Kategori: Opini

  • Prabowo : “Terlalu Banyak Yang Saya Ketahui Sehingga Saya Harus Dihabisi”

    Prabowo : “Terlalu Banyak Yang Saya Ketahui Sehingga Saya Harus Dihabisi”

    Catatan Pribadi Nanik S Deyang (Jurnalis)

    Gak Australia saja yg kecut, yg paling mengkeret itu ya Amerika. Saya sendiri kalau dengar Prabowo bicara politik luar negeri, sampai bertepuk tangan sambil berucap “hebat”. Ia demikian jernih, cerdas, taktis dan cermat dalam mengurai persoalan politik luar negeri. Prabowo mengatakan, ia tdk ingin negara ini didikte oleh negara mana pun..(saya tentu tdk bisa membocorkan apa yg akan dilakukan), hanya prinsipnya, Indonesia tidak akan mau dicekoki hutang dengan berbagai alasan.

    Prabowo juga akan jaga keamanan wilayah perbatasan dengan baik, dan memperkuat pertahanan kita dengan peralatan militer canggih.

    Bila Bung Karno pernah dikasih hadiah pesawat tempur Mig 12 biji, bukan tdk mungkin Prabowo juga akan dihadiahi Putin pesawat tempur modern. Juga oleh negara-negara lain yang selama ini beharap Indonesia tdk di bawah keteknya Amerika dan sekutunya yang jadi pemegang saham IMF. Prabowo juga akan bekerjasama dengan negara-negara Timur Tengah, sehingga Indonesia punya posisi tawar dalam pertarungan pasar minyak dunia.

    Sikap Prabowo ini sebetulnya bukan sekarang ini saja muncul, sejak jadi mantunya Pak Harto sudah gerah ketika Pak Harto mulai dipengaruhi Amerika, bahkan ia menjadi penentang keras saat IMF mau memberi pinjaman Indonesia pada saat krisis. Prabowo yang kala Indonesia krisis menjabat sbg Pangkostrad, sudah berani menyampaikan ke Pak Harto utk tidak menandatangi pinjaman dari IMF, karena Prabowo sudah sejak tahun 1997 mengetahui dokumen skenario negara-negara pemegang saham IMF itu, yaitu akan melakukan liberalisasi di semua bidang di negara Indonesia. Bahkan tahun 1997, Prabowo sudah diberitahu temannya para Jenderal di luar negeri, tentang apa yg akan terjadi di bulan mei 1998.

    Sayangnya Prabowo yang bolak-balik menghadap Pak Harto dan mengabarkan hal tersebut, ternyata sang ayah mertua tidak percaya bahwa Amerika dkk akan mempunyai agenda yg dimulai dengan penandatanganan IMF. Pak Harto lebih percaya sahabatnya pegusaha Bob Hasan, yang memang bebeberapa kali bertemu Clinton.

    Namun karena Prabowo yakin bahwa IMF ini akan menjadi sumber kehancuran bangsa, ia kembali nekat bicara pada pak Harto untuk mencari dana yang sama yang akan diberikan IMF sebesar 4 miliar Dolar AS. Prabowo mengkontak Najib (PM Malaysia) untuk bersama-sama pergi keliling ke negara Timur Tengah.

    Dari gerilya satu minggu di negara-negara Timur Tengah, Prabowo mendapat kesepakatan pinjaman 7 miliar Dolar As (lebih besar dari yang akan diberikan IMF), dan Najib (untuk Malaysia) dapat 6 miliar Dolar AS. Namun betapa kecewa Prabowo, ia yang ingin membantu negara ini dari jebakan krisis, ternyata pada saat mau kembali ke Indonesia mendapat kabar, bahwa Pak Harto sudah meneken tanda tangan dengan IMF. Dan yg terjadi persisi seperti info yg diterima Prabowo, setelah penandatanganan IMF, tidak berapa lama terjadilah kerusuhan yang melengserkan Pak Harto.

    Pak harto yang percaya Amerika,
    jatuh pula di tangan Amerika.
    Dan muncullah era reformasi dimana liberalisasi makin menggila di semua lini, hingga kita yg punya 2/3 laut harus impor garam. Kemiskinan makin meningkat, kita tidak punya basis industri lagi, semua investasi yang tadinya masuk daftar negatif investasi dibuka lebar-lebar. Asingisasi mulai merambah dibumi pertiwi.

    Sebaliknya Malaysia yang tidak mau teken dengan IMF, dan menggunakan dana pinjaman dari Timur Tengah justru selamat dari krisis, dan perekonomian mereka maju luar biasa, dan juga memiliki basis industri yg hebat. Pengusaha pribumi bisa tumbuh sejajar dengan para pendatang.

    Prabowo sangat tahu apa agenda barat (negara-negara Neolib) terhadap Indonesia. Itulah sebabnya dia bukan saja dihabisi kariernya, tapi melalu propaganda media, dan juga LSM, Prabowo terus di stigma buruk. “Terlalu banyak yg saya ketahui, sehingga saya dihabisi,” ujarnya suatu kali dalam diskusi panjang kami hingga 11 jam dari jam 4 sore hingga pukul 3 dini hari.

    Saya bersama teman Mas Susetyo Lit, dan Mas Budi Purnomo Karjodihardjo beberapa waktu itu, sampai merinding mendengar apa sebetulnya yg terjadi atas negeri ini. Itu pula yg membuat Prabowo yg sebetulnya hidupnya “sudah selesai” mau repot-repot membuat partai dan mencalonkan diri menjadi Presiden.

    Hal yg sama juga diucapkan Prabowo saat beremu para Kyai Besar NU beberapa waktu lalu, “Demi Allah, saya tidak haus atau rakus jabatan. Saya hanya tidak tega melihat bangsa ini hancur. Jadi saya minta mandat rakyat, kalau rakyat tidak memberi mandat saya, bagi saya juga tidak masalah,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

    Pertanyaannya, Ihklaskah saudara saudara ku semua berjuang bersama Prabowo? InshaaAllah saya lahir batin Siap!. #PrabowoSandi2019. (**)

  • KPK, Saya Juga Titip Pemilihan Rektor Unila

    KPK, Saya Juga Titip Pemilihan Rektor Unila

    Oleh: Wirahadikusumah
    (alumni Universitas Lampung)

    Tadi malam (20/3), saya menonton salah satu video yang di-share kawan di akun Facebook-nya.

    Video itu berisi statement Prof. Mahfud, M.D., dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One. Pembahasannya mengenai OTT Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Dalam statement-nya, salah satu yang diungkap Prof. Mahfud adalah dugaan permainan dalam pemilihan rektor (pilrek) Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada beberapa provinsi di negara ini.

    Usai menonton video berdurasi 26 menit 51 detik itu, saya bertanya dalam hati. Apakah dugaan permainan dalam pilrek UIN dan IAIN bisa juga terjadi di pilrek perguruan tinggi negeri (PTN)?

    Sebab, setahu saya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) memiliki hak suara 35 persen dari total pemilih dalam pilrek di PTN.

    Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 24 Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Pemerintah. Kemudian diperbaharui dengan Permenristek Dikti No.1 Tahun 2015. Selanjutnya diterbitkan lagi Permenristek Dikti No. 1 Tahun 2016.

    Saya menilai, adanya aturan itu membuat potensi terjadi tindak pidana korupsi dalam pilrek di PTN. Bukannya saya meragukan integritas menristekdikti. Karena, bisa saja ada orang-orang yang mengatasnamakan menteri mengambil kesempatan dalam aturan ini.

    Karena itulah, saya juga ”menitipkan” harapan kepada KPK agar juga memelototi pilrek di PTN-PTN yang ada di Indonesia. Salah satunya di Universitas Lampung (Unila) yang rencananya tahun ini akan melangsungkan pilrek.

    Informasi yang saya dapat dari media online Rilislampung.id, penjaringan nama calon rektor Unila akan dilakukan pada Juni. Kemudian, rektor baru bakal diketahui pada September.

    Harapannya, ketika KPK ikut memelototi pilrek Unila, tidak ada yang berani coba-coba melanggar hukum. Sehingga rektor yang terpilih nanti adalah yang benar-benar diinginkan civitas akademika ”kampus hijau”. (whk)

  • Wartawan dan Media Harus Profesional

    Wartawan dan Media Harus Profesional

    Oleh: Romzy Hermansyah 

    Ketua Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI) Provinsi Lampung

    Berangkat dari banyak keluhan pejabat publik bahkan masyarakat, di wilayah Provinsi Lampung atas ulah oknum wartawan, yang justru tampil meresahkan di masyarakat. Bahkan banyak para para pemangku jabatan, hingga kepala desa dan kepala sekolah, kewalahan menghadapinya.

    Sebenarnya wartawan adalah menghasilakan karya jurnalistik. Dan ada banyak para praktisi yang cukup andal mengenai kejurnalistikan. Wartawan profesional terikat pada Kode Etik Jurnalistik dalam UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999. Tapi faktanya banyak yang tidak tugas pokok dan fngsi pers itu sendiri.

    Contoh, ada lembaga dihubungi wartawan atau didatangi wartawan, untuk konfirmasi mengenai pemberitaan, apalgi berita itu menjadi Tranding Topik, menjadi perhatian publik. Kebanyakan yang terjadi pemangku kepentingan itu justru khawatir pemberitaan di media akan mengganggu nama lembaga yang dinaungi dan tentu berimbas pada reputasi kinerjanya. Padahal seharunys harus dijelaskan, sehingga informasi tidak bisa. Bukan malah alergi dengan jurnalis.

    Jika menghadapi wartawan yang kebanyakan di nilai tidak profesional, tidak beretika layaknya jurnalis yang benar, atau bahkan di nilai mencari cari sensasi, mencari keuntungan dan lain sebagainya? Maka yang perlu di lakukan bagi para pemangku atau pejabat, adalah kenali media nya, bagaimana keredaksiannya. Kendati tergabung di media apapun, namun media tersebut sangat jarang atau di kenal khas pembaca, ini dapat dimungkinkan.

    Adalagi oknum wartawan yang kerap meminta konfirmasi sangat agresif, meminta bertemu face to face. Padahal, seorang dengan kemajuan teknologi wartawan sejatinya, tak wajib face to face. Sebab, yang dibutuhkan adalah keterangan sebagai penyeimbang pemberitaan.  Ada juga media minta konfirmasi satu orang, namun mengaku mewakili beberapa media cetak mau pun elektronik dan bahkan sekelompok atas nama team work dan lainnya.

    Hak terkait soal pemberitaan, jika merasa keberatan maka tempuh jalur hak jawab, Bila merugikan, sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Semisal pemberitaan yang dianggap ngawur, maka tempuh jalur hak jawab atau klarifikasikan.

    Yang harus dipahami adalah seorang Jurnalis wajib mempunyai Skill atau keahlian yang harus dikuasai. Seorang jurnalis itu yang utama adalah keterampilanmenulis berita (writing skills). Selain skills, wartawan juga harus memiliki knowledge dan attitude yang baik. Knowledge yaitu memahami bidang liputan atau menguasai topik berita yang ditulisnya serta menaati kode etik jurnalistik. Attitude yaitu menaati kode etik jurnalistik atau etika pemberitaan.

    Terkait Skill, keterampilan jurnalistik yang wajib dikuasai adalah menulis berita. Untuk menulis berita, jurnalis harus punya bahan berita. Untuk mendapatkan bahan berita, jurnalis harus mendapatkannya melalui reportse. “Teknik reportase” meliputi observasi (liputan ke TKP), wawancara, dan riset data, sesuai prinsip penulisan 5W+1H harus dipahami betul, agar berita itu lengkap, terus kode etik penulisan berita, seperti asas berimbang, covering both side, praduga tak bersalah, dan sebagainya.

    Soal kode etik, ini titik point penting yang membedakan antara jurnalis sejati dengan yang tidak. Jurnalis profesional pasti menaati kode etik jurnalistik. Peran jurnalis dalam media adalah menginformasikan (To Inform) menghibur (To Entertaint), mendidik (To Educate) dan mengawasi kinerja pemerintah dan perilaku masyarakat (social control) agar taat asas dan tertib dalam melaksanakan perannya.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.

    Pada dasarnya pers mempunyai kemerdekaan dalam menjalankan profesinya. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat (3) UU Pokok Pers). Ini berarti pers tidak dapat dilarang untuk menyebarkan suatu berita atau informasi jika memang hal tersebut berguna untuk kepentingan publik.

    Bahkan kemerdekaan pers tersebut juga dikatakan dalam Kode Etik Jurnalistik. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, jurnalis juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat dan norma-norma agama.

    Artinya, kemerdekaan pers itu tidak tanpa batas, ada hal-hal yang membatasi, yang perlu diperhatikan oleh jurnalis dalam setiap karya berita. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 UU Pokok Pers).

    Dari ini juga, perlu diketahui bersama bahwa jurnalis memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record dengan kesepakatan (Pasal 7 KEJ).

    Jika, memang tidak berkenan dengan hasul peliputan jurnalis, dapat mempergunakan hak jawab, hak koreksi. Hak jawab memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baik. Hak Koreksi adalah hak setiap orang mengoreksi, membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers. Hak jawab, hak koreksi dapat juga dilakukan ke Dewan Pers yang pada akhirnya untuk menentukan ada pelanggaran kode etik jurnalistik atau tidak dan sanksinya dilakukan oleh organisasi kejurnalistikan/wartawan dan atau perusahaan pers.

    Maka itu, segala hal mengenai dunia jurnalistik perlu ada refrens lebih dan lebih. Begitu juga para pemangku pemerintahan, badan perusahaan swasta ataupun milik negara dan sebagainya, jangan alergi dengan jurnalis dan seorang jurnalis juga tentunya menjalankan tugas kejurnalistikan harus menjunjung tinggi ketentuan yang berlaku pada profesi. Semoga (***)

  • Pendapat Hukum Tentang Permenriset, Teknologi, dan Dikti RI No 12 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan

    Pendapat Hukum Tentang Permenriset, Teknologi, dan Dikti RI No 12 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan

    Oleh: Dr. Ridwan, SH., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta)

    Permasalahan Hukum

    Bahwa Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan (selanjutnya ditulis Permen Ristek Dikti), menentukan bahwa “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membentuk Panitia Uji Kompetensi Nasional.” dan “Panitia Uji Kompetensi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur: a. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; b. Kementerian Kesehatan; c. Perguruan Tinggi; dan d. Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi.”

    Bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Pasal 16 UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan menentukan secara tegas bahwa; “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.”

    Pertanyaan Hukum

    Apakah Permen Ristek Dikti tersebut dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan yang sah (rechtmatig)?
    Apa konsekuensi yuridis ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti tersebut terhadap lembaga pendidikan bidang Kesehatan dan Keperawatan?

    Analisis Hukum

    Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
    Bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

    Bahwa secara umum dapat dikatakan, suatu peraturan perundang-undangan dianggap sah jika dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta dibuat sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

    Bahwa di dalam Pasal 21 ayat (7) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Pasal 16 ayat (7) UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan telah disebutkan; “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.”

    Bahwa Permen Ristek Dikti tersebut tergolong sebagai peraturan perundang-undangan (regeling) yaitu instrumen hukum yang dibentuk atas dasar kewenangan membentuk peraturan (bevoegdheid tot wetgeving), bukan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan kebijakan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung.

    Artinya peraturan kebijakan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang – oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum – tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya.

    Bahwa berbeda dengan peraturan kebijakan yang tidak terikat pada sistem hirarki, Permen Ristek Dikti ini sebagai peraturan perundang-undangan materi muatannya (het eigenaardig onderwerp) harus sesuai atau tidak boleh menyimpangi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang-undangan itu antara lain harus ada kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan.

    Bahwa meskipun Permen Ristek Dikti tersebut dibentuk atas dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan telah dibentuk oleh “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 huruf b UU No. 12 Tahun 2011, sehingga dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan, namun di dalamnya ada isi atau materi muatan yang tidak benar ditinjau dari norma keilmuan hukum atau tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011. Dengan kata lain, Permen Ristek Dikti tersebut mengandung cacat hukum (rechtsgebreken), yaitu pada Pasal 5 khususnya ayat (2) dan ayat (3).

    Bahwa Permen Ristek Dikti tersebut dikualifikasi cacat hukum (rechtsgebreken) dengan alasan-alasan sebagai berikut:

    Bertentangan dengan undang-undang;

    Pasal 21 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan secara tegas bahwa; “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.” Redaksi yang sama tentang uji kompetensi ini ditemukan juga dalam Pasal 16 UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan;

    “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi Perawat, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.” Menurut Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa; “Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya. Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi.”

    Berdasarkan ketentuan undang-undang ini telah jelas bahwa Uji Kompetensi ini dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi, dan Lembaga Pelatihan atau Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi, sementara Permen Ristek Dikti menentukan bahwa Uji Kompetensi ini dilaksanakan oleh Kementerian Ristek Dikti, Kementerian Kesehatan, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Profesi/Lembaga Pelatihan/Lembaga Sertifikasi. Dalam hal ini, Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 membentuk norma baru yang tidak ada perintahnya dalam undang-undang, yaitu menunjuk dan menetapkan keterlibatan Kementerian Ristek Dikti dan Kementerian Kesehatan dalam Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.

    Sehubungan dengan keterlibatan Kementerian Ristek Dikti dan Kementerian Kesehatan itu menyimpangi ketentuan undang-undang, sehingga keterlibatannya harus dianggap “tanpa hak” dalam kaitannya dengan pemberian Sertifikat Kompetensi. Di dalam Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan;

    “Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan Sertifikat Kompetensi.” Pelanggaran terhadap ketentuan pasal ini diancam dengan sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 93 Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi; “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

    Dengan demikian, Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 ini bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
    Melanggar Asas Preferensi; “lex superior derogat legi inferiori”

    Telah disebutkan bahwa Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 ini merupakan peraturan perundang-undangan (regeling). Sebagai peraturan perundang-undangan, Permen Ristek Dikti terikat pada sistem hirarki yang susunannya ditentukan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berkenaan dengan sistem hirarki ini berlaku asas lex superior derogat legi inferiori, artinya peraturan lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Dalam pengertian lain, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan atau menyimpangi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

    Konsekuensi yuridis asas preferensi ini adalah bahwa dalam hal peraturan yang lebih rendah itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan yang lebih rendah itu dianggap batal atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (materiale rechtskracht).

    Bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan doktrin Hukum Administrasi;

    Telah dikemukakan bahwa Kementerian Ristek Dikti memperoleh kewenangan atas dasar Pasal 21 ayat (7) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Pasal 16 ayat (7) UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan untuk membuat peraturan perundang-undangan tentang tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi, artinya Kementerian Ristek Dikti memperoleh kewenangan atribusi.
    Ketika Kementerian Ristek Dikti menerbitkan Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016, yang di dalamnya memberikan kewenangan kepada Kementerian Kesehatan untuk terlibat dalam pelaksanaan Uji Kompetensi, hal ini menunjukan adanya pendelesaian kewenangan.

    Berdasarkan Pasal 12 ayat (3) disebutkan bahwa, “Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.” Undang-undang yang terkait dengan kesehatan dan keperawatan tdak ada satu pasal pun yang mengatur tentang pemberian delegasi dalam pelaksanaan Uji Kompetensi.

    Sebagaimana halnya UU No. 30 Tahun 2014, yang mensyaratkan pemberian delegasi itu atas dasar peraturan perundang-undangan, dalam doktrin Hukum Administrasi Negara juga dipersyaratkan seperti itu; pemberian delegasi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan “delegatiegrondslag in een wettelijk voorschrift.”

    Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa dalam struktur ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia, kedudukan hukum (rechtspositie) kementerian itu berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. dengan struktur seperti itu, kewenangan kementerian itu berasal dari undang-undang dan Presiden seperti melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Kedudukan menteri-menteri dalam struktur pemerintahan di Indonesia bersifat sederajat.

    Di dalam Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 tersebut tampak bahwa Menteri Ristek Dikti memberikan wewenang kepada Menteri Kesehatan untuk terlibat dalam pelaksanaan Uji Kompetensi. Pemberian wewenang dari organ pemerintahan yang kedudukan hukumnya sederajat ini menyalahi doktrin Hukum Administrasi tentang tata cara pemberian wewenang (bevoegdheid overdracht).

    Ada Pertentangan Norma antar Ayat

    Di dalam Pasal 5 ayat (1) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 disebutkan; “Uji Kompetensi diselenggarakan oleh perguruan tinggi
    bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi,” sedangkan pada Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) ditentukan; “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membentuk Panitia Uji Kompetensi Nasional.” Dan “Panitia Uji Kompetensi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur: a. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; b. Kementerian Kesehatan; c. Perguruan Tinggi; dan d. Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi.”

    Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 berisi norma hukum yang sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sedangkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tidak sesuai dengan tiga undang-undang tersebut.

    Bahwa dengan demikian, Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan yang sah (rechtmatig), kecuali ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3). Oleh karena itu, norma Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) harus dianggap tidak memiliki kekuatan hukum baik materil maupun formil (formeel-en materiel rechtskracht).

    Konsekuensi Hukum

    Bahwa berdasarkan Pasal 62 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 12 Tahun 2012 ditentukan sebagai berikut; “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma,”, “Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi,” dan “Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh Perguruan Tinggi.”

    Berdasarkan Pasal 22 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi ditentukan; “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.” Selanjutnya menurut Pasal 22 ayat (3) disebutkan; “Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas; a. otonomi di bidang akademik, yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: 1. pendidikan; 2. penelitian; dan 3. pengabdian kepada masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. otonomi di bidang nonakademik yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: 1. organisasi; 2. keuangan; 3. kemahasiswaan; 4. ketenagaan; dan 5. sarana prasarana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Bahwa otonomi itu mengandung arti kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengelola (vrijheid en zelfstandigheid tot regelen en besturen) suatu urusan tanpa keterlibatan pihak lain.

    Bahwa setiap perumusan dan penentuan norma hukum itu diarahkan pada tujuan tertentu ketika diberlakukan atau diterapkan. Sasaran yang dituju melalui pemberlakuan norma hukum itu secara umum disebut akibat atau konsekuensi hukum (rechtsgevolgen) yang dapat berupa timbul atau hilangnya hak-hak dan kewajiban, penciptaan hubungan hukum baru, perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada, pembentukan atau pembubaran institusi, dan sebagainya.

    Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 memuat norma hukum yang berupa pembentukan kepanitiaan Uji Kompetensi Nasional yang unsurnya adalah a. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; b. Kementerian Kesehatan; c. Perguruan Tinggi; dan d. Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi.

    Bahwa pemberlakuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016, yang melibatkan Kementerian Ristek Dikti dan Kementerian Kesehatan yang merupakan unsur pemerintah tersebut, telah terjadi intervensi sehingga menimbulkan akibat hukum yang berupa hilangnya Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan proses pendidikan secara otonom.

    Bahwa dengan demikian, konsekuensi yuridis ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti tersebut adalah hilangnya otonomi bagi Perguruan Tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan bidang Kesehatan dan Keperawatan.

    Bahwa sehubungan dengan eksistensi Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan proses pendidikan itu dijamin oleh undang-undang dan peraturan pemerintah, maka peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya tidak dapat menganulir ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 harus dianggap batal atau tidak sah (onrechtmatig) dan tidak memiliki kekuatan hukum.

    Yogyakarta, 29 Januari 2019.

    Dr. Ridwan, SH., M.Hum.

  • Pemilu Serentak 2019 Role Model Pemilu Masa Mendatang

    Pemilu Serentak 2019 Role Model Pemilu Masa Mendatang

    Oleh : Ardiansyah

    Pesta demokrasi terakbar yang dilaksanakan Bangsa Indonesia setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota legislatif di setiap tingkatan serta memilih orang nomor satu di negeri yang popular dengan sebutan Gemah Ripah Loh Jinawi ini diwujudkan dalam bentuk Pemilihan Umum (Pemilu).

    Ada yang berbeda dalam pelaksanaan Pemilu pada tahun 2019 ini. Yakni, gelaran pemilihan anggota legislatif untuk tingkat DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, maupun Pusat, dan pemilihan anggota DPD RI dibarengi dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI secara serentak.

    Menyikapi hal tersebut, tentunya, diperlukan perangkat penyelenggara Pemilu yang memiliki kapabilitas, kredibilitas, dedikasi, kinerja, serta mobilitas yang ekstra tinggi guna mewujudkan Pemilu yang aman, damai, dan bermartabat.

    Diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, tentang Pemilihan Umum, penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh tiga badan penyelenggara yang saling terintegrasi, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

    Ketiga badan penyelenggara Pemilu yang disetujui melalui Rapat Paripurna DPR-RI, medio 21 Juli 2017 lalu dan disahkan Pemerintah RI, pada 15 Agustus 2017, memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda, meskipun dilindungi dalam payung hukum yang sama, yakni UU No. 7/2017.

    KPU menjadi badan penyelenggara teknis tahapan kepemiluan. Sementara Bawaslu, dikonsentrasikan pada pengawasan tahapan penyelenggaraan kepemiluan. Guna mengawasi dan mengimbangi (check and balance) kinerja dari dua badan penyelenggara yang disebutkan terdahulu, KPU dan Bawaslu, merupakan tupoksi dari DKPP.

    Dalam hal mengatasi permasalahan persengketaan kepemiluan yang mengarah pada tindak pidana Pemilu, pemerintah membentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), dengan mengintegrasikan Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian. Keberadaan Sentra Gakkumdu ini dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu.

    Pelaksanaan Pemilu di Indonesia berlandaskan pada asas Jujur dan Adil (Jurdil), serta Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER), seperti diamanatkan dalam undang-undang.

    Ada penyelenggara, tentu juga ada kontestan. Dalam hal penyelenggaraan Pemilu, yang menjadi kontestan dan/atau peserta Pemilu, seperti diatur dalam undang-undang kepemiluan, ialah partai politik yang lolos verifikasi, calon anggota legislatif di setiap tingkatan, calon anggota dewan perwakilan daerah, serta pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang kesemuanya ditetapkan melalui Peraturan KPU.

    Dalam setiap tahapan yang wajib dilalui kontestan peserta Pemilu, ada indikator penting yang tidak boleh luput dari perhatian dan pengawasan. Yaitu, indeks kerawanan tempat pemilihan suara (TPS) yang berdampak pada terhambatnya visi dan misi Pemilu aman, damai, serta bermartabat dengan berlandaskan asas pelaksanaan yang LUBER dan JURDlL.

    Indikator kerawanan tersebut ditimbulkan dari adanya kemungkinan praktik politik uang; keterlibatan aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri yang memobilisasi massa serta memfasilitasi kontestan peserta Pemilu; kampanye terselubung yang dilakukan kontestan dalam masa tenang; pendistribusian logistik di wilayah terpencil dan jauh dari jangkauan serta pemantauan; hingga manipulasi data pemilih dalam penghitungan suara. Indeks kerawanan Pemilu ini sangat berpotensi terjadi di TPS.

    Untuk itu, langkah antisipasi guna memutus mata rantai indeks kerawanan Pemilu menjadi tugas dan kewajiban khusus badan penyelenggara, dalam hal ini Bawaslu. Guna memperpendek rentang kendali pengawasan Pemilu di TPS, Bawaslu mengambil langkah dengan melegalisasi relawan independen pemantau Pemilu serta jaringan masyarakat yang turut serta mengawasi mekanisme dan tahapan pelaksanaan pemilihan umum, dengan sebelumnya lolos verifikasi KPU.

    Pada Pemilu Serentak 2019 ini, tercatat lembaga independen pemantau Pemilu yang melibatkan komunitas masyarakat, diantaranya Masyarakat Pers Pemantau Pemilu (MAPPILU), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Laskar Anti Korupsi Indonesia, dan Pijar Keadilan, serta Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI).

    Dengan sinergisitas seluruh badan penyelenggara Pemilu beserta lembaga independen yang melibatkan masyarakat untuk melakukan pengawasan, tentu akan mempersempit ruang dan gerak kontestan peserta Pemilu yang dimotori mesin partai beserta simpatisan tim pemenangannya yang hendak berperilaku curang dengan indikator indeks kerawanan Pemilu.

    Dengan demikian, Pemilu Serentak yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 nanti dapat terselenggara dengan mengedepankan prinsip kemandirian, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien. Harapan mewujudkan pesta demokrasi yang adil, aman, dan bermartabat, pada Pemilu Serentak 2019, dapat terealisasi dan dijadikan rujukan sebagai role model (contoh dan panutan) pelaksanaan Pemilu di masa mendatang.  17 April 2019, Ayo ke TPS !

    penulis adalah wartawan Media Siber Sinarlampung.com Biro Lampung Utara

  • Peran Ghaib Dalam Politik Elektoral

    Peran Ghaib Dalam Politik Elektoral

    Oleh: Handoko (Ketua PC IMM Pringsewu bidang riset dan keilmuan)

    Tulisan ini sebenarnya bermula pada diskusi kecil yang sempat terdengar di nuansa pilkada serentak pada tahun 2017. Menjadi sedikit menarik untuk di tulis dalam bentuk naskah terutama menjelang Pemilu 2019. Tahun 2019 ini akan menjadi sejarah penting bagi demokrasi di negara kesatuan republik indonesia. Pasalnya ini adalah pemilu serentak pertama kali untuk memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD serta Presiden dan wakil presiden. Nuansa politik jelang pemilu 2019 yang di bingkai sebagai pertarungan antara Jokowi versus Prabowo, sekaligus Megawati versus SBY dan secara luas juga pertarungan calon legislative yang memperebutkan kursi di dapilnya masing-masing.

    Untuk memberikan waktu kepada kontesti pemilu mengenalkan diri pada masyarakat, KPU memberikan masa kampanye yang cukup panjang berdasarkan Peraturan KPU Nomor 32 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 dimulai tanggal 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Tentu akan banyak strategi yang dilaksanakan oleh tim pemenangan para calon untuk memikat hati sang pemilih dalam waktu kurang lebih 6 Bulan itu.

    Namun nampaknya kontestan pemilu 2019 bukan hanya pertarungan para calon pemangku kursi Supra-Struktur saja, tapi juga pertarungan dimensi ghaib Keagamaan dan pertarungan ghaib dalam frame (Mistisme). dimensi ghaib keagamaan para kontesti pemilu 2019 sangat menarik diperbincangkan. Tentunya para kontesti akan mencari tempat strategis untuk mendapatkan suara mayoritas yang bersinggungan dengan dimensi keagamaan. Mulai dari rutinnya para kontestan pemilu untuk hadir di acara-acara keagamaan. sampai kebiasaan baru yaitu sedekah sosial yang dikeluarkan oleh para kontestan pada calon pemilih. Dengan demikian Bawaslu akan kesulitan untuk mencari delik yang berkaitan dengan prilaku yang dilakukan oleh para kontesti pemilu 2019.

    Peran ghaib dalam dimensi keagamaan juga kerap kali menjadi sasaran empuk. Memanfaatkan tempat ibadah yang esensinya dipergunakan untuk sarana komunikasi manusia kepada yang ghaib (Tuhan nya) menjadi sarana perkenalan diri oleh para kontestan. Seperti yang marak disiarkan berbagai media. Sepanjang tahapan kampanye, banyak ditemukan dugaan pelanggaran kampanye ditempat ibadah. Tentunya sangat disayangkan citra demokrasi yang seharusnya kaya akan gagasan visi misi sehat dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih baik, harus bersinggungan dengan dimensi ini dan kaya akan berbagai isu sara yang berpengaruh pada wajah demokrasi kita.

    Disisi lain, Pertarungan dimensi mistisme  ditandai dengan maraknya ramalan tentang masa depan, menerawang dimensi “tidak kasatmata” percakapan segelintir elite, memanipulasi kesadaran massa lewat mitos-mitos, mendatangi makam-makam kramat untuk menarik perhatian pemilih dan ma. Inilah fenomena mistik politik itu. Menurut buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950, Mr. G.B.J. Hiltermann dan Prof.Dr.P. Van De Woestijne halaman 971 dibawah kata mystiek) kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis).

    Paham mistik atau mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya. (Wikipedia contributors. “Mistisisme.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. Wikipedia, The Free Encyclopedia, 14 Maret. 2019. Web. 14 Maret. 2019)

    Budaya Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara rasional yang lebih maju seperti Jerman dan Jepang. banyak perilaku para calon pemimpin kita yang tidak masuk akal (irasional). Animism dan dinamisme telah lama tumbuh mengakar dan mewarnai bumi nusantara sehingga memang sangat sulit untuk dipisahkan dari “akal sehat” masyarakat.

    Gie pernah berkata, bahwa suatu dasar kebudayaan yang kuat tak pernah dapat dikalahkan oleh pengaruh kebudayaan lain. Apa mungkin cara berpikir tentang makhluk ghaib (Mistisme) bangsa Indonesia sudah mengakar kuat dan membudaya, sehingga sulit luntur? Tidak lain, karena terus menerus terdoktrin oleh generasi terdahulu yang mewarisi perbudakan kolonialisme dan feodalisme tradisional. Bahkan hingga saat ini doktrin tersebut masih tumbuh subur berkembang di kancah politik elektoral

    Generasi terus berubah menuju kemajuan, tapi tidak semua umat manusi mengalami kemajuan akal sehat. Hampir 74 tahun Negara ini merdeka, tapi nyatanya tidak menjadi dalil bahwa cara berfikir sehat bangsa ini benar-benar bebas. Inilah gambaran realitas bangsa Indonesia. Perbudakan atas mistisme bangsa Indonesia belum bertitik. Mistisme malah menjadi senjata ampuh bagi para kontestan pemilu yang memainkan peran dalam posisi yang setrategis seiring dengan jiwa kebudayaan Indonesia.

    Peran ghaib dalam dunia politik yang dimanfaatkan politisi tercermin bukan hanya mengundi nasip pada peramal, tapi juga prilaku mereka yang sering membangun citra kaya akan manipulasi. Kemudian dibangunlah dongeng yang di sebarkan di tenga calon pemilih seperti yang bersangkutan keturunan dari para raja yang memiliki historis mendalam pada masyarakat. Sempat terfikir dalam benak penulis, “Mungkinkah para mahluk ghaib memiliki kubu koalisi yang saling serang kekuatan mistisnya?

    Kancah politik elektoral memerlukan perhitungan yang logis dan rasional. Dapat kita lihat bahwa peran mahluk ghaib dalam kekuasaan merupakan paham yang seharusnya sudah lama ditinggalkan. Pada zaman tradisional, dukun mengandalkan rapalan mantra, jimat, pasang susuk. Di era millennial dukun tradisional seharusnya sudah gulung tikar dan digantikan dengan dukun politik modern dengan mengandalkan lembaga survey, pengamat, dan para broker. Dari analisis inilah para elit politik yang menjadi kontestan pemilu 2019 mengatur strategi yang santun dalam perburuan kursi supra-struktur serta optimis dalam kemampuannya sendiri.

    Berbagai data yang dihasilkan dari para analisator harus nya mampu menjadi acuan langkah gerilya para kontestan untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas. Pertarungan  yang di nampakkan ke publik merupakan pertarungan akal (Ghazwul Fikri), bukan pertarungan antar hal ghaib dan pertarungan dengan memainkan isu sara yang melibatkan suku, ras, dan agama. Sehingga para kontestan yang lolos menduduki kursi Supra-Struktur merupakan wakil rakyat yang berkualitas yang steril dari pertarungan ghaib.

    Ini merupakan citra elektoral yang rasional kaya akan exspresi dalam momentum demokrasi untuk meyakinkan para pemilih. Berbagai tahapan diberikan oleh KPU kepada kontestan pemilu 2019. Dimulai dengan reformasi regulasi sampai longgarnya tahapan kampanye dengan harapan wajah demokrasi Indonesia mengalami kemajuan dan menghasilkan pemilu yang benar-benar sehat. (***)

  • Jalan Rusak Papua Barat Sampai Kapan?

    Jalan Rusak Papua Barat Sampai Kapan?

    Oleh : Bustam

    Akses jalan merupakan salah satu kebutuhan utama yang dibutuhkan masyarakat, karena sangatlah penting untuk melakukan aktivitas. Jalan yang menghubungkan Kabupaten Manokwari Selatan menuju Kabupaten Teluk Bintuni atau sebaliknya di Papua Barat ini, kini rusak parah.

    Jalan yang telah rusak parah kurang lebih dua bulan ini menjadi masalah serius di Papua Barat, yang perlu mendapat penanganan cepat. Karena sangat menghambat perjalanan masyarakat maupun pendistribusian bapok yang melewati jalan satu-satunya ini.

    Saat melewati jalan ini, Jumat dan Minggu lalu, saya mengamati volume kendaraan yang melewati jalan ini cukup banyak. Sering kali terjadi pertemuan antara kendaraan yang hendak ke Bintuni maupun ke arah Mansel dalam jumlah mencapai puluhan.

     

    Rusaknya jalan persis di daerah Mamey, Kabupaten Manokwari Selatan ini, membuat pengguna jalan tidak merasa nyaman. Karena waktu tempuh yang biasanya empat hingga lima jam, bisa ditempuh hingga 16 jam. Bahkan truk-truk pengangkut bapok bisa bermalam dua hingga tiga hari di daerah lumpur ini.

    Tentu ada kerugian yang sangat penting yang harus di terima ketika harus setiap saat melewati jalanan tersebut, yaitu perjalanan terhambat, menjadi lambat sampai ke tujuan dan onderdeal di kendaraan pun akan mudah rusak.

    Bahkan ada juga kendaraan yang terbalik, karena terperosok masuk ke dalam lubang. Kerugian ini akan terus di rasakan selama jalan yang di lewati ini masih rusak.

    Saat cuaca panas, jalanan ini akan mengeras, dan masih mudah untuk dilalui, namun jika turun hujan, seperti akhir-akhir ini, membuat jalan tersebut semakin tak berbentuk. Banyak kolam-kolam seakan-akan menjadi ranjau buat si pengendara. Pengendara harus pintar-pintar memilih dan memilah dalam melewati jalan tersebut, kalau tidak maka akan terjebak.

    Sampai kapan jalan ini akan mudah untuk dilewati? Hendaknya dalam mengatasi masalah ini, bisa dilakukan lebih cepat, agar masyarakat tidak terus mengalami kerugian saat menerobos jalan ini. (***)

    Penulis Adalah Ketua PWI Papua Barat

  • Luna Maya juga Manusia

    Luna Maya juga Manusia

    Oleh: Wirahadikusumah

    Beberapa hari belakangan ini jagat dunia hiburan sedang dihebohkan pernikahan Reino Barack dan Syahrini. Pernikahan keduanya yang berlangsung di Jepang itu menyeret-nyeret nama Luna Maya.

    Wajar. Sebab, Luna adalah mantan kekasih Reino. Sebelumnya, mereka pernah berpacaran selama lima tahun. Dan baru beberapa bulan hubungan asmara keduanya putus, Reino menikahi Syahrini yang merupakan temannya Luna.

    Dalam tulisan ini, saya bukan ingin membahas pernikahan Reino dan Syahrini. Tetapi lebih kepada Luna.

    Hal ini bukan karena saya tidak suka Reino dan Syahrini. Salah satu sebabnya, karena saya tidak pernah bertemu keduanya. Sementara dengan Luna, saya pernah dua kali bertemu langsung.

    Bahkan, di pertemuan kedua saya sempat mengobrol dengannya sekitar satu jam dalam satu ruangan.

    Kali pertama saya melihat Luna secara langsung pada akhir Januari 2010 di Jakarta Convention Centre (JCC).

    Saat itu saya sedang menjalani tugas dari kantor untuk meliput kedatangan trophy piala dunia ke Indonesia atas undangan PT Coca Cola.

    Saya mendapati Luna Maya tengah duduk di kursi pada salah satu ruangan di JCC dengan “hiasan” roll di poni rambutnya.

    Kala itu, dia tengah bersiap-siap menjalankan tugasnya sebagai salah satu host acara musik di RCTI bernama Dahsyat yang sedang mengadakan siaran langsung dari JCC.

    Sayang, saat itu saya tak sempat mengobrol dan berfoto dengan Luna. Karena saya lebih memilih mengantri berfoto dengan trophy piala dunia.

    Namun, foto Luna tengah memakai “hiasan” roll di poni rambutnya berhasil saya dapatkan.

    Pertemuan kedua adalah saat dia menyambangi Graha Pena Lampung (markas SKH Radar Lampung) bersama Chicco Jerikho dan rombongan pada Juli 2017.

    Kedatangan dua artis papan atas Indonesia itu dalam rangka promosi film berjudul Filosofi Kopi 2 yang mereka bintangi.

    Saya yang saat itu masih bekerja di Radar Lampung ikut menyambut kedatangan keduanya di pagi hari itu.

    Saya ingat saat itu, kami sempat terkejut lantaran Luna mengaku lapar karena belum sarapan.

    Kami sempat sedikit kelabakan. Sebab, saat itu hanya makanan ringan berupa kue dan roti yang disiapkan.

    Saya kian terkejut ketika Luna menyampaikan jenis makanan yang dimaunya saat itu.

    Ternyata bukan spaghetti, sandwich, hamburger, atau makanan ala ke barat-baratan. Yang dimintanya cuma lontong sayur.

    Kami pun membeli lontong sayur di warung dekat Graha Pena Lampung. Dan saat itu, Luna tidak canggung sama sekali menyantap makanan khas Indonesia tersebut.

    Sembari menikmati lontong sayur, dia sempat mengomentari jalan dari Bandara Internasional Radin Inten II ke Graha Pena Lampung yang menurutnya tidak begitu mulus saat itu.

    Kemacetan akibat pembangunan Fly Over Mall Boemi Kedaton (MBK) juga tak luput dikomentarinya. Saat itu, Fly Over MBK memang sedang dalam masa pembangunan.

    Sementara, kepadanya saya sempat mempromosikan destinasi wisata yang ada di Lampung. Di antaranya Pulau Pahawang, Pantai Tanjung Setia, hingga Teluk Kiluan.

    Usai makan, Luna dan Chicco melayani pertanyaan reporter Radar Lampung dan Radar Lampung TV terkait film yang dibintangi mereka.

    Selanjutnya keduanya juga melayani permintaan selfie beberapa karyawan Radar Lampung (termasuk saya) serta para fans-nya di Graha Pena Lampung.

    Dari pertemuan singkat itu, saya dapat menyimpulkan bahwa Luna adalah sosok perempuan yang pintar. Itu terlihat dari jawaban yang disampaikannya saat melayani pertanyaan-pertanyaan reporter kepadanya. Dia juga terlihat ramah melayani siapapun yang ingin berfoto bersamanya.

    Luna juga adalah sosok perempuan yang kuat dan tidak manja. Buktinya pada hari itu, dia menerima kenyataan harus pulang ke Jakarta lewat jalur darat lantaran tidak mendapatkan tiket pesawat.

    Sebab, hari itu bertepatan dengan hari terakhir peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang dipusatkan di Lampung. Sehingga tiket pesawat habis diborong para delegasi yang datang dari berbagai provinsi di Indonesia untuk pulang ke provinsinya masing-masing.

    Sosok kuatnya seorang Luna Maya juga bisa dilihat dari keberhasilan dia melewati persoalan video Ariel Noah beberapa tahun silam.

    Buktinya, dia masih eksis di jagat dunia hiburan. Bahkan informasi yang saya terima, bisnis-bisnis yang dirintisnya kini kian menjulang.

    Namun, dibalik kuatnya Luna tersebut, dia juga seorang manusia. Yang masih membutuhkan Tuhan dalam menjalankan hidup meskipun hartanya sudah berlimpah ruah.

    Buktinya, kini dia memilih mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk menjalankan umrah di Tanah Suci.

    Kemungkinan selain untuk ibadah, tujuan lainnya untuk “mengobati” hatinya yang saya yakini saat ini sedang “sakit”.

    Dan sebagai orang yang pernah bertemu langsung Luna Maya, saya mengapresiasi pilihannya tersebut.

    Sebab, Luna ternyata bukan tipe orang yang berusaha menenangkan pikirannya melalui jalur yang dilarang agama.

    Dia bukan tipe perempuan yang ketika ditimpa masalah lalu menenangkan pikirannya dengan shopping gila-gilaan. Atau tidak makan seharian. Bahkan ada yang memilih mabuk-mabukkan sampai mengonsumsi narkoba dengan alasan untuk mendapatkan ketenangan jiwa.

    Dia tahu, dengan bercerita dan lebih mendekatkan diri ke Tuhan-lah, maka ketenangan batin akan didapat.

    Karena itu, semoga dengan menjalani umrah, Allah SWT memberikan hidayah kepadanya. Mengampuni semua dosa-dosanya. Dan memudahkan semua urusannya. Serta mempercepat jodohnya.

    Saya yakin selepas umrah, Luna akan lebih kuat menjalani kehidupannya ke depan. Terlebih, informasinya kini dia sedang menyukai puisi-puisi karya Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad.

    Karenanya di akhir tulisan ini saya “menghadiahi” Luna dengan puisi karya penyair sufi tersebut.

    Kembali Pada Tuhan

    Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Begitulah caranya!

    Jika engkau hanya mampu merangkak, maka merangkaklah kepada-Nya!

    Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk, maka tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan. Karena Tuhan, dengan rahmat-Nya akan tetap menerima mata uang palsumu!

    Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan, maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja. Begitulah caranya! Wahai pejalan!

    Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji, ayoklah datang, dan datanglah lagi!

    Karena Tuhan telah berfirman: “Ketika engkau melambung ke angkasa, ataupun terpuruk ke dalam jurang, ingatlah kepada Ku, karena Akulah jalan itu,”.(*)

  • Mahasiswa Estafet Generasi: Kemana Mereka?

    Mahasiswa Estafet Generasi: Kemana Mereka?

    Oleh : Handoko

    (Ketua Bidang Riset dan Keilmuan PC IMM Pringsewu)

    Memasuki abad ke 21 khususnya Indonesia, fenomena-fenomena yang sangat memprihatinkan ada di depan kita bahkan kita mampu rasakan setiap hari. Kita sebagai pemain aktifitas mikro harus berjuang untuk melawan “Status quo” para sang pengendali kursi supra-struktur. Bagaimana prilaku sang penguasa terhadap masyarakat. Mereka bersembunyi dibalik papan nama amanat rakyat yang kemudian memainkan peran kamuflase. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi budaya dan trend yang sangat populer melekat pada jiwa penguasa sehingga mengubah tatanan perekonomian secara makro. Berbagai macam cara dilakukan oleh sang penguasa untuk melegalkan perbuatannya.

    Pada akhirnya, watak yang di tampilkan oleh sebuah kekuasaan adalah “Watak Jahat”. Kekuasaan yang berwatak jahat akan menghasilkan supra struktur dan hokum seperti anjing penjaga yang terbungkus kedalam berbagai doktrin yang mana digunakan untuk mengendalikan kekuasaan tersebut. Dalam buku Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syariati (Eko Supriyadi, 2003) mengemukakan bahwa, realitas yang sedang terjadi begitu Nampak terlihat, ujaran kebencian terhadap agama dan ayat – ayat Al’Quran diplintirkan ke kanan dan kekiri disulap sebagai senjata untuk mengelabuhi sehingga kebenaran menjadi seperti sayur tanpa garam, sementara kejahatan layaknya seperti makanan yang enak lagi halal dan terasa nikmat.

    Keadilan layaknya benda antik yang sangat sulit ditemukan di pasar pasar, bahkan kebenaran tidak mampu keluar dari balik para pecundang. Ini memberikan suatu tanda kepada kita bahwa bobroknya sistemkarena moral sumber daya manusia yang menduduki kursi supra-struktur sangat memprihatinkan.

    Padahal sebagai pemegang kekuasaan, orientasi kebijakan pada kesejahtraan masyarakat harus dikedepankan. Otoritas yang dimiliki harus dipergunakan sebaik mungkin sehingga output yang di capai adalah “Kesejahteraan”. Ciri ciri kekuasaan yang baik (Benevolent) adalah, (1)  kekuasaan yang berwatak mengabdi pada kepentingan umum, (2) Kekuasaan yang melihat kepada lapisan masyarakat yang susah, (3) Kekuasaan yang selalu memikirkan kepentingan public, (4) Kekuasaan yang kosong dari kepentingan subyektif, (5) Kekuasaan yang mengasihani. (Satjipto Raharjo, 2010 : 158)

    Terjebak Dalam Arus

    Ditengah perburuan dunia ini bukannya memerangi, manusia justru cenderung ikut terjerumus pada pusaran pusaran matrealisme dengan seluruh antek antek ideologinya. Bagaimana ideology tersebut sangat deras membanjiri otak-otak manusia sehingga membendung akal sehat dan nuraninya untuk keluar dari fenomena-fenomena tersebut diatas. mereka saling bertikai merebutkan kenikmatan-kenikmatan sementara dalam perburuan dunia dan lupa dengan semangat gotong royongnya dan kekeluargaan yang menjadi pilar penting terhadap kuatnya tatanan mereka.

    Lain halnya dengan mahasiswa. Pemuda yang berasal dari tatanan masyarakat digadang gadang mampu menjadi “problem solving” dari berbagai fenomena diatas, namun sepertinya mereka sudah kehilangan harta yang paling berharga, yaitu “Nurani” dan “Akal sehat”. Tapi anehnyan kehilangan itu tidak menjadi sebuah penyesalan yang berarti. Justru mereka menari-nari dan berlenggak lenggok berjalan tanpa menghiraukan apa yang terjadi. Fenomena-fenomena di atas seolah tidak pernah terjadi dan dibiarkan lewat begitu saja tanpa mampir di benak mereka . Karna kondisi jiwa mahasiswa sudah jauh berubah. Cara pandang, gaya hidup, kecenderungan berfikir pada satu doktrin yang abal-abal, pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang bernama “ Hedonisme” dan saudara kembarnya “Materialisme”.

    Meskipun tidak semua, hampir semua mahasiswa saat ini mampu mengkritik kubangan bersaudara tersebut (Hedonisme dan Matrealisme). Mereka menganggap menjadi mahasiswa yang benar dengan kritik-kritiknya, namun nyatanya merekalah yang terjebak dalam buaian-buaian hedonis-materialis. Mereka tidak sadar alih alih membela kepentingan rakyat, justru mereka malah menjadi pelaku hedonis-matrealis dan memupuk praktek hedonis-matrealis sejak dini sehingga tumbuh dengan subur dan membuka peluang untuk memunculkan generasi baru sang penguasa perusak di generasi yang akan datang.

    Hilang Karena Sistem

    Tak bisa dipungkiri, historis keheroikan gerakan mahasiswa telah menggoreskan banyak catatan-catatan gerakan pembaharuan. Sikap kritis dan kepedulian terhadap kondisi riil masyarakat terus dimiliki mahasiswa sehingga tak segan-segan melakukan pengorbanan demi kejayaan bangsanya. Bisa kita lihat di Indonesia, sejak sumpah pemuda sampai proklamasi kemerdekaan, kaum intelektual muda sudah memiliki peran besar.

    Gerakan intelektual muda atau sebut saja gerakan mahasiswa telah mampu mendorong terjadinya people power, yang melahirkan perubahan haluan bagi tatanan kehidupan bernegara dan pembangunan iklim demokrasi. Reformasi adalah contoh yang paling segar yang dapat kita pelajari. Bagaimana reformasi dapat meruntuhkan dominasi otoritarian orde baru dan mewujudkan sebuah tatanan demokrasi bagi Indonesia baru.

    Sekali lagi itu semua tidak lepas dari dorongan gerakan mahasiswa yang menjadi penggerak sehingga mendapat dukungan rakyat secara penuh. Catatan lain yang ditoreh misalnya gerakan penggulingan orde lama pada tahun 1966, gerakan mahasiswa 1974 dan gerakan mahasiswa dalam rentang 1980 hingga 1990an yang masing masing memiliki peranan penting dan mengambil strategi “gerilya” sebagai ciri untuk melawan tindakan otoriter kampus dan pemerintahan.

    Berbagai catatan history tersebut tentunya akan menjadi sebuah poin penting bagi para penguasa “jahat” yang menduduki kursi “supra-Struktur. Mahasiswa yang kritis dan peka akan lingkungan tentunya akan memiliki potensi ancaman terhada para pemangku kekuasaan yang korup dan otoriter. Dimata penguasa, membiarkan gerakan mahasiswa terus tumbuh, berkembang, dan meluas merupakan bahaya laten bagi eksistensi kekuasaan. Maka dari itu berbagai upaya kerapkali dilakukan oleh penguasa atau para pengambil kebijakan dalam mematahkan atau minimal meredam potensi hadirnya gerakan mahasiswa yang akan menjadi penyeimbang terhadap posisi kekuasaan.

    Lewat berbagai kebijakan dan teknik, upaya pelemahan, penggerusan maupun pembekuan gerakan mahasiswa lewat berbagai kebijakan sistem akademik terus dilakukan. Inilah beberapa pola yang transparan dapat kita lihat dalam dunia kampus dan perkuliahan dalam upaya pelemahan gerakan mahasiswa.

    Pertama, kebijakan sistem SKS (kredit semester) dan drop out (DO). Dalam perspektif rektorat, kebijakan ini merupakan upaya menjaga mutu fakultas atau jurusan yang bersangkutan. Namun dalam pandangan kebutuhan gerakan mahasiswa, sistem ini justru mengorientasikan mahasiswa untuk fokus hanya pada soal akademik dan mengesampingkan kebutuhan sosial-politik bangsa akan hadirnya mahasiswa yang kritis dan peduli.

    Kedua, Ongkos pendidikan perguruan tinggi. Mahalnya biaya di perguruan tinggi menjadikan mahasiswa tidak ingin terlibat dalam organisasi kemahasiswaan serta hanya berpikir kuliah dan mendapatkan hasil ujian memuaskan.

    Ketiga, pembangunan paradigma mahasiswa akademis yang berkutat di ruang pengap (ruang kuliah dan perpustakaan).

    Keempat, pemberian beasiswa kepada para aktivis kampus yang dinilai vokal dan rajin mengkritik.

    Indikasi-indikasi di atas perlu diperhatikan cermat dan dikoreksi ulang. Mahasiswa aktivis belum tentu ber-IPK buruk. Banyak kita jumpai mahasiswa aktivis yang memiliki IPK 3 ke atas dan lulus cepat. Saat ini pusaran materialis-hedonis mahasiswa harus diakui semakin mengakar di tengah gerakan mahasiswa. Masuk kuliah sekadar mengisi presensi, mencatat jika tidak malas, melakukan copy-paste pada tugas makalah dan paper serta menyontek saat ujian telah berjangkit lama di dunia kampus.

    Mahasiswa dengan IPK tinggi juga tidak menjadi tolak ukur dikatakan akademis karena ukuran untuk menilai akademis atau tidak cukup kabur saat ini. Perlu di ingat bahwa IPK tinggi akan mengantarkan kita mendapat kesempatan wawancara, tapi kepemimpinan, daya kritis dan kepekaan yang akan mengantarkan kita menjadi kader bangsa sejati. Dan itu bisa diperoleh dari dunia gerakan (Gerakan Mahasiswa).

    Organisasi Mahasiswa sebagai Solusi

    Berbagai rentetan fenomena kekuasaan dan dinamika kemahasiswaan tentunya menjadi sorotan yang sangat mencolok. Menjdi duka yang sangat mendalam ketika penguasa yang “jahat” dibiatkan begitu saja dan mahasiswa tertidur pulas dalam pangkuan matrialis-hedonis dan rekayasa sistem kampus. Harus ada yang mampu merebut mahasiswa dari  dari pangkuan materialis-hedonis dan mengasah taring yang telah tumpul untuk mengganyak sistem kekuasaan yang “jahat”.

    Hadirnya Organisasi Mahasiswa sebagai sebuah solusi dalam memecahkan permasalahan permasalahan ini. Menanamkan idealisme sebagai mahasiswa dan menggembleng karakter heroik dalam diri mahasiswa seperti menanamkan kejujuran, kecintaan terhadap tanah air serta ketaatan dalam agamanya. organisasi mahasiswa yang mampu menjadi wadah pendidikan karakter seorang mahasiswa sehingga mampu menjadi muadzin yang mengumandangkan kebenaran yang haq dan senantiasa memerangi kebatilan.

    Selain itu organisasi mahasiswa juga harus mampu membendung derasnya arus matrealis-hedonis yang membanjiri orientasi mahasiswa kebanyakan. Dan lebih jauh, organisasi mahasiswa juga harus mampu membendung dan menyortir berbagai ideology yang masuk seperti komunisme, liberalisme, radikalisme, terorisme sampai jaringan gelap freemasonry yang sangat mengancam keutuhan NKRI dan kenyamanan dalam beribadah.

    Tidak Dimemanfaatkan Globalisasi.

    Seiring bergantinya waktu, perubahan demi perubahan akan terus terjadi. Perubahan yang terjadi sebenarnya dapat menjadi peluang bagi Mahasiswa dan setiap organisasi apa saja untuk menempatkan dirinya secara layak dan memberikan sumbangsih berbagai pemikirannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Namun yang terjadi sebaliknya. Dalam skala global, perubahan tersebut justru banyak merugikan berbagai organisasi. Mulai dari organisasi kecil sampai organisasi besar. Bahkan Prubahan secara global telah memangsa organisasi raksasa seperti uni soviet.

    Dalam buku Mahasiswa dan masa depan politik Indonesia Mohammad Djazman Alkindi (1993) dalam sebuah refleksi menyampaikan bahwa sebagaimana Soviet Rusia telah berhasil ditenggelamkan oleh proses globalisasi, yang sekedar disebabkan oleh perbedaan peandangan tentang saat yang tepat untuk membuka diri, khususnya dibidang ekonomi. Perbedaan pandangan antara Gorbachev yang moderat dengan yeltsin yang radikal, tidak saja menjatuhkan Gorbachev tetapi juga telah memecah belah Soviet Uni dan menenggelamkan komunisme sebagai ideologi Negara.

    Globalisasi akan menjadi manuver politik berbagai sektor ideology besar dan kekuasaan supra-struktur. Objek yang sangat menjanjikan adalah mahasiswa dan berbagai organisasi kemahasiswaan. Tentunya menjadi suatu respon yang sangat berciri khas bagi mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan, adalah reaksi yang vulgar untuk merubah dictum “dimanfaatkan Globalisasi” menjadi “Memanfaatkan Globalisasi”.

    Kita dapat belajar bagaimana berbagai organisasi besar bisa tergilas oleh perubahan global, sehingga bisa menjadi sarana edukasi bagi mahasiswa dan organisasi mahasiswa untuk memantaskan diri dan memanfaatkan globalisasi untuk berjuang dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan menggapai ridho illahi.

    Bukan sekedar Pelanjut

    Generasi muda atau mahasiswa secara spesifik tentunya akan menjadi ahli waris (Regenerasi) dari masa sebelumnya. Bahkan secara makro, Mahasiswa akan menjadi pewaris cita-cita suatu bangsa yang besar. Oleh karna itu, Mahasiswa harus menjadi sumber daya manusia yang unggul, baik unggul secara teori maupun secara praktek. Dalam rangka mempersiapkan generasi yang unggul, maka perlu ditanamkan dan ditumbukan kesadarannya dengan menggali lebih dalam idealisme dan wawasan pengetahuan lintas masa. Mahasiswa juga harus mampu menerapkan kedisiplinan, budi pekerti dan kesantunan, memupuk daya kreatif dan inovasi demi kemandirian.

    Sektor ini tentunya akan sangat penting, mengingat yang akan mereka lawan adalah nafsu akan kekuasaan yang matrealis-Hedonis, mahasiswa akan  bertempur dengan dirinya sendiri. Seperti yang telah disebutkan diatas, mahasiswa akan dihadapkan pada arus yang mana mereka bisa terjebak didalamnya dan justru berbalik menjadi generasi perusak.

    Dilain sisi, berbagai ideologi besar yang berorientasi negative seperti komunisme, liberalisme, Materialisme, bahkan ideologi-ideologi seperti LGBT dan jaringan gelap freemasonry baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi akan ikut mensukseskan pembentukan karakter para mahasiswa sebagai generasi penerus. Mereka akan senantiasa ikut andil didalamnya sehingga perlu adanya.

    Dimensi ideologis sangatlah penting dan mutlak harus dimiliki seorang generasi penerus. Dimensi ini akan menjadi tumpuan kearah mana mahasiswa akan berjuang. Mahasiswa harus mengambil peran dalam mengembangkan idealismenya, menjadi muadzin dalam mengumandangkan kebenaran yang haq dan memerangi kebatilan, memerangi gencetan materialism di kalangan penguasa dan menjadi pendidik dan menumbuhkan kemurnian berfikir masyarakat awam.

    Mahasiswa bukan sekedar menjadi pelanjut dari generasi pendahulunya serta bukan pula sebagai penggerak dari bangunan gedung yang sudah selesai. Namun mahasiswa adalah stok inovasi dan kreativitas yang sangat strategis untuk keberlangsungan generasi. Seperti ungkapan seorang ulama “tegak berdirilah engkau dengan akal pikiranmu dalam hidup ini untuk berjuang, sebab sesungguhnya kehidupan itu adalah keyakinan dan perjuangan,” (***)

  • Jalur Tol Tak Cair, Keberhasilan Presiden Diduga “Digoreng”

    Jalur Tol Tak Cair, Keberhasilan Presiden Diduga “Digoreng”

    Oleh: Gindha Ansori Wayka, SH, MH

    Dosen Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK) Poltekkes Tanjung Karang, Koordinator Presidium KPKAD (Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah) Provinsi Lampung.

    Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Bergerak dari ketentuan hukum ini, maka kemudian Negara memiliki peran yang luar biasa dalam menentukan penguasaan tanah untuk kepentingan umum atau kepentingan rakyat banyak. Oleh karena Negara memiliki otoritas penuh yang diwakili oleh Pemerintah Pusat, maka di rumuskan apakah yang dimaksud dengan kepentingan umum.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 6 (enam) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.  Dengan penguasaan yang cukup besar tersebut, Negara cukup berperan dalam mengembangkan hidup masyarakat yang ada di dalamnya, karena Negara menguasai hajat hidup orang banyak (rakyat).

    Lalu, terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang didasari oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dilatarbelakangi pula oleh pemikiran bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan. Untuk menjamin terselenggaranya dan terwujud pembangunan untuk kepentingan umum, maka diperlukan tersedianya tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil.

    Selama ini regulasi yang terbit mencerminkan bahwa peraturan Perundang-Undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan, oleh karenanya penting di undangkannya Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, kata Ansori.

    Di dalam Pasal 2 huruf (d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dijelaskan bahwa Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas Kepastian, namun nampaknya asas ini hanya tinggal di lembaran undang-undang saja karena setiap proses ganti kerugian yang masih dalam sengketa harus menunggu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht).

    Pada dasarnya jeritan rakyat di beberapa Daerah di Indonesia karena tanah miliknya yang dilalui Jalur Tol belum dibayar adalah fakta hukum, karena meski Negara sudah mengeluarkan dana untuk membebaskan tanah tersebut ternyata dananya masih dititipkan di Pengadilan karena ada sengketa, hal ini merujuk pada Ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

    Nah, yang menjadi penyebab malapetaka dalam bidang hukum terutama dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah lemahnya daya jangkau Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 itu sendiri, dimana Undang-Undang ini tidak tegas dalam merumuskan Pasal di dalamnya terkait mekanisme penyelesaian sengketa tanah antar warga untuk kepentingan umum. Seharusnya di dalam Undang-Undang ini di atur mengenai apabila tanah tersebut sengketa kepemilikan antar masyarakat, maka diselesaikan dengan cara yang cepat dan penyelesaiannya bukan melalui gugatan biasa dan pada umumnya.

    Tetapi anehnya di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 itu hanya mengatur mekanisme penyelesaian terkait PENETAPAN LOKASI sebagaimana Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan MENGENAI TIDAK TERJADINYA KESEPAKATAN MENGENAI BENTUK/DAN ATAU BESARNYA GANTI KERUGIAN sebagaimana Ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

    Mekanisme penyelesaian dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini cukup cepat apabila ada keberatan penetapan lokasi yakni dengan 30 hari sejak penetapan lokasi harus menyampaikan keberatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), 30 hari PTUN harus menyatakan menerima atau menolak keberatan, 14 hari pihak yang keberatan mengajukan kasasi, Mahkamah Agung menolak atau menerima keberatan setelah 30 hari permohonan kasasinya diterima.

    Begitu juga dengan tidak terjadinya kesepakatan mengenai bentuk/dan atau besarnya ganti kerugian sebagaimana ketentuan pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 proses penyelesaiannya cepat yakni dengan 30 hari sejak ada keberatan soal bentuk dan besaran ganti rugi harus menyampaikan keberatannya ke Pengadilan Negeri, 30 hari Pengadilan Negeri harus menyatakan menerima atau menolak keberatan, 14 hari pihak yang keberatan mengajukan kasasi, Mahkamah Agung menolak atau menerima keberatan setelah 30 hari permohonan kasasinya diterima.

    Kedua hal ini (terkait penetapan lokasi dan tidak terjadinya kesepakatan mengenai bentuk/dan atau besarnya ganti kerugian) saja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, sedangkan sengketa kepemilikan di masyarakatnya tidak diatur mekanisme penyelesaiannya, sehingga harus melalui mekanisme persidangan biasa dan umum, dimana harus melalui sidang di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi dan Kasasi di Mahkamah Agung. Bayangkan dengan proses penyelesaian yang begitu panjang maka butuh berapa tahun bisa diterimanya ganti kerugian hak dari pemilik tanah?, sementara Negara telah menggunakan tanah rakyatnya.

    Seharusnya sengketa kepemilikan antar masyarakat terkait Pengadaan tanah Untuk Kepentingan Umum diantaranya jalan tol harusnya diselesaikan dengan mekanisme yang sama dengan Pasal 23 dan 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, karena ini yang paling penting.

    Ada beberapa daerah termasuk di Lampung Selatan Jalur Tol Trans Sumatera pernah diblokir oleh pemilik tanah, karena masyarakat belum menerima ganti kerugian. Kalau tidak dicarikan solusi oleh Pemerintah, maka dikhawatirkan untuk proses penyelesaian sengketa akan terhambat dan masyarakat akan menguasai objek secara membabibuta dan anarkisme. Di daerah lain di Pulau Jawa pun ribut soal jalan tol yang belum dibayar, karena proses penyelesaian sengketanya yang terlalu berkepanjangan.

    Pengalaman penulis dalam mengawal perkara jalan Tol di Pengadilan Negeri Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, sudah sejak tahun 2017 hingga hari ini dari 3 (tiga) perkara yang ditangani baru 1 (satu) yang diputus bandingnya, lalu lawan melakukan kasasi, maka akan semakin panjang waktu yang dibutuhkan, sehingga wajar kalau masyarakat menjerit belum dibayar meski fakta hukumnya nilai ganti kerugian sudah dititip di Pengadilan (Konsinyasi).

    Hal ini belum seberapa, penulis juga pernah mengawal perkara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum jalur Piva Gas dan Minyak Bumi PT. Perusahan Gas Negara (PT.PGN) di Kecamatan Negeri Besar, Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung yang membutuhkan waktu 14 (empat belas) tahun sejak 2004 hingga 2018 baru tuntas padahal ganti kerugiannya tidak sampai dengan nilai 500 Juta Rupiah, hal ini disebabkan regulasi yang tidak tegas mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kepemilikan antar masyarakat.

    Oleh karena jalur Tol Tak cair, maka kebijakan Presiden diduga “digoreng” dan dijadikan bahan oleh kelompok berkepentingan untuk menggerus citra Penguasa Negara. Oleh karenanya mohon Bapak Presiden segera membuat regulasi terkait penyelesaian sengketa kepemilikan antar masyarakat terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, apakah bentuknya PERPU, PP, PERPRES atau KEPPRES yang penting mekanisme penyelesaian sengketa kepemilikan antar masyarakat terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselesaikan sama dengan Pasal 23 dan 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang hanya membutuhkan 104 (seratus empat hari) persoalan Negara menjadi tuntas dan rakyat bahagia serta sejahtera, . (***)