Kategori: Opini

  • Menjerit Karena Tiket Melejit

    Menjerit Karena Tiket Melejit

    Oleh: Wirahadikusumah

    Saya sangat jarang berpergian ke luar kota. Paling maksimal hanya dua kali dalam sebulan berkunjung ke Jakarta.

    Tetapi kenaikan tiket pesawat domestik saat ini membuat saya khawatir. Meskipun intensitas ke luar kota terbilang sedikit.

    Saya yakin kegelisahan ini juga dialami orang-orang yang sering menggunakan pesawat untuk berpergian. Mereka pasti sama seperti saya; menjerit lantaran tiket melejit.

    Bagaimana tidak. Biasanya di traveloka kita menemukan tiket pesawat seharga Rp300 ribuan untuk tujuan Jakarta dari Bandarlampung. Tetapi sekarang, paling murah di atas Rp500 ribu.

    Karena penasaran atas kenaikan tiket pesawat domestik ini, saya sampai bertanya langsung kepada pengamat transportasi Lampung Bang I.B. Ilham Malik melalui WhatsApp.

    Mahasiswa S-3 Kitakyushu University Jepang ini mengatakan, kenaikan harga tiket pesawat domestik dikarenakan maskapai sedang berupaya tetap survive. Penyebabnya, biaya sewa, utang dan perawatan pesawat naik drastis akibat persoalan kenaikan dolar.

    Menurutnya, maskapai berkeyakinan jumlah penumpang pesawat tidak akan turun signifikan kendati harga tiket dinaikkan.

    “Maskapai melihat kenaikan tarif ini tidak akan mengganggu penerbangan mereka,” jelas penerima beasiswa pemerintah jepang Monbukagakusho MEXT 2015 tersebut kepada saya.

    Dia menambahkan, aksi korporasi maskapai ini memang merugikan. Tetapi masyarakat punya hak untuk memilih naik pesawat atau jenis transportasi lainnya.

    Atas penjelasan itu saya kian khawatir. Sebab, harapan harga tiket pesawat segera turun sepertinya bakal lama terwujud. Kecuali, nilai tukar dollar terhadap rupiah turun.

    Saya yakin, kenaikan tiket pesawat ini akan berdampak terhadap sektor lainnya. Terlebih saya dengar, kenaikan tidak hanya di level tiket, tetapi juga kargo pesawat.

    Saya menduga, kenaikan tiket pesawat ini bisa menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampung berkurang.

    Para wisatawan juga akan mengurangi volume pembelian oleh-oleh atau bisa jadi malah tidak membeli oleh-oleh. Penyebabnya tadi, biaya kargo yang juga ikut naik.

    Bisa jadi sektor lainnya juga terdampak. Seperti dalam hal ekspor dan import di provinsi ini.

    Karenanya, bukan tidak mungkin, dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) bulan depan, kenaikan tiket pesawat ini menjadi komponen utama yang mempengaruhi inflasi di Lampung.

    Semoga pemerintah provinsi dan stakeholders lainnya bisa mengantisipasi persoalan ini.

    Terlebih menurut data BPS Lampung pada 2018, jumlah penumpang yang berangkat dari Bandara Radin Inten II 80-100 ribuan per bulannya.

  • Nasib Wartawan Terbelenggu UU-ITE di Era Reformasi

    Nasib Wartawan Terbelenggu UU-ITE di Era Reformasi

    Oleh : Muhammad Abubakar ketua Pengurus Wilayah Ikatan Wartawan Online (PW-IWO) Provinsi Aceh

    Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

    Pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaannya memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan dan publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Kebebasan pers menjadi salah satu tolak ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.

    Pers berasal dari Bahasa Belanda, Press (Inggris), Presse (Prancis), Pressare (Latin) Pasal 1 butir (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik, dan segala saluran yang tersedia.

    Pers di Indonesia merupakan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan dan bukan lembaga atau institusi swasta apalagi pemerintah, jadi pers bukanlah corong pemerintah, kelompok, golongan atau partai politik. Kehadiran pers di alam demokrasi saat ini sangat dibutuhkan. Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap penegakan demokrasi dan supermasi hukum, pers sebagai pilar keempat merupakan corong masyarakat.

    Sementara pers diera Milenial “Echo Boomers” (Generasi Y) terus mendapat tekanan. Para pekerja pers (wartawan) di jerat dengan UUITE adalah undang-undang karet di era digital. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini telah menjerat banyak korban, bahkan setelah adanya revisi pada 2016.

    Menurut monitoring jaringan sukarela pembela kebebasan berekspresi dan hak di digital di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak 2008. SAFEnet juga mencatat hampir setengah kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. Peluang terlepas dari jeratan UU ITE sangat kecil apabila kasusnya sudah masuk dalam proses pengadilan.

    Dari sejumlah 245 laporan, terdapat sejumlah nama wartawan dari berbagai media di Indonesia. Pelapor merasa nama baiknya dirugikan akibat pemberitaan. Pelapor tidak menggunakan hak jawabnya sebagaimana Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode etik jurnalistik yaitu memberikan data dan fakta sebagai bantahan nya.

    Dalam peraturan Dewan Pers tentang Kode etik jurnalistik yang telah diperbaharui, menyatakan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers. Hal itu disebutkan dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2. Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Seharusnya hal itu yang harus dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.

    Pelapor yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar. Dalam peraturan Dewan Pers tentang Kode etik jurnalistik yang telah diperbaharui, menyatakan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa dan bukan melaporkan ke polisi.

    Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers. Hal itu disebutkan dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2. Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Tugas Wartawan, mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang diyakini merupakan kepentingan umum secara akurat dan tepat waktu.

    Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), para pelapor dan penegak hukum di negeri ini telah mengabaikan Pasal 50 KUHP, yang berbunyi barangsiapa menjalankan amanat undang-undang tak dapat dipidana.

    Wartawan menjalankan tugas sebagai mana undang undang pokok pers Nomor 40 tahun 1999 dak Kode Etik Jurnalistik (KEJ), diantaranya melayani hak koreksi untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

    Hak koreksi digunakan ketika seseorang atau sekelompok orang merasa terdapat kekeliruan informasi yang menyangkut dirinya atau orang lain dalam pemberitaan media, baik media cetak, media elektronik, atau pun media siber. Peraturan tentang hak koreksi ini dimuat dalam pasal 1, pasal 5, pasal 6, pasal 11, dan pasal 15 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

    Selain telah diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, hak koreksi juga merupakan bagian dari kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi oleh semua wartawan dan perusahaan media. Berdasarkan pasal 5, sebuah pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

    Berdasarkan hal itu pula, pers dan wartawan wajib melayani hak koreksi dan hak jawab secara proporsional. Hak koreksi memilki fungsi sebagai kontrol sosial masyarakat dimana setiap orang dijamin haknya oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media dan dewan pers dengan berbagai bentuk dan cara dengan adanya hak jawab dan hak koreksi.

    Hak koreksi menjadi tugas dan peran pers nasional dalam memenuhi hak masyarakat terkait pemberitaan media. Hak-hak tersebut diantaranya mencakup tentang hak masyarakat untuk mengetahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan hak jawab dan hak koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers.

    Tugas pers menurut undang undang nomor 40 tahun 1999 memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

    Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.

    Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informsi. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.

  • Politik Gunting Pita

    Politik Gunting Pita

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    BERKALI-kali-kali peresmian jalan tol di sini, berkali-kali pula ditutup kembali, dan semakin jelas bahwa, peresmian yang bertubi-tubi sangat patut diduga demi citra diri pada tahun eleksi. Eleksi jadi mirip ereksi pada kelamin yang membesar akibat dorongan nafsu birahi.

    Seperti sudah kita ketahui, jalan tol di sini sedikitnya sudah tiga kali diresmikan Jokowi. Dan akan kembali diresmikan lagi Februari nanti. Kali ini untuk rual tol Bakauheni-Terbanggi Besar. Kita berharap, ruas tol yang akan diresmikan itu, secara permanen bisa dilalui, dan tidak sampai ditutup kembali.

    Diakui, pembangunan infrastuktur, apa pun bentuknya, seharusnya memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi. Kita berharap ketersediaan jalan tol di Bumi Lampung akan memberi kesejahteraan pada seluruh masyarakat Lampung, meski harus diakui pula masih banyak jalan-jalan yang menghubungkan ke sentra-sentra produksi masih dalam kondisi memprihatinkan.

    Peresmian adalah salah satu perwujudan keberhasilan. Peresmian atau keberhasilan seharusnya menjadi kemenangan semua warga terhadap ketertinggalan. Peresmian, haram dilakukan untuk politik pragmatis; berburu point politik untuk menaikan elektabilitas.

    Kita bisa memahami kritik tajam Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Sudirman Said. Di mana menurut dia, model pembangunan ekonomi rezim Jokowi dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan terkesan dilakukan demi kepentingan pemilu.

    Dengan sangat tajam ia katakan bahwa; terlalu kelihatan, dan seolah-olah agenda pembangunan ekonomi itu dikaitkan dengan agenda pemilu. Supaya bisa menjadi upacara peresmian, maka dipaksa selesai lebih cepat, dipaksakan pembangunan yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan.

    Dengan kondisi ini, kita jadi bertanya-tanya, apakah keberhasilan infrastruktur saat ini itu sebuah fakta atau persepsi?, Bukankah Presiden Jokowi hanya menggunting pita saja dari infrastruktur yang sudah dibangun di masa pemerintah SBY. (*)

    **Penulis wartawan senior

  • Standar Ganda Bawaslu RI: Kenapa Hanya Gubernur DKI Saja Yang Dipanggil? 

    Standar Ganda Bawaslu RI: Kenapa Hanya Gubernur DKI Saja Yang Dipanggil? 

     Oleh: Muslim Arbi, Gerakkan Perubahan (GarpU)

    Kenapa hanya Gubernur DKI, Anies Baswedan saja yang di panggil Bawaslu sedangkan Gubernur Sulawesi Selatan dan sejumlah Bupati yang terang-terangan dukung Jokowi tidak?

    Bawaslu harus profesional. Jika tidak Bawaslu di anggap tidak adil dan rakyat bisa desak Bawaslu RI di bubarkan.

    Di medsos sudah ramai bertebaran #SaveAniesBaswedan. Dan sudah terdapat ajakan untuk turun ke jalan Bela Gubernur DKI yang mantan Mentri Jokowi itu.

    Sikap dan tindakan Bawaslu RI soal acungan satu dan jari dan 2 jari itu tidak jelas. Apakah mengacungkan 1 dan 2 jari itu pelanggaran pidana? Dan mendapat ancaman 3 tahun sebagaimana amanat UU Pemilu?

    Kalau acungan 1 dan 2 jari itu adalah pidana maka Bawaslu RI harus pidanakan Menko Maratim Luhut Binsar Panjaitan dan Menkeu Sri Mulyani dan juga 15 mentri yang dukung Jokowi. Juga sejumlah Gubernur dan Bupati yang acungkan satu jari. Karena satu jari itu ajakan dukungan terhadap Jokowi.

    Luhut dan Sri Mulyani terang-terangan acukan satu jari saat pertemuan IMF-WB di Bali beberapa saat lalu. Mestinya kedua juga mendapat sanksi Penjara 3 tahun.

    Sikap dan perlakukan Bawaslu RI yang gunakan standar ganda ini sangat membahayakan Kualitas Pemilu dan Pilpres mendatang.

    Jika Bawaslu tetap tekan Gubernur Anies karena acungan 2 jari beberapa waktu lalu. Maka jangan salahkan jutaan rakyat dan umat akan turun ke jalan untuk menuntut keadilan atas hal ini. Jutaan rakyat itu sudah buktikan di Monas saat Reuni Akbar 212 Desember 2018 lalu.

    Mesti nya sebagai Wasit atau Pengawas Bawaslu harus bersikap adil dan tidak ikut bermain.

    Tetapi, jika wasit dan pengawas sudah berubah jadi pemain. Alamat pertandingan akan kacau. Pemilu dan Pilpres akan rusak. Dan Perusak nya adalah Bawaslu RI.

  • Pelecehan Terhadap Kaum Perempuan Merajalela, UU Harus Segera Disahkan

    Pelecehan Terhadap Kaum Perempuan Merajalela, UU Harus Segera Disahkan

    Oleh : Siti Wuriyan, S.Sos, M.kom (Co Founder Perempuan Saburai)

    Perempuan dimanapun berada, berpakaian apapun, baik dari kalangan anak-anak maupun dewasa, rawan mengalami pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk kekerasan seksual dan merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non-fisik, yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang.

    Tindakan pelecehan dimaksud berupa siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual, sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

    Hal tersebut bisa menjadi sebuah penderitaan bagi kaum perempuan di segala sektor, baik fisik, seksual, budaya, sosial, ekonomi, budaya dan politik. Pelecehan seksual bisa terjadi yang melakukan adalah orang-orang terdekat di sekeliling kita, baik orang yang sudah lama dikenal ataupun orang yang baru dikenal. Pelakunya bisa siapa saja tidak memandang status sosial di masyarakat, bahkan bisa jadi adalah orang yang mempunyai status sosial tinggi di masyarakat.

    Perempuan juga adalah manusia yang berhak atas kemerdekaan sesuai Undang-Undang Dasar 45 Pasal 28 huruf g, bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

    Kemudian, pada pasal selanjutnya menyebutkan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Meski perempuan juga seorang manusia, tetapi banyak tindakan perlakuan yang tidak memanusiakan dirinya. Bahkan dari segala penjuru ancaman kekerasan mengarah kepada kaum perempuan yang mengancam keamanan dirinya.

    Kehidupan perempuan akan terus dihantui dengan rasa takut ditambah semakin banyak kasus pelecehan dan perlakuan tidak adil yang selalu banyak menimpa kaum perempuan. Ironisnya ketika perempuan menyuarakan hal tersebut, banyak orang yang berargumen bahwa hal tersebut wajar terjadi. Karena masih banyak manusia yang belum tersadarkan bahwa kasus tersebut adalah masalah yang serius, bahwa perempuan adalah korban yang harus segera ditangani dan mendapatkan perlindungan dari segala tindakan yang mengancamnya.

    Berbicara data kasus kekerasan terhadap perempuan nyaris setiap tahun mengalami grafik peningkatan. Berdasarkan data, dari catatan komnas perempuan, diketahui 76 persen kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas Kekerasan Seksual yakni Pencabulan sebanyak 911 kasus, Pelecehan Seksual (704) dan Perkosaan 699 kasus. Jumlah ini akan terus mengalami peningkatan dari angka tersebut.

    Modus pelecehan seksual itu beragam, seperti siulan; godaan; dan rayuan seksual; dipandang secara nakal; diejek tubuhnya; diraba-raba; tubuh dipepet; diintip saat dikamar kecil; dipaksa membuka baju; tubuh disentuh; pantat dan payu dara diremas; dipeluk dan digendong paksa; diajak hubungan seksual; dicium paksa dan dipaksa berhubungan badan.

    Baru-baru ini juga mencuat kasus bahwa di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang notabenya adalah kampus Islami yang mengajarkan tentang agama, ahlakul karimah, justru malah ada tindakan dosen yang melakukan hal pelecehan seksual terhadap mahasiswanya oleh dosennya sendiri.

    EP diketahui adalah seorang Mahasiswi Fakultas Ushuludin yang mendapat tugas untuk mengumpulkan tugas Sosiologi Agama, Jumat (21/12/2018), ke ruang SH yang merupakan dosennya. Saat itu EP dipandang secara ‘NAKAL’, oleh dosennya, kemudian mulai melakukan kontak tubuh dengan menyentuh bahu EP berkali-kali.

    Bahkan, SH menyentuh dagu EP dan meraba-raba pipi. Merasa tak nyaman EP pun berniat keluar dari ruangan. Namun sang dosen mengejarnya hingga EP terpojok di dalam ruangan. Kala itulah tindak pelecehan dilakukan oknum dosen SH dengan cara menyentuh dan meraba-raba beberapa organ vital EP. Hingga akhirnya mahasiswi asal Lampung Utara tersebut melapor kepada aparat penegak hukum dan sampai saat ini sedang dalam proses penanganan.

    Belum lama ini juga, kasus pelecehan seksual juga terjadi di kampus Universitas Lampung (Unila) menimpa mahasiswa semester akhir FKIP Unila inisial DCL. Perlakuan tidak senonoh itu dilakukan oknum dosen berinisial CE saat menjalani bimbingan skripsi di Lantai III, Gedung I MIPA Fisika Unila.

    Saat itulah, DCL mendapat perlakuan asusila yang dilancarkan CE yang pada akhirnya oknum dosen tersebut menerima ganjaran-nya dan terkurung dalam sel tahanan setelah dilakukanya proses hukum. Belum lagi kasus yang terjadi di Universitas Gajah Mada (UGM) dan masih banyak lagi bagitu merajalelanya kekerasan seksual bagi perempuan di Indonesia. Kasus-kasus tersebut adalah salah satu kasus yang sudah terekam dan menjadi kosumsi umum.

    Banyaknya kasus yang telah terjadi terhadap kaum perempuan menjadi suatu peringatan penting bagi kita semua untuk bergerak bersama dalam mengkampanyekan anti kekerasan seksual terhadap perempuan. Kemudian, mendesak pemerintah pusat untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.

    Sehingga kaum perempuan yang mengalami kekerasan seksual mempunyai payung hukum yang jelas, dan kuat, serta dalam memberikan pendampingan terhadap korban secara maksimal dari segala elemen. Selamat Berjuang Menyuarakan Keadilan. Salam Perempuan Saburai. ****

  • Rocky: “Pers Jadi Infus Penguasa!”

    Rocky: “Pers Jadi Infus Penguasa!”

    Oleh : M. Nigara
    Wartawan Senior
    Mantan Wasekjen PWI

    ROCKY GERUNG, hmmm! Dulu, saya pasti akan marah dengan semua paparan Rocky, dalam acara 212 award, Sabtu (5/1/19) di gedung Usmar Ismail Jakarta. Lebih dari lima menit ia melecehkan pers Indonesia. Padahal pers ikut memerdekan bangsa ini. Perjuangan pers juga begitu dahsyat ikut membentuk bangsa ini.

    Tapi memang, sekarang telah terjadi pergeseran sangat dramatis. Pers tidak lagi seperti dulu. Pers tidak lagi berjuang untuk rakyat. Pers (memang tidak seluruhnya) telah menjadi corong bagi penguasa. Pers telah menjadi infus penguasa.

    Untuk itu, sekali ini, tidak ada kemarahan sedikit pun pada RG, begitu saya menyingkat nama Rocky. Saya justru begitu bahagia dengan seluruh paparannya. Paling tidak bukan hanya saya yang merasakan keanehan dengan pers kita. Ada orang lain sekelas RG ikut merasakannya. Di luar sana, banyak kawan-kawan yang sejak dua atau bahkan empat tahun lalu berhenti berlangganan. Malah ada yang lebih ekstrim, mereka mengharamkan chanel tv tertentu di rumah mereka karena dinilai selalu memberitakan tentang penguasa yang tanpa cacat.

    Sebelumnya saya juga sudah melakukan oto-kritik saat pers kita bungkam tentang Reuni Akbar 212 tahun lalu. Saya merasa malu karena saya adalah bagian dari pers nasional.

    Tapi, saya sempat di bully oleh beberapa rekan pers itu sendiri. Saya dianggap partisan hanya karena pernah nyaleg lewat PAN 2014, dan alhamdulillah sangat dekat dengan lokomotif reformasi 1998, Prof. Amien Rais. Otokritik saya dianggap tidak murni.

    Lalu, ketika Prabowo juga mengkritik pers, dengan memboikot beberapa media besar yang jelas dan terang-benderang partisan. Catatan, pemilik dan bos besar media itu adalah ketum partai, serta ada media besar yang lain, justru hanya memanfaatkan untuk mencari keuntungan finansial semata. Tapi, mereka justru menuding Prabowo telah melanggar UU Pokok Pers. Prabowo juga didemo, dituntut untuk minta maaf.

    Padahal jelas, berita yang mereka turunkan tidak berimbang. Jauh sebelum ada UU Pokok Pers, media atau pers atau wartawan, sesungguhnya telah mengatur dirinya sendiri dengan berbasis pada kebenaran. Pers juga sebagai pilar (kekuatan) keempat untuk menjaga demokrasi di negeri ini. Maka, pers wajib independen, dan wajib berpihak pada kenyataan. Pers harus selalu membela kepentingan rakyat dan wajib menjadi pengawas bagi kekuasaan.

     

    Infus Kekuasaan

    Tapi sekarang? RG benar, pers mainstream kita tidak lagi seperti itu. RG, tegas mengatakan pers saat ini telah berubah menjadi infus bagi kekuasaan. Pers kita telah menjadi bagian dari kekuasaan. Malah tanpa tedeng aling-aling pers disebut RG tugasnya juga berbalik menjadi pengikut boneka. “Mereka terus-menerus mengikuti kemana pun boneka pergi,” kata RG yang disambut tepuk tangan oleh para peserta acara termasuk Prof. Amien Rais.

    Seperti juga kasus reuni Akbar 212, RG sudah yakin acara ini tidak akan diliput dan dimuat oleh media-media mainstream itu. Pandangan RG sama sekali tidak keliru.

    Pers atau orang pers, sejujurnya adalah kelompok atau individu yang acuan utamanya adalah kebenaran. Bahkan sesungguhnya, begitu seseorang atau sekelompok orang membuat usaha pers, dia atau mereka bukan lagi diri mereka. Begitu pun seseorang ketika menjadi wartawan, maka dia tahu bahwa hidupnya untuk membela kebenaran. Dan dirinya bukan lagi dirinya, tapi dirinya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kepentingan rakyat. Bahkan mereka seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri mereka sendiri.

    Tapi, apa yang kita lihat saat ini? Media-media mainstream (tentu di luar tvone, radio dan tv Rasil), Kumparan, dan Republika lebih mengutamakan kepentingan penguasa dan untuk dinikmati kelompok tertentu saja. Bagi mereka, kepentingan rakyat menjadi nomer kesekian.

    Contoh yang paling menonjol, ketika BBM naik 12 kali, ketika impor segala macam dilakukan, ketika bagi-bagi kekuasaan pada partai koalisi terjadi, ketika kriminalisasi pada ulama atau orang-orang yang kontra penguasa dilakukan, tak ada suara mereka. Bahkan ketika penguasa menurunkan tingkat kemiskinan dari angka-angka yang wajar menjadi Rp 13 ribu perhari untuk melukiskan bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan, padahal di saat yang sama bantuan langsung kepada rakyat justru meningkat. Mereka pun tetap tak bersuara.

    Tapi, begitu kita melakukan perlawanan, mereka langsung menuding bahwa kita anti pers. Kita dianggap sebagai pelanggar UU Pokok Pers. Kita disudutkan sebagai orang-orang yang anti kebebasan.

    Sekali lagi, saya justru berbahagia dengan seluruh paparan RG. Saya berharap lebih banyak RG-RG lain agar pers kita segera menyadari kekeliruan mereka.

  • Demam Hoax dan Clearing House

    Demam Hoax dan Clearing House

    Oleh: Wirahadikusumah

    “Ini hoax bukan ya?” tanya seorang kawan yang mengirim situs berita di salah satu grup WhatApp yang saya tergabung di dalamnya kemarin pagi (5/1).

    Terus terang, saya merasa janggal membaca pesan tersebut. Sebab, situs yang dibagikannya itu berasal dari media massa yang cukup ternama di negeri ini. Tentunya media tersebut juga sudah terverifikasi dewan pers.

    Saya bergumam dalam hati, sampai segitunya tah kondisinya saat ini. Sampai-sampai informasi yang berasal dari media massa saja diragukan kebenarannya.

    Saat ini, Indonesia sepertinya memang sedang dilanda demam hoax. Sedikit-sedikit, berbagai kalangan menyebut kata ini. Padahal belum tentu informasi yang diterima tersebut hoax .

    Seharusnya persoalan ini bisa teratasi, ketika media massa cepat menyikapi informasi meragukan yang beredar di masyarakat. Caranya dengan membuktikan apakah itu hoax atau bukan.

    Jangan malah menunggu pihak-pihak terkait untuk membuktikan informasi tersebut.

    Di era digital ini, media massa harusnya menjadi clearing house. Berfungsi sebagai penyaring informasi.

    Saya ambil satu contoh informasi adanya tujuh kontainer surat suara yang beredar beberapa hari lalu.

    Seharusnya ketika mendapatkan informasi ini, media massa tidak menunggu KPU dan Bawaslu mengeceknya.

    Tetapi, membuktikan dengan segera mendatangi pelabuhan. Selanjutnya, fakta apapun yang ditemukan di lapangan, langsung dilaporkan ke publik.

    Atau saya ambil contoh lain lagi. Informasi minum es jeruk bersamaan dengan makan sea food bisa menyebabkan kematian. Informasi ini kan belum tentu kebenarannya, tetapi sudah beredar luas di masyarakat.

    Nah, media massa bisa membuktikannya dengan cara mewawancarai pihak yang berkompeten dalam menanggapi informasi tersebut.

    Dengan begitu, media massa terus menjadi acuan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Yang belum tentu hoax.

    Semoga media massa bisa menjadi obat demam hoax yang terjadi saat ini. Bukan malah menjadi virus penyebar hoax. Aamiin.

  • Jika KPU Tak Netral, Apa Gunanya Pemilu?

    Jika KPU Tak Netral, Apa Gunanya Pemilu?

    Oleh : Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

    Rakyat makin geram terhadap sikap KPU. Awalnya curiga kok KPU bikin kotak surat suara dari kardus. Itu terjadi di saat kepercayaan rakyat sedang anjlok. Otomatis muncul kecurigaan adanya rencana kecurangan. Rasa curiga ini berawal dari data DPT (Daftar Pemilih Tetap) masih bermasalah. Lalu muncul fakta KTP berceceran di berbagai tempat. Tiada ujung dalam pengusutan. Tak ada terduga, apalagi tersangka.

    Berbagai alasan normatif dibuat. Pertama, karena adanya aturan yang membolehkan. Kedua, untuk menekan anggaran negara. Jelas terkesan mengada-ada. Ganjil, alias tak masuk di akal. Hajat demokrasi yang sangat penting, dan ditunggu rakyat karena akan menentukan masa depan bangsa seolah dipermainkan. Ini bukan soal kardus. Ini masalah akses dan potensi kecurangan. Bukan rahasia umum bahwa pemilu kita selama ini sarat kecurangan. Eh, malah diperlebar aksesnya dengan kotak suara dari bahan kardus.

    Belum selesai soal ini, muncul kebijakan baru KPU: penyampaian visi dan misi dibatalkan. Alasannya? Dua pihak tak ada kesepakatan. Petahana minta diwakili oleh timses, sementara kubu Prabowo-Sandi menuntut Paslon yang menyampaikan. Akhirnya, batal! Aneh, aturan KPU diserahkan pada kesepakatan Paslon. Kalau gak disepakati, gak jadi. Kalau aturan diserahkan ke Paslon, kenapa dua Paslon gak suit aja. Humpimpah alaikum gambreng. Lahirlah presiden dan wakil presiden baru. Kelar negeri ini.

    Nampak sekali kalau KPU tidak punya standar bagaimana membuat aturan dan kebijakan untuk mengawal pemilu agar berkualitas. Jangan sampai rakyat bilang bahwa standar KPU sudah disesuaikan dengan standar kemenangan Paslon. Kalau benar begitu, KPU telah berubah fungsi jadi pemain, bukan wasit. Dan ini akan jadi pembunuhan pelan-pelan dan sistematis terhadap demokrasi. Dengan begitu, masa depan bangsa akan terancam.

    Masalah pembatalan visi dan misi sedang hangat diperbincangkan publik, datang lagi kebijakan baru yang tak kalah anehnya. KPU membuat keputusan untuk mengirimkan bocoran pertanyaan ke Paslon seminggu sebelum debat dimulai. Apa alasanya? Agar Paslon punya waktu mempelajari, dan menyiapkan jawabannya dengan detil.

    Kita bisa bayangkan jika pemimpin dihadapkan pada berbagai masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Tak terduga, dan keluar dari rencana. Kalau dihadapkan pada pertanyaan spontan panelis saja gak siap, bagaimana mau menghadapi problem besar bangsa yang tiba-tiba?

    Justru yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah kemampuannya menghadapi masalah. Bagaimana di tengah masalah itu ia tampil untuk memberikan solusi.

    Banyak masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Gempa dan tsunami bertubi-tubi di saat dolar naik, utang mulai sulit dan APBN defisit. Bagaimana cara mengatasinya? Disinilah kecerdasan dan insting seorang pemimpin akan menentukan. Misal, musibah datang, pemimpin hadir ke pengungsian, ke rumah sakit, untuk pertama, memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin yang selalu hadir di tengah rakyat yang terdampak bencana. Kedua, instruksikan kepada kementerian dan dinas terkait untuk mendata dan menyelesaikan kebutuhan mereka. Bila perlu, gunakan anggaran dari pos lain. Ini dharurat. Jadi, datang tepat waktu, tepat sasaran dan tepat kebijakan. Bagaimana jadi pemimpin jika tidak siap untuk reaksi tanggap dharurat?

    Rencana oktober produksi mobil Esemka. Lalu, uji emisi gak lolos. Bagaimana solusi alternatifnya agar rakyat tak kecewa? Disinilah seorang pemimpin dituntut kecerdasan, kecekatan dan ketegasannya. Jangan bilang: itu bukan urusan pemerintah. Itu urusan perusahaan swasta. Loh!

    Rupiah anjlok dan dolar melambung tinggi. Padahal janjinya diangka 10 ribu rupiah. Das sain gak sesuai das sollen. Ekspektasi tak seindah kenyataan. Seorang pemimpin dituntut untuk cerdas dan bertanggung jawab dalam menyikapi. Tidak boleh diam, apalagi berlagak lupa.

    Masalah bangsa ada yang predictable, mudah diprediksi, tapi banyak yang unpredictable, tak bisa diprediksi. Karena itu, butuh pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Pemimpin adalah eksepsional person. Manusia yang berbeda.

    Debat capres-cawapres yang selama ini berlaku yaitu mendayagunakan para panelis untuk membongkar isi otak capres-cawapres itu sangat bagus. Para panelis mengajukan berbagai pertanyaan terkait dengan kondisi bangsa, dan menguji sejauhmana para calon pemimpin bangsa ini mengerti dan menguasai problem bangsa yang akan dipimpinnya. Lalu memberi solusi cepat dan tepat. Ini on the track. Dari sini rakyat bisa menilai kemampuan para calon pemimpin.

    Anehnya, KPU mau merubahnya. Rencananya, pertanyaan lebih dulu dikirim ke capres-cawapres. Ini jadi kesempatan bagi capres-cawapres untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu ke timses. Jawabannya tinggal dihafal dan disampaikan saat debat.

    Kalau begitu, lalu apa gunanya nyapres dan nyawapres kalau untuk menjawab pertanyaan saja harus menghafal dari timsesnya? Ini modus menghindar. Jangan sampai bilang: saya mau ngetes para timses saya. Silahkan timses anu…. Lah pripun toh mas…

    Keputusan KPU tentang pembatalan penyampaian visi-misi dan mengirim pertanyaan ke Paslon sebelum jadual debat, ini sangat berbahaya. Pertama, akan melahirkan pemimpin yang boleh jadi tak paham dengan visi dan misinya. Karena, tanggungjawabnya diserahkan kepada timses. Kedua, akan lahir pemimpin yang tidak siap dengan masalah. Ketiga, membuat pemimpin akan kehilangan legitimasi dari rakyatnya.

    Dugaan publik terus tumbuh bahwa KPU tidak sedang menjadikan demokrasi sebagai ikhtiar untuk melahirkan kepemimpinan yang berkualitas, tapi KPU ada untuk melayani paslon tertentu. Jika kecurigaan ini menguat, legitimasi KPU makin lemah dan pemilu terancam. Rakyat akan berpikir, untuk apa pemilu diselenggarakan jika KPU tak netral?

  • HOAX !!?

    HOAX !!?

    Oleh: Gunawan Pharrikesit, SH

    HOAX merupakan berita bohong, juga bisa merupakan fakta yang direkayasa. HOAX bisa bertujuan sebagai guyonan, bisa juga bertujuan serius. Tergantung situasi, kondisi dan konteksnya.

    Artinya HOAX tidak harus disikapi dengan langkah hukum. Dan apabila dia masuk dalam ranah hukum, maka KEBENARAN (bisa juga disebut FAKTA) yang ada dibalik KEBENARAN REKAYASA (sebagai prasyarat dinyatakannya HOAX), juga harus diketahui secara publis dan diakui kebenarannya sebagai suatu REKAYASA oleh publik (hal ini berkaitan dengan sebuah khabar untuk masyarakat luas).

    Berkaitan dengan pernyataan KPU tentang HOAX 7 kontainer berisi jutaan surat suara yang sudah dicoblos dan beredar ke publik, maka sekiranya KPU bukanlah membidik siapa yang yang mempublis HOAX itu: NAMUN MENCARI KEBENARAN DARI FAKTA REKAYASA nya.

    Artinya cari akarnya, bukan mencari rantingnya yang lebat: Dengan menganalogikan KPU sebagai angin, sehingga tidak perlu kegeniusan, keahlian, dan hal lainnya yang harus kita kagumi dengan niatan KPU melaporkan pembuat perekam HOAX dan penyebarnya.

    Yang harus dilakukan oleh KPU adalah mendeteksi siapa yang melakukan penciptaan kondisi sehingga hadirnya HOAX tersebut. Karena bisa saja perekam dan pemyebar HOAX tersebut justru dialah korban dari REKAYASA FAKTA itu sendiri, Tabik puun. ***

    Wartawan Senior sinarlampung.com

  • 73 Triliun Uang Buruh BPJS-TK Digunakan Untuk Pembangunan Infrastruktur

    73 Triliun Uang Buruh BPJS-TK Digunakan Untuk Pembangunan Infrastruktur

    Oleh : Jumhur Hidayat, Mantan Kepala BNP2TKI dan pimpinan DPP KSPSI bidang Peningkatan Kesejahteraan Pekerja.

    Beberapa  hari lalu, 21 Maret 2018, Direktur Utama BPJS-TK akan menyisihkan dana sekitar Rp 73 Triliun untuk mendukung program pembanguan infrastruktur melalui penerbitan surat utang.

    Dana itu tentu besar sekali, atau sekitar 23% dari dana titipan kaum buruh/pekerja berupa uang iuran jaminan sosialnya yang sekarang berjumlah Rp. 320 Trilyun. Artinya, bila saja pelaksanaan penerbitan surat utang itu tidak hati-hati, maka akan menggoncangkan dana titipan kaum buruh/pekerja  Indonesia.

    Sebagai salah seorang pimpinan DPP KSPSI yang membidangi Peningkatan Kesejahteraan Pekerja yang jumlah anggotanya sekitari 4 juta orang yang rutin membayar iuran BPJS-TK, kita belum bisa menerima begitu saja pernyataan Direktur Utama BPJS-TK di atas.

    Menurut akal sehat, dana titipan kaum buruh/pekerja itu hanya boleh diputarkan atau dikembangkan untuk suatu kegiatan yang tingkat spekulasinya sangat rendah. Sementara itu, program infrstruktur yang sekarang dibangun, masih rancu alias belum jelas mana yang bakal untung dan mana yang bakal rugi.

    Sementara untuk mengelola dana buruh/pekerja di BPJS-TK haruslah menguntungkan. Karena itu seperti selama ini dilakukan, sebagian besar dana itu dikembangkan melalui pembelian obligasi pemerintah atau deposito di bank-bank negara.

    Dengan kata lain, pengelolaan dana BPJS-TK pada kedua cara itu hanya bisa merugi bila NKRI menuju bubar  atau bank-bank negara menuju bangkrut, yang mana hal tersebut sangat kecil kemungkinannya karena banyak entitas resmi yang mengawasi APBN maupun perbankan.

    Secara umum memang baik bahkan perlu mengembangkan dana BPJS-TK agar mendapatkan yield atau perolehan pengembangan yang besar termasuk mengembangkannya dalam pembangunan infrastruktur.  Namun sekali lagi, bahwa proses pengembangan itu harus dilakukan dengan tingkat resiko yang sangat kecil.

    Terkait perolehan yang besar dengan tingkat resiko yang sangat kecil ini sesungguhnya bisa dilakukan walau harus terlebih dulu membuat dasar hukumnya. Tentunya itu semua bisa terjadi kalau ada kemauan politik dari penguasa.

    Membangun infrastruktur dengan tingkat risiko pengembalian langsung yang kecil harus dihindari. Sebaliknya, bila merujuk kepada Presiden Joko Widodo yang mengatakan infrastruktur yang sudah untung, bisa dijual dan hasil penjualannya bisa membangun infrastruktur lainnya, maka sudah seharusnya BPJS-TK diarahkan untuk membeli infrastruktur model seperti itu.

    Contoh gampangnya adalah kita mendukung bila BPJS-TK membeli jalan tol dalam kota Jakarta atau membeli Tol Cikampek Purwakarta atau membeli konsesi pengelolaan Bandara Soekarno-Hatta atau Bandara Ngurah Rai atau membeli konsesi Pelabuhan JICT  Tanjung Priok atau Pelabuhan Belawan Medan dan sebagainya yang secara kasat mata saja sudah pasti untung besar karena pasarnya captive dan sudah jelas.

    Sebaliknya bila dana BPJS-TK dipakai untuk membiayai Tol Trans Sumatera dan berbagai ruas Tol lainnya yang belum jelas tingkat pengembaliannya atau membangun pelabuhan laut  yang belum jelas berapa kapal yang akan melabuh dan sebagainya maka kita jelas menolak karena ini bersifat spekulatif  dan berisiko tinggi yang bisa merugikan kaum buruh/pekerja Indonesia.

    Hal ini perlu ditegaskan lagi karena menjual konsesi pengelolaan infratruktur yang sudah jelas sangat menguntungkan kepada swasta murni apalagi asing sepertinya lebih didahulukan dari pada dijual dengan menggunakan dana-dana masyarakat yang terkumpul.

    Memaksakan memberi konsesi pengelolaan  JICT Tanjung Priok ke asing diduga kuat karena ada dana yang bisa diberikan kepada pembuat keputusan. Sementara kalau dijual ke masyarakat luas misalnya melalui dana di BPJS-TK,  Taspen, ASABRI dan sebagainya akan sulit mendapat danakickback atau “kongkalikong “ yang jumlahnya sangat besar karena pengawasannya yang ketat.

    Jadi jelas bahwa dalam soal beli-membeli konsesi infrastruktur yang sudah untung ini telah terjadi kerendahan moral dalam prosesnya, kecuali bila itu dijual menggunakan dana masyarakat luas.

    Sementara itu, terkait dengan penerbitan surat utang untuk  pembangunan infrastruktur, ini sama halnya dengan menjadikan BPJS-TK selayaknya bank yang meminjamkan kredit. Ini bisa juga diartikan bahwa perbankan tidak mau memberi pinjaman pada pembangunan infrastruktur tertentu karena memang kelayakannya yang diragukan.

    Kalau tidak diragukan, tentunya perbankan akan memberi pinjaman itu karena perbankan memiliki banyak dana. Ekspansi kredit yang beberapa tahun sebelumnya di atas 10% per tahun nyatanya dalam 2 tahun terakhir selalu di bawah 10%, yaitu 9% pada 2016 dan 8,24% pada 2017. Artinya perbankan memiliki cadangan dana yang cukup besar untuk berekspansi.

    Atas dasar ini,  maka kita harus sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana BPJS-TK untuk pembangunan infrastruktur ini, kecuali memang pembangunan infrastruktur itu secara kasat mata pasti menguntungkan sekaligus tingkat resikonya sangat kecil, jadi jangan korbankan dana buruh/pekerja untuk kegiatan spekulatif, sebaliknya kerjakan saja dulu penjualan infrastruktur yang sudah menguntungkan agar mendapatkan dana segar.

    Tapi sekali lagi harus diingat, jangan sembarang jual ke swasta atau asing, tapi jual ke dana titipan milik masyarakat seperti BPJS-TK atau sejenisnya. Kalau peraturan perundang-undangan belum mendukung, maka bisa dibuat aturan baru yang mendukung.

    Sudah selayaknya aturan yang akan menguntungkan rakyat banyak, dibuat dengan seksama dan dalam waktu sesingkat-singkatnya.