri untuk bintang 2, 66 Perwira Bintang 2 yang antri untuk Bintang 3. Perwira tinggi polisi putra Papua tidak bisa dapat jabatan, sedangkan hari ini ada 2 orang putra Papua bintang 2 di TNI menjadi Panglima Kodam (Pangdam). Mengapa karena keterbatasan ruang nomeklatur dan anggaran di Kepolisian akibat amputasi kewenagan oleh Presiden Joko Widodo 2014-2019.

    Prabowo Subianto sudah sangat memahami bahwa negara kuat karena institusi negara kuat. Semua institusi negara sangat penting karena instrumen-instrumen yang menjalankan esensi dasar adanya negara yaitu adil dan makmur. Karena itu Prabowo Subianto 2019-2024 memahami pentingnya Kepolisian yang kuat, mandiri, moderen, profesional disertai kesejahteraan yang layak sehingga akan tercipta institusi polisi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. ***

    Penulis adalah kritikus, aktivis kemanusiaan dan Ketua Tim Aparat Penegak Hukum, Komnas HAM RI 2012-2017.

  • Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan Itu Diam Bukan Berarti Tidak Melawan.

    Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan Itu Diam Bukan Berarti Tidak Melawan.

    Oleh : Hersubeno Arief.

    Diam bukan tak melawan, Prinsip itu tampaknya sangat dipegang teguh Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan.

    “Surat Cinta” Anies kepada para pekerja MRT yang hari ini beredar luas di media massa dan medsos menunjukkan watak Anies yang sangat khas. Diam-diam menghanyutkan. Senyam-senyum mematikan. ”Nyali itu beda dengan nyaring,” katanya suatu kali di Balaikota DKI tak lama setelah dilantik.

    Bagi siapapun yang tahu konteks permasalahannya, pasti sangat paham kepada siapa surat itu sesungguhnya ditujukan. Anies menuliskan surat itu kepada pekerja MRT, namun Jokowi lah yang paling terkena dampaknya.

    Mari kita simak sebagian isi surat itu :

    Hari ini mungkin Anda di rumah, menonton di televisi atau membaca beritanya. Anda tidak berada di lokasi, tak menyaksikan langsung hasil kerja keras yang anda lakukan. Tapi ketahuilah, tepuk tangan tadi membahana. Ribuan bertepuk-tangan. Izinkan saya menegaskan bahwa tepuk tangan itu sesungguhnya untuk Anda, untuk tiap jiwa yang bekerja dalam senyap.

    Bapak, Ibu dan Saudara semua, Anda telah mengubah wajah ibu kota, hasil kerja Anda akan memudahkan hidup jutaan orang selama puluhan tahun yang akan datang. Mereka semua hampir pasti tidak kenal dengan nama Anda tapi semua pasti merasakan karya Anda yang akan berbekas sepanjang sejarah.

    Beberapa hari sebelumnya ketika bicara dihadapan pengusaha Kamis (21/3), Jokowi mengklaim transportasi massal dan cepat (MRT) Jakarta dapat terwujud karena keberaniannya memgambil keputusan politik bersama Ahok. Saat itu Jokowi masih menjadi Gubernur DKI dan Ahok menjadi wakilnya.

    Media dan medsos heboh. Situs berita kompas.com sampai menurunkan artikel cek fakta atas klaim Jokowi. Dari artikel tersebut duduk persoalannya menjadi jelas. Pembangunan MRT melalui proses yang panjang. Tidak sesederhana seperti dikatakan Jokowi.

    Para Gubernur DKI Jakarta mulai dari Sutiyoso sampai Fauzi Bowo punya andil besar sehingga proyek itu terwujud. Pencanangan dimulainya proyek MRT bahkan sudah dilakukan pada masa Fauzi Bowo. Jangan pula dilupakan peran BJ Habibie yang menggagasnya sejak masih menjadi Kepala BPPT.

    Menyikapi hiruk pikuk itu Anies hanya diam sambil senyum simpul. Anies bahkan terlihat tersenyum lebar ketika mendampingi Jokowi mencoba MRT. Anies juga terlihat tenang dan tersenyum ketika Jokowi meresmikannya pada hari Ahad (24/3).

    Anies “mempersilakan” Jokowi mengambil alih panggung yang seharusnya menjadi miliknya. Di atas panggung posisinya berada di pinggir, jauh dari Jokowi dan para pejabat yang terlihat tenggelam dalam eforia “kemenangan.” Sebagian massa di bawah panggung dan beberapa pejabat terlihat mengacungkan salam satu jari.

    Seorang netizen sampai terheran-heran melihat sikap Anies. Mengapa harus Jokowi yang meresmikan, bukan Anies. Akun @dw_saptarini bahkan sampai mencuit “Yth. Presiden @jokowi, Kenapa Anda yang meresmikan @mrtjakarta ? Padahal status perusahaan BUMD & kepemilikannya 99,99% @DKIJakarta & 0,01% PD Pasar Jaya? Kenapa bukan Gubernur DKI Jakarta @aniesbaswedan?.”

    Dilihat dari profilnya akun @dw_saptarini adalah milik Dyah W Saptarini seorang akademisi dari Surabaya. Dia master engineering dalam manajemen konstruksi dari Universitas Kristen Petra.

    Dyah benar. Dilihat dari laman resmi JakartaMRT, saham MRT hampir sepenuhnya dimiliki oleh Pemprov DKI. Berdiri pada 17 Juni 2008 saham PT MRT Jakarta 99.98 persen dimiliki Pemprov DKI dan PD Pasar Jaya 0.02 persen.

    Dari komposisi itu sangat jelas yang memiliki hajatan besar seharusnya Pemprof DKI. Yang meresmikan seharusnya levelnya cukup Gubernur DKI. Presiden sampai turun tangan, apalagi mengambil alih, selain ketinggian, juga kurang pantas.

    Apalagi jejak digital menunjukkan ketika menjadi Gubernur DKI, Jokowi pernah menolak menandatangani dana hibah dari pemerintah pusat untuk proyek MRT.

    Laman berita Viva.co.id edisi 22 April 2013 menurunkan judul “Tak Mau Tanggung Jawab, Jokowi Tolak Tandatangani Proyek MRT. “Saya belum mau tanda tangan. Saya tidak mau nanti semua tanggung jawab mutlak ada di Gubernur. Kalau saya tanda tangan, ya saya tidak usah jadi Gubernur, jadi Direktur Utama BUMD saja,” kata Jokowi.

    Bukan yang pertama

    Anies disingkirkan, dan perannya diambil-alih Jokowi bukanlah peristiwa yang pertama. Saat Persija menjadi juara Piala Presiden (17/2/2018) Anies dilarang Paspampres turun ke lapangan mendampingi Jokowi menyerahkan piala. Padahal dia adalah anggota Dewan Pembina Persija dan klubnya juara.

    Insiden di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta itu memicu kemarahan netizen dan pendukung Persija. Presiden Jokowi di-bully habis. Akun facebook-nya diserbu ratusan ribu netizen. Seorang netizen ada yang menghitung setiap jam rata-rata akun Jokowi diserbu 5.000 akun. Semuanya akun riil, bukan robot.

    Peristiwa serupa kembali terulang saat pembukaan Asian Games di GBK (18/8/2018). Sebagai gubernur dan DKI Jakarta menjadi tuan rumah bersama Palembang, Anies juga kembali “disingkirkan.”

    Wartawan sampai mempertanyakan hal itu kepada Anies, mengapa dia tak terlihat dan seakan luput dari sorotan media. Kepada wartawan Anies menjelasan dia hadir di royal box bersama para pejabat dan undangan VIP yang lain. Namun Anies meminta masalah itu tak dipersoalkan.

    “Saya sibuk bekerja dan melayani para tamu, jadi tidak sempat selfie-selfie,” ujar Anies menghindar.

    Begitulah Anies Baswedan dibalik senyum ada keteguhan dan ketegasan. Dia melawan Jokowi bukan untuk dirinya sendiri. Dia melawan untuk ribuan, para pekerja MRT yang perannya diketepikan. Dia melawan untuk para para Gubernur DKI Jakarta, para menteri, dan bahkan presiden terdahulu yang perannya coba dihapus oleh Jokowi.

    Bagaimana dengan Jokowi? Kalau mau sedikit berempati, kita pasti bisa memahami sisi psikologi Jokowi. Posisinya sedang terdesak. Saat ini dia sangat membutuhkan ‘jualan” politik baru untuk mendongkrak elektabilitasnya.

    Dalam situasi seperti itu Jokowi akan menjual apapun dagangan politik yang bisa dia jual. Termasuk kalau perlu menjual dagangan politik milik orang lain. (*)

  • Awas, Kalau Presiden Marah Beda dengan Anda Marah?

    Awas, Kalau Presiden Marah Beda dengan Anda Marah?

    Oleh: Asyari Usman
    (Penulis adalah wartawan senior)

    Kemarin (23/3/2019) di Yogyakarta, Presiden Jokowi menunjukkan kemarahannya. Dengan nada serius, di depan massa yang cukup besar. Kita tidak perlu membahas apakah mereka itu massa kerahan atau massa tulus-ikhlas.

    Jokowi mengatakan, setelah dia diam saja selama empat setengah tahun dihujat, dihina, direndahkan, difitnah, dlsb, “Tetapi hari ini di Yogya, saya sampaikan, saya akan lawan.”

    Banyak sekali tafsiran tentang marah Jokowi itu. Pertama, ada yang berpendapat bahwa dia sedang frustrasi berat karena menghadapi kenyataan di lapangan. Kenyataan bahwa rakyat menginginkan Prabowo Subianto (PS) menjadi presiden. Prabowo dan Sandi disambut di mana-mana dengan tulus-ikhlas dan semangat tinggi. Di mana-mana, di seluruh Indonesia, selalu saja acara PS membludak. Juga acara Sandi.

    Kedua, ada pula yang berpendapat bahwa kemarahan Jokowi itu, sebetulnya, diarahkan kepada tim kampanye beliau. Sebab, tim kampanye yang diketuai oleh anak muda pintar sekaligus pengusaha sukses, Erick Tohir, gagal menjual Jokowi kepada rakyat. Padahal, untuk masyarakat disediakan segala kemanjaan asalkan mereka mau mendukung Jokowi. TKN memang gagal total. Tapi, kegagalan itu tampaknya bukan salah mereka.

    Mereka sudah melakukan semua hal. Apa saja diterapkan untuk membujuk rakyat. Mulai dari cara yang paling persuasif sampai ke cara yang sangat tidak persusif. Mulai dari cara yang baik sampai ke cara yang kelihatannya baik. Tidak ada yang belum dilakukan oleh TKN.

    Jokowi bahkan dibantu oleh berbagai instansi negara yang seharusnya netral. Kita bisa lihat dengan jelas di lapangan bagaimana berbagai instansi itu berjuang untuk kemenangan Jokowi. Misalnya, salah satu instansi yang punya struktur jangkauan sampai ke pelosok desa. Mereka mati-matian membantu petahana. Mulai dari cara yang lembut sampai cara yang kelihatan lembut. Tetapi, rakyat tetap saja tak beranjak. Mereka teguh mendukung Prabowo-Sandi.

    Yang ketiga, ada yang mengatakan bahwa Jokowi marah-marah di pentas Yogya kemarin sebagai isyarat kepada semua bawahannya. Isyarat agar segera menafsirkan kemarahan beliau itu. Dalam arti, agar segera melakukan perlawanan.

    Pertanyaannya, siapa yang mau dilawan oleh Jokowi? Dan bagaimana cara melawannya?

    Ini yang sangat berbahaya. Sangat berbahaya kalau para bawahan Presiden yang relavan dengan implementasi kemarahan itu, menafsirkan dengan cara mereka sendiri. Kita cermati analogi berikut ini. Seorang majikan yang marah kepada seseorang dan mengatakan kepada staf sekuritinya supaya “membereskan” persoalan itu, bisa macam-macam yang akan terjadi. Kalau rekam jejak si sekuriti selama ini terbiasa “membereskan” persoalan dengan cara jalanan, dikhawatirkan dia akan melakukan itu sebagai tafsiran dari perintah si majikan.

    Nah, dalam konteks marah-marah di Yogya kemarin, majikan itu adalah Presiden. Sedangkan sekuriti beliau banyak sekali. Ada Polri, ada BIN, ada TNI, dan ada pula barisan-barisan swasta yang merasa hadir sebagai pagar betis Presiden. Bisa dibayangkan kalau pernyataan “saya akan lawan” yang dicetuskan Jokowi itu ditafsirkan oleh organ-organ sekuritu Presiden tadi dalam makna “save the president” (selamatkan presiden). Bisa sangat runyam.

    Paling-paling rakyat masih yakin bahwa TNI tidak akan teperangkap ke dalam tafsiran yang berbahaya terkait “saya akan lawan” yang diucapkan Jokowi. Sebab, sejak awal berdiri negara ini, TNI senantiasa menunjukkan kesetiaannya kepada rakyat dan NKRI. Mereka hidup dalam suka dan duka bersama rakyat.

    Kita tidak bisa menduga bagaimana nanti instansi-instansi sekuriti Jokowi selain TNI akan mengimplementasikan perintah “saya akan lawan” itu. Dan yang kita juga tidak bisa duga serta sangat berbahaya adalah cara barisan-barisan swasta, yang setia pada Jokowi, menafsirkan kemarahan Presiden itu.

    Jadi, statement Jokowi di Yogya kemarin sangat serius. Sebab, kalau Presiden marah berbeda dengan Anda marah. Awas! (***)