Kategori: Opini

  • Ustad Baasyir Buat Kabinet Jokowi Kucar-Kacir

    Ustad Baasyir Buat Kabinet Jokowi Kucar-Kacir

    Oleh : Asyari Usman

    Dalam kondisi tak berdaya pun, Ustad Abu Bakar Baasyir (ABB) masih bisa membuat penguasa kucar-kacir. Kabinet Jokowi dibuat bertengkar secara terbuka setelah Presiden menyetujui pembebasan Ustad dengan menganulir semua syarat pembebasan bersyarat.

    Syarat itu antara lain Ustad ABB harus menandatangani pernyataan kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI. Gara-gara persyaratan inilah, konon, pembebasan beliau yang seharusnya bisa dilakukan pada 23 Desember 2018, tak jadi terlaksana. Ceritanya, sejak 2017 keluarga Ustad mengajukan permohonan bebas karena telah memenuhi syarat menjalani 2/3 hukuman 15 tahun. Tapi, karena Ustad berkeras tak mau mengikuti syarat yang ditentukan itu, tak jadilah beliau dilepas.

    Kemudian, datanglah Prof Yusril. Dia menyarankan kepada Jokowi agar ‘menganulir’ syarat-syarat itu. Jokowi pun setuju. Demi pertimbangan kemanusiaan. Dan mungkin juga demi ‘dampak lain’. Misalnya, dampak elektabilitas Jokowi di mata umat Islam. Kata Pak Yusril lagi (dalam wawancara dengan KompasTV), Jokowi “tak suka melihat ulama berlama-lama di dalam penjara”. Wallhu a’lam.

    Setelah kabar pembebasan itu tersiar, bermunculanlah keberatan dari berbagai pihak. Rata-rata kubu Jokowi tidak setuju. Mereka itu kelihatannya adalah golongan yang tak mengenal kompromi bila itu menyangkut orang Islam. Kalau dipetakan, sesungguhnya mereka boleh dikatakan sekubu dengan kelompok anti-Islam yang berhaluan radikal. Kalau pun tak sekubu, mereka itu hampir pasti bertetangga.

    Keberatan terhadap pembebasan Ustad Baasyir juga datang dari Australia. Tetapi, Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa diatur oleh Australia.

    Dua hari setelah Jokowi setuju membebaskan Baasyir, pecahlah perselisihan di Kabinet. Menko Polhukam Wiranto mengeluarkan pernyataan (21/01/2019) bahwa pembebasan itu masih memerlukan pertimbangan aspek-aspek lain lebih dahulu. Sampai-sampai Wiranto mengatakan bahwa Presiden tidak boleh ‘grasa-grusu’. Tak boleh tergesa-gesa.

    Sekarang, Presiden Jokowi mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai presiden yang telah mengambil keputusan untuk membebaskan Ustad ABB. Ini sangat krusial. Krusial karena menyangkut ‘kecakapan’ dan ‘independensi’ Presiden. Plus juga wibawa beliau. Isu ini akan menjadi barometer untuk menentukan apakah Jokowi ‘cakap’ atau tidak. Paham atau tidak.

    Orang-orang senior di kubu Jokowi berusaha menunjukkan bahwa gonjang-ganjing pembebasan Ustad ABB bukan salah Jokowi melainkan salah Yusirl Ihza. Jurubicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Ko-Ruf, Razman Arif Nasution, menyesalkan manuver Yusril yang tidak berkoordinasi dengan TKN soal pembebasan Ustad Baasyir.

    Sedangkan kolumnis pro-Jokowi, Denny Siregar, mencoba memoles keputusan Jokowi untuk membebaskan Ustad. Dia antara lain menulis bahwa Jokowi membebaskan Baasyir sebagai bentuk strategi ‘rangkul’ kaum radikal. Bukan stategi ‘pukul’ seperti yang dilakukan oleh Presiden Basaar Al-Assad di Suriah. Kata Denny Siregar, pembebasan Baasyir menunjukkan bahwa Jokowi adalah seorang visioner, melihat jauh ke depan.

    Kita tunggu apa yang akan dikatakan oleh Denny setelah pembebasan itu dibatalkan. Barangkali dia akan mengatakan Jokowi visioner, demisioner, revolusioner, takbener, dlsb.

    Diperkirakan, ke depan ini akan berlangsung tarik-menarik antara Yusril dan orang-orang yang tak setuju pembebasan Baasyir. Publik akan menyaksikan ke mana Jokowi akan berpihak. Isu ini akan menjadi sangat berat. Sebab, Jokowi bagaimana pun juga masih melihat saran-saran YIM sangat cocok untuk dilaksanakan.

    Namun, di lain pihak, kubu Jokowi di TKN maupun di kalangan publik luas tak bisa menghilangkan kesan bahwa Yusril bisa memunculkan masalah besar bagi Jokowi. Mereka tidak suka pada pengacara yang sangat percaya diri itu.

    Kita akan melihat perkembangan yang menarik dalam hari-hari mendatang ini. Para menteri senior pastilah ingin segera melenyapkan kesan bahwa Kabinet Jokowi dibuat kucar-kacir oleh Ustad Baasyir.

  • Tipu-Tipu Rezim Dibalik Pembatalan Rencana Pembebasan ABB

    Tipu-Tipu Rezim Dibalik Pembatalan Rencana Pembebasan ABB

    Oleh: Nasrudin Joha

    Setelah ‘gagal’ ngalap berkah elektabilitas dari rencana pembebasan Ust. ABB, kini rezim mengumumkan mempertimbangkan ulang (baca: membatalkan) rencana membebaskan Ust. ABB. Dalihnya macam-macam, dari alasan ideologi, Pancasila, NKRI, dan hantu blawu lainnya.

    Sadar netizen begitu sadis menguliti, sadar bahwa isu pembebasan Ust. ABB tdk mampu dikapitalisasi untuk menaikan elektabilitas rezim, rezim lantas mengumumkan pembatalan dengan sejumlah dalih. Sejak awal, saya sudah tegaskan rezim hanya peduli pada elektabilitas, tidak terhadap Ust. ABB. Alasan kemanusiaan, sudah tua, sakit-sakitan, itu hanya dalih saja.

    Karena itu, ketika umat sadar dan rezim tak mampu jualan citra dan menangguk elektabilitas, saat rezim sadar umat bersyukur terhadap rencana pembebasan Ust ABB tetapi tetap ogah pilih Jokowi, rezim menganulir keputusannya. Bahkan, sebagian TKN Jokowi mendakwa Yusril tidak berkoordinasi dalam proses rencana pembebasan Ust. ABB.

    Sekali lagi, apa yang dilakukan rezim dengan mempermainkan perasaan umat, mengubah rasa bahagia umat atas rencana pembebasan Ust. ABB dan kemudian menjadi dongkol karena rencana ini dibatalkan, mengkonfirmasi bahwa rezim saat ini adalah rezim pembohong, dusta dan khianat. Tindakan ini juga semakin menegaskan, rezim saat ini memang rezim yang represif dan anti Islam. Selain mempermainkan ulama yang sudah sangat sepuh dengan tuduhan teroris, kini ditambah mempermainkan umat, mengaduk aduk hati dan perasaan umat dengan pengumuman pembatalan pembebasan Ust. ABB.

    Wahai umat, bersabarlah. Kita akan membebaskan Ust. ABB, menjemput HRS, membebaskan semua ulama dan aktivis Islam lainnya, dengan tangan kita sendiri, tidak perlu meminta belas kasihan dari rezim. Kita akan tunjukkan kepada rezim, bahwa umat Islam bukanlah keledai.

    Wahai Ust. ABB, HRS, para ulama panutan kami, tetaplah bersabar dalam simpul ketaatan. Bertahanlah, untuk waktu yang sebentar lagi. Sungguh, tangan-tangan kami akan segera mengakhiri nyawa rezim, mencekiknya bersama-sama, dan melemparkannya ke keranjang sampah peradaban.

    WAHAI MUJAHID ISLAM, bersumpahlah ! Kalian tidak akan pernah rehat, sebelum kalian dapati rezim ini tersungkur dihadapan kalian. Kalian wajib bersikap teguh, berjuang sungguh-sungguh, untuk mengangkat benalu dusta dan tipu daya, dan membungkam rezim yang represif dan anti Islam.

    Jadikanlah, pertarungan politik ini sebagai badar kedua. Jemputlah dua kemenangan, menjungkirbalikkan rezim atau Syahid di jalan-Nya, karena pilihan yang telah ditetapkan Allah SWT adalah baik bagi hamba-Nya.

    Bersatulah, untuk mengembalikan kemuliaan umat dengan menegakkan Islam secara kaffah. Memakmurkan bumi, serta melepaskan seluruh manusia dari belenggu kemusrikan. Menghamba hanya kepada Allah SWT, dan menolak untuk taat kecuali hanya kepada Allah SWT.

    Ya Allah, ya Rohman, sayangilah umat ini. Tolong lah umat dari kesulitan dan kezaliman. Turunkan pertolongan-Mu, agar umat ini kembali menjadi umat terbaik bagi semesta alam.

    Hancurkan persatuan kaum kafir dan munafik, porak-porandakan mereka, bongkar makar mereka, dan jauhkan umat dari mereka. Sungguh, tidak ada yang sulit bagi-Mu, untuk menetapkan urusan bagi seluruh makhluk-Mu.

  • Lima Jurus Reformasi Pajak Prabowo-Sandi

    Lima Jurus Reformasi Pajak Prabowo-Sandi

    Oleh: Harryadin Mahardika

    Reformasi perpajakan adalah salah satu program Prabowo-Sandi yang menyita perhatian para pemilih dalam Debat Capres pertama minggu lalu. Sebenarnya bagaimana penjelasan yang utuh mengenai program reformasi perpajakan tersebut?

    Berbeda dengan serangan atas program ini dari tim 01, ternyata Prabowo-Sandi tidak menempatkan program pemotongan tarif pajak sebagai kebijakan yang soliter, melainkan menjadi bagian dari program reformasi perpajakan yang komprehensif.

    Dalam program reformasi perpajakan yang mereka susun, ada beberapa program aksi utama:

    1). Memisahkan Dirjen Pajak dari Kemenkeu. Akan dibentuk lembaga baru setingkat menteri untuk mengelola sistem perpajakan. Hal ini ditujukan untuk memperbaiki manajemen dan profesionalismenya sehingga target reformasi pajak bisa dilakukan secepatnya.

    2). Membangun infrastruktur perpajakan secara menyeluruh dan modern. Prabowo-Sandi akan investasi pada hardware, software dan brainware perpajakan. Targetnya adalah otomatisasi pemotongan pajak, dan pelaporan pajak yang mudah, seamless dan transparan.

    3). Mendorong jenis-jenis pajak yang bisa menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan sosial, seperti pajak dividen, pajak karbon, dan sebagainya.

    4). Mengikuti tren dunia untuk menurunkan tarif pajak, sehingga memberikan stimulus bagi perekonomian nasional. Pemotongan tarif akan mengurangi korupsi dan kolusi antara wajib pajak dengan perugas pajak, serta akan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak. Caranya adalah sbb:

    – Memotong tarif pajak Pribadi akan menambah daya beli dan konsumsi masyarakat, shg akan memutar perekonomian (multiplier effects). Konsumsi yang meningkat ini akan tertangkap kembali oleh PPN (pajak pertambahan nilai) dari barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

    – Memotong tarif pajak Badan Usaha akan memberi tambahan daya dorong bagi perusahaan untuk melakukan investasi, melakukan ekspansi dan membayar hutang. Investasi dan ekspansi akan menciptakan lapangan kerja baru, dan akan meningkatkan penerimaan pajak dari gaji para pekerja baru ini. Profitabilitas perusahaan juga akan meningkat sehingga pajak yang dibayarkan akan lebih besar.

    – Prabowo-Sandi akan memotong tarif pajak (pribadi dan badan) sekitar 5% – 8% yang akan memberikan stimulus perekonomian setara dengan Rp 75 s/d 120 Triliun per-tahun. Stimulus sebesar ini diproyeksikan memberikan multiplier effects sebagai berikut:

    A). Meningkatkan tax ratio sebesar 1,0 – 1,2% per-tahun.
    B). Meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0,3 – 0,7% per-tahun.
    C). Meningkatkan jumlah lapangan kerja sebesar 1,5 – 2,0% per-tahun.

    5). Melakukan ekstensifikasi pajak lewat digitalisasi, otomatisasi dan implementasi infrastruktur IT perpajakan. Jumlah Wajib Pajak di Indonesia baru sekitar 31% dari potensi seluruh pribadi dan badan usah yang melakukan aktivitas perekonomian. Dari Wajib Pajak yang sudah terdaftar-pun, tingkat kepatuhannya pada tahun 2018 baru sekitar 59%. Inilah yang akan ditingkatkan oleh Prabowo-Sandi melalui infrastruktur perpajakan yang masif dan modern.

    Kelima Program Aksi Reformasi Perpajakan tersebut akan bermuara pada satu hal: Naiknya tax ratio sebesar 15-16% pada tahun 2024 tanpa membebani rakyat dan dunia usaha dengan pajak yang tinggi.

  • Sisa Ruang Profesi Wartawan

    Sisa Ruang Profesi Wartawan

    Oleh Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah

    Kegelisahan konstruktif Ganjar Pranowo tentang masa depan media, saya tangkap dari ungkapan-ungkapannya saat menerima audiensi pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jawa Tengah, 2 Januari lalu. Dia terutama menanyakan, jaminan kesejahteraan seperti apa yang bisa diberikan oleh para pengelola media terhadap manusia profesional wartawan?

    Pertanyaan tersebut pernah disampaikan Gubernur Jawa Tengah itu kepada pengurus PWI Pusat dalam sebuah diskusi menjelang Kongres 2018. Keberpihakan pada masalah ini, menurut dia, perlu menjadi komitmen organisasi profesi dan serikat perusahaan media untuk mendorong terciptanya rasa “aman” bagi wartawan dalam menjalani tugas profesinya. Juga supaya ada standar yang menjauhkan dari pikiran-pikiran yang membuat performa mereka tidak kredibel.

    Wacana tentang masa depan profesi wartawan rasanya patut diapungkan sebagai arus diskusi menjelang peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2019 nanti.

    Pertanyaan awal, sebagai ungkapan kegelisahan, pernah saya diskusikan dengan Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat, Firdaus Banten dalam sebuah Uji Kompetensi Wartawan (UKW), “Masih cukup berprospekkah profesi dunia jurnalistik dari sisi jaminan ketercukupan ekonomi?”

    Tak mudah menjawab gambaran tersebut. Pertama, bagaimanapun media, dengan topangan sumber daya manusia profesi jurnalis, masih harus ada seiring dengan naluri kebutuhan manusia akan informasi.

    Kedua, faktanya kini sebagian kebutuhan informasi itu bisa diakses melalui browsing mesin pencari penyedia apa pun info yang dikehendaki.

    Ketiga, dengan aneka platform media sosial, sekarang “setiap orang bisa menjadi wartawan untuk dirinya sendiri dan orang lain”.

    Tiga gambaran itu memang masih menyisakan ruang eksistensial bagi wartawan dengan media arus utamanya, namun apakah cukup memberi garansi keleluasaan ruang kehidupan dari sisi kesejahteraan?
    Saya akan secara dini memagari, jangan hanya bicara tentang idealisme.

    Sikap ini menjadi ruh kehidupan para pemilih profesi wartawan, akan tetapi konteks realitas zaman tidak mungkin menuntut idealisme yang buta akan penopang kredibilitas sikap tersebut. Ekspresi idealisme hanya akan kredibel manakala seseorang merasa “aman” dalam kebutuhan dasar hidupnya, dan ini adalah opini sepatutnya yang berlaku sekarang.

    Bagaimanapun, wartawan bukan “pertapa” atau orang yang memilih ber-zuhud dalam hidupnya demi memperjuangkan keyakinan profetik. Bukankah dunia jurnalistik juga mencatat sejumlah “kisah sukses” wartawan yang bermigrasi menjadi anggota legislatif, kepala daerah, staf ahli pejabat publik, komisioner penyelenggara pemilu, pebisnis non-media, juga ragam pekerjaan lain? Sebagian dari kisah sukses itu, bagaimanapun, mulanya ditopang oleh eksistensi profesi kewartawanan.

    Jaminan di Sisa Ruang
    Lalu bagaimana memasuki lorong pilihan profetik itu dengan memberikan keyakinan masih ada jaminan sisa ruang hidup?
    Dinamika kehidupan manajemen bisnis media, khususnya media cetak dan sebagian online, secara nyata kita lihat sekarang sebagai “jihad” mempertahankan diri.

    Pada sisi lain kita juga melihat pelbagai platform media sosial tampak “meriah” dengan promosi produk dan jasa yang seolah-olah mewartakan bahwa iklan-iklan yang hengkang dari media cetak, justru bermigrasi ke media sosial, dan tidak serta merta beralih orientasi sebagai lahan bisnis media online.

    Sebenarnya terdapat peluang kalkulasi teknis-kolaboratif yang bisa memberi keuntungan finansial menjanjikan antara media-media digital dengan berbagai platform media sosial.

    Jadi peluang tetap ada, meskipun model, pola, dan perilaku advertising ini, yang kita tangkap di banyak media online, seperti menomorduakan hakikat nilai berjurnalistik.

    Dengan perkembangan bentuk adaptasi sajian iklan itu, apakah produk jurnalistik nantinya akan sepenuhnya terartikulasikan seperti hanya “numpang lewat” menemani ingar-bingar wajah advertisment business.

    Pertanyaan lanjutannya, apakah perilaku bermedia pada saatnya memang bakal menomorsekiankan ritus-ritus “spiritualitas jurnalistik”? Artinya, sikap berjurnalistik kelak akan sekadar menjadi mitos idealistik ketika praktik semesta media lebih tergantung pada “jualan” berbasis klickers (viewers) dengan kiat-kiat pendekatan yang lebih teknis ketimbang mengarusutamakan nilai-nilai berjurnalistik.

    Sekarang ini, yang dibutuhkan oleh profesi wartawan adalah pengelaborasian sisa ruang untuk dimasuki dengan membawa keyakinan akan ada prospek kesejahteraan yang bisa diraih. Masalahnya, bagaimana manajemen bisnis media berkreasi memberi jaminan ruang kehidupan profetik sebagai “manusia”, yang bisa dikolaborasikan dengan ruang ekspresi nilai-nilai jurnalistik. Bentuk inilah yang bakal saling menopang mewujudkan “manusia wartawan yang kredibel”.

  • Whatsapp dan Kepanikan Politik

    Whatsapp dan Kepanikan Politik

    Oleh : Tengku Zulkifli Usman, Analis Politik

    Tanggal 22 januari tahun ini, pemerintah RI melalui Kemenkominfo akan resmi membatasi fitur Forward pesan whatsapp hanya ke 5 kontak saja.

    Pembatasan ini alasan utama nya adalah untuk membatasi lalu lintas viralitas pesan agar berita Hoax bisa ditekan.

    Lucunya, kerjasama ini dilakukan untuk menyambut pilpres 2019, tentu ini terindikasi kuat untuk kepentingan politik. Karena pemilih yang melek teknologi di indonesia angkanya cukup besar, dan rata rata adalah segmentasi pemilih capres No 2. Prabowo-Sandi.

    Pengguna whatsapp di indonesia tidak kurang dari 100 juta an, mayoritas mereka adalah kalangan menengah keatas dimana segmen pemilih prabowo adalah yang terbesar ada disini.

    Mengacu kepada survei politik bulan ini, pemilih Jokowi masih mayoritas menang di kalangan tamatan SD dan tidak tamat SD, otomatis mayoritas kalangan ini tidak memakai aplikasi whatsapp (lihat sampel survei Median dan Alvara).

    Diluncurkannnya program pembatasan Forward pesan hanya ke 5 kontak saja ini tercium sangat politis, karena berlaku sebelum pemilu, ini langkah nyata memonopoli informasi dengan mengatasnamakan perang terhadap Hoax.

    Tujuan utama program ini sangat mudah dibaca secara politik, yaitu menekan angka pemilih prabowo 3 bulan mendatang sampai hari H 17 april nanti. Kerjasama pemerintah RI dengan Whatsapp yang menginduk ke perusahaan induknya yakni faceebook adalah upaya lain capres petahana yang ingin memenangkan pilpres dengan menggunakan tangan kanan nya menkominfo Rudiantara.

    Tidak tanggung tanggung, bos whatsapp bidang politik dan juga bidang komunikasi di level global turun tangan dan sudah mematangkan pembicaraan ini dengan KPU dan Bawaslu RI. Langkah langkah politik seperti ini adalah sangat arogan dan abuse of power, ini bisa dikatakan sebagai upaya menekan suara rakyat yang ingin mengganti presiden.

    Alasan menkominfo dan KPU juga bawaslu dalam hal ini terkesan mengada ngada, padahal soal Hoax bukan hanya soal whatsapp atau facebook. Alasan ini juga gak berimbang karena disaat whatsapp dibatasi untuk forward pesan, sedangkan media media mainstream yang terus menebar hoax minimal tidak fair dalam pemberitaan soal pilpres terus saja dibiarkan karena menguntungkan capres petahana.

    Alasan lain yang gak masuk akal adalah, Menkoninfo menjadikan India sebagai alasan dan contoh, karena di india juga sudah dibatasi forward pesan whatsapp.

    Padahal di india sangat wajar karena penduduk india diatas 1Miliar dan memang perlu pengawasan ekstra ketat disana, tidak seperti indonesia yang masih relatif belum mengkahwatirkan, lagian di india juga tidak ada isu 2019 GantiPM.

    Semua aturan aturan ini adalah tidak fair, arogan dan memanfaatkan kekuasaan untuk kembali menang pemilu dengan cara cara haram.

    Ini karena saat ini, elektabilitas capres no 1 semakin mengkahwatitkan, sisa selisih hanya 9% dengan no 2, dan bahkan no 2 saat ini sudah menang telak di pulau sumatera dengan selisih hampir 15% dengan No 1.(baca hasil survei terbaru pekan ini di media media)

    Arogansi seperti ini harus dilawan karena bertentangan dengan asas asas demokrasi yang sehat dan penghargaan atas kedaulatan suara rakyat. Memonopoli informasi demi politik adalah salah satu kejahatan demokrasi.

    Kalau pemerintah tidak mampu bersaing secara fair, jujur dan adil, maka lebih baik No 1 mundur sebagai capres dan jangan menghabiskan puluhan triliyun uang rakyat demi nafsu serakah kekuasaan dalam bentuk pilpres yang menipu.

  • Perawi Rempah dan Sang Gembala yang Lupa Arah Pulang

    Perawi Rempah dan Sang Gembala yang Lupa Arah Pulang

    (Apresiasi buku kumpulan puisi Perawi Rempah karya Ahmad Yulden Erwin)

    Oleh : Ardiansyah

    Sebelum mulai membaca buku kumpulan puisi karya sastrawan Ahmad Yulden Erwin, yang diberi judul Perawi Rempah, saya memulainya dengan mempersiapkan secangkir kopi panas, (bahkan ekstra panas) dengan dua bungkus rokok di atas meja. Malam, saat suasana begitu hening dan nyaman.

    Jujur, saya benar-benar merasakan hasrat yang begitu hebat. Entah dikarenakan ekspektasi besar terhadap sastrawannya atau disebabkan kerinduan saya terhadap karya sastra terhapus seketika saat menerima kiriman tiga buku kumpulan puisi ini di Rabu sore, (16/1/2019), selepas pulang dari rutinitas di hari itu. Tiga buku kumpulan puisi yang saya terima, masing-masing berjudul Perawi Rempah, Perawi Tanpa Rumah, dan Hara Semua Kata.

    Saya pun memulai dengan membaca satu buku bertajuk Perawi Rempah dan merupakan judul salah satu dari 42 puisi yang terdapat dalam buku tersebut. Rasa penasaran saya terhadap buku ini begitu hebat. Bisa jadi, salah satu alasannya karena puisi Perawi Rempah menjadi nominasi dari perhelatan The 18’th Kusala Sastra Khatulistiwa 2017-2018. Dalam ajang penghargaan bagi para penyair mutakhir abad ini, dua sastrawan Lampung tercatat sebagai nominatornya, yakni Ahmad Yulden Erwin dan Ari Pahala Hutabarat.

    Membaca sekumpulan puisi pilihan yang ada di buku Perawi Rempah, saya dihadapkan dengan sejarah politik di negeri ini yang sungguh memilukan — jika tak berani saya sampaikan dengan kalimat : sejarah politik yang menakutkan !

    Kekayaan rempah-rempah yang tumbuh subur di negeri berjuluk tanah surga ini, berikut runtutan kekayaan alamnya, dan juga kehalusan kebudayaan dari keberagaman masyarakatnya, dirampas. Oleh siapa ? Oleh sejarah politik di negeri ini.

    Kengerian sejarah itu tergambar begitu kuat dalam puisi berjudul Kandang Pieterszoon. (Berikut kutipannya, dengan mengesampingkan tipografi aslinya yang menurut saya sangat eye catching).

    “Sapi hijau, sapi merah, sapi kuning. Langit adalah kandang para sapi, tempat mereka berpinak dan mati. Ada banyak pilihan menjadi sapi : sapi angin, sapi api, sapi besi, sapi tanah–semua adalah daging, makanan mewah harimau hutan plus para tiran. Sapi biru! Biru mestilah warna suci mata para dewa, … dan seterusnya”.

    Dalam puisi ini, saya seakan melihat sejarah kelam perpolitikan di Indonesia : bagaimana penindasan dari sebuah tirani dan penjajahan. Bagaimana penderitaan tanpa perlawanan.

    Melalui puisi Kandang Pieterszoon, Ahmad Yulden Erwin menarasikannya kepada saya sebagai letupan pembebasan. Irama yang meledak dalam semangat dan keberanian untuk bangkit, terus berdiri, serta keinginan agar tetap melawan.

    Melawan apa?

    Melawan hak kemanusiaan yang dirampas dan sejarah politik yang menakutkan.

    Tanpa terasa, kopi di gelas kedua tinggal setengah. Rokok di bungkus yang juga kedua, tercabik cukainya.

    Dalam puisi yang lain dari buku kumpulan puisi Perawi Rempah, kembali saya merasakan satu kepedihan yang dilahirkan dari adanya agresi militer penjajahan. Puisi itu berjudul Gramofon Hindia, 2012. (Berikut kutipannya yang begitu terasa menyayat hati saya).

    “Cornelis de Houtman, kau hampir tiba di akhir perjalananmu. Seperti lolong anjing mengendus jejak malam, memanjang dan menyusut perlahan, dikejar jilatan cahaya lenyap di bukit batu. Suara-suara gaduh di telinga : gerutu, isak, ampuni bapak saya… dan seterusnya”.

    Secara psikologis, saya sangat terpengaruh dan terbawa dalam satu ikatan emosi kepedihan. Membayangkan kejadian itupun, sungguh, saya tak sanggup.

    Puisi sastrawan Ahmad Yulden Erwin dalam bukunya yang satu ini patut saya rekomendasikan untuk jadi bahan pembelajaran. Sangat luar biasa dari segi teknik penulisan puisi naratifnya. Jejak sejarah politik yang muram serta tidak diketahui banyak orang, dihadirkan begitu gamblang, logis, serta realistis. Ironis sekaligus edukatif.

    Sekumpulan puisi Ahmad Yulden Erwin di buku ini, saya yakin mampu membakar semangat nasionalisme dan membangkitkan jiwa patriotisme kaum millenial yang terkubur.

    Sebagai penutup, saya tuliskan apresiasi ini, semata-mata sebagai seorang penikmat karya sastra. Saya ibaratkan diri saya sebagai seorang Gembala yang Lupa Arah Pulang.

    *penulis adalah wartawan media siber sinarlampung.com

  • Defisit BPS

    Defisit BPS

    Oleh: Dahlan Iskan

    Apa boleh buat: Badan Pusat Statistik harus mengeluarkan angka ini. Kemarin. Yang secara politik tentu hanya menambah panas tahun politik. Tapi BPS adalah lembaga data. Yang harus mengumumkan hitam adalah hitam. Putih bukanlah jingga. Data tidak beragama. Tidak bersuku bangsa. Dan tidak berpartai.

    Memang di negara otoriter data sering dijadikan alat politik. Dimainkan. Disembunyikan. Diungkap-ungkapkan.
    Data diperlakukan semaunya yang berkuasa. Meski akhirnya ketahuan juga: tidak cocok dengan kenyataan. Atau tidak sesuai dengan yang dirasakan.

    Maka kita terima saja data BPS yang diungkapkan kemarin itu sebagai data. Bukan sebagai Kristen di mata orang Islam. Atau Sunda di mata orang Minang. Atau Partai Republik di mata Partai Demokrat. Datanya : Tahun 2018 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan 8,7 miliar dolar. Pun Kompas.com edisi kemarin melintas. Menyebut sebagai defisit yang terbesar sejak reformasi.

    Artinya: kita kurang ekspor; terlalu banyak impor.

    Yang membuat tidak panik: rupiah cenderung menguat belakangan ini. Sehingga berita defisit itu tidak membuat nilai tukar rupiah memburuk. Padahal, biasanya, defisit neraca perdagangan dibaca sangat negatif oleh pasar uang.

    Apakah kita akan sempat memperbaiki rapot itu di tahun 2019?

    Terserah Anda. Tapi rasanya sulit. Perhatian sudah terlanjur terlalu banyak diberikan pada politik. Termasuk di pos-pos yang harusnya memikirkan ekonomi negara.

    Kecuali: ada pembagian tugas yang jelas. Bagian-bagian yang mengurus ekonomi tidak usah ikut dulu memikirkan politik. Rasanya harapan seperti itu juga berlebihan.

    Maka perguruan tinggilah yang baiknya berinisiatif. Membedah data itu. Kalau perguruan tinggi negeri juga sudah terlalu terseret ke politik masih ada swasta.

    Kalau yang swasta pun sibuk Pilpres dan Pileg bagaimana? Baiknya lembaga kajian perbankan yang melakukan. Pada saatnya nanti diserahkan kepada presiden hasil pemilu. Siapa pun yang terpilih. Agar presidennya langsung bisa tancap gas. Tidak perlu melakukan kajian lagi. Yang hanya akan membuat kehilangan waktu lagi.

    Saya tahu bank-bank besar memiliki tim kajian ekonomi yang independen.

    Bank memerlukan data yang falid. Demi kejayaan bank tersebut. Sekalian dipersembahkan untuk negara.

    Yang perlu dibedah adalah: Mengapa kita sulit menggenjot ekspor. Komoditi apa saja yang punya potensi digenjot. Bagaimana cara menggenjotnya. Siapa yang harus melakukan. Peraturan apa saja yang menghambatnya. Insentif rasional apa saja yang masih mungkin diberikan.

    Saya menyesal: jalan-jalan terus. Tidak banyak tahu lagi data-data di balik itu semua.

    Demikian juga sebaiknya: impor.

    Di bidang impor sesungguhnya lebih mudah. Mencari datanya tidak sulit. Sudah sangat jelas. Mengapa defisit kita begitu besar. Penyebab utamanya: karena kita terlalu banyak impor BBM.

    Saya coba mencari data mengapa impor BBM kita begitu besar. Waktu mencari data itu hanya dua jam. Harus segera menulis naskah ini. Tidak bisa mendalam.

    Yang saya dapatkan adalah: selisih angka yang sangat besar. Antara produksi minyak sendiri dan impor BBM.

    Impor BBM-nya naik terus. Produksi minyaknya mandeg. Atau turun.

    Itu pun belum cukup untuk menganalisis. Yang bisa dipakai untuk mengambil langkah kebijakan.

    Harus ada angka sangat mendalam. Misalnya, yang naik di pemakaian BBM itu jenis apa, di mana, naiknya berapa, kenapa.

    Yang produksi tidak bisa naik itu mengapa? Apakah waktu empat tahun memang belum cukup. Atau sistem baru yang diperkenalkan pemerintah tidak bisa diterima investor. Yakni sistem gross-split itu. Yang tanpa cost recovery itu. Atau jangan-jangan sistem gross split sudah bisa diterima investor. Hanya investornya yang belum mau memulai.

    Semua harus diteliti. Dibahas. Dianalisa. Dirumuskan usulan kebijakannya.

    Ternyata terlalu banyak pekerjaan di balik angka BPS yang baru diumumkan itu. Waktu tidak cukup. Padahal kita tidak ingin terperosok di lubang yang sama.

    Tapi siapa yang harus mengerjakan.

    Baiklah. Saya punya angka lain. Dari dunia lain. Agar kita tidak terjebak pada pesimistis.

    Di bawah ini akan saya sajikan angka terbaru. Yang juga baru dikeluarkan kemarin. Agar dalam situasi apa pun kita masih bisa berbuat.
    Kalau mau.

    Inilah angka pendorong optimistis kita itu:
    Tahun 2018 surplus neraca perdagangan Tiongkok terhadap Amerika Serikat naik drastis: menjadi 323 miliar dolar.

    Hah? Naik? Drastis? Di tengah perang dagang?

    Iya. Naiknya itu 17 persen. Dibanding tahun lalu.

    Orang hanya bisa pusing: di tengah hebatnya perang dagang kok ya masih surplus. Dasar Tiongkok. (Dahlan Iskan)

  • Prabowo Subianto ‘What Is To Be Done’ Catatan Atas Pidato Prabowo

    Prabowo Subianto ‘What Is To Be Done’ Catatan Atas Pidato Prabowo

    Oleh : Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

    Pidato Prabowo Subianto menggelegar di bumi nusantara kemarin malam. Jutaan atau puluhan juta menyaksikan pidato visi-misi tersebut. Dari sisi pidato, Prabowo luar biasa, mampu sebagai ‘singa podium’, yang menjelaskan pikiran2nya seolah berinteraksi dengan suasana audiens dan seolah tanpa teks.

    Kita akan melihat dari sisi substansi, betapa hebatnya Prabowo dalam pikiran2nya. Pertama, tentang pembangunan. Prabowo menekankan reorientasi pembangunan. Reorientasi ini bermaksud mentransformasi pembangunan yang selama ini tergantung pada impor dan asing ke arah kemandirian atau kedaulatan. Kedaulatan yang disasar secara sektoral adalah sektor pangan, energi dan sektor air. Karena, ketiga ini adalah barang yang akan langka di masa depan, yang menjadi rebutan sengit antara bangsa-bangsa.

    Selain urusan sektoral, reorientasi pembangunan juga menyangkut Industrialisasi. Tema industrialisasi ini menyangkut riset para pakar yang menyatakan telah terjadi deindustrialisasi di Indonesia. Prabowo menjelaskan, industri otomotif, misalnya harus benar-benar kenyataan di tahun mendatang. Bukan otomotif bohong2an, melainkan dibangun sendiri oleh bangsa kita.

    Reorientasi juga menyangkut pembiayaan, efisiensi dan produktifitas. Dari sisi pembiayaan, hutang luar negeri harus dikendalikan bukan sebagai andalan, melainkan mendorong berputarnya uang di dalam negeri. Sedangkan efisiensi dan produktifitas, dengan membandingkan China dan Vietnam, Prabowo mendorong ICOR (Incremental Capital Output Ratio) per dollar akan dapat ditingkatkan menyamai negara tersebut.

    Selanjutnya, reorientasi juga diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyat kita dan kemakmuran semua rakyat, bukan untuk segelintir pemilik modal dan para elit.

    Terakhir, reorientasi juga tidak menihilkan peranan pelaku usaha secara adil, baik swasta maupun BUMN. Namun, bagi BUMN, peranan BUMN sebagai institusi bisnis yang dikendalikandan mengemban misi negara, harus sehat, kuat dan besar.

    Kedua, tentang negara dan rakyat. Prabowo meyakini bahwa negara yang kuat diperlukan untuk mewujudkan reorientasi pembangunan tersebut. Negara harus hadir untuk menjalankan strategi besar (strategi dorongan besar big push) yang ditandai dengan institusi negara yang bersih dan bebas korupsi.
    Juga tak kalah pentingnya adalah negara yang melindungi. Negara harus pasti menjamin tidak ada warganya yang kurang gizi apalagi kelaparan. Negara harus menjamin keadilan yang berkelanjutan, yakni pro lingkungan, pro pendidikan dan bersifat lintas generasi. Terakhir, negara harus kuat dengan tentara yang kuat melindungi bangsanya dari ancaman asing.

    Dari perspektif rakyat, arah pembangunan ke depan harus berpusat pada rakyat. Berpusat artinya rakyat lah yang menjadi subek pembangunan. Rakyat bukan sekedar objek.

    Rakyat juga berarti pembangunan untuk semua bukan untuk segelintir orang, seperti yang terjadi selama ini. Lebih jelas lagi bahwa musuh utama Prabowo ke depan adalah kemiskinan itu sendiri. Prabowo akan berperang habis2an memusnahkan kemiskinan.

    Akhir cerita pembangunan adalah hilangnya secara drastis kesenjangan sosial di Indonesia.

    Ketiga, tentang Demokrasi. Prabowo menekankan bahwa kritik adalah bagian keseimbangan politik kekuasaan yang diperlukan (check and balance system). Tanpa kritik, sebuah rezim akan terjerumus pada kesewenang-wenangan. Dengan kritik, pemerintahan bisa dapat masukan yang baik.

    Tentu konsekwensinya adalah persekusi dan kriminalisasi terhadap oposisi tidak diperlukan, seperti yang sekarang ini terjadi. Intelijen negara tidak diperlukan untuk memata-matai lawan politik. Aparatur negara lainnya juga tidak perlu dikerahkan menjatuhkan musuh-musuh politik.

    “What is to be done”

    Ketiga pikiran substansial di atas tentunya memerlukan kerja keras negara dan rakyat semuanya. Meski Prabowo menekankan peranan negara, namun besarnya keingingan yang harus diwujudkan, membutuhkan kesadaran rakyat yang kuat untuk berbenah.

    Di sisi inilah sebenarnya Prabowo harus memastikan “What is to be done” dan sekaligus “what has to be done”. Karena, apa yang diinginkan Prabowo adalah sebuah revolusi kebudayaan. Sebuah “great leap forward”.

    Prabowo harus membangun kontrak-kontrak sosial dengan kekuatan rakyat seperti kekuatan Habib Rizieq, kekuatan ormas-ormas, kekuatan kampus dan mahasiswa, kekuatan rakyat lainnya untuk bekerja siang malam tanpa pamrih.

    Jika Prabowo bersandar hanyapada kekuatan birokrasi yang ada, bersandar pada kaum borjuis lokal, bersandar pada “pelacur-pelacur intelektual”, bersandar pada “kaum penjilat”, bersandar pada pemburu jabatan, bersandar pada kaum neoliberal, cita-cita Prabowo akan kandas tak bermakna. Strategi dorongan besar haruslah strategi membangun kekuatan rakyat secara sugguh-sungguh. Rakyat yang produktif, bekerja siang malam menghidupkan pabrik-pabrik, memakmurkan tanah-tanah pertanian, membangun kapal-kapal ikan dlsb.

    Kemenangan Prabowo haruslah menjadi kemenangan rakyat. Kemenangan Prabowo haruslah menjadi revolusi rakyat jelata. Ini ada spirit yang ditunggu, sehingga energi besar yang datang bersifat resultante kekuatan rakyat. Dan kekuasaan Prabowo adalah kekuasaan rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

    Sambil ikhtiar menyongsong revolusi rakyat, ikhtiar terus dilakukan dengan doa kepada Allah SWT, agar kemenangan tercapai. Dan perjuangan Prabowo bersama rakyat diridhoi Nya.

  • Kampus Untuk Belajar Bukan Syahwat

    Kampus Untuk Belajar Bukan Syahwat

    Oleh: Andi Priyadi

    Dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Islami Negeri (UIN) Raden Intan Lampung benar-benar memukul kita semua.

    EP (20) Mahasiswi Fakultas Ushuludin UIN Raden Intan Lampung yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang merupakan Ketua Kopri (PMII Puteri) rayon Ushuludin, diduga mendapatkan pelecehan seksual oleh dosen sosiologi, SH.

    Meski belum terbukti di mata hukum, namun insiden ini menjadi renungan kita agar menjadi mawas diri dalam menjaga adik-adik, anak-anak kita agar kejadian serupa tidak terulang. Kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua, karena dugaan pelecehan seksual tidak mengenal waktu, tempat dan pelaku.

    Sejatinya dugaan pelecehan seksual di kampus yang menyeret nama oknum dosen dan memangsa mahasiswi bukanlah kali ini terjadi.

    Belum lekang ingatan kita ihwal dugaan pelecehan seksual yang dialami DCL mahasiswi Universitas Lampung (Unila). CA sang dosen pembimbing skripsi, DCL terbukti melakukan pelecehan seksual berkali-kali pada DCL dan berujung vonis hakim menjatuhkan hukuman penjara 16 bulan untuk CA.

    Namun terlepas dari itu, yang membuat penulis dan publik merasa terpukul karena kasus pelecehan seksual justru terjadi di lingkungan perguruan tinggi berbasis agama terbesar di Lampung.

    Hal ini sangat miris terlebih ini dilakukan oleh oknum pendidik yang harusnya memberikan contoh moral yang baik pada anak didiknya. Jika dugaan pelecehan seksual yang ‘diajarkan’ oknum dosen pada mahasiswanya, lantas apa yang akan diimplementasikan mahasiswa pada publik?.

    Ada baiknya, dosen-dosen yang baik secara moralitas maupun iman dan taqwa yang ada di UIN Raden Intan Lampung, karena ini lembaga kampus berbasis agama maka selayaknya para dosen di kampus yang berbasis agama dibentengi oleh tuntunan nilai-nilai agamis.

    Sehingga diperoleh sumber daya dosen yang memiliki keseimbangan antara ilmu dan iman dan taqwa.

    Sejatinya, kampus adalah palang pintu idealisme, norma, dan darma bakti kepada nusa bangsa agama. Kampus seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak bangsa dididik menjadi insan-insan handal yang tangguh menghadapi masa depan melalui Tridarma Perguruan Tinggi, bukan menjadi objek hasrat seksual oknum dosen. Penulis bukanlah orang bersih, namun risih dengan keadaan seperti.

    Penulis menyarankan, agar Rektor UIN Raden Intan Lampung, Prof. Moh. Mukri tidak melindungi oknum dosen yang diduga melakukan pelecehan seksual ini dan perkara ini segera diproses secara hukum maupun administratif. Kalau perlu sementara oknum dosen terduga ini dicutikan lebih dahulu, bahkan jika terbukti lakukan pemecatan sesuai UU dan peraturan. Karena pendidikan yang tinggi dan reformasi di segala bidang percuma tanpa adanya pendidikan moral yang tinggi.

  • KPU Bawaslu Diam, Jokowi ‘Licik’ Paparkan Visi Presiden di TV

    KPU Bawaslu Diam, Jokowi ‘Licik’ Paparkan Visi Presiden di TV

    Oleh : M. Juhriyanto

    Seharusnya ‘kelicikan’ Jokowi (atau timnya) ini menjadi perhatian Bawaslu. Jokowi yang takut memaparkan visi misi nya ke publik secara langsung melalui fasilitasi KPU, ternyata telah menyiapkan paparan visi dengan tajuk “Visi & Misi Presiden RI 5 Tahun ke Depan” di berbagai stasiun TV lokal dan nasional.

    Jokowi ‘licik’ karena membungkus visi misi calon presiden (capres) dengan menjadikannya sebagai “Visi Presiden”. Visi presiden lima tahun ke depan itu, ya tidak lain visi calon presiden saat ini. ‘Licik’, karena dengan kekuasaannya (jabatan dan dana), membungkus visi capres seolah menjadi visi presiden, dengan menghilangkannya kata calon.

    Jauh-jauh hari pengamat dan banyak kalangan waras, mengkritik tidak cutinya capres petahana dalam masa kontestasi pilpres ini, karena besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. ‘Kelicikan’-nya kali ini, menjadi bukti kekhawatiran kalangan waras itu. Bukti yang lain pun sudah banyak, bagi-bagi sembako, bagi-bagi sertifikat atas nama personal bukan institusi. Dan sehingga, publik tahu, pelanggaran apapun yang dilakukan oleh capres petahana tidak ada sanksi yang jelas.

    Kalau Prof Mahfud MD dalam suatu kesempatan di ILC mengatakan, bahwa KPU akan selalu dituduh curang oleh yang kalah. Apakah kecurangan dalam bentuk kelicikan seperti ini yang akan dipersalahkan adalah yang kalah? Bukankah yang kalah belum ada untuk pilpres 2019 ini. Tapi yang sudah mengklaim menang dengan tajuk “Visi Presiden” 5 tahun ke depan ini sudah jelas ada. Tanda-tanda kecurangan model ini diakui Mahfud ketika menjadi Ketua MK pada tahun 2012 (berbeda di ILC sepekan berselang), bahwa kecurangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Kepala Daerah), bukan hanya melibatkan kontestan, tapi juga penyelenggara pemilu, bahkan pemerintah (daerah). Calon kontestan merangkap sebagai pemerintah.

    Penyampaian visi misi calon presiden dengan menganut prinsip keadilan sesuai amanat Undang-undang seharusnya difasilitasi oleh KPU sebagai penyelenggara. Agar kedua paslon mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dan setara. Dengan demikian, negosiasi antara KPU dengan tim paslon tentang perlu tidaknya visi misi disampaikan oleh paslon langsung atau tidak langsung, dan kemudian menjadi polemik di publik adalah SANDIWARA. Maklum, ada satu pihak yang diakui oleh Ketua KPU takut dipermalukan itu memang suka berakting.

    Jokowi memang selalu pede, tapi publik melihatnya sebagai “ketidaktahu-dirian”, gampangnya tidak tahu diri. Penulis merekam, yang bersangkutan selalu mempertontonkan ketidaktahuan dirinya, dari pede memberikan review atas film Dilan–cari aja bagaimana kalimatnya yang pasti masih ada di medsos. Kepedean yang menggelikan adalah ketiga di forum resmi melagukan din assalam.

    Kepedean yang besar ini dari yang bersangkutan dan para “banci” cheer-nya dalam lima tahun telah membawa kehancuran bagi negeri ini. Dengan pede-nya, menjanjikan akan membesarkan Pertamina mengalahkan petronas yang memiliki dua menara kembar. Jangankan membangun menara kembar sebagai bukti kebesaran Pertamina, yang ada rugi trilyunan. Dengan pede-nya, menjanjikan tidak impor pangan, berakting sedih atas impor yang terjadi, tetapi tetap saja impor pangan besar-besaran di saat panen, atau produksi dalam negeri surplus. Dengan pede-nya, menjanjikan pertumbuhan 7-8% tercapai pada 2018, ternyata selama memimpin tidak beranjak dari 5%, plus minus. Kepedean yang seharusnya layak untuk PSI menyematkan sebagai “Raja Hoax” adalah soal Esemka, ikuti saja urutan pernyataannya langsung di video wawancaranya yang juga masih menyebar di Medsos.

    Tapi dari semua itu, publik paham akan “kelicikan”, hoax, pencitraan yang dilakukannya. Sehingga, hingga detik-detik ini, simpul-simpul perlawanan rakyat dengan salam dua jarinya itu masih terus bergairah, dan nampaknya akan bertahan hingga pencoblosan 17 April nanti. InsyaAllah Prabowo–Sandi menang, bukan hanya karena faktor personal Prabowo–Sandi yang menentukan, tapi karena faktor rakyat yang merasa sadar atas bius janji-janji, pencitraan dan propaganda keberhasilan semu yang selama ini dilakukan, sementara rakyat tidak beranjak dari kesulitan ekonomi yang harus dihadapi; kesulitan memperoleh penghasilan ditambah naiknya harga-harga kebutuhan.