Kategori: Opini

  • Propanganda Politik di Media Sosial

    Propanganda Politik di Media Sosial

    Oleh: Agus Sudibyo (Anggota dewan Pers)

    Tak ada lawan yang abadi dalam politik. Bahkan seorang tokoh politik Amerika Serikat pun berhasil memenangkan pemilihan presiden berkat bantuan rezim yang sedang berkuasa di Russia. Padahal, dunia tahu betapa tidak akurnya Amerika Serikat dan Russia. Kedua negara ini bersaing memperebutkan pengaruh di berbagai kawasan. Kedua negara terlibat perang proksi di berbagai negara.

    Namun itulah fakta yang belakangan semakin gamblang terungkap terkait dengan pemilihan presiden negeri Paman Sam tahun 2016. Sebuah lembaga riset di St Peterburg Russia yang berafiliasi dengan Presiden Vladimir Putin bernama Internet Research Agency, terbukti telah merancang dan melaksanakan propaganda politik berskala besar untuk memenangkan Donald Trump dan Partai Republik. Meskipun berskala besar, propaganda politik terjadi secara senyap dan laten.

    Sarananya adalah media baru yang sangat familier bagi banyak orang: media sosial. Tak ada yang menduga media sosial yang begitu menjanjikan dalam urusan demokratisasi dan deliberasi, ternyata telah menjadi sarana operasi politik yang kotor dan merusak. Sebagaimana tidak ada yang menduga Amerika Serikat –negara yang selama ini menguasai jagad media-sosial– justru menjadi korban paling absurd dari penyalahgunaan media-sosial untuk memecah-belah masyarakat.

    Untuk mengungkapkan skandal di atas, Komite Intelijen Senat Amerika Serikat bekerja sama dengan Computational Propaganda Project Universitas Oxford, perusahaan analisis media sosial Graphika dan perusahaan cybersecurity New Knowledge. Senat Amerika Serikat mengumumkan penelitian tiga lembaga tersebut beberapa saat yang lalu.

    Dalam dua laporan yang terpisah, diungkapkan bagaimana proyek manipulasi, disinformasi dan mobilisasi berskala besar dilakukan agen intelijen Russia dalam pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Mereka menciptakan ratusan akun media sosial palsu untuk menyebarkan pesan-pesan politik yang provokatif dan insinuatif.

    Akun-akun tersebut digunakan untuk mengaduk-aduk sentimen primodial masyarakat Amerika melalui diskusi-diskusi yang penuh prasangka ras atau agama. Dengan sengaja, diciptakan kerumunan politis di media sosial di mana antinomi imigran vs penduduk asli, kulit putih vs kulit hitam, Muslim vs non Muslim terus-menerus dibicarakan dengan serampangan.

    Sasaran propaganda itu adalah kelompok masyarakat yang cenderung konservatif dalam memandang keberagaman dan masih memendam stereotype tentang kulit hitam, imigran atau Muslim. Sasaran berikutnya adalah kaum awam yang pada dasarnya kurang berminat terhadap politik. Mereka terus dibombardir dengan desas-desus mengenai ketidakberasan tahap-tahap pemilihan umum dan tata-cara pemungutan suara.

    Kepada mereka, ditanamkan opini bahwa penyelenggaraan pemilu penuh kecurangan. Tujuannya adalah membuat mereka bingung, marah, hingga kemudian memiliki persepsi negatif tentang penyelenggaraan pemilu dan pemerintah yang sedang berkuasa.

    Dari mana agen intelijen Russia mendapatkan data tentang masyarakat yang cenderung konservatif atau awam dalam urusan politik itu? Jawabnya adalah dari data perilaku pengguna media-sosial (user behavioral data) yang dikumpulkan dan dikelola perusahaaan media-sosial seperti Facebook, Twitter, Google+ dan lain-lain.

    Bagaimana data itu diperoleh? Facebook berulang-ulang menyatakan tidak tahu-menahu atas penggunaan data perilaku pengguna media- sosial itu. Facebook merasa tidak pernah mengizinkan Internet Research Agency atau Cambridge Analityca untuk menggunakan data perilaku pengguna platform media-sosial yang mereka operasikan. Namun berbagai pihak meragukan Facebook dan lain-lain tidak mengetahui penyalahgunaan data tersebut.

    Komite Intelijen Senat Amerika Serikat mengritik respon yang terlambat dan tidak terkoordinasi dari perusahaan-perusahaan media-sosial dalam mengatasi penyalahgunaan data tersebut. Sebuah kritik yang secara implisit menyatakan Facebook, Twitter dan lain-lain sesungguhnya mengetahui penyalahgunaan data yang terjadi, tetapi tidak segera bereaksi untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi publik.

    Dengan demikian ada dua kesalahan yang dituduhkan pada perusahaan penyedia layanan media sosial itu.

    Pertama, mereka membiarkan platform media sosial mereka digunakan untuk menyebarkan hoax, ujaran kebencian dan prasangka rasial yang memecah-belah masyarakat. Kedua, mereka tidak melindungi keamanan data pengguna media sosial yang mereka kelola sehingga data itu dimanipulasi pihak lain.

    Dengan membobol data tersebut, agen-agen propaganda dapat mengidentifikasi orientasi politik puluhan juta warga Amerika Serikat dan mengarahkan mereka pada pilihan elektoral tertentu. Akun media sosial puluhan juta orang itu tidak lagi merupakan privasi yang terlindungi, alih-alih terus-menerus terekspos oleh pesan- pesan politik yang agitatif dan propagandis.

    Relevan untuk Indonesia

    Pengalaman Amerika Serikat di atas jelas relevan untuk Indonesia. Kita tengah berada dalam suasana politik yang memanas dan bergejolak belakangan. Salah-satu lokusnya adalah adalah arus informasi dan diskusi di media sosial. Seperti tidak puas dengan ruang media massa yang sarat dengan batasan etika, para juru kampanye bertindak sebebas-bebasnya di media sosial.

    Kebohongan mereka kumandangkan sebagai kebenaran, sikap acuh tak acuh dan ketiadaan nalar-logis mereka adopsi sebagai strategi, ayat-ayat suci mereka perlakukan sebagai properti pentas propaganda. Persis seperti yang terjadi di negeri Paman Sam, media sosial memperlihatkan trend negativitas dalam panggung politik Indonesia dewasa ini.

    Setidak-tidaknya ada tiga pelajaran penting dari skandal propaganda politik di media sosial dalam pilpres Amerika Serikat di atas. Pertama, seperti diungkapkan Komite Intelijen Senat Amerika Serikat, agen intelijen Russia menggunakan semua platform media sosial untuk membantu Donald Trump dan Partai Republik.

    Bukan hanya Facebook dan Twitter yang telah digunakan untuk menyebarkan kebencian ras dan kebohongan politis, melainkan juga Youtube, Tumblr, Instagram, Paypal, Google+ dan platform media sosial lainnya. Dengan demikian, upaya penanggulangan hoax dan ujaran kebencian tidak bisa lagi hanya terkonsentrasi pada satu-dua platform media sosial yang dianggap paling popular.

    Kedua, isu agama dan ras menjadi obyek utama untuk mempermainkan emosi para pengguna media sosial. Bukan rasionalitas yang disasar, melainkan sentimen primodial. Perlu digaribawahi, media sosial sanggup meruntuhkan batas-batas intelektualitas. Begitu tersentuh- sentuh keyakinan primodialnya, para pengguna media sosial berubah menjadi sentimentil, sensitif dan emosional menghadapi fakta keberagaman.

    Hal ini bukan hanya terjadi pada orang awam, tetapi juga pada mereka yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Mereka menjadi begitu mudah terindoktrinasi dan dimobilisasi. Mereka begitu mudah berubah menjadi intoleran terhadap sesamanya. Jika bangsa Amerika Serikat yang sangat rasional dan literate begitu mudah dipengaruhi untuk bersikap reaksioner menghadapi fakta keberagaman, tentu saja hal yang sama dapat terjadi di Indonesia.

    Ketiga, hal baru yang diungkapkan Komite Intelijen Amerika Serikat adalah propaganda politik di media sosial juga menyasar isu penyelenggaraan pemilu. Melalui media sosial, disebarkan desas-desus ketidakadilan dan kecurangan penyelenggaraan pemilu. Masyarakat dibuat bingung tentang proses persiapan pemilu, kampanye dan mekanisme pencoblosan.

    Disebarkan opini negatif terhadap pelaksanaan pemilu secara keseluruhan. Propaganda ini bergulir sedemikian rupa sehingga dampak yang timbul bersifat delegitimatif terhadap Hillary dan Partai Demokrat sebagai partai petahana dan sebaliknya, bersifat legitimatif terhadap Trump atau Partai Republik sebagai partai penantang.

    Propaganda negatif tentang penyelenggaraan pemilu ini relevan untuk konteks Indonesia hari ini. Pemilu 2019 sangat kompleks dan rawan. Di bilik suara, kita bukan hanya memilih presiden dan wakil presiden, melainkan juga anggota DPR RI, anggota DPD, anggota DPRD Tingkat I dan DPRD tingkat II. Ada sekitar 20.500 kursi yang diperebutkan oleh lebih dari 300 ribu kandidat. Akan ada 850 ribu TPS dengan total 5.000.000 panitia pemungutan suara.

    Banyak sekali informasi yang mesti diketahui masyarakat tentang proses persiapan pemilu, pemungutan suara, kandidasi dan lain-lain. Fakta menunjukkan, hingga hari ini sosialisasi tentang berbagai hal ini masih belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini menimbulkan kerawanan mengingat semakin dekatnya penyelenggaraan pemilu.

    Dalam kasus Amerika Serikat di atas, kerawanan itu dimanfaatkan para “provokator” untuk menyebarkan spekulasi, desas-desus dan kabar bohong yang memperkeruh keadaan. Mereka menciptakan suasana kebingungan dan ketidakpercayaan dalam masyarakat terkait penyelenggaraan pemilu. Dalam kebingungan dan ketidakpercayaan itu, mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mewujudkan kepentingan politik tertentu.***

    *Agus Sudibyo, Head of New Media Research Center ATVI Jakarta.

  • Pendukung Jokowi Samakan Wartawati RMOL Dengan Babi : Maaf Saya Vegetarian

    Pendukung Jokowi Samakan Wartawati RMOL Dengan Babi : Maaf Saya Vegetarian

    Oleh : Mega Simarmata

    Diam itu emas, demikian kata mutiara yang sangat melegenda atau dalam Bahasa Inggris : Silence is golden Delapan buah tweet saya tulis di akun twitter @MegaSimarmata tertanggal 30 Desember 2018 tentang pengalaman saya menjadi wartawati Istana Merdeka sejak Era Presidenan Gus Dur, Ibu Megawati Soekarnoputri, sampai Pak Susilo Bambang Yudhoyono.

    Sentilan tweet saya bahwa selama ini tak pernah ada presiden Indonesia yang selfi di lokasi bencana alam dan datang tanpa bawa bantuan. Tweet tersebut langsung direspon berlebihan oleh pihak pendukung capres nomor urut satu. Akun twitter saya sekarang saya private atau dikunci. Dan sampai hari ini ada ribuan akun buzzer mengajukan pertemanan ke akun twitter saya, yang hampir semuanya akun dengan follower hanya 0, 1 atau 2 pengikut.

    Serangan di instagram dilakukan pendukung capres nomor urut satu dengan memposting screenshot tweet saya yang dibumbi dengan caci maki sarkasme. Salah satu akun menyamakan saya dengan hewan babi. Akun @Jayalah.Negriku mengawali ejekannya dengan menulis kalimat berbahasa batak yang isinya, “Kalau orang Batak bilang, sayang nai dodak i“, yang artinya sayang sekalidedak itu.

    Oleh karena saya menulis dalam tweet saya, “Selamat Malam Indonesia”, akun ini menutup ocehannya dengan menuliskan sebuah ejekan berbunyi, “Selamat Malam Dedak“. Saya sebagai wartawati tidak punya kepentingan lain, selain hanya menyuarakan kebenaran. Sebab kebenaran itu ibarat air sungai yang mengalir. Ia akan terus mengalir walau dibendung.

    Tiga akun instagram ber-followers puluhan ribu bahkan ratusan ribu, gegap gempita menghina saya. Tenyata saya tidak sendirian. Ada yang membela saya, di antaranya adalah pihak instagram sendiri. Postingan dari ketiga akun tadi yang mencomot screenshot pesan twitter saya dihapus oleh instagram karena terkena kebijakan pelanggaran pada hak cipta atau intellectual property violation. 

    Dari tiga akun yang terkena sanksi instagram, satu akun yaitu Mak Lambe Turah kembali mem-posting. Dan belum tahu apa yang dilakukan instagram untuk pelanggaran sama yang diulang. Yang menarik untuk saya komentari adalah ketika saya diejek dan disamakan seperti hewan babi yang di Tapanuli sana memang diberi makan dedak. 

    Yang bisa saya katakan adalah di mata Tuhan, semua manusia itu berharga. Saya tidak memakan daging hewan alias vegetarian. Jadi “Maaf, saya vegetarian”. Hendaklah kita mulai membiasakan diri untuk tidak memakan daging hewan karena pada hakekatnya hewan pun mahluk hidup ciptaan Tuhan.

    Dan silakan juga mengejek dengan penuh kesombongan.  Saya bangga menjadi seorang wartawan karena pada hakekatnya, wartawan setia menyuarakan nilai-nilai kebenaran.**

  • Apakah PJB Saham Divestasi PT Freeport Indonesia Perlu Dibuka Ke Publik?

    Apakah PJB Saham Divestasi PT Freeport Indonesia Perlu Dibuka Ke Publik?

    Oleh : Alamsyah Saragih

    (Komisioner Ombudsman RI, Manta Ketua Komisi Informasi Priode Pertama)

    Tribute to: Anthony Budiawan

    1. Dalam UU Keterbukaan Informasi Publik suatu informasi publik dapat dikecualikan apabila pengungkapan informasi tsb dapat mengganggu persaingan usaha yang sehat (Pasal 17 huruf b UU KIP).

    2. Namun Pasal 2 ayat (4) UU KIP mengatur bahwa suatu informasi yang dikecualikan dapat dibuka setelah melalui pengujian atas konsekuensi bahaya.

    3. Melalui uji tersebut, informasi yang dikecualikan dan bersifat rahasia dapat dibuka jika: menutup informasi yg dikecualikan dapat merugikan kepentingan publik lebih besar dibandingkan kepentingan yang ingin dilindungi dengan menutupnya.

    Menilik Konsekuensi Bahaya

    4. Pada awalnya saham PTFI dimiliki FCX 90,64%: kepemilikan langsung 81,28% plus melalui anak perusahaan PT Indocopper Investama: 9,36%. Pemerintah Indonesia 9,36%.

    5. Pada tahun 1996 Rio Tinto investasi sebesar 184 juta dolar AS di PTFI untuk mendapatkan Hak Partisipasi (bagi hasil) sebesar 40 persen atas laba PTFI. Berlaku untuk jangka waktu 1996–2041.

    6. Untuk periode 1996-2021, hak laba dihitung berdasarkan hasil produksi di atas 118.000 ton bijih tambang per hari. Untuk periode 2021-2041, hak dihitung berdasarkan seluruh produksi.

    7. Akibat perjaanjian tersebut, saham Pemerintah Indonesia terdilusi dari 9,36% menjadi 5,62% (60%x 9,36%).

    8. Apakah PTFI boleh membuat perjanjian Hak Partisipasi dengan Rio Tinto untuk periode 2021 – 2041 padahal, meskipun dapat diperpanjang, KK berakhir pada akhir tahun 2021?

    9. Kembali ke dilusi saham. Akibat Hak Partisipasi Rio Tinto, dengan cara perhitungan yang sama, saham Indocopper Investama pada PT FI juga terdilusi menjadi 5,62% dan saham FCX secara langsung pada PT FI terdilusi menjadi 48,77%.

    10. PT FI melalukan divestasi kepada pihak Indonesia, dengan cara Pemerintah Indonesia mengakuisisi 45,62 persen saham PT FI dengan harga 3,85 miliar dolar AS melalui PT Inalum.

    11. Divestasi melalui akuisisi Hak Partisipasi Rio Tinto yang dikonversi menjadi saham sebesar 40% seharga USD 3,5 miliar, ditambah 5,62% saham PT Indocopper Investama (setelah terdilusi) seharga USD 350 juta.

    12. Berarti 1% saham PT FI dari Hak Partisipasi Rio Tinto adalah seharga USD 87,5 juta, sedangkan 1% saham PT FI dari saham Indocopper Investama seharga USD 62,32 juta. Berarti Rio Tinto dibayar lebih sebesar USD(87,5 juta – 62,32 juta) x 40% saham = USD 1,01 miliar, atau kurang lebih Rp. 14 triliun (kurs Rp 14.000/USD).

    *Pertanyaan Penutup*

    13. Apakah Rp. 14 triliun akibat kelebihan pembayaran thd hak partisipasi Rio Tinto dapat dinyatakan sebagai kerugian negara?

    14. Kepentingan apa yang harus dilindungi dengan menutup informasi dokumen PJB saham dalam Divestasi PT Freeport Indonesia?

    15. Apakah menutup informasi dokumen PJB saham dalam divestasi PT Freeport Indonesia, akan mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan kepentingan yang ingin dilindungi dengan menutupnya?

    Jakarta, 2 januari 2019

    Alamsyah Saragih

  • Mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

    Mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

    Oleh : Risma Meilina

    (Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah)

    Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia bisa dikatakan Indonesia seperti mempunyai rutinitas untuk membawa kabut asap tiap tahun. Kebakaran hutan bukan hal baru, di Kalimantan kebakaran hutan sudah terjadi sejak abad 17.

    Namun baru pada tahun 1980 terjadi peningkatan luas dan intensitas terjadinya kebakaran hutan, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam rentang waktu antara bulan Juli sampai Oktober 2015 telah mengakibatkan 38 orang meninggal dunia, sebanyak 556.972 anggota masyarakat menderita penyakit ISPA, dan sebanyak 45 juta orang terkena pencemaran kabut asap dan pada tahun 2017 tercatat sebanyak 20 hektare lahan gambut di Kabupaten Rokan Hilir telah terbakar, dan menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau sepanjang tahun 2018 sejak bulan Januari hingga Juli terdapat 1.962 hektar luas lahan yang terbakar di 10 Kabupaten dan Kota di Riau.

    Sejak tahun 2006 masalah kebakaran hutan mulai diperbincangkan lagi saat terjadi kebakaran hebat pada bulan Juli-November 2006 di kawasan Sumatera dan Kalimantan yang menimbulkan trans boundary haze pollution. Dampak akibat kebakaran hutan tidak hanya terasa di Indonesia, namun ke negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia yang membuat negara-negara tetangga muncul kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat seperti pnyakit ISPA.

    Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006 Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat, perekonomian serta pariwisata mereka, bahkan Malaysia mengecam Indonesia karena tidak mampu mengatasi masalah asap dan Indonesia harus membayar kompensasi akibat asap.

    Secara umum, faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut adalah penyiapan lahan yang tidak terkendali dengan cara membakar, kesalahan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola hutan, lemahnya regulasi kebijakan dan peraturan, termasuk juga karena kebiasaan masyarakat dalam membuka lahan sembarangan tidak memperhatikan unsur-unsur yang seharusnya.

    Meskipun beberapa faktor tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran, tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah karena tindakan manusia (Penjelasan atas PP No. 4 tahun 2001).

    Dampak yang diakibatkan dari kebakaran adalah timbulnya penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), menurunkan kualitas udara dan jarak pandang di region di Sumatera dan Kalimantan, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand, dan terganggunya jalur transportasi udara, darat, dan laut yang diakibatkan tebalnya kabut asap tersebut.

    Dampak dan kerugian tidak lagi menjadi milik negara yang menyebabkan kebakaran tersebut tetapi sudah menyebar ke negara tetangga, maka ASEAN mengambil langkah untuk mengatasi hal tersebut dengan meningkatkan kerjasama ditingkat regional, sub regional serta nasional secara terkoordinir dalam upaya pengambilan kebijakan terhadap permasalahan pencemaran asap yang telah melintas batas dengan menyusun ASEAN Cooperation Plan On Transboundary Pollution (ACPTP) atau Rencana Kerja Sama ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas pada tahun 1995.

    Lalu pada tahun 2002 seluruh anggota ASEAN menandatangani perjianjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) namun pemerintah Indonesia baru menandatangani perjanjian tersebut pada tahun 2014.

    Sebenarnya, Pemerintah Indonesia sudah mempunyai peraturan dalam penanggulangan masalah kebakaran hutan terjadi, seperti dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan, dan masih banyak lagi penguatan hukum tentang hutan.

    Namun, masih saja terjadi kebakaran hutan tiap tahunnya. Ini berarti, peraturan yang dikeluarkan Pemerintah tidaklah efektif apabila tidak adanya kesadaran dari tiap pihak. Pengendalian dan perlindungan hutan bukan hanya tugas Pemerintah saja melainkan tugas masyarakat bersama. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan dalam penanganan kebakaran hutan di Indonesia perlu diutamakan dan dijadikan perhatian khusus agar dampak buruk dari kebakaran hutan dapat diminimalisir.

    Saran untuk strategi yang dapat dilakukan pemerintah yaitu pemerintah dapat memfokuskan memberi pembekalan pelatihan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perhutanan agar dapat membantu dan menanggulangi jika terjadi kebakaran, sehingga kebakaran tidak menyebar luas.

    Lalu, pemerintah dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait masalah tersebut. Menurut Menhut Zulkifli Hasan, pembangunan kehutanan yang berkelanjutan sangat membutuhkan SDM Penyuluh Kehutanan sebagai agen pembahuruan yang kompeten dan professional, karena dengan adanya penyuluhan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan serta sadar akan pentingnya sumberdaya hutan bagi kehidupan manusia.

    Selanjutnya, Pemerintah dapat menggencarkan promosi tentang Green Economy khususnya di bidang Kehutanan, karena Indonesia sendiri sudah mulai memakai Green Economy namun belum sepenuhnya berhasil. Keterkaitan Green Economy dalam bidang Kehutanan itu sendiri adalah karena Hutan sebagai penjaga sumberdaya air dan juga fungsi konservasi dan jasa lingkungan lainnya menjadi faktor yang sangat penting untuk menentukan terbentuknya ekonomi hijau.

    Termasuk pembentukan komoditas karbon untuk “ditransaksikan” di kemudian hari. Dengan demikian, penggunaan lahan hutan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan pemanfaatan kegiatan lainnya perlu dijaga melalui tata ruang yang ketat dan konsisten.

    Potensi hutan selama ini hanya memfokuskan pada hasil produk kayu dan belum memperhatikan akan manfaat nilai jasa lingkungan dan nilai biodiversitas yang ada.

    Padahal, jasa lingkungan dan nilai biodiversitas dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan baik negara, daerah maupun masyarakat yang sangat strategis dan bahkan dapat dikembangkan sejalan dengan pembentukan ekonomi hijau (Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional, 2012) pemerintah Indonesia pun bisa menjadikan negara negara maju yang sudah memakain strategi Green economy itu sebagai contoh, agar strategi tersebut berjalan lancar di Indonesia. ***

  • Ungkap Kasus dan Jumlah Kriminalitas

    Ungkap Kasus dan Jumlah Kriminalitas

    Oleh Wirahadikusumah

    Memasuki akhir tahun, biasanya berbagai instansi menggelar konferensi pers. Termasuk di antaranya Polda Lampung, polresta, serta polres-polres lainnya di provinsi ini. Tujuannya untuk melaporkan kinerja selama satu tahun.

    Biasanya, salah satu yang dilaporkan adalah jumlah kasus kriminalitas yang berhasil diungkap. Kemudian dibandingkan dengan jumlah tahun lalu.

    Jika jumlah ungkap kasus lebih banyak dari tahun sebelumnya, maka dianggap kinerjanya baik.

    Dahulu, semasa masih menjadi jurnalis, saya sering mengikuti kegiatan ini. Tidak hanya di Polda Lampung, di Polresta pun saya luangkan waktu untuk meliput.

    Sebab, banyak bahan berita yang bisa didapat. Tidak hanya mengenai jumlah kasus yang berhasil diungkap polisi, data-data lainnya seperti jumlah narkoba yang disita juga dilaporkan dalam kegiatan tersebut.

    Kala itu, jumlah ungkap kasus biasanya menjadi salah satu fokus dalam laporan. Sebab hal ini dinilai berimplikasi terhadap kinerja.

    Namun, selama ini sebenarnya saya bertanya-tanya. Apakah fokus polisi hanya kepada banyaknya jumlah ungkap kasus yang dilakukan?

    Karena bisa jadi, dengan banyaknya pengungkapan kasus, akan berbanding lurus dengan jumlah kriminalitas yang bertambah.

    Begitu pun dengan narkoba. Makin banyak yang disita, bisa jadi berbanding lurus dengan maraknya peredaran barang haram itu di wilayah tersebut.

    Padahal saya sangat yakin, masyarakat akan senang ketika jumlah kriminalitas yang terjadi di daerahnya menurun, ketimbang jumlah ungkap kasus yang dilakukan kepolisian meningkat.

    Dan tentunya akan lebih senang lagi, ketika ungkap kasus yang meningkat dibarengi dengan jumlah kriminalitas yang menurun.

    Sebab, yang dibutuhkan masyarakat adalah kenyamanan, keamanan dan ketertiban. Bukan hanya soal banyaknya bandit yang ditangkap.

    Makanya dahulu, sebenarnya saya tidak sepakat ketika ada program pemberian bendera hitam kepada polsek yang dinilai ungkap kasusnya sedikit.

    Karena bisa jadi, sedikitnya ungkap kasus di polsek tersebut disebabkan jumlah kriminalitas yang terjadi di wilayah hukum polsek itu menurun.

    Alhamdulillah, program pemberian bendera hitam tersebut sekarang sudah tidak ada. Meskipun sepertinya saat ini masih ada anggapan bahwa yang berprestasi adalah yang mengungkap kasus paling banyak.

    Semoga keheranan saya ini salah. Dan polisi sebenarnya memang tidak hanya fokus terhadap jumlah pengungkapan kasus, tetapi juga penekanan jumlah kriminalitas yang terjadi di wilayah hukumnya.

  • Nyaplok JP dan Ngobok-obok PAN

    Nyaplok JP dan Ngobok-obok PAN

    Oleh: Dhimam Abror Djuraid
    (Wartawan Senior)

    Setelah berhasil mengobok-obok dan mencaplok Jawa Pos, Goenawan Mohamad (GM) sekarang mengalihkan operasinya dengan mengobok-obok PAN (Partai Amanat Nasional).

    Modusnya tidak jauh beda. Dengan mengaku sebagai PAN pendiri, GM, bersama Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Zumrotin, dan Toety Herati menyatakan prihatin terhadap perkembangan PAN, terutama karena kiprah Amien Rais yang super-kencang di oposisi anti-Jokowi. GM dan kawan-kawan pun mendesak Amien Rais mundur.

    Pasti banyak yang heran mengapa GM tiba-tiba mengklaim haknya sebagai pendiri PAN. Pasti banyak yang bertanya apa kontribusinya terhadap PAN.

    Pertanyaan itu juga yang banyak muncul ketika tahun 2017 yang lalu GM mengobok-obok Jawa Pos (JP) dan kemudian mencaploknya dan menempatkan anaknya, Hidayat Jati, di posisi puncak JP setelah mendongkel Azrul Ananda, anak Dahlan Iskan.

    JP memang anak Tempo yang saham utamanya dimiliki Ciputra. Dahlan memang anak buah GM. Tapi peran GM dalam membesarkan JP bisa dibilang nol. Artinya, tanpa campur tangan GM pun JP tetap besar.

    Awalnya GM malu-malu kucing, dan malah marah-marah ketika muncul berita anaknya akan menggantikan posisi Azrul Ananda. Tapi belakangan setelah ombak reda, Hidayat Jati bin Goenawan Mohamad menjadi penguasa baru JP.

    Jelas bin terang motifnya soal perut. Bisnis GM dan keluarganya lagi bangkrut, makanya cari cara untuk mencaplok JP.

    Azrul Ananda memang gagal menangani JP, antara lain, karena tidak punya kapasitas leadership yang cukup dan terlalu cepat dikarbit oleh Dahlan Iskan. Sementara Hidayat Jati belum terdengar kiprahnya di media. Kapasitasnya hampir pasti tak cukup untuk mengelola JP Group yang super-kompleks. Ia  gagal menyelamatkan Femina Group, yang bisa dibilang ecek-ecek dibanding JP Group. Karenanya sulit mengharapkan dia mampu memimpin JP.

    Dahlan Iskan dan orang-orangnya di JP terlalu cerdik untuk bisa ditundukkan begitu saja. Dan, terbukti, sekarang praktis GM hanya kebagian pepesan kosong di JP.

    Kapal besar JP Group telah pecah dan sebagian besar sudah memisahkan diri dari kapal induk. Kelompok Fajar Group di Indonesia bagian timur sudah memerdekakan diri dan membentuk grup sendiri di bawah bendera FIN (Fajar Indonesia Network) di bawah Alwi Hamu. Alwi menempatkan anaknya, Agus Salim, sebagai nakhoda FIN.

    Di wilayah Indonesia barat, perahu JP retak dan kelompok WSM (Wahana Semesta Merdeka) memerdekakan diri, dan menguasai jaringan media di Sumatera sampai Jawa Barat di bawah kendali Suparno Wonokromo.

    Di Jakarta, Margiono dengan Rakyat Merdeka Group sudah sejak lama terlibat perang dingin dengan JP di bawah Azrul Ananda. Hidayat Jati pasti tak bakal berani berurusan dengan Margiono Rakyat Merdeka Group sudah pasti bebas merdeka dari JP.

    Indopos yang jadi satelit JP di Jakarta juga lepas. Kelompok televisi di bawah Mahesa Samola–anak mendiang Eric Samola pendiri JP Group– juga tak bakal mudah dikendalikan.

    Raja-raja kecil di daerah, seperti Rida Kaliamsi di Riau dan Zainal Muttaqin di Kalimantan, sudah pasti tak bakal bisa disetir oleh GM dan anaknya. Praktis sekarang GM hanya kebagian JP dan radar-radar di Jatim dan Jateng. Dibanding dengan empire JP Group yang membentang dari Aceh sampai Papua, apa yang didapat GM bisa dibilang tulang belulang saja.

    Upaya menjinakkan JP sudah terasa sejak pemilihan gubernur DKI 2017. GM tak segan turun tangan mencampuri urusan redaksi kalau berita-berita JP memusuhi Ahok. Ia menelepon dan memarahi redaktur JP.

    Dahlan Iskan dianggap berbahaya karena (pernah) punya ambisi politik. Ia dihabisi, dikriminalisasi, sahamnya dipreteli.
    JP, mungkin, bisa dikuasai. Tapi perlawanan yang dilakukan terhadap GM dan Ciputra sangat cantik tapi mematikan.

    Dahlan sekarang memilih duduk manis sambil senam pagi tiap hari. Ia sudah cukup berbakti kepada GM. Sudah 30 tahun ia menjadi angsa bertelor emas. Ibarat pepatah “kebo nyusu gudel” Dahlan sudah menyusui GM sejak Tempo dibredel Orde Baru, 1994 sampai sekarang. Tiap tahun Dahlan nyetor dividen miliaran ke GM.
    Lunas sudah utang budi Dahlan kepada GM.

    Kita tinggal lihat bagaimana kelanjutan operasi GM di PAN sekarang ini. Naga-naganya, motifnya tidak bakal jauh dari urusan perut. (dad)

  • Akal-akalan Angka Kemiskinan

    Akal-akalan Angka Kemiskinan

    Ronny P. Sasmita
    Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

    Data mutakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin per Maret 2018 tercatat sebanyak 25,95 juta orang atau 9,82 persen. Jumlah itu turun dari periode survei sebelumnya, September 2017, yang sebanyak 26,58 juta orang atau 10,12 persen. Penurunan sebesar 0,3 persen dalam satu semester dan 0,83 persen dalam setahun terakhir digadang-gadang sebagai prestasi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan tingkat kemiskinan satu digit diglorifikasi sebagai capaian pertama sejak krisis ekonomi 1998.

    Garis kemiskinan adalah pembatas yang memisahkan antara masyarakat yang digolongkan miskin dan bukan miskin. Garis itu merupakan gambaran nilai rupiah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Pada Maret 2018, garis tersebut berada pada angka Rp 401.220 per kapita per bulan atau sekitar Rp 13.400 per kapita per hari. Penduduk dengan pengeluaran lebih dari jumlah itu termasuk penduduk tidak miskin.

    Mengapa hanya sebesar itu? Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, garis kemiskinan itu bahkan sudah di atas standar internasional. Batas Rp 400 ribu per kapita per bulan setara dengan US$ 2,5 purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli per hari dengan konversi US$ 1 PPP = Rp 5.341,5. Angka tersebut adalah Bank Dunia pada 2011, yang masih dipakai pemerintah saat ini. Bank Dunia menggunakan batas US$ 1,9 PPP untuk kemiskinan ekstrem dan US$ 3,2 PPP sebagai batas kemiskinan.

    Namun pemerintah tak menggunakan kurs dolar Amerika Serikat di pasar spot. Pada Maret 2018, misalnya, harga dolar tercatat Rp 13.700, maka garis kemiskinan bisa berada di angka Rp 1.027.500 per kapita per bulan jika memakai standar Bank Dunia. Angka itu 2,5 kali lebih besar daripada standar kemiskinan BPS pada periode yang sama. Jika harga dolar dari pasar spot dipakai, lebih dari 50 persen orang Indonesia akan mendadak masuk ke kategori miskin.

    Salah satu penyebab utama penurunan angka kemiskinan adalah intervensi pemerintah dalam bentuk lonjakan dana bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat miskin. Hingga akhir kuartal I 2018, penyaluran bansos naik signifikan hingga 87,6 persen. Penyaluran itu bertepatan dengan pelaksanaan Survei Sosial Ekonomi Nasional pada Maret 2018, yang menjadi sumber penghitungan angka kemiskinan. Logikanya, jika anggaran bansos dikurangi, otomatis jumlah orang miskin akan kembali naik.

    Mari kita lihat postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Anggaran bansos tahun ini mencapai Rp 78,2 triliun atau naik 41 persen dibanding tahun sebelumnya. Jumlahnya juga paling tinggi pada masa pemerintahan Jokowi. Pada 2016, alokasi dana bansos hanya Rp 49,61 triliun. Kenaikan alokasi bansos menjelang masa pemilihan presiden sebenarnya tidak terjadi kali ini saja, walaupun pada era Jokowi kenaikannya terbilang luar biasa. Selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga ditemukan hal serupa pada 2008-2009 dan 2013-2014. Pada 2009, dana bansos naik 27 persen dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan pada 2013, alokasinya naik 21 persen.

    Bagaimana hasilnya? Jika membandingkan indikator kemiskinan dalam dua rezim, pemerintahan SBY periode pertama mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,51 persen, dari 16,66 persen pada 2004 menjadi 14,15 persen pada akhir 2009. Pada periode kedua, pemerintahan SBY menurunkan angka kemiskinan sebesar 3,19 persen, dari 14,15 persen menjadi 10,96 persen. Rata-rata penurunan per tahun 0,57 persen. Adapun selama empat tahun pemerintahan Jokowi, angka kemiskinan turun 1,14 persen atau rata-rata 0,28 persen per tahun.

    Strategi pengakalan angka kemiskinan lainnya adalah mengintervensi laju inflasi. Pada Juni 2018, inflasi tercatat 0,59 persen dan 1,9 persen sepanjang tahun kalender (Januari-Juni 2018). Adapun inflasi tahun ke tahun (Juni 2018 dibanding Juni 2017) mencapai 3,12 persen. Pemerintah mengendalikan bahkan menekan harga pangan dengan menjaga pasokannya, termasuk melakukan impor. Selain itu, saat harga minyak dunia terus naik, pemerintah juga berusaha keras menahan kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemerintah pun menahan kenaikan tarif dasar listrik dengan memperbesar subsidinya.

    Dengan kondisi-kondisi tersebut, rasanya cukup menantang untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya urusan kemiskinan di mata pemerintah hanya perkara utak-atik angka. Pemerintah hanya peduli dengan”penjagaan” angka kemiskinan, bukan pemberantasan kemiskinan.

  • Tak Bisa Tidur karena BMKG

    Tak Bisa Tidur karena BMKG

    Oleh : Wirahadikusumah

    Saya terhenyak tadi malam. Saat sedang menyaksikan pertunjukan musik yang diselenggarakan Komunitas BPK OI Bandarlampung. Penyebabnya bukan karena suara vokalis band yang tampil. Yang mirip sekali Iwan Fals itu. Tetapi, karena adanya informasi yang masuk di WA saya tentang tsunami yang terjadi di pesisir Lampung dan Banten.

    Selain link berita, video dan foto yang menggambarkan warga tengah mengungsi berseliweran di grup-grup WA yang ada saya di dalamnya. Seraya menikmati pertunjukan musik, jari saya terus bermain di layar handphone untuk mencari informasi bagaimana kondisi terakhir di wilayah pesisir. Saya memang sangat khawatir jika terjadi tsunami di Selat Sunda. Sebab, banyak saudara-saudara saya tinggal di wilayah pesisir. Terlebih di Kota Kalianda.

    Di Kalianda, adik kandung ibu saya saja ada empat yang menetap di sana. Belum lagi saudara-saudara saya yang lain. Tetapi, saat itu, saya agak tenang ketika membaca salah satu link berita yang memuat pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dalam link tersebut, BMKG menegaskan yang terjadi hanyalah air laut pasang. Bukan tsunami.

    Akhirnya saya menonton pertunjukan musik itu dengan tenang hingga pulang ke rumah pukul 00.00 WIB. Saat menjelang tidur, saya kembali membuka WA. Untuk mengupdate informasi nasib warga pesisir akibat air laut pasang. Tetapi, saat membuka salah satu link berita, saya kembali terhenyak. Penyebabnya ada ralat informasi dari BMKG yang menyatakan peristiwa tadi malam adalah tsunami. Bukan air laut pasang seperti sebelumnya yang disampaikan instansi tersebut.

    Adanya ralat informasi BMKG itu membuat saya tak bisa tidur. Saya merasa heran. Kok bisa BMKG meralat informasi? Jika kejadian itu belum terjadi, atau sifatnya perkiraan, saya menilainya wajar adanya ralat informasi.

    Tetapi, bukankah peristiwa itu sudah terjadi? Mengapa sampai BMKG tidak bisa menggolongkan, mana air laut pasang, mana yang tsunami. Apakah kemampuan alat yang dimiliki BMKG terbatas? Atau rusak? Jika iya, seharusnya pejabat instansi ini jangan asal “ceplos” ke publik.

    Pastikan dahulu. Baru beri keterangan ke publik. Sebab, saat ini BMKG, yang dipercaya masyarakat untuk mengetahui informasi mengenai terjadinya gempa maupun tsunami. Karenanya, keakuratan informasi sangat diharapkan masyarakat. Saya berharap ini menjadi pelajaran bagi BMKG, agar tidak sembarangan lagi mengeluarkan informasi.

  • Surat Terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Divestasi Freeport: Tegakkan Kedaulatan NKRI !

    Surat Terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Divestasi Freeport: Tegakkan Kedaulatan NKRI !

    Sinarlampung.com – Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas membahas rencana divestasi Freeport di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan pada 29 November 2018 telah menginstruksikan agar proses  divestasi dapat segera dituntaskan. Sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi tersebut, PT Inalum memastikan bahwa seluruh rangkaian proses divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) akan tuntas pekan ini (16-21 Desember 2018).

    Head of Corporate Communications and Government Relation PT Inalum Rendi Witular mengatakan bahwa tuntasnya negosiasi akan memberi kepastian atas perubahan status operasi PTFI dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), komitmen pembangunan smelter dalam waktu 5 tahun ke depan, jaminan fiskal dan regulasi, serta perpanjangan operasi 2×10 tahun hingga 2041.

    Padahal, untuk menguasai sekitar 42% saham PTFI tersebut, Negara Indonesia (melalui PT Inalum) harus membayar US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 60 triliun (kurs US$/Rp=14.600). Tentu saja harga ini sangat mahal mengingat usia KK PTFI hanya tersisa sekitar 2-3 tahun menuju 2021 saat kontrak berakhir. Dalam hal ini, karena wewenang memperpanjang atau mengakhiri kontrak ada di tangan pemerintah, maka sangat absurd jika perhitungan harga saham PTFI didasarkan pada kontrak yang berakhir pada 2041.

    Berdasarkan temuan BPK RI yang dirilis tahun 2017 atas audit lingkungan periode 1988- 1990 dan 2015-2016 terkait UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup dan UU Minerba, maka ditemukan pelanggaran berat yang dilakukan PTFI sebagai berikut :

    – Menggunakan kawasan hutan lindung untuk kegiatan operasional seluas minimal 4.535, 93 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Hal ini melanggar UU Kehutanan No.41/1999 Jo UU No.19/2004;

    – Melaksanakan kegiatan operasional pertambangan Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan memperpanjang tanggul barat dan timur tanpa Izin Lingkungan;

    – Menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary dan sampai ke laut. Berdasarkan perhitungan Tim IPB dan LAPAN, nilai ekosistem yang dikorbankan berkisar USD 13.592.229.295 atau sekitar Rp 185 triliun.

    Namun entah darimana dasar perhitungan dan pertimbangannya, BPK RI hanya mewajibkan kepada PT FI untuk membayar PNBP penggunaan kawasan hutan lindung yang nilainya sebesar Rp 460 miliar.

    Sehubungan dengan hal-hal di atas, kami yang bertanda tangan di bawah ini meminta kepada pemerintah untuk:

    1. Membatalkan rencana pembelian saham divestasi PTFI karena sangat mahalnya harga saham yang harus dibayar yang berpotensi merugikan negara puluhan triliun rupiah, dan diabaikannya denda kerusakan lingkungan hasil audit BPK yang merupakan lembaga tinggi negara yang keberadaan dan hasil auditnya dijamin oleh konstitusi;

    2. Meminta Freeport untuk membayar denda kerusakan lingkungan sesuai hasil perhitungan BPK . Pengabaian atas temuan BPK merupakan pelecehan terhadap kedaulatan NKRI;

    3. Meminta pemerintah untuk melakukan negosiasi-ulang atas kesepakatan yang telah dicapai, dengan mendudukkan posisi negara di atas posisi korporasi;

    4. Meminta PTFI untuk mematuhi seluruh ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, terutama UU No.4/2009 tentang Minerba;

    5. Mendesak DPR RI untuk menggunakan hak konstitusionalnya dengan membentuk Pansus Pengawasan Divestasi Freeport terhadap pelaksanaan proses negosiasi kontrak PTFI, guna mencegah terjadinya kerugian negara dan pelecehan terhadap konstitusi dan peraturan yang berlaku;

    6. Meminta KPK memantau proses negosiasi secara seksama guna mencegah terjadinya KKN dan penggelembungan harga saham divestasi.

    7. Menindak Menteri LHK yang telah mencabut Permen LHK No.175/2018 hanya untuk meloloskan kepentingan PTFI. Padahal selain melanggar pasal 58 dan 59 dari UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Bahan dan Limbah Berbahaya dan Beracun, ternyata berpotensi pula merusak lingkungan, serta berlaku tidak adil dalam penerapan hukum terhadap perusahaan lain yang telah membuang limbah beracun untuk ditindak.

    8. Mendesak kepada Pemerintah RI agar melakukan penegakan hukum ketenagakerjaan atas pelanggaran Hak Dasar Pekerja di lingkungan PTFI. Sebagai anggota pendiri ICMM (Dewan Internasional Pertambangan dan Logam) Freeport McMoran harus komitmen mengelola operasional sesuai Deklarasi Universal PBB dan HAM. PTFI harus tunduk dan taat kepada peraturan Negara Indonesia.

    Jakarta, 20 Desember 2018

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Konstitusional

    Ttd.

    Dr. Marwan Batubara
    Dr. Ahmad Redi
    Yusri Usman
    Bisman Bakhtiar
    Salamuddin Daeng
    Adhi Azfar

  • Wartawan ‘Rudi Fans Club’

    Wartawan ‘Rudi Fans Club’

    Oleh:Ramon Damora

    (jurnalis, anggota Rudi Fans Club)

    Di hadapan hampir 30 naskah sayembara jurnalistik bertema ‘Infrastruktur Batam Menuju Kota Wisata’, saya bergidik: mengapa sebagian besar tulisan para pewarta seperti terobsesi menjadi humas walikota? Menjadi ‘Rudi Fans Club’?

    Rakyat Batam memang sedang ngefans dengan walikotanya. Cinta masyarakat pada pemimpin, tak lain tak bukan, buah cinta dari pemimpin yang mengasihi masyarakatnya. Tak ada hijab dalam cinta model begini. Tak ada syarat-syaratan. Tak ada ilmu hitam.

    Rakyat bukan Roro Jonggrang. Mereka menolak janji candi semalam. Walau dibangun seratus jin kontraktor sekalipun. Maka jangan datangi warga Batam dengan proposal Bandung Bandawasa. Niscaya sia-sia. Percayalah. Bandar ini sudah tua. Tadi, 189 tahun usianya. Kenyang asam garam muslihat rayuan. Jangankan aneka rupa Bandawasa, gerombolan Sulaiman pun dahulu kala kerap menggombal Batam dengan godaan memindah tahta sekedip mata. Toh rakyatnya sampai hari ini tak merasa seanggun Zulaikha. Berpada-pada.

    Warga Batam hanya mau kampung halamannya, pulau tumpah darah anak cucu mereka, punya alasan sempurna untuk memenuhi paling tidak tiga kebutuhan dasar sekaligus: dihuni, dicintai, dan diperkenalkan ke segenap handai taulan di luar sana.

    Kebetulan, dari masa ke masa, program terobosan infrastruktur duo Rudi-Amsakar Achmad-lah yang sejauh ini dipandang lumayan berhasil menyederhanakan tiga kemewahan di atas ke dalam satu bahasa: kebanggaan.

    Sudah lama kita tak merasa bangga menjadi orang Batam. Kinerja pemerintah bersama stakeholder tiga tahun terakhir, membangkitkan lagi rasa bangga itu. Kota terlihat indah. Memanggil-manggil siapa saja untuk singgah. Di atas segalanya, kota kini menjadi alasan terbaik untuk cepat-cepat pulang ke rumah, memeluk keluarga.

    Tentu saja pencapaian tersebut terlalu pagi dianggap prestasi. Ia baru teramat pantas untuk diingat, dicatat, sebagai sebuah reputasi. Bang Rudi bukan walikota yang akan kita kenang dengan reputasi seorang orator memukau, misalnya.

    Reputasi Haji Muhammad Rudi SE adalah keberanian, kegilaan menerabas pelbagai formalitas beku, bergerak, bertindak, dengan semacam keyakinan bahwa kepala daerah sesungguhnya hanya memiliki satu modal kecil tapi teramat besar nilainya: iktikad baik (goodwill). Wako Rudi mampu karena mau.

    Semegah apapun suatu rezim, tapi bila selama ini mata batin rakyat cuma melihat ongkang-ongkang kakinya saja, sungkan lebih dulu menyalami hati jelata, doyan foya-foya menggelar panggung hiburan ala ibukota, ya, sebaiknya memang wajib dibubarkan.

    Bagi saya, yang kebetulan didaulat sebagai dewan juri dalam sayembara karya jurnalistik tajaan Pemko Batam itu, produk pers yang baik dalam menulis raihan kinerja pemerintah daerah hari ini ialah justru dengan tak ikut-ikutan mabuk kepayang menyematkan kata ‘prestasi’ ke dada pemangku kepentingan. Cukup tulis ‘reputasi’ saja.

    Prestasi sering mengundang salah tafsir. Bila kubu satu memaknai prestasi sebagai ke-benar-an, di mata kelompok lain prestasi dipandang hanya suatu ke-betul-an. Habis energi mengurus debat tak bermutu.

    Akan lebih indah jika Pers menawarkan, mendialogkan, secara terus-menerus, beragam agenda publik yang terinspirasi dari reputasi Pemimpin Kota Batam yang sungguh-sungguh membenahi infrastruktur negerinya. Misal yang saya sebut di atas: kampanye gimmick ‘Bangga Jadi Batam’.

    Hanya lima-enam artikel dari peserta yang menurut saya lumayan berhasil menuliskan perspektif kebanggaan semacam itu. Tulisan yang secara tersirat menitipkan pesan-pesan sunyi sangat nyaring: jika kau bangga menjadi Batam, para pelancong pun akan lebih mudah menjumpai kotamu.

    Ada banyak naskah peserta berisi puja-puji untuk Tuan Rudi. Celakanya, disampaikan dalam karya jurnalistik yang ‘malas’, bukan mewakili suara rakyat, melainkan hanya suara telur diangkat-angkat. Tulisan yang rentan pecah karena kualitas jatuh.

    Syahdan, kata ‘fans’ diserap dari Bahasa Italia, ‘fantacio’, artinya: gila-gilaan. Biar Pers di Jakarta saja yang dicap gila karena nge-fans berat dengan kekuasaan. Pers Batam jangan. Kalau nekat ya silakan. Saya bosan dapat laporan, banyak wartawan ngampu tak menentu mencari Pak Wali. Ujung-ujungnya yang dia temui hanya Bang Rudi, mantan polisi yang selalu lembut membisikkan ucapan: ‘kepala hotak kalian…’