Kategori: Opini

  • Bulog dalam Dilema, Antara Sukses Pengadaan dan Ketakutan Beras Busuk di Gudang

    Bulog dalam Dilema, Antara Sukses Pengadaan dan Ketakutan Beras Busuk di Gudang

    Oleh : Ilwadi Perkasa

    PERUM Bulog kini dalam dilema, setidaknya sejak terhentinya penyaluran beras raskin. Dulu, pengadaan beras bisa dilakukan jor-joran, tapi kini harus disesuaikan dengan kemampuan menjual kembali. Intinya, kini, semua divre harus memutar otak untuk mencari jalan: taget pengadaan sukses, penyaluran lancar. Mungkinkah?

    Penugasan penyerapan beras petani oleh pemerintah (Kementerian Pertanian) menjadi dilema yang membuat pusing para pejabat Bulog di daerah-daerah. Penugasan ini, mirip-mirip seperti mendesak Bulog membelanjakan anggaran pengadaannya, tanpa memikirkan nasib beras pengadaan itu nantinya.

    Jika diasumsikan Perum Bulog Lampung sukses mengulang pengadaaan sampai 150 ribu ton seperti yang pernah dicapai pada 2016 lalu, hampir bisa dipastikan beras tersebut hanya menumpuk di gudang-gudang.

    Penumpukan beras identik dengan risiko beras rusak, susut, dan mungkin juga hilang, meski yang terakhir jarang ada laporanya.

    Beras yang menumpuk di gudang harus diurus dengan seksama yang sudah barang tentu menimbulkan biaya, seperti biaya fumigasi yang harus dilakukan berkala agar beras tak diserang kutu maupun rayap. Dan jika harus menumpuk lama, dan fumigasi terus-terusan, maka tunggulah kehancuran: beras rusak (rasa dan kualitas menurun) serta penyusutan menjadi sulit dikendalikan.

    Sebagaimana diketahui, Perum Bulog ditugaskan Kementerian Pertanian untuk menyerap setidaknya 10 persen atau sekitar 1,4 juta ton beras di awal 2019 akibat adanya klaim data bahwa potensi produksi beras per Januari hingga Maret mencapai 14,2 juta ton. Secara rinci, produksi pada Januari diklaim sebesar 2,4 juta ton, Februari 4,5 juta ton dan Maret 7,3 juta ton.

    Untuk periode Januari hingga April, Bulog hanya mendapatkan penugasan penyaluran bansos rastra sebesar 213 ribu ton. Padahal, ketika program tersebut masih menjadi pilihan utama, distribusi tiap bulan bisa mencapai 250 ribu ton atau sekitar 3 juta ton per tahun.

    Angka-angka itu, jelas membuat Bulog ‘cieng’ sebab saat ini sulit bagi Bulog melakukan penyaluran, terutama disebabkan kebijakan pengalihan sebagian besar bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).

    Dulu, sebagai lembaga yang dipercaya sebagai penyangga stok nasional, Bulog memang jagonya. Tetapi, soal kemampuan menjual kembali, rasanya sulit untuk diandalkan. Buktinya, beras renceng kemasan 200 gram yang diluncurkan untuk menjawab tantangan tersebut, tak jelas lagi kabarnya.

    Program BNPT pun tak membuat Bulog nyaman. Sebab dalam pengoperasiannya, pemerintah tidak menugaskan Bulog sebagai penyuplai beras kepada warung-warung, melainkan BPNT yang ditunjuk sebagai penyalur. Dengan begitu, Bulog kehilangan banyak pasar sehingga stok yang ada di gudang tidak tersalur dengan lancar.

    Di tengah dilema ini, muncul gagasan untuk mengekspor beras ke luar negeri, meski kita tahu, harga di dalam negeri relatif tinggi dibanding negara produsen lainnya.

    Ekspor paling mungkin dilakukan jika Pak Buwas (Dirut Bulog) terbang ke banyak negeri, menawarkan mutu yang paling sesuai untuk bisa ditransaksikan.

    Sungguh, Bulog kini dalam dilema yang memusingkan kepala para pejabatnya. (*)

    Penulis adalah wartawan senior bidang ekonomi

  • Ada Apa dengan Penerbangan Domestik Kita?

    Ada Apa dengan Penerbangan Domestik Kita?

    Bandara Radin Inten II Ikut Terdampak Low Season

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    INDUSTRI penerbangan sejak awal tahun 2019 terus mengalami tekanan. Keputusan menaikan harga tiket domestik dengan tujuan menambah kocek, ternyata berdampak menurunnya jumlah penumpang. Kondisi ini terjadi di banyak bandara, termasuk di Bandara Radin Inten II, Lampung.

    Mahalnya harga tiket domestik, melebihi harga penerbangan luar negeri sangat dirasakan pelaku usaha perjalanan wisata yang tergabung di dalam Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA).

    Khusus regional Sumatera, kondisi paling parah terjadi di Bandara Kualanamu, Sumut. Ribuan penerbangan dari Kualanamu dilaporkan telah dibatalkan (Bacar berita terkait: Harga Tiket Pesawat Mahal Tingkat Hunian Hotel Turun 40 Persen di halaman Komoditi & Ekbis)

    Jumlah penumpang di Bandara Kualanamu Internasional Airport, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, mengalami penurunan penumpang sebanyak 189.762 penumpang. Hal ini, merupakan dampak dari kenaikan harga tiket pesawat domestik di Tanah Air.

    Pada Januari 2019, berdasarkan data, penurunan jumlah penumpang selama satu bulan tercatat sebanyak 189.762 orang turun 19,9 persen. Penyebabnya diduga kuat akibat gejolak harga tiket domestik. Alhasil jumlah penerbangan di Bandara Kualanamu ikut ‘nyungsep’ pada angka 1.734 penerbangan atau turun 23, 6 persen, dibanding pada Januari 2018. Hal ini diikuti dengan meningkatnya jumlah pembatalan penerbangan hingga 1.904 penerbangan.

    Radin Inten II

    Kondisi yang sama juga terjadi di Bandara Radin Inten II, Lampung yang baru saja naik status menjadi bandara internasional.

    Tiga maskapai penerbangan, Lion, Sriwijaya dan Garuda Air telah melakukan pengurangan jadwal penerbangan di Bandara Radin Inten (RI) II.

    Humas Bandara Radin Inten II Wahyu Aria Sakti, tidak secara tegas menyatakan pengurangan jadwal penerbangan tersebut akibat minimnya penumpang. “Bisa juga oleh alasan lainnya,” katanya.

    Namun lazimnya, keputusan pengurangan atau penambahan jadwal penerbangan oleh maskapai disesuaikan dengan jumlah penumpang di bandara. Jika jumlah penumpang tidak memenuhi skala angkut secara ekonomi, maka mau tidak mau maskapai akan mengurangi jadwal penerbangannya.

    Gubernur Lampung M Ridho Ficardo mengaku heran, dan mempertanyakan alasan pengurangan jadwal tersebut. “Ini pasti ada kesalahan,” tanya Ridho.

    Ridho meyakini, jumlah penumpang di bandara kebanggaan masyarakat Lampung cukup banyak. Apalagi jika melihat fakta arus wisatawan ke Lampung semakin hari semakin meningkat.

    Dampak kenaikan harga tiket pesawat dirasakan para pengusaha tur dan travel di Kota Bandar Lampung. Para pelanggan usaha tur dan travel mengakui terjadi penurunan pemesanan tiket pesawat setelah adanya kenaikan harga tiket pesawat.

    Para pengusaha biro tur dan travel mengakku pemesanan tiket pesawat anjlok 50 hingga 70 persen. Agen biro perjalanan tidak bisa berbuat banyak, karena kenaikan harga tiket sangat riskan dengan jumlah pemesanan dan kunjungan wisatawan, serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

    Pemilik Adiyatama Tour and Travel yang berada di Kota Bandar Lampung, Adi Susanto mengatakan, sudah jelas kalau tarif atau harga tiket pesawat mengalami kenaikan akan terjadi penurunan pemesanan tiket di agen atau biro tur dan travel. “Beberapa bulan ini penurunan mencapai 70 persen lebih sehingga sangat berat dala menjalankan usaha di tarvel agent,” kata Adi Susanto.

    Menurut Adi, yang juga sekretaris ASITA Lampung, dampaknya cukup besar terhadap usaha tur dan travel. Banyak orang yang sekarang malas bepergian karena tingginya harga tiket, juga UMKM yang menyiapkan oleh-oleh dan suvenir juga merasakan dampaknya.

    Usaha biro perjalanan, salah satunya didominasi penjualan tiket. “Sejak kenaikan harga tiket pesawat berbagai maskapai penerbangan, jumlah pelanggan usaha tur dan travel mengalami penurunan yang tajam,” ujar Adi.

    Dibandingkan sebelum kenaikan harga tiket, pelanggan usaha biro perjalanannya tidak dapat dihitung lagi. Sejak kenaikan tiket, jumlah pemesanan tiket hanya paling tinggi 10 orang per hari.

    Kenaikan harga tiket juga dirasakan terjadi penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampung. Pasalnya, hal tersebut diketahui dengan merosotnya paket-paket wisata yang ditawarkan biro perjalanan di Lampung.

    “Sekarang pengunjung malas bepergian karena paketnya sudah mahal,” ujar Sarman, salah seorang pendamping wisatawan.

    Ia mengatakan banyak biro perjalanan untuk mengusahakan berputarnya usaha sudah sulit sekarang ini, apalagi ditambah harga tiket pesawat naik, bagasi pesawat berbayar, dan juga paket wisata tidak dapat dinaikkan, karena pelanggan akan mengeluh.

    Belum lagi usaha mikro kecil dan menengah yang ada di Lampung juga mengeluhkan merosotnya omset penjualan, gara-gara bagasi pesawat sekarang bayar. “Kalau dulu orang belanja oleh-oleh banyak tidak berbatas, sekarang dibatasi, jadi penjualan merosot,” katanya.

    Cari Solusi

    PT Angkasa Pura II melakukan sejumlah solusi menghadapi low season atau periode di mana permintaan untuk melakukan perjalanan ke suatu tempat dalam kondisi rendah.

    Direktur Angkasa Pura II, Muhamad Awaluddin mengatakan, dia telah melakukan koordinasi untuk mencari solusi dengan seluruh stakeholder yang berada di setiap bandar udara, salah satunya pihak maskapai.

    “Solusinya, kita terus bekerja sama intensif dengan maskapai, meningkatkan angka penumpang, karena mau bagaimana pun situasi ini adalah sebuah aktivitas yang harus terkolaborasi dengan baik,” katanya di Bandara Soekarno Hatta Tangerang, Selasa 12 Februari 2019.

    Pihaknya juga terus melakukan sosialisasi kepada pengguna jasa, bahwa dalam dunia penerbangan terdapat hal-hal yang menjadi fokus keselamatan, keamanan, dan kenyamanan yang terus ditingkatkan.

    Sementara, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Polana B. Pramesti meminta semua pemangku kepentingan atau stakeholder industri penerbangan untuk optimistis, guna menggenjot industri penerbangan tahun ini.

    “Penurunan penumpang, hampir terjadi setiap tahun, memang kondisi low season yang merupakan siklus tahunan yaitu Januari, Februari. Dan, Maret baru mengalami peningkatan,” tutur Polana

    Dari data angkutan udara domestik yang dihimpun Ditjen Hubud, terlihat adanya fluktuasi jumlah penumpang. Pada 2016 bulan Januari jumlah penumpang 6,7 juta, Februari 6,4 juta, Juli 8,7 juta, dan Desember 8,4 juta.

    Sementara itu, 2017 bulan Januari jumlah penumpang 7,7 juta, Februari 6,5 juta, Juli 9,5 juta, dan Desember 9,0 juta. Sedangkan pada 2018, bulan Januari jumlah penumpang 8,3 juta, Februari 7,5 juta, Juli 9,7 juta, dan Desember 8,1 juta penumpang.

    “Jadi, saya mengajak semua stakeholder untuk optimis memandang bisnis penerbangan tahun ini akan terus tumbuh dan berkembang,” ungkapnya. (*)

  • Order Cabut Berita

    Order Cabut Berita

    Oleh Hanibal Wijayanto (Redaktur ANTeve)

    Dua puluh satu tahun pasca runtuhnya Orde Baru, tekanan terhadap pers kembali terjadi. Padahal, pangkal penyebabnya hanya soal sepele. Lima tahun terakhir Orde Baru, ketika saya masih menjadi reporter dan kemudian menjadi redaktur muda, saya dan kawan-kawan di majalah Forum Keadilan, biasa menulis berita penting yang berkaitan dengan pribadi dan kebijakan Presiden Soeharto secara “melipir”, halus, dan tidak tembak langsung.

    Langkah “melipir” seperti itu, dapat dimaklumi, karena memberitakan kondisi kesehatan Kepala Negara, termasuk hal yang tabu, sementara menulis tentang kebijakan Presiden dengan nada yang kritis, adalah suatu tindakan yang menyerempet berbahaya.

    Saya bergabung dengan Forum Keadilan setelah Majalah Hukum dan Demokrasi itu lolos dari lubang jarum Breidel 1994. Padahal, saat itu Forum Keadilan-lah yang sebenarnya sudah dua kali disemprit Departemen Penerangan gara-gara berbagai sengatan tulisannya yang tajam dan berani.

    Majalah Tempo belakangan ikut-ikutan galak, gara-gara oplahnya nyaris dibalap Forum Keadilan, adiknya sendiri. Tempo lalu menurunkan laporan pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur yang eksklusif. Tapi, gara-gara dianggap merongrong kebijakan Menteri Negara Riset dan Teknologi, BJ Habibie yang dibackup penuh oleh Presiden Soeharto, Tempo dibreidel. Begitu pula dua media lainnya, Detik dan Editor.

    Pasca Breidel 1994, Forum Keadilan dan semua media lain yang lolos, mencoba menyesuaikan diri. Kami faham, bahwa Lembaga Kepresidenan adalah lembaga yang “wingit” sehingga kami segan mencolek, apalagi menyinggung kebijakannya dengan tajam.

    Misalnya, kami memilih judul “Alhamdulillah, Pak Harto Sehat Kembali…” ketika menulis tentang sakitnya Pak Harto. Jika terpaksa mengritisi kebijakan pemerintah, kami harus menulisnya dengan hati-hati, melipir, dan harus bisa menyebutkan oknum pejabat rendahan yang bisa dijadikan kambing hitam dalam persoalan itu.

    Namun saat itu kami masih tetap berani “nakal”. Kontributor kami di Jogja, Macellino Ximenes Magno, yang kini menjadi pejabat di Timor Leste, mewawancarai Amien Rais yang mengritik habis Pak Harto, kebijakan, dan nepotismenya. Sementara pada edisi selanjutnya, kawan saya Sudarsono mewawancarai Pak Sarwono Kusumaatmadja, yang juga menyinggung soal Suksesi.

    Meski kabarnya Pak Harto “ndukani” Pak Amien dan Pak Sarwono, kami tak sampai dibreidel. Padahal banyak orang mengira, saat itu tamatlah riwayat majalah Forum Keadilan.

    Jika kami harus melipir ketika menulis tentang Pak Harto dan seluruh kebijakannya, kami bisa lebih berani untuk menulis tentang persoalan politik, hokum, dan berbagai persoalan penting lainnya. Soal kasak-kusuk perebutan posisi di Partai Golkar, kritik pedas Petisi Lima Puluh, perlawanan kaum Pro Demokrasi, dan bahkan kerusuhan dan bentrokan menjelang Pemilu 1997, bisa kami tulis dengan lebih gamblang, dengan mengatur keseimbangan statement narasumber.

    Berbagai manuver di tubuh ABRI (Polisi dan Tentara) juga masih bisa kami ungkap, meski kadang agak samar dan hanya menyinggung permukaan saja. Misalnya ketika kami menulis tentang Kebijakan De-Benny-isasi, Persaingan Geng ABRI Hijau dan Geng ABRI Merah Putih, Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996, Kilas Balik Peristiwa Tanjung Priok dan Lampung, dan bahkan kasus Penculikan Aktivis. Sementara, setiap kali menulis tentang tentara dan penguasa, Ibu saya selalu mengingatkan, “Ngati-ati, le…” Tapi mau bagaimana lagi, karena saat itu saya sudah didapuk jadi Penanggung Jawab Rubrik Nasional.

    Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 kami tampilkan dalam laporan utama yang paling lengkap dan komprehensif. Sebagai Penanggung Jawab Rubrik Nasional, saya ditunjuk sebagai penanggung jawab peliputan peristiwa besar yang ditulis dalam Laporan Utama bertajuk “Duka Kita”.

    Begitu pula momentum Runtuhnya Orde Baru. Penugasan untuk seluruh item laporan utama harus saya buat sehari semalam. Walhasil penugasan detail yang saya susun saja mencapai 15 halaman, untuk seluruh tulisan Laporan Utama bertajuk “Setelah Soeharto Mundur”, sepanjang 50 halaman lebih.

    Saya dan seluruh kru Forum Keadilan merasa bangga karena Forum Keadilan Edisi “Duka Kita” maupun “Setelah Soeharto Mundur” menampilkan liputan paling lengkap dan paling lugas tentang Kerusuhan Mei dan Runtuhnya Orde Baru, dari posisi yang paling dekat.

    Tim liputan kami ikut menginap di Gedung DPR/MPR Senayan ketika diduduki para mahasiswa. Kami bersama mahasiswa Universitas Trisakti saat ditembaki pasukan Brimob. Kami juga berada di tengah kerusuhan dan di beberapa lokasi yang dibakar massa anarkhis.

    Kami ikut kasak-kusuk di Gedung PP Muhammadiyah, Masjid Al Azhar dan DDII yang menjadi poros gerakan Mas Amien Rais dan kelompok Islam. Kami juga ada di Gedung LBH Jakarta yang menjadi markas kelompok Pro-Demokrasi. Kami pun ikut dalam pertemuan Makostrad yang diisukan sebagai awal mula perencanaan kerusuhan namun tak terbukti. Bahkan tim kami standby di jalan Cendana dan jalan Soewiryo ketika Pak Harto mengambil keputusan paling dramatis: berhenti dari kursi kepresidenan.

    Pencabutan berita gawat terakhir di masa Orde Baru adalah pencabutan berita konferensi pers pukul 21.30 yang digelar Kapuspen TNI, Mayjen Wahab Mokodongan, pada 16 Mei 1998. Konferensi pers yang simpang siur tentang siapa inisiator dan penyusun teksnya itu berisi dukungan Mabes ABRI atas pernyataan PB NU, yang meminta Soeharto mundur.
    Statement itu memunculkan tudingan bahwa beberapa Jenderal di Mabes ABRI telah berupaya mengkudeta Presiden. Maka, pergerakan pasukan pun terjadi, dan beberapa jenderal buru-buru harus mengungsi di Mabes ABRI Merdeka Barat karena diisukan akan ditangkap.

    Untuk meredakan situasi, selain Wiranto dan beberapa jenderal lainnya harus menjelaskan duduk masalah tentang konferensi pers itu kepada Soeharto, pada dini hari itu beberapa orang staf Pusat Penerangan ABRI menelpon dan kemudian mendatangi kantor-kantor media satu-satu untuk memerintahkan pencabutan berita konferensi yang janggal itu. Banyak berita di berbagai media mainstream berhasil dicegat dan tidak dimuat, namun ada pula yang lolos karena sudah dicetak dan lewat deadline.

    Pasca reformasi, saat BJ Habibie menjadi Presiden, adalah masa pers yang paling terbuka. Semua informasi bisa ditulis. Bahkan bocoran rekaman Habibie dengan Jaksa Agung Andi M Ghalib bisa dibelejeti tanpa tedeng aling-aling di media massa tanpa menyebabkan breidel, kriminalisasi, apalagi cuma pencabutan dan embargo berita.

    Tulisan saya, Laporan Utama Forum Keadilan tentang Kerusuhan Ambon yang detil menyebutkan penyebab konflik dengan judul “Mau Ke Mana Wiranto?” hanya ditanggapi dengan kemarahan Sang Panglima TNI dengan menelpon Bang Karni, tapi tak berujung tekanan untuk memuat versi resmi TNI, intimidasi ataupun kriminalisasi.

    Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pers juga sangat leluasa memberitakan perilaku Gus Presiden. Keterlibatan orang-orang di sekitar Gus Presiden sebagai pembisik dan sumber proyek diungkap dengan terbuka, sementara skandal Bulog Gate yang melibatkan orang dekat Presiden pun diungkap tanpa berdampak kriminalisasi. Bahkan Istana seolah tak lagi sangar dan tak juga sakral bagi jurnalis. Wartawan bisa masuk Istana hanya dengan sandal jepit, kaos dan celana jeans.

    Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur menjadi Presiden, wartawan juga masih bisa mengritik langkah politik dan kebijakan Mbak Presiden dengan aman. Saat itu saya sudah di majalah Tempo, yang sering dijuluki Mbak Mega sebagai media orang-orang PSI.

    Ssstt… jangan salah, PSI yang dimaksud Mbak Mega adalah Partai Sosialis Indonesia, partai kader yang pernah dibubarkan Presiden Soekarno di tahun 1960, bersama Partai Masyumi dan Partai Murba, bukan partai yang itu.

    Di Tempo, kami berkali-kali mengritik kebijakan Mbak Mega, seperti imbal beli beras ketan dengan pesawat Sukhoi, dan sebagainya, tapi tak sampai membuat Mbak Mega murka, meminta klarifikasi dan permintaan maaf, ataupun melaporkan kami ke polisi.

    Saya cukup sering mewawancarai Menkopolhukkam Susilo Bambang Yudhoyono. Juga ketika ia menjadi Presiden setelah menang dalam Pemilu 2004. Tapi hal itu tidak membuat kami di Majalah Tempo mengendurkan kritik terhadap berbagai kebijakannya. Bahkan hanya selang tiga bulan setelah SBY terpilih sebagai Presiden, Tempo menurunkan Laporan Utama dengan judul “SBY: Selalu Bimbang Ya…?” Sekretaris Presiden, Almarhum Mayjen Kurdi Mustofa, sempat menelpon saya dan menanyakan mengapa Tempo tega membuat judul seperti itu. Tapi SBY tak pernah mengancam kami, meminta pencabutan berita itu, apalagi memprosesnya secara hukum.

    Saat menjadi jurnalis televisi di tahun 2006, berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintahan Presiden SBY tetap kami lakukan. Beberapa indepth reporting tentang kebijakan pemerintah yang janggal seperti kasus Namru, berbagai kasus terorisme, kritik atas kebijakan harga BBM, sikap pemerintah yang ragu menengahi perseteruan KPK dengan Polisi dalam kasus Cicak lawan Buaya, juga Kasus Bank Century serta berbagai kasus lainnya tetap kami sampaikan dengan lugas. Namun, SBY tak pernah murka dan tak pernah memperkarakan berbagai kritik itu ke meja hijau.

    Ironisnya, akhir pekan lalu, 21 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, kasus order pencabutan berita kembali terjadi, melengkapi berbagai cerita kriminalisasi terhadap orang-orang yang mengritik pemerintah. Jika 21 tahun lalu berita dicabut oleh aparat militer dengan mendatangi kantor-kantor media, kini berita dicabut oleh tim sukses salah satu kontestan Pemilu dengan cara menelepon dan menekan para pemilik media.

    Jika 21 tahun lalu berita dicabut karena dianggap bisa menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, kini informasi dan berita yang diminta untuk dicabut, hanyalah karena dianggap mengancam elektabilitas seseorang. ***

  • Jurnalis Terdampak Bencana, Siapa Yang Peduli?

    Jurnalis Terdampak Bencana, Siapa Yang Peduli?

    Oleh  : Andi Attas Abdullah

    Beberapa tragedy alam di Indonesia telah menelan ribuan korban, baik materil, trauma maupun jiwa. Termasuk para jurnalis dan keluargannya terdampak dari bencana, namun siapakah yang perduli mereka?

    Para jurnalis dan keluarganya yang berdomisi di wilayah bencana, tentu saja mereka ikut merasakan traumatik yang sangat dalam. Hanya saja mereka tidak manja dan cengeng.

    Padahal boleh dikata mereka juga rentan di rumahkah oleh perusahaan pers dimana mereka berkerja, terkhusus bagi mereka yang perusahaannya terdampak langsung bencana alam seperti yang terjadi di Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) 28 September 2018. Tapi kita do’akan semoga mereka tidak ada yang di rumahkan akibat dampak dari bencana alam yang cukup dahsyat itu.

    Namun yang pasti peralatan kerja mereka seperti kamera dan laptop sudah ada yang rusak, bahkan hilang, entah itu dijarah ataukah tertimpah reruntuhan bangunan.

    Dr.Aminuddin Kasim, SH, MH dalam salah satu diskusi dengan para jurnalis di Palu awal Januari 2019, menegaskan dalam sebuah peristiwa bencana alam peran jurnalis sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat secara nasional maupun internasional.

    “Jurnalis itu saya anggapa pahlawan kemanusiaan. Bagaimana tidak walau mereka sebenarnya tertimpa bencana alam seperti yang baru-baru menimpa kita di Palu, Sigi dan Donggala, tapi tetap memberikan informasi yang aktual, hangat dan terkini terkait peristiwa alam yang mematikan banyak orang itu,” ujar Dosen di Fakultas Hukum Untad itu.

    Menurutnya dunia ini kacau balau dan sepi andaikan tidak ada jurnalis yang memberikan informasi setiap saat terkait peristiwa-peristiwa yang terjadi ddidalam masyarakat.

    Olehnya jurnalis dan keluarganya perlu juga mendapat perhatian serius dari pemerintah. Jurnali dan keluarganya perlu juga diberikan santunan, baik dalam bentuk sembako maupun peralatan kerja-kerja mereka.

    “Saya sangat salut dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), begitu perhatian dan peduli terhadap anggotannya, sampai-sampai mengusahakan bantuan dari luar negeri (Prancis) melali CFI untuk para jurnalis di Palu dalam bentuk santunan uang tunai dan peralatan kerja seperti Kamera dan Laptop,” kata Aminuddin Kasim.

    Kata Aminuddin mestinya hal seperti ini juga mendapat perhatian dari Pemerintah baik Kota, Kabupaten, provinsi maupun pusat. Sekalipun secara kode etik dan undang-undang pers No.40 tahun 1999 dilarang.

    “Tapi mestinya ada pengecuali bagi jurnalis/wartawan yang bermukim di wilayah bencana alam dan terdapak langsung perlu mendapat bantuan dari pemerintah baik daerah maupun pusat,” tandas Aminuddin Kasim.

    Sementara itu beberapa kontributor media elektronik seperti TV One, Metro TV dan group MNC TV diantaranya Abdullah Kamari (Abdi), Iwan Lapasere, Achmad Muksin (Matre) dan Nitha mengaku mereka mendapat santunan dari perusahaan medianya, sehingga cukup membantu keluarganya, walaupun sifatnya hanya sekali. Hal senada juga dikatakan Kepala Biro kantor berita Antara Palu Rolex M. Mereka mendapat santunan dari manajemen kantor berita Antara di Jakarta.

    Lalu bagaimana dengan jurnalis yang perusahaan dimana mereka bekerja berada di wilayah bencana dan terdampak? Beberapa jurnalis lokal Palu, Sigi dan Donggala tidak mendapatkan bantuan apa-apa dari perusahaan dimana mereka bekerja.

    Masalahnya perusahaan mereka juga ikut terdampak. Bahkan syukur-syukur sudah dapat aktif kembali setelah kurang lebih 1 bulan (30 hari) fakum, akibat kerusakan peralatan teknis, dan kesulitan bahan baku yang mesti didatangkan dari Jawa atau Makassar seperti Kertas, Tintah dan peralatan mesin cetak lainnya.

    Kemudian bagi perusahaan media online kinerjanya sudah tidak maksimal, sebab kantor-kantor mereka juga sudah tidak layak ditempati. Bahkan peralatan kantor mereka seperti computer, kamera dan peralatan pendukung lainnya sudah hancur dan hilang.

    Bukan itu saja, tapi sebagian jurnalis media online memilih fakum akibat peralatan mereka sudah tidak ada. Selain itu mereka juga trauma atas bencana gempa bumi, likuifaksi dan tsunami 28 September 2018 itu di Pasigala Provinsi Sulawesi Tengah.

    Namun begitu, AJI terus mendorong kawan-kawan jurnalis untuk terus bangkit, dengan cara memberikan perhatian khusus mencari donasi ke berbagai organisasi pemerhati media dan jurnalis.

    “Kita terus mendorong bangkitnya kembali kawan-kawan media dan jurnalis yang terdampak bencana alam di Pasigala Sulteng. AJI telah membangun kerjasama dengan CFI untuk membantu kawan-kawan jurnalis yang terdampak gempa bumi, likuifaksi dan tsunami di Pasigala,” jelas ketua AJI Kota Palu M.Iqbal dihadapan peserta diskusi di sekretariat AJI Palu beberapa waktu lalu.

    CFI Media Development, Prancis adalah salah satu organisasi yang konsen membantu media-media dan jurnalis di belahan dunia yang berkedudukan di Prancis.

    CFI Media Development, Prancis bekerja sama dengan AJI Indonesia untuk membantu para jurnalis terdampak bencana alam, termasuk jurnalis yang ada di Pasigala Sulteng.***

  • Pekan Blunder Nasional Para Pendukung Jokowi

    Pekan Blunder Nasional Para Pendukung Jokowi

    Oleh : Hersubeno Arief

    Apa yang dilakukan Rudiantara adalah sebuah fenomena “gunung es” di kalangan pemerintahan Jokowi. Mereka menganggap dirinya sebagai personifikasi negara.

    Pekan terakhir bulan Januari dan awal Februari ini layak kita nobatkan sebagai “pekan blunder nasional.”

    Hanya dalam waktu dua hari, menteri dan ketua umum partai pendukung Jokowi membuat tiga blunder besar. Dalam pertandingan sepakbola, peristiwa semacam ini disebut sebagai hattrick gol bunuh diri. Peristiwa yang jarang terjadi.

    Blunder pertama dilakukan oleh Menkominfo Rudiantara. Kamis (31/1) Chief RA, begitu dia biasa dipanggil, marah kepada seorang pegawai yang menyatakan sesuai keyakinan memilih nomor dua setelah mendengar visi misinya.

    Nomor 02 adalah paslon Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. Padahal yang ditanyakan pilihan desain poster untuk kampanye sosialisasi pemilu. Saking sebelnya Rudi langsung marah dan bertanya “Yang gaji kamu siapa?!”

    Kemarahan Rudi ini kemudian menjadi trending topic yang paling banyak dibicarakan warga dunia maya di Indonesia, bahkan dunia.

    Selang sehari kemudian Jumat (1/2) Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menambah gol bunuh diri. Dia mencabut surat edaran menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pemutaran film di bioskop.

    Surat Edaran tersebut diterbitkan pada Rabu (30/1) dengan tujuan menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta Tanah Air di kalangan generasi muda. Namun karena mendapat respon negatif, selang dua hari kemudian dicabut.

    Pada hari yang sama beredar rekaman video Kyai Maimoen Zubair (Mban Moen) salah mendoakan Prabowo menjadi Presiden RI, padahal di sebelahnya Jokowi duduk dengan takzim dan dua tangan terangkat, mengaminkan doa itu. Video tersebut langsung viral dan menjadi trending topic utama di Indonesia.

    Yang jadi masalah ternyata dalam video tersebut tampak Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy) segera menghampiri Mbah Moen dan minta agar doa tersebut diralat.

    Tak hanya sampai disitu, ternyata Rommy bersama Jokowi “mengejar” Mbah Moen sampai ke kamar tidurnya. Di kamar tersebut Rommy nge-vlog dan terlihat mengarahkan Mbah Moen agar mendoakan Jokowi sebagai Presiden RI.

    Ada kesan sangat kuat Rommy memaksakan Mbah Moen untuk mengucapkan dukungan kepada Jokowi. Namun Mbah Moen terlihat sangat diplomatis menanggapi tekanan Rommy.

    Kian menggerus elektabilitas. Dilihat dari kadar kesalahan, dua gol bunuh diri yang dibuat oleh Rudiantara, dan Rommy paling parah. Sementara gol bunuh diri yang dibuat oleh Imam Nahrawi kadarnya tergolong lumayan.

    Apa yang dilakukan Rudiantara adalah sebuah fenomena “gunung es” di kalangan pemerintahan Jokowi. Mereka menganggap dirinya sebagai personifikasi negara.

    Dalam literatur politik kenegaraan, pemikiran semacam itu sering dikaitkan dengan ucapan Raja Louis XIV dari Perancis yang pernah berucap “L’État, c’est moi,” negara adalah saya. Sebuah cara berpikir bahwa seorang raja mempunyai kekuasaan yang mutlak.

    Rudiantara bukan satu-satunya orang yang berpikir semacam itu. Klaim-klaim keberhasilan pembangunan oleh pemerintahan Jokowi, menunjukkan ada kecenderungan pengkultusan pribadi. Jokowi juga pernah menyanyikan sebuah lagu yang direkam dan disebar ke publik “Saya Pancasila. Saya Indonesia.”

    Kemarahan Rudi kepada pegawai yang menyebar luas ke publik itu dapat dipastikan akan menggerus secara signifikan elektabilitas Jokowi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sikap itu juga akan berpengaruh besar terhadap mereka yang belum memutuskan pilihan (undecided voter). Mereka tidak suka dengan perilaku arogan seorang pejabat, dan menganggap dirinya sebagai negara.

    Setelah Rudi, gol bunuh diri Rommy juga akan berdampak serius terutama di kalangan para santri, khususnya kaum nahdliyin.

    Sikap Rommy mengejar Mbah Moen sampai di kamar pribadi, bisa dianggap sebagai su’ul adab. Perangai buruk yang tidak pada tempatnya dilakukan seorang santri kepada seorang kiai yang sangat dihormati.

    Kamar kiai sepuh itu selama ini adalah wilayah privat yang sangat “dikeramatkan” oleh para santrinya. Tidak sembarangan tamu boleh masuk, kecuali memang diundang masuk.

    Mbah Moen adalah seorang kiai sepuh yang sangat dihormati. Para santrinya yang sering disebut sebagai santri Sarang jumlahnya sangat besar.

    Pada bulan September 2018 Prabowo Subianto juga sempat berkunjung ke rumah Mbah Moen. Saat itu Prabowo didoakan menjadi pemimpin Indonesia. Kali ini tidak ada kesalahan. Mbah Moen dengan tepat melafadzkan do’anya.

    Gol bunuh diri Imam Nahrawi boleh lah kita sebut kesalahan yang relatif ringan. Namun kesalahan tersebut sangat sering terjadi dalam pemerintahan Jokowi. Pembatalan sebuah keputusan hanya dalam hitungan hari, bahkan jam, sangat sering terjadi.

    Pekan lalu keputusan Jokowi membebaskan Abu Bakar Ba’asyir dari penjara mendapat sorotan tajam dan banyak dikritik. Analisis internal TKN menyebut dapat berdampak menggerus elektabilitas Jokowi sampai 4%.

    Keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh pemerintah. Menko Polhukam Wiranto bahkan menyebut sebagai keputusan presiden yang grusah-grusuh.

    Dengan banyaknya keputusan yang dianulir, maka gol bunuh diri Imam Nahrawi tidak bisa lagi dianggap sebagai kesalahan ringan. Langkahnya menerbitkan Surat Edaran dan dua hari kemudian dicabut, semakin menegaskan amburadulnya administrasi pemerintahan Jokowi.

    Dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara, dan tekanan publik yang semakin keras, tidak tertutup kemungkinan Jokowi dan timnya akan kembali melakukan blunder-blunder besar.

    Dalam pertandingan sepakbola, sebuah tim yang tertekan, biasanya akan semakin banyak melakukan kesalahan di menit-menit akhir ( injury time ). Tanda-tanda itu terlihat nyata pada Jokowi dan para pendukungnya.

    Tiga gol bunuh diri berturut-turut pada partai final, biasanya menunjukkan sebuah tim sudah panik. Mereka ngotot mengejar selisih gol, tapi lupa bertahan.

    Apakah Jokowi dan TKN bisa membalikkan posisi, dan mengangkat kembali moral tim yang sedang runtuh?

    Ketua TKN Erick Thohir sebagai kapten tim Jokowi mengaku sudah tak sabar menunggu Pilpres pada tanggal 17 April 2019. Dia ingin cepat-cepat kembali ke habitatnya semula sebagai pedagang. Tekanan politik nampaknya terlalu berat untuk ditanggungnya.

  • Pengakuan Tanah Ulayat (catatan Tanah Adat Rawa Kijing, Pesawaran)

    Pengakuan Tanah Ulayat (catatan Tanah Adat Rawa Kijing, Pesawaran)

    Oleh: Agung Sugenta

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Adi Condro Bawono, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 24 Januari 2012

    Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945(“UUD 1945”) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

    Lalu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”)mengatur bahwa hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Pengaturan inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat.

    Definisi Hak Ulayat dan Tanah Ulayat

    Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Tanah Ulayat, tanah ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.

    UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu” ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut “beschikkingsrecht”. Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

    Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

    Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.

    Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (“Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016”) hak ulayat atas tanah dikenal dengan istilah hak komunal atas tanah yaitu hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.[1]

    Kawasan tertentu adalah kawasan hutan atau perkebunan. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[2]

    Sementara itu, Putu Oka Ngakan, et al.dalam buku Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan (hal. 13) mendefinisikan tanah ulayat (hak kolektif/beschikkingsrecht) sebagai “tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga masyarakat hukum adat, di mana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat) dan pemanfaatannya diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun orang luar.”

    Jadi, hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Sedangkan hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

    Menurut Kurnia Warman dalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk (hal. 40) persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUPA adalah:

    Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat itu masih ada;

    Mengenai hal ini, sesuai dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”), suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

    masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

    ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

    ada wilayah hukum adat yang jelas;

    ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

    masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

    Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; dan

    Dari segi politik, menurut Kurnia Warman, pernyataan “sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa” merupakan suatu aprioriyang mengandung kecurigaan dari pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Pernyataan ini menunjukan seolah-olah masyarakat hukum adat itu bukan merupakan bagian kenasionalan, kenegaraan dan kebangsaan.

    Maka karena pernyataan “sesuai dengan kepentingan negara” ini dapat menimbulkan multi tafsir dan sarat kepentingan politik, akan sulit bagi kita untuk dapat menentukan apakah keberadaan suatu masyarakat hukum adat tertentu memenuhi persyaratan ini atau tidak, tanpa mengetahui masyarakat hukum adat yang mana yang dimaksud tersebut.

    Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi.

    Persyaratan yang terakhir ini, menurut Kurnia Warman, tidak terlampau menjadi ganjalan yang merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD 1945 telah tegas mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas di Indonesia.

    Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas maka UU tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.

    Selain itu , Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur cara penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.

    Pasal 5 ayat (1) Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur bahwa masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu mengajukan permohonan penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat kepada Bupati/Walikota atau Gubernur.

    Permohonan tersebut diajukan oleh kepala adat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, dengan dilengkapi syarat antara lain:[3]

    riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya, apabila pemohon masyarakat hukum adat;

    riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;

    fotokopi kartu identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa, atau kelompok masyarakat lainnya;

    surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu.

    Setelah menerima permohonan tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (“Tim IP4T”­) untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu serta tanahnya.[4]

    Dalam hal tanah yang dimohon berada di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T yang terdiri dari:[5]

    Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota;

    Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;

    Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan dengan itu sebagai anggota;

    Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat;

    Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam Kawasan Hutan;

    Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu; Lembaga Swadaya Masyarakat; dan Instansi yang mengelola sumber daya alam.

    Dalam hal tanah yang dimohon terletak di lintas Kabupaten/Kota, Gubernur membentuk Tim IP4T yang terdiri dari unsur yang sama seperti di atas, kecuali huruf e diganti dengan Unsur Dinas Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, dan Unsur Dinas/Badan Provinsi yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, serta ditambahkan unsur Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Ketua merangkap anggota.***

    Agung Sugenta, adalah wartawan sinarlampung.com Biro Pesawaran

  • Rocky Gerung dan Akal Sehat

    Rocky Gerung dan Akal Sehat

    Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

    Seorang pejabat tinggi negara mengirimkan video pidato Rocky Gerung (RG) selama 3 menit lebih ke WA saya sambil mendecak kagum, luar biasa. Saya menonton video itu, kuliah RG dihadapan belasan ribu alumni perguruan tinggi (PT) se Indonesia, di daerah Taman Mini, Sabtu lalu.

    Saya sendiri tidak bisa hadir karena jadwal saya bentrok dengan jadwal lunch dengan Anies Baswedan. Mungkin pidato RG itu terpotong, tapi dalam 3 menitan itu saya dapat mengambil sari daripadanya, yakni:

    1) Alasan utama RG datang di forum alumni PT itu adalah mengembalikan akal sehat di negeri ini.

    Sebagai masyarakat berpendidikan tinggi, RG mengatakan bahwa demokrasi itu adalah pemerintah akal (government of reason) melalui pemerintah rakyat (government of people). Orang2 yang kurang berakal, apalagi melibatkan orang2 gila dalam berdemokrasi, menurutnya adalah sebuah ketidakwarasan.

    2. Universitas saat ini gagal menjalankan fungsi dan keberadaannya sebagai pusat distribusi akal pikiran.

    Keberadaan kampus, sesuai desainnya, seharusnya mampu sebagai sumur akal pikiran. Akal pikiran itu artinya mempunyai kritik terhadap kekuatan dominan. Sayangnya kampus saat ini menjada pusat “grasa-grusu” (istilah Wiranto) alias abal-abal.

    3. Pentingnya akal pikiran karena akal pikiran inilah yang mampu mentransformasi kaum milenial pada pertarungan 2024. Sebuah pertarungan pikiran bukan perasaan.

    4. Tanpa kritik, sebuah pandangan tidak akan menghasilkan dialektika. Kritik harus ada sehingga melahirkan anti tesa. Tesa – Anti tesa akan melahirkan sintesa.

    Otak2 kita harus banyak dicuci dengan argumen, bukan deterjen. Melalui argumen kontra argumen, bukan pemalsuan pikiran, yang menjadikan dialektika berkembang.

    5. RG merujuk pada kekuatan Tuhan YME atau alam semesta yang maha adil dalam membagikan akal pikiran kepada manusia. Dengan akal pikiran semua perbedaan fisikal manusia terhilangkan.

    Untuk membahas pikiran RG yang diposting ke saya Subuh kemarin, saya membutuhkan lebih dari 12 jam membaca berbagai pikiran filosof, seperti Aristotle, Socrates, Hume, Darwin, Nietzsche, Jean Paul Satre, Heidegger, Husserl, Hawking dan Friedrich Hegel serta sekilas pikiran Abu Sina dan Mulla Sadra. Sebab, memahami RG dengan ilmu biasa tentu tidak mungkin, karena RG ini sudah menjadi filosof terbesar bangsa kita di abad ini. Perlu kelengkapan pikiran filosof untuk membahas pikiran filosof (i).

    Marilah kita bahas pikiran RG tersebut sebagai berikut:

    1. Tentang Akal Sehat (common sense).

    Akal sehat, menurut definisi Aristotle adalah kemampuan seseorang melakukan penilaian (judgment) yang bersifat basic (dasar) bagi manusia dan hewan, tetapi hanya manusia yang mempunyai “real reasoned thinking”.

    Akal sehat menurut RG bersifat _a priori_ bukan _a posteriori._ Akal sehat muncul dari akal pikiran yang diberikan Tuhan atau alam semesta kepada manusia sebagai kebaikan Tuhan sehingga manusia bisa menjalankan misi kehidupannya.

    Lebih lanjut, “Common Sense” adalah sebuah wisdom, “self-evident truth” namun rasional. “Rationalism vs. empiricism” dalam menentukan akal sehat sudah menjadi perdebatan lama. Hegelianism tidak membutuhkan pengalaman empirik untuk meyakini sebuah akal sehat. Sebaliknya, misalnya Marx, meyakini akal sehat produk dari sejarah dan materialism.

    Dalam membahas peranan kampus sebagai “sumur pikiran” dan pusat peradaban akal sehat, misalnya, RG secara sepihak meyakini bahwa kampus memang di desain untuk kemashalatan manusia. Pikiran ini bertentangan dengan fakta alternatif bahwa kampus memang di desain untuk menjadi alat pembenar kekuasaan dan pemilik modal.

    Contoh, dalam masa Sukarno dan Suharto, kampus dan para professor berperan membenarkan semua tidakan kekerasan rezim untuk membungkam kebebasan berpendapat dan ilmiah. Bahkan, misalnya, di German di masa Hitler, pembunuhan 2 juta orang Jahudi dilakukan atas dikungan kampus dan intelektual di sana.

    2. Tentang Dialektika

    RG menekankan pentingnya kritik. Kritik itu mempunyai pengertian pada dataran konseptual maupun realitas. Dalam pegertian konsepsi, RG menyebutkan istila Dialektika, yakni setiap argumen (tesa) harus dikritik dengan argumen lain yang oposit (antitesa) sehingga melahirkan sintesa.

    Dalam dataran empirik, RG menyebutkan tanpa kritik, kekuasaan akan jauh dari keseimbangan (power balance). Tanpa keseimbangan kekuasaan, akan terjadi dominasi yang cenderung jahat. RG berpendapat bahwa kampus dilahirkan untuk mengkritik kekuasaan, bukan membungkuk.

    Dialektika versi RG adalah dialektika Hegelianism, yang beroposisi adalah konsep atau definisi. Bukan masa Socrates yang beroposisi orang vs. orang lain. Dengan kontradiksi2 dari konsep2 yang beroposisi, diinginkan suatu konsep yang lebih sempurna sebagai sintesa.

    Sebagai mazhab phenomenology, RG mendorong sebuah pemikiran yang holistik untuk melihat persoalan masa depan (reinventing the future) dengan tetap melihat masa lalu (remembering the past). Konsep menurutnya adalah penghubung masa lalu ke masa depan. Sehingga rezim tanpa (bersandar) pada akal sehat tidak akan mampu menjembatani transformasi yang dibutuhkan.

    3. Tentang Kebenaran yang Dipalsukan

    RG menyebutkan bahwa tidak benar pikiran pendukung Jokowi yang mengkritik dirinya tidak mengkritik Prabowo. Pikiran seperti itu adalah pikiran palsu. Sebab, menurut RG, tidak ada sandaran logis bagi dirinya untuk mengkritik Prabowo yang tidak berkuasa. Jika RG diundang ke forum pro Jokowi, dia pasti hadir, tapi bukan untuk mengkritik Prabowo, melainkan untuk mengkritik Jokowi. Kenapa?

    Karena penguasa adalah pemilik konsep utama (baik standar kebenaran maupun pembangunan) yang membutuhkan kontra konsep. Dalam apa yang dimaksud sebelumnya adalah untuk dialektika tadi.

    Konsep sang penguasa adalah konsep yang harus diuji dengan kontradiksi. Itu hanya bisa dilakukan oleh oposisi. Untuk itu Rocky berjanji bahwa dia akan beroposisi terhadap Prabowo setelah dua belas menit sejak Prabowo dilantik pada 2019 nanti.

    4. Tentang definisi keadaan: The beginning of the end.

    Mendifinisikan keadaan adalah tugas sejarah seorang filosof. RG mendefinisikan saat ini sebagai “the beginning of the end”, yakni sebuah keadaan di mana perubahan itu tidak mungkin ditarik mundur. Rocky melihat bahwa pada 17 Augustus 1945 adalah hari kemerdekaan, dan pada 17 April 2019 adalah hari kemenangan akal sehat.

    Memeriksa keadaan masyarakat dalam mazhab kaum idealis seperti RG dilakukan dengan melihat berbagai fenomena2 yang terjadi dimasyarakat, dengan melihat “common sense” dan dialektika yang ada.

    Penutup

    Rocky Gerung adalah filosof besar bangsa kita. Meskipun secara mazhab, RG berbeda dengan kaum empiricist seperti Darwinis, Marx, dan Nietzsche, namun pikiran-pikiran Rocky Gerung selain berguna bagi kaum idealis, dapat juga memotovasi kaum “empiricist” untuk muncul memberi pencerahan buat bangsa kita.

    Rocky Gerung sudah menegaskan bahwa dia tidak pernah menjelek2an Jokowi sebagai manusia sederhana. Bagi Rocky, manusia sederhana dibutuhkan untuk memimpin keluarga, bukan memimpin sebuah bangsa besar.***

  • Pembebasan Baasyir Dibatalkan, Yusril Terbuang Buruk

    Pembebasan Baasyir Dibatalkan, Yusril Terbuang Buruk

    oleh : Asyari Usman

    Salah satu dampak negatif bila pembebasan Ustad Abu Bakar Baasyir (ABB) dibatalkan akan dirasakan oleh Yusril Ihza Mahendra (YIM). Dia saat ini berposisi sebagai pengacara paslonpres 01 Jokowi-Ma’ruf (Ko-Ruf). Pembatalan merupakan tamparan keras kepada Yusril. Sebab, dialah yang mengusulkan dan dia pula yang menjelaskan landasan hukumnya sehingga Presiden Jokowi menjadi yakin dan setuju pembebasan tanpa syarat.

    Nah, apa yang akan terjadi terhadap YIM? Sebagai pengacara, Yusril tidak pernah kalah di pengadilan. Begitu kata orang. Ada yang bilang, kalah itu pantang bagi Yusril. Banyak yang berkata, Yusril tidak akan maju kalau tidak menang.

    Begitu juga, YIM tidak akan mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar membebaskan Ustad Baasyir tanpa syarat kalau dia tidak berhasil. Artinya, kalau usulan dia tak diikuti, dia tak akan mengajukannya kepada Jokowi.

    Tapi, mungkinkah Yusril menang dalam soal pembebasan Ustad Baasyir setelah muncul keberatan dari berbagai pihak di dalam dan luar negeri?

    Tentu saja berat. Jokowi akan mengutamakan ‘kekompakan’ kabinetnya. Karena itu, pertarungan akan menjadi sengit antara Yusril sebagai kuasa hukum paslon 01 Jokowi-Ma’ruf (Ko-Ruf) dan para senior yang ada di sekeliling Jokowi.

    Tetapi, Yusril pasti akan berusaha meyakinkan Jokowi bahwa dampak positif pembebasan Baasyir jauh lebih besar dari sisi negatifnya. Yusril bisa dengan mudah mengatakan bahwa keberatan Australia, dan juga keberatan pendukung Jokowi, tidak penting sama sekali dibandingkan elektabilitas Jokowi yang harus diselamatkan. Pembebasan Ustad ABB adalah salah satu langkah penyelamatan itu.

    Hanya saja, elektabilitas “yang misterius” itu pun mungkin sudah tak tertolong lagi. Dan diperkirakan, pembebasan Baasyir tidak berdampak apa-apa. Banyak orang yang percaya terori ini.

    Jokowi memang berada pada posisi serba-salah. Kalau beliau membatalkan pembebasan Baasyir untuk memenuhi keinginan sejumlah menteri dan kalangan pendukung radikal yang tak suka Ustad bebas, itu berarti Yusril Ihza tidak punya tempat lagi di kubu Jokowi.

    Pembatalan pastilah akan ditafsirkan oleh Yusril sebagai isyarat untuk mengusir dia dari lingkaran Jokowi. Akankah Yusril menyerah begitu saja? Tampaknya tidak. Meskipun dia mengatakan bahwa dibebaskan atau tidak terpulang sepenuhnya kepada pemerintah.

    Yusril akan berusaha keras untuk mempertahankan reputasinya. Mengapa? Karena YIM telah membeberkan secara luas bahwa pembebasan Ustad Baasyir seolah pasti akan terjadi. Yusril sudah sangat yakin bahwa perjuangan dia ke arah itu tinggal sedikit lagi.

    Namun, ganjalan yang dihadapi YIM tidak ringan. Dia bentrok dengan sejumlah menteri di kabinet Jokowi. Dia juga akan dicaci-maki oleh kalangan alergi Islam di kubu Jokowi.

    Overall, Jokowi pastilah mengikuti nasihat para menteri. Tetapi, Jokowi juga akan berusaha mempertahankan Yusril. Mungkinkan paradoks ini terjadi?

    Tidak sama sekali. Seorang yang berkaliber seperti Yusril akan merasa sangat malu kalau masih mencoba bertahan pada posisi sebagai pengacara Jokowi padahal dia telah diusir. Tak mungkinlah Yusril akan bertahan setelah pluit “get out” dibunyikan.

    Sebetulnya, ketika YIM bergabung ke kubu Jokowi, semua orang di sana merasa sangat senang. Maklum, Yusril adalah pengacara hebat. Dia pasti akan mampu membela Ko-Ruf jika terjadi sengketa hasil pilpres.

    Tetapi, begitu gagasan pembebasan Ustad Baasyir diajukan Yusril, banyak senior kubu Jokowi yang gerah. Yusril langsung kehilangan ‘respect’ di kalangan Jokowi. Bahkan, ada indikasi bahwa kubu Jokowi melihat Yusril sebagai ‘trouble maker’ (pengacau). Misalnya, jurubicara Tim Kampanye Nasional (TKN), Razman Arif Nasution, yang menyesalkan manuver Yusril. Rzaman mengatakan, Yusril tidak berkoordinasi dengan TKN soal pembebasan Ustad Baasyir.

    Jadi, bagi YIM, perjuangan untuk membebaskan Baasyir bukan lagi menyangkut soal legalitas. Melainkan telah berubah menjadi isu yang sangat personal sifatnya. Perjuangan hidup-mati. Sebab, Yusril telah mengorbankan harga dirinya ketika meloncat ke gerbong Jokowi. Khalayak mencibiri YIM karena mudahnya dia meninggalkan kaum seperjuangan.

    Nah, kalau sempat Prof Yusril kalah dan terusir dari kubu Jokowi, berarti dia akan terbuang buruk.

  • Menilik Prinsip Dasar Pengadaan Barang Jasa Pemerintah

    Menilik Prinsip Dasar Pengadaan Barang Jasa Pemerintah

    Oleh: Agung Sugenta

    Pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 telah mengamanatkan bahwa salah satu tugas pokok pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa adalah menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dimulai, pakta integritas sendiri adalah surat yang berisikan ikrar untuk mencegah dan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

    Oleh sebab itu pengadaan barang dan jasa perlu dilakukan secara transparan dan objektif sehingga akan menghasilkan seleksi yang terbaik dan hasil yang terbaik. Transparasi atau keterbukaan informasi merupakan komponen penting dalam mengurangi terjadinya korupsi. Sementara, selama ini kesannya panitia bekerja secara tertutup dan tidak adil, buktinya dalam menjalankan tugasnya panitia tidak pernah melakukan desiminasi informasi yang diperlukan oleh masyarakat termasuk pemerhati.

    Perlunya keterbukaan tentang pengalaman dalam melaksanakan proyek yang bersifat spesifik, nama baik perusahaan, serta nama baik direktur dan pemilik perusahaan. Sehingga dapat diyakinkan pelaksanaan proyek tersebut adalah perusahaan yang terbaik, yang dapat memberikan kualitas produk/jasa yang terbaik dan dapat mengurangi kecurangan, kolusi dan korupsi.

    Pada proyek konstruksi misalnya perlu ada suatu kegiatan evaluasi pengadaan, di mana analisis harga satuan merupakan salah satu bagian yang dinilai perlu perhatian bagi penyedia untuk mewujudkan produk atau item pekerjaan terkait tata cara pengukuran hasil kerja, karena di dalamnya berkaitan erat dengan dokumen tender, apabila kurang cermat maka akan dapat menimbulkan kesalahan dan menimbulkan “suatu kerugian”.

    Menjadi perhatian berbagai penyelewengan dalam pengadaan barang dan jasa publik:

    1. Lelang tertutup, meskipun lelang terbuka, proses tersebut sebenarnya bersifat “Tertutup”, dengan persyaratan tender yang sudah diarahkan kepada penyedia barang tertentu. Panitia memberikan memberikan keistimewahan pada kelompok tertentu.

    2. Mark-up harga, harga yang ditawarkan seharusnya berupa estimasi penawaran berdasarkan rincian teknis pengadaan, namun harga dimanipulasi, baik oleh si penyedia barang maupun pejabat publik untuk meningkatkan keutungan yang diperoleh penyedia barang. Dapat dilihat harga penawaran mendekati HPS bahkan menggunakan harga satuan yang tidak standar, Panitia dikendalikan oleh pihak tertentu.

    3. Tidak efisien karena perencanaan yang buruk, perencanaan proyek sengaja dibuat dengan kualitas yang diprediksi akan mengalami kerusakan dalam waktu yang lebih cepat.

    4. Suap, tender dimenangkan oleh satu penawar dan memberi hadiah atau “success fee”.

    Dampak akibat korupsi dalam pengadaan barang dan jasa 

    1. Dampak finansial pembebanan atas biaya pembelanjaan dan perbaikan kepada pemerintah

    2. Dampak ekonomi dengan tinggi biaya pelaksanaan akibat tinggi korupsi dapat mengancam pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.

    3. Turunnya kepercayaan kepada pemerintah, masyarakay akan menilai bahwa pemerintah tidak dapat dipercaya.

    4. Korupsi membuat kurangnya kompetisi yang akhirnya mengarah kepada kurangnya daya inovasi, perusahaan-perusahaan yang bergantung pada hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber dayanya untuk melakukan inovasi.

    5. Mutu pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan, rata-rata pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan tidak mempunyai umur yang panjang, terutama pada sektor konstruksi. Hal ini diakibatkan karena pengusaha mengejar keuntungan yang cukup besar.

    Pecegahan Praktek Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa 

    Yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan praktek korupsi pengadadaan barang dan jasa pemerintah adalah:

    1. Adanya peningkatan transparasi dalam proses pengadaan barang dan jasa misalnya melalui pengumuman kepada masyarakat melalui papan informasi melalui internet atau melalui penyelenggaraan dengar pendapat (sesuai dengan kebutuhan daerah).

    2. Pelaksanaan proses pemantauan membentuk tim pemantau independen yang diakui secara formal oleh institusi publik.

    3. Memberikan peningkatan kapasitas(capacity building), bagi para kontraktor lokal dengan berbagai program pelatihan dan sosialisasi mengenai kompetensi teknis dan manajemen.

    4. Masyarakat pemerhati mengiatkan diri pada aksi peniup pluit (whisstleblower) atau watchdog. Karena masyarakat yang akan menjadi user dari hasil pekerjaan yang dilaksanakan, maka secara moral masyarakat dituntut keperduliannya untuk melakukan pengawasan. Pemerintah dituntut pula untuk memberi akses yang luas kepada masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai proyek pengadaan barang dan jasa.

    Sebaiknya pula masayarakat diberi sosialisasi mengenai proyek yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat sendiri menjadi safequarding bagi keberhasilan proyek pengadaan barang dan jasa.

    Sebagi komitmen menuju tata pemerintahan yang baik, menyehatkan sistem pengadaan barang dan jasa adalah tawaran mutlak, tidak ada kata wait and see. Akhirnya kita harus selalu mengingat satu judul lagu dari scorpion “The wind of change” dimana kita harus meniupkan angin perubahan pada sektor pengadaan barang dan jasa. **

    Penulis adalah wartawan sinarlampung.com biro Pesawaran

  • Ustad Baasyir Buat Kabinet Jokowi Kucar-Kacir

    Ustad Baasyir Buat Kabinet Jokowi Kucar-Kacir

    Oleh : Asyari Usman

    Dalam kondisi tak berdaya pun, Ustad Abu Bakar Baasyir (ABB) masih bisa membuat penguasa kucar-kacir. Kabinet Jokowi dibuat bertengkar secara terbuka setelah Presiden menyetujui pembebasan Ustad dengan menganulir semua syarat pembebasan bersyarat.

    Syarat itu antara lain Ustad ABB harus menandatangani pernyataan kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI. Gara-gara persyaratan inilah, konon, pembebasan beliau yang seharusnya bisa dilakukan pada 23 Desember 2018, tak jadi terlaksana. Ceritanya, sejak 2017 keluarga Ustad mengajukan permohonan bebas karena telah memenuhi syarat menjalani 2/3 hukuman 15 tahun. Tapi, karena Ustad berkeras tak mau mengikuti syarat yang ditentukan itu, tak jadilah beliau dilepas.

    Kemudian, datanglah Prof Yusril. Dia menyarankan kepada Jokowi agar ‘menganulir’ syarat-syarat itu. Jokowi pun setuju. Demi pertimbangan kemanusiaan. Dan mungkin juga demi ‘dampak lain’. Misalnya, dampak elektabilitas Jokowi di mata umat Islam. Kata Pak Yusril lagi (dalam wawancara dengan KompasTV), Jokowi “tak suka melihat ulama berlama-lama di dalam penjara”. Wallhu a’lam.

    Setelah kabar pembebasan itu tersiar, bermunculanlah keberatan dari berbagai pihak. Rata-rata kubu Jokowi tidak setuju. Mereka itu kelihatannya adalah golongan yang tak mengenal kompromi bila itu menyangkut orang Islam. Kalau dipetakan, sesungguhnya mereka boleh dikatakan sekubu dengan kelompok anti-Islam yang berhaluan radikal. Kalau pun tak sekubu, mereka itu hampir pasti bertetangga.

    Keberatan terhadap pembebasan Ustad Baasyir juga datang dari Australia. Tetapi, Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa diatur oleh Australia.

    Dua hari setelah Jokowi setuju membebaskan Baasyir, pecahlah perselisihan di Kabinet. Menko Polhukam Wiranto mengeluarkan pernyataan (21/01/2019) bahwa pembebasan itu masih memerlukan pertimbangan aspek-aspek lain lebih dahulu. Sampai-sampai Wiranto mengatakan bahwa Presiden tidak boleh ‘grasa-grusu’. Tak boleh tergesa-gesa.

    Sekarang, Presiden Jokowi mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai presiden yang telah mengambil keputusan untuk membebaskan Ustad ABB. Ini sangat krusial. Krusial karena menyangkut ‘kecakapan’ dan ‘independensi’ Presiden. Plus juga wibawa beliau. Isu ini akan menjadi barometer untuk menentukan apakah Jokowi ‘cakap’ atau tidak. Paham atau tidak.

    Orang-orang senior di kubu Jokowi berusaha menunjukkan bahwa gonjang-ganjing pembebasan Ustad ABB bukan salah Jokowi melainkan salah Yusirl Ihza. Jurubicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Ko-Ruf, Razman Arif Nasution, menyesalkan manuver Yusril yang tidak berkoordinasi dengan TKN soal pembebasan Ustad Baasyir.

    Sedangkan kolumnis pro-Jokowi, Denny Siregar, mencoba memoles keputusan Jokowi untuk membebaskan Ustad. Dia antara lain menulis bahwa Jokowi membebaskan Baasyir sebagai bentuk strategi ‘rangkul’ kaum radikal. Bukan stategi ‘pukul’ seperti yang dilakukan oleh Presiden Basaar Al-Assad di Suriah. Kata Denny Siregar, pembebasan Baasyir menunjukkan bahwa Jokowi adalah seorang visioner, melihat jauh ke depan.

    Kita tunggu apa yang akan dikatakan oleh Denny setelah pembebasan itu dibatalkan. Barangkali dia akan mengatakan Jokowi visioner, demisioner, revolusioner, takbener, dlsb.

    Diperkirakan, ke depan ini akan berlangsung tarik-menarik antara Yusril dan orang-orang yang tak setuju pembebasan Baasyir. Publik akan menyaksikan ke mana Jokowi akan berpihak. Isu ini akan menjadi sangat berat. Sebab, Jokowi bagaimana pun juga masih melihat saran-saran YIM sangat cocok untuk dilaksanakan.

    Namun, di lain pihak, kubu Jokowi di TKN maupun di kalangan publik luas tak bisa menghilangkan kesan bahwa Yusril bisa memunculkan masalah besar bagi Jokowi. Mereka tidak suka pada pengacara yang sangat percaya diri itu.

    Kita akan melihat perkembangan yang menarik dalam hari-hari mendatang ini. Para menteri senior pastilah ingin segera melenyapkan kesan bahwa Kabinet Jokowi dibuat kucar-kacir oleh Ustad Baasyir.