Kategori: Opini

  • Apakah Kabareskrim Polri “Diperdaya” Gerombolan Genderuwo Koruptor Kondensat?

    Apakah Kabareskrim Polri “Diperdaya” Gerombolan Genderuwo Koruptor Kondensat?

    Oleh :Wenry Anshory Putra

    Dalam mitologi budaya Jawa, Genderuwo digambarkan sebagai sosok Siluman raksasa legendaris yang menyeramkan, suka menipu atau memanipulasi, rakus, dan suka sekali menggoda atau mengganggu manusia terutama perempuan serta anak-anak.

    Rasa-rasanya, istilah gerombolan Genderuwo sangat layak kita sematkan kepada mereka yang terlibat dalam kasus korupsi Kondensat yang merugikan negara Rp 37 Triliun.

    Bagaimana tidak? Hanya mereka yang “berwatak” Genderuwo sajalah yang melakukan korupsi besar-besaran di Republik ini dengan kerakusan yang sangat luar biasa.

    Honggo Wendratno taipan korupsi Kondensat dan gerombolannya yang sebenarnya “berwatak” Genderuwo, ia bersama gerombolannya menipu dan menjarah kekayaan bangsa ini untuk memperkaya diri. Dan hanya mereka yang “berwatak” Genderuwo sajalah yang mampu “memperdaya” aparat penegak hukum, sehingga aparat penegak hukum seolah-olah bergerak lamban dan mengulur-ulur waktu. Sudah terlalu banyak kasus patgulipat antara taipan/cukong/mafia dengan aparat penegak hukum di Republik ini.

    Sementara, Raden Priyono (mantan Kepala BP Migas) dan Djoko Harsono (mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas) yang telah lama ditetapkan sebagai tersangka pun masih bebas dan tidak ditahan kembali.

    Hal tersebut melukai hati kita sebagai masyarakat. Bagaimana tidak, hukum seolah-olah tajam terhadap masyarakat kecil tapi tumpul terhadap gerombolan Genderuwo yang menjarah kekayaan bangsa ini?

    Kita menilai ini juga menjadi salah satu perbedaan mendasar antara Polri dan KPK dalam menangani kasus korupsi, apalagi kasus korupsi yang merugikan negara sangat besar. Kita tidak pernah menyaksikan KPK menangguhkan penahanan para tersangka kasus korupsi, “koreksi bila kita keliru”. Berbeda dengan Polri yang hingga kini menangguhkan penahanan kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono dengan alasan yang bagi kita sangat mengada-ada.

    Awalnya, kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono sempat ditahan pada Kamis malam 11 Februari 2016. Setelah beberapa waktu, penahanan kedua tersangka ditangguhkan dengan alasan sakit sehingga konon harus dirawat di luar tahanan. Pertanyaan kita sebagai masyarakat, bagaimana kondisi kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono saat ini? Masih sakit, sedang sekarat, ataukah sudah wafat?

    Wajar bila kita mencium “bau anyir” dalam penuntasan kasus korupsi ini. Karena, kasus korupsi ini masih jalan di tempat dan berkas kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono berikut barang bukti hingga detik ini belum juga dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung dengan alasan menunggu tertangkapnya taipan korupsi Kondensat Honggo Wendratno. Sebuah alasan yang bagi kita sangat tidak logis.

    Jika Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto masih tidak bertindak cepat, tentu tidak bisa dipersalahkan bila masyarakat beranggapan Polri “tidak berdaya” menangkap taipan korupsi Kondensat Honggo Wendratno dan menghadapi gerombolan Genderuwonya. Hanyalah aparat penegak hukum bernyali yang mampu menuntaskan kasus Kondensat yang merugikan negara Rp 37 Triliun ini, dimulai dengan melimpahkan berkas kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono kepada Kejaksaan Agung.

    Kalau KPK saja berani “menggoyang” taipan “Agung Podomoro Land” pada kasus suap Reklamasi Teluk Jakarta, “Lippo Group” dalam kasus suap Meikarta Cikarang, dan “Sinar Mas” dalam kasus suap limbah sawit Danau Sembuluh, lalu mengapa Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto masih setengah-setengah dalam menuntaskan kasus Kondensat ini? Padahal berkas korupsinya sudah dinyatakan lengkap (P21) yang berarti jelas pelanggaran hukumnya, jelas tersangkanya, jelas kerugian negaranya. Maka, Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto harus terbuka kepada masyarakat dan jangan ada yang ditutup-tutupi. Jangan mengulur-ulur waktu!

    Padahal yang kita tahu, Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto dikenal berani dan tegas. Misalnya saat menjabat sebagai Kapolda Kalimantan Barat dan Dir. Tipideksus Polri:

    1. Penegakkan hukum kasus penggelapan sekitar 1.535 sertifikat Petani Sawit di Ketapang.
    2. Penegakkan hukum kasus patgulipat antara mafia penyelundup dan cukong dengan oknum penegak hukum di Kalimantan Barat.
    3. Penegakkan hukum kasus gula selundupan yang melibatkan The Iu Sia alias Asia dan Tan Kiam Lim alias Alim.
    4. Penegakkan hukum kasus mark up anggaran telekomunikasi Polda Kalimantan Barat tahun 2011-2014 yang melibatkan AKBP Eddy Triswoyo mantan Kabid TIK Polda Kalimantan Barat.
    5. Penegakkan hukum kasus Gayus Tambunan.
    6. Penegakkan hukum kasus pembobolan Bank Citibank yang melibatkan Malinda Dee.
    7. Penegakkan hukum kasus Bank Century.
    8. Penegakkan hukum kasus suap mafia penyundup gula dan barang impor dari Tiongkok yang melibatkan oknum Bea Cukai di Entikong.

    Dengan melihat fakta-fakta tersebut, maka sangat disayangkan bila Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto seolah-olah “diperdaya” oleh gerombolan Genderuwo korupsi Kondensat dan pihak-pihak yang mendalanginya. Tapi, kita berharap itu tidak akan pernah terjadi.

    Maka demi penegakan hukum yang profesional, akuntabel, dan non diskriminasi, kita mendesak Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto dan jajarannya untuk segera melakukan pelimpahan kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono berikut barang bukti kepada Kejaksaan Agung serta menangkap hidup-hidup Honggo Wendratno taipan korupsi Kondensat yang merugikan negara Rp 37 Triliun.

  • Sikap Politik Bang Yusril dan Nasib PBB

    Sikap Politik Bang Yusril dan Nasib PBB

    Oleh:
    HABIBUROKHMAN, S.H., M.H.
    (Ketua Dewan Pembina ACTA/ Advokat Cinta Tanah Air)

    Sikap Bang Yusril Ihza Mahendra yang seolah menyalahkan Paslon Prabowo-Sandi terkait sikap Partai Bulan Bintang (PBB) yang belum resmi memberikan dukungan menurut saya tidak tepat.

    Saya baca di media jika Bang Yusril mempertanyakan strategi yang disiapkan agar partai-partai pendukung pasangan tersebut juga berjaya di Pileg 2019. Lebih jauh Bang Yusril memberi contoh format koalisi partai di Malaysia sebagai format koalisi yang mungkin dianggap ideal.

    Aneh kalau membandingkan format koalisi Pilpres Indonesia dengan format koalisi Pemilu Malaysia karena ada perbedaan sistem yang ekstrem. Di Indonesia, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif secara administratif dilaksanakan secara terpisah walau pada tanggal yang sama, sementara di Malaysia, Pilihan Umum Raya secara prinsip hanya memilih parlemen, sedangkan Perdana Menteri dipilih dari partai pemenang Pemilu Parlemen. Jadi tidak mungkin format koalisi di Pemilu Malaysia diterapkan di Indonesia.

    Yang lebih parah, sistem Pemilu Legislatif dalam UU Pemilu kita sangat liberal, yakni siapa caleg yang memperoileh suara terbanyak dalam satu partai, dialah yang akan terpilih lebih dahulu. Jadi persaingan di Pemilu Legislatif kita bukan hanya terjadi antar partai, persaingan bahkan sering lebih sengit terjadi di internal partai antar caleg dalam satu daerah pemilihan.

    Dengan kondisi seperti ini bagaimana mungkin Pak Prabowo dan Pak Sandi dimintai tanggungjawab untuk menjamin berjayanya seluruh partai-partai pendukungnya di Pileg sementara di sisi lain kerja pemenangan Pilpres saja sudah sangat berat.

    Saya justru melihat bahwa berjayanya partai-partai pendukung Prabowo-Sandi di Pileg 2019 akan sangat tergantung bagaimana masing-masing Calon Legislatif (Caleg) pada partai tersebut mencitrakan pada masyarakat jika mereka adalah Caleg Pendukung Prabowo-Sandi. Pengalaman saya di daerah pemilihan, semakin saya menunjukkan sebagai pendukung Prabowo-Sandi, semakin mudah masyarakat menerima saya sebagai Caleg.

    Harapan saya daripada Bang Yusril berusaha membawa gerbong PBB untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, akan sangat baik jika Bang Yusril mendorong PBB untuk segera secara resmi mendukung Prabowo-Sandi, saya yakin dengan demikian elektabilitas PBB akan meroket dan insya Allah lolos Parliament Treshold 4 %.

  • Izin Produksi Batu Bara Di Mesuji, Siapa Tergiur Apa!

    Izin Produksi Batu Bara Di Mesuji, Siapa Tergiur Apa!

    Oleh: Reci

    Bupati Kabupaten Mesuji seharusnya bisa melakukan tindakan nyata untuk menyampaikan keberatan atas telah dikeluarkannya izin produksi batu bara di Kecamatan Panca Jaya. Ia dapat berkoordinasi secara langsung atau menyurati secara formil Gubernur Lampung bahkan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral agar meninjau ulang, dengan memperhatikan hak asasi warga yang berpotensi dilanggar seperti hak atas rasa aman, hak untuk memperoleh keadilan, serta hak atas lingkungan yang sehat dan bersih.

    Bupati Khamami pada akun facebooknya, telah memposting selembar kertas yang terindikasi merupakan keputusan resmi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Provinsi Lampung tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi batu bara kepada PT Nokano Coal Mining.

    Dalam selembar kertas itu tertulis dengan jelas, luas wilayah yang disetujui 3341 Ha. Pemegang IUP Operasi Produksi mempunyai hak melakukan kegiatan konstruksi, produksi, pengangkutan dan penjualan serta pengolahan dan pemurnian untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun, terhitung mulai ditetapkannya keputusan sejak 22 Juni 2018 sampai 22 Juni 2038.

    Pada postingan tersebut dibubuhi keterangan, “Izin produksi batu bara di Kecamatan Panca Jaya telah dikeluarkan oleh Perizinan Provinsi Lampung, dengan luasan cukup luas. Tanah milik siapa. Kalau digali puluhan meter mengambil batu bara apa tidak jadi sungai. Mau jadi apa Mesuji yang sedang kita bangun. Walau dengan dalih akan di timbun”.

    Pribadiku coba mencerna makna lebih dari yang sekedar tertulis itu, apakah mungkin orang nomor satu di Kabupaten Mesuji ini ingin menyampaikan pesan keberatan karena telah mengidentifikasi dampak negatif yang bakal ditimbulkan. Sementara di sisi lain, ia tengah berusaha menggeliatkan pembangunan hampir di semua sektor.

    Kepala daerah yang merupakan mantan wartawan itu, juga tampak meragukan komitmen pengusaha tambang untuk membereskan kewajiban mereka. Atau jangan-jangan sudah punya pengalaman kurang menyenangkan dengan pengusaha tambang yang nakal. Menelantarkan lubang, dan tidak memulihkan kembali kawasan bekas tambang. Entahlah, mungkin itu analisaku yang berlebihan.

    Kalaupun pesan yang tersembunyi itu betul-betul ingin disampaikan dengan atau tanpa ragu, karena mengingat dampak negatif ke depan lebih besar dari manfaat yang bakal diperoleh, Bupati Mesuji seharusnya bisa koordinasi secara langsung kepada Gubernur Lampung agar mengingatkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah, meninjau ulang bahkan jika mungkin mencabut izin produksi batu bara di Kecamatan Panca Jaya.

    Jika pemerintah tidak bisa menemukan titik terang dalam menyelesaikan kasuistis ini, maka masyarakat terutama yang bermukim di daerah Kabupaten Mesuji menjadi penangguk dampak yang paling memungkinkan. Sebagian lainnya, juga mungkin bakal bertanya-tanya ‘Siapa tergiur apa!’.

  • Ditulis untuk Para Pembencinya, Air Mata Titiek Soeharto

    Ditulis untuk Para Pembencinya, Air Mata Titiek Soeharto

    Di tengah masifnya kabar hoaks, Senin (8/10/2018) jagat media sosial dikagetkan dengan narasi panjang ‘Air Mata Titiek Soeharto’. “Ditulis untuk para pembencinya, khusus yang masih punya hati mengurangi dosa insani. DOSA YANG PALING SULIT DISELESAIKAN karena menyangkut HAK AZASI,” demikian yang terbaca duta.co, Senin (8/10/2018).

    Tulisannya panjang, nyaris 13 ribu karakter. Tetapi, enak dibaca, bagi yang mau melebur dosa prasangka. “Otak dan hatinya gampang panas (mendidih red.) melihat negeri ini tersia-siakan,” begitu penggalan ‘Air Mata Titiek Soeharto’ mengisahkan siapa Prabowo Subianto.
    Mampukah kita, yang suka berburuk sangka, membacanya sampai tuntas? Berikut narasi lengkapnya:
    Air Mata Titiek Soeharto

    Semua wanita sama apa yang diharapkan pada calon suaminya, seorang pria yang dapat menjaga, melindungi dan selalu mendampinginya setiap saat. Tak peduli apakah wanita itu kalangan jelata maupun kalangan bangsawan. Bukanlah seorang suami yang kerap berjibaku dengan lumpur, hutan, rawa-rawa, apalagi bermain dengan kematian. Hal itu juga berlaku bagi Putri kesayangan Soeharto, Siti Hediati Hariyadi, seorang dara keturunan kraton yang selalu berbicara lembut dan jauh dari kehidupan keras dan kasar.

    Namun saat cinta datang, Titiek tak bisa mengelak memilih suami seorang prajurit ABRI. Taman Mini Indonesia Indah menjadi saksi, bersatunya dua keluarga, Soeharto dan Soemitro ini. Lalu kemudian, Titiek pun mulai merajut asa rumah tangganya dengan angan indah dan bahagia hingga akhir hayat nanti.

    Saat itu, keadaan negara berjalan sangat berat. Aksi GPK sangat mengancam stabilitas nasional. Mereka bergerilya dihutan-hutan untuk siap menyerang pasukan ABRI dengan senjata otomatis. Puluhan tentara RI meregang nyawa dengan tubuh penuh luka peluru. Pemerintah tak bisa tinggal diam. Banyak pasukan keamanan RI yang telah mereka bunuh. Prajurit ABRI pun diterjunkan untuk mempertahankan teritorial tumpah darah ibu pertiwi.

    Namun sayangnya, Presiden Soeharto tak tebang pilih saat mengirim prajurit untuk berperang. Bahkan suami dari putri kesayangannya yang belum menghabiskan masa bulan madu pun turut diterjunkan ke medan tempur. Sebagai seorang prajurit, Prabowo selalu siap saat ditugaskan mengabdi pada negara. Namun tidak dengan Titiek meski akhirnya harus pasrah dengan keadaan.

    Saat Prabowo angkat tas, tinggalkan istri yang baru saja ia nikahi untuk bertempur, Titiek menangis, tak menyangka ayahnya begitu tega melepas menantunya mengadu nyawa di medan pertempuran yang penuh hujan peluru yang kapan-kapan saja siap mengenai tubuhnya. Kenapa bukan yang lain saja? Itu yang ada di benak Titiek.

    Seorang prajurit ABRI siapapun dia harus siap membela negara, siap hidup di alam liar, siap mengadu jiwa, dan siap pulang hanya tinggal nama, demikian pesan yang sering didengar Titiek dari ayah kandungnya. Titiek sangat mengerti hal itu. Namun air mata tetap mengalir, meski tak dapat mengubah keputusan ayahnya, dan tak dapat mengubah tekad baja Prabowo, dan tak dapat mengubah apapun.

    Beratus malam putri Soeharto tidur dalam kesendirian dan selalu dihantui perasaan penuh khawatir yang mendalam. Meski berada dikamar indah putri seorang raja namun batinnya tak pernah terasa nyaman, karena bulir-bulir air mata Titiek kembali meleleh dan membasahi bantal dan guling. Malam-malamnya ia lalui di atas pembaringan yang empuk, gizi makanan yang terjamin, pakaian yang elok, sementara yang ada di pikirannya adalah, apa yang sedang terjadi pada suaminya di luar sana? Apakah ia terluka? Ataukah baik-baik saja ? Apakah masih hidup ? atau sudah … ?
    Tak ada makanan yg terasa enak dilidah, tak ada pemandangan yg terlihat indah dimata, tak ada hiburan yang membuat senang hati, yang ada dipikirannya saat itu hanyalah Prabowo, suaminya
    Di tengah malam pekat gulita Titiek sulit memejamkan mata, pikirannya melayang jauh entah kemana.

    Sementara ditempat yg jauh Prabowo bergulat dengan dinginnya cuaca malam, perihnya perut karena lapar, dengan kondisinya letih dan sangat lelah harus tidur di atas rerumputan dan bahkan tanah lumpur alam terbuka.
    Tak ada yang bisa dilakukan Titiek kala itu selain hanya merintih didalam doa dan memasrahkan suaminya kepada Allah SWT..

    Sebagai seorang wanita, Titiek merasa ia telah diperlakukan tidak adil oleh ayahnya. Lebih dari itu, Titiek bahkan merasa ia sedang tidak dipelakukan adil oleh negaranya. Kenapa rumah tangganya yang harus dikorbankan untuk bangsa?  Kenapa kebahagiaannya yang harus digadaikan untuk negara?

    Tidak bisakah seorang Soeharto menukar Prabowo dengan prajurit lain, atau setidaknya memerintahkan suaminya pulang ke rumah barang sejenak ?

    “Titek rindu…, Titiek kangen suami…Bapak…,” tangis Titiek di depan Soeharto kala itu. Namun ayahnya, dari dulu, selalu hanya bisa menjawab, “Sabar nduk…, sabar…,”

    Ketidakadilan dirasa Titiek tidak hanya sampai disitu, hatinya sedih dan berkecamuk, ingin rasanya menjerit dan berteriak sekeras-kerasnya.
    Sebagai seorang wanita, ujian yang dialaminya saat itu begitu berat, apalagi saat itu ia mulai hamil dan mengidam.
    Ia ingin bercerita tetapi tak tahu harus bercerita kepada siapa ?

    Kemana suaminya saat ia ingin bermanja? Kemana suaminya saat dirinya tergolek sakit? Kemana suaminya saat ia mulai merasakan kehamilan? Dimana suaminya saat ia mengidam? Dimana Prabowo saat perutnya kerap mengalami kontraksi?
    Dimana putra Soemitro itu kala dirinya mulai memasuki masa melahirkan?
    Dan dimana pria yang selalu mengaku cinta kepadanya itu saat ia harus merawat dan mengasuh putranya sendirian?

    Tanyakan pada Didit kecil yang selalu menunggu ayahnya pulang di depan pintu.

    Tanyakan pada Titiek seperti apa rasa deg-degan hati ketika suaminya selalu berada di garis depan pada setiap pertempuran.

    Tanyakan juga pada Titiek seberapa tegar dirinya saat mendengar suaminya sempat berhari-hari hilang di tengah pertempuran, dan saat Prabowo ditemukan dalam kondisi pingsan dengan tubuh dipenuhi semut dan ulat.
    Prabowo selamat setelah nyaris saja tewas.

    Titiek sulit menjalani kehidupan normal seperti saudari-saudarinya yang lain.
    Ibu Tien Soeharto yang telah dulu pernah mengalami seperti apa yang dialami putrinya mencoba menghiburnya seraya mengajarkan, bahwa cinta tak selamanya harus di sisi. Cinta tak selamanya selalu mendampingi. Cinta adalah mengabdi pada negeri. Bahwa cinta adalah pengabdian, dan cinta adalah pengorbanan meski harus beresiko tinggi dan menyakitkan hati.

    Titiek mencoba untuk belajar dari ibu kandungnya itu tentang apa yang disebut dengan kalimat ‘mengabdi pada ibu pertiwi’. Kisah keluarga yang tak memperoleh kasih sayang sempurna dari seorang suami dan ayah, hanya karena membela ideologi bangsa.

    Kisah suami dan ayah yang lebih memilih tidur di hutan, makan rerumputan dan dedaunan, meminum air mentah, dan lebih memilih tertembak mati di medan tempur dari pada sekedar membelai rambut anak dan istrinya dengan kasih dan cinta.

    Saat meledak peristiwa Mei 1998, Letjen (Purn) Prabowo Subianto tiba-tiba dipersalahkan atas kasus yang tidak pernah ia lakukan. Prabowo Subianto dituduh melakukan serangkaian pelanggaran HAM.

    Pada kondisi dilema keluarga cendana menuduh dia adalah pengkhianat keluarga cendana, dia harus diusir dan harus ceraikan mbak titiek.

    Sebagai wanita tak ada yang bisa dilakukan Titiek pada masa itu selain kembali harus menumpahkan air mata. Putri Soeharto ini tak berhenti menangis.
    Suami yang sangat dicinta saat itu tengah berada dalam kondisi terfitnah. Dan ironisnya, keluarga besarnya tidak berpihak pada suaminya.

    Posisi Prabowo saat itu sangat tidak menguntungkan. Prabowo bersama sejumlah petinggi militer lain yang telah mati-matian mempertahankan stabilitas keamanan entah bagaimana ceritanya, justru menjadi difitnah akan menggulingkan kekuasaan Soeharto.

    Alasannya, karena Prabowo dekat dengan sejumlah tokoh reformis macam Amin Rais.

    Sementara Titiek tak dapat berbuat banyak. Ia berada dalam kungkungan sebuah keluarga militerisme yang notabene hanya tunduk pada satu perintah. Dan si pemilik perintah adalah ayahnya. Tak pernah terbayang seumur hidupnya, perjalanan rumah tangganya akan berakhir tragis sedemikian rupa. Putranya, Didiet jelas akan sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada ayahnya.

    Dan apa yang ditakuti Titiek menjadi kenyataan. Pada tanggal 20 Mei 1998, Prabowo diusir dari Cendana….
    Sandiwara tragis sedang berlaku di negeri ini.

    Prabowo, di mata rekan militer, ia banyak didengki perwira tinggi karena miliki segudang keajaiban prestasi dan beraliran putih. Di mata Soeharto yang tak lain adalah mertuanya ia dituduh pengkhianat karena pro rakyat. Sementara di mata rakyat Prabowo diklaim sebagai kaki tangan Soeharto. Sedangkan ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri.

    Prabowo kala itu benar-benar berada dalam kondisi terjepit.

    Setelah apa yang ia lakukan selama ini untuk negeri, bangsa dan tanah air. Setelah apa yang ia perbuat selama hidupnya untuk militer, dan setelah apa yang ia korbankan untuk rakyat, kini ia malah dikeroyok beramai-ramai.
    Yang tak dapat dipercaya adalah bagaimana sejumlah perwira tinggi dengan tega hati menyebarkan isu kepada masyarakat bahwa dirinya adalah penanggung jawab dari seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang Mei 1998.

    Sungguh, itu adalah pembunuhan karakter yang sangat keji! Tak hanya sampai disitu, dan ini menjadi bukti kejahatan fitnah. Prabowo pun ditamatkan karirnya pada 25 Mei 1998.
    Prabowo yang selama ini sudah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk bangsa Indonesia, tiba2 harus mengalami ujian yang sangat-sangat pahit.

    Dicopot dari seragam militer yg selama ini menjadi kebanggaannya, dipisahkan dari anak dan istrinya yg selama ini sangat disayanginya, dan dipojokkan oleh bangsanya yg selama ini sudah dibelanya. Posisinya kala itu benar2 hancur.

    Sebagai seorang istri, Titiek Soeharto tau saat itu suaminya hanya sebagai korban fitnah, tapi tak bisa berbuat banyak…. lagi2 hanya air mata yg menjadi luapan perasaannya kala itu.

    Dengan keikhlasan dibawah tekanan keluarga militer mbak titiek tidak punya pilihan selain harus pasrah dengan keadaan, harus rela melepas laki2 yg selama ini sangat dicintainya.

    Kabar duka itu terdengar oleh seorang sahabat Prabowo yang berada jauh dinegeri padang pasir sana, putra mahkota Yordania, Pangeran Abdullah. Ia mengajak Prabowo tinggal di negaranya. Bagi Pangeran Abdullah, A friend in need is a friend indeed, teman sejati ketika kesulitan tidak ada pilihan lain bagi Prabowo selain harus menerima tawaran temannya itu, karena negara ini seperti sudah tidak menginginkannya lagi.

    Dengan langkah berat pada bulan september 1998 ia terbang ke Amman, Yordania.

    Di Yordania Prabowo diperlakukan sangat spesial, karena temannya Pangeran Abdullah merupakan Putra Mahkota dari Raja Yordania. Namun Prabowo menolak untuk dispesialkan, ia memilih diperlakukan biasa saja, hidup sederhana dan bepergian dengan taksi.

    Di negara ini Prabowo mulai membangun lagi dirinya yang sudah jatuh ke titik terdalam. Hal-hal berat yg telah menimpanya perlahan ia lupakan.
    Prabowo di Amman belajar bisnis, belajar bahasa Arab, dan dihargai oleh pangeran-pangeran Arab.

    Pangeran Abdullah begitu senang terhadap Prabowo, sehingga Prabowo mendapat tawaran status kewarganegaraan. Tak  hanya itu Prabowo juga ditawarkan jabatan menjadi penasihat militer Yordania. Akan tetapi tawaran itu ditolak oleh Prabowo.

    Prabowo menyatakan bahwa dia adalah Warga Negara Indonesia dan tidak akan pernah berubah Prabowo juga membangun bisnis bersama adiknya yang telah lama menggeluti dunia bisnis, Hashim Djojohadikusumo.

    Berkali-kali Prabowo ingin kembali ke Indonesia namun beberapa temannya melarang karena rentetan fitnah masih berseliweran. Semua diarahkan ke Prabowo.

    Perlahan tapi pasti, Prabowo yang sudah jatuh ketingkat terbawah perlahan bangkit, bangkit dan bangkit, dan kembali ke tanah air yang sangat dicintainya.

    Walau pernah terjatuh, Prabowo terus bangkit utk terus berjuang bagi bangsanya. Walau pernah difitnah, disingkirkan, disudutkan tetapi semangat patriot bagi bangsanya tak pernah pudar.

    Seakan melupakan penderitaan yg telah dialaminya, ia terus berjuang untuk bangsanya, ia tidak pernah dendam, marah dan sakit hati terhadap pihak-pihak yang selama ini memusuhinya.
    Secara pribadi Prabowo sdh kaya raya, punya usaha dimana-mana, punya sahabat dan teman para raja, capek-capek mau jadi Presiden Indonesia?

    Bayangkan usaha Prabowo untuk jadi  Presiden dia terpaksa berhadapan dengan semua musuhnya yang bersatu melawan dia. Tidak peduli. Maju terus.

    Walaupun seribu kali dihadang, difitnah, dihina, dibully, ga peduli, maju terus.

    Ketika ditanya kenapa Prabowo ngotot jadi Presiden ? Jawabnya tegas.

    Mau Wujudkan Indonesia Raya. Otak & hatinya panas melihat RI tersia-siakan.

    Konteks “Mewujudkan Indonesia Raya” itu benar-benar menakutkan bagi musuh-musuh negara.
    Karena semua orang tau karakter Prabowo itu keras, satu kata dan perbuatan, konsekwen, tekad baja, tidak bisa disetir, jiwa patriotnya untuk NKRI total.

    Kini ia kembali maju menjadi calon Presiden. Orang-orang kembali bertanya, jika Prabowo jadi presiden siapa ibu negaranya ?
    Secara tegas jawabannya : TITIEK SOEHARTO !!!!

    Tanda-tanda cinta sejati Prabowo dan Titiek itu nyata…

    Dari mata Titiek Soeharto cinta untuk Pak Prabowo itu masih ada, begitu pula dimata Pak Prabowo.. hal itu sesuatu yang tak bisa dibohongi, cinta sejati mereka tak pernah terpisah karena jarak, tak pernah berubah karena waktu, dan tak akan hilang hanya karena ujian…

    Mbak Titiek adalah Cinta pertama, cinta terakhir, sekaligus cinta sejati Prabowo.
    Prabowo tidak pernah dekat dengan perempuan manapun sejak pisah, begitu Pula Titiek, Cinta Mereka Abadi.

  • Menangkan Ghazwul Fikr di Layar Bioskop

    Menangkan Ghazwul Fikr di Layar Bioskop

    Oleh : Neno Warisman

    Kita semua tahu dengan apa yang namanya Ghazwul Fikr. Perang Pemikiran. Perang ideologi. Perang intelektualitas. Di masa modern serba instan, perang ideologi begitu masif didengungkan lewat social media, buku, sampai film. Siapakah yang ditarget oleh perang pemikiran? Merekalah para generasi muda Islam yang suka nongkrong di kafe, di bioskop, di tempat-tempat yang menawarkan hiburan, jauh dari masjid, majlis ta’lim atau forum kajian dakwah.

    Di bidang inilah, kita sering ketinggalan jauh, dan anak-anak kita bagaikan berjalan di dalam rimba hutan belantara. Padahal mereka adalah anak muda yang bisa berjam-jam menghabiskan kuota untuk dicuci otaknya oleh para penyedia konten liberal, sekuler, komunis, dan pegiat LGBT.

    Sayangnya, dakwah di bidang perfilman memang tak bisa semudah yang dibayangkan, mengingat pemain di industri perfilman masih didominasi kelompok sekuler liberal yang hanya punya prinsip: follow the money.

    Untungnya kita punya duo sineas muda, couple writer yang mengingatkan kita lagi pentingnya memenangkan Ghazwul Fikr di layar bioskop. Mereka adalah Hanum Rais dan suaminya, Rangga yang karyanya dalam dunia dakwah media modern sudah tidak diragukan lagi (99 Cahaya di Langit Eropa, Bulan Terbelah di Langit Amerika). Dan baru saja mereka merilis film terbaru berjudul Hanum Rangga yang merupakan adaptasi dari novel Faith and The City.

    Saya berkesempatan menyaksikan filmnya tadi malam dan merasa tersentil karena mungkin kita terlalu terlena menggelar dakwah di forum2 ta’lim, lingkaran masjid dan lupa untuk merangkul generasi muda melalui media modern.

    Di akhir 2018 ini, film keluarga Hanum & Rangga menjadi taruhan, apakah kita masih peduli untuk memenangkan Ghawzul Fikr melalui layar bioskop. Karena pada Kamis, 8 November film Hanum Rangga akan tayang serentak bersamaan dengan film lain berjudul A Man Called Ahok yang dibuat untuk mengangkat kembali pamor Ahok yang sudah terpuruk di dunia politik.

    Dan sepertinya ada upaya juga untuk “meluruskan sejarah” bahwa negeri ini telah zalim telah memenjarakan Ahok. Caranya? Dengan memberikan ribuan tiket gratis nonton film Ahok pada grup-grup pengajian hingga PKK agar menonton film tersebut sehingga mereka dapat membangun mainset tentang Ahok.

    Ahok akan digambarkan (framing) sosok sempurna. Tak memiliki cacat, meski kita tahu dalam real life ia memiliki “cacat keluarga” Dalam film Ahok, pembuat film menyembunyikan seluruh kekurangan Ahok. Termasuk pernikahannya yang berantakan demi mengejar ambisi kekuasaan atau perselingkuhannya, maupun perilaku (atitude).

    Film Hanum Rangga justru sebaliknya, mengisahkan tentang pentingnya menjaga keutuhan keluarga ditengah godaan impian dunia. Serta indahnya pacaran hanya dengan pasangan yang halal setelah menikah.

    Jika Ahok dikenal sebagai tokoh penista agama, sebaliknya film Hanum dan Rangga justru mengisahkan perjuangan pasangan anak muda yang membela agamanya. Saya tersentuh dengan karakter Hanum yang sangat gigih dalam memperjuangkan citra Islam di Kota New York yang sempat terpuruk pasca tragedi 9/11

    Sudah saatnya kita juga bergerak ke bioskop, mulai 8 November nanti untuk meramaikan menonton film Hanum & Rangga bukan hanya untuk memenangkan Ghazwul Fikr di layar bioskop tapi juga membangkit ghirah Islam pada anak muda melalui media modern yang berkualitas. **

  • Laptop Jadul

    Laptop Jadul

     

    Oleh : Wirahadikusuma

    “Ini laptop jadul ya bang?” tanya adik tingkat saya di kampus ketika berkunjung ke rumah saya pekan lalu.

    Ya, saat itu, dia berkunjung ketika saya sedang mengerjakan sesuatu dengan laptop ini.

    Saya membenarkan jika laptop tersebut sudah 10 tahun bersama saya. Namun, saya tegaskan kepadanya, kendati jadul, laptop ini bersejarah bagi saya.

    Laptop ini saya beli dengan hasil keringat sendiri ketika baru beberapa bulan menjadi wartawan SKH Radar Lampung. Seingat saya di akhir tahun 2008 saya membelinya.

    Saya ceritakan kepadanya, saya membeli laptop ini karena ada rasa “iri” kala itu lantaran di pertengahan tahun 2008 saya tidak mendapatkan pembagian jatah laptop dari kantor.

    Sebenarnya bukan saya saja yang tidak dapat jatah laptop kala itu, ada beberapa wartawan juga tidak mendapatkan bagian. Saat itu yang dibagikan laptop hanya tujuh wartawan. Lima wartawan yang memback-up pasangan bakal calon kepala daerah dan satu wartawan yang pos liputannya di pemkot dan pemprov.

    Kala itu, manajemen kantor menyatakan bakal ada pembagian laptop kembali kepada wartawan yang belum kebagian untuk tahun berikutnya. Tetapi jumlah laptopnya belum diketahui.

    Saya berpikir saat itu, meski ada pembagian laptop “kloter’ kedua, kemungkinan besar saya tidak akan kebagian juga. Sebab, saya adalah wartawan SKH Radar Lampung paling junior di tahun 2008.

    Kala itu saya realistis saja, sebagai wartawan paling junior yang baru beberapa bulan bergabung, pasti tidak akan menjadi prioritas dalam pembagian fasilitas dari kantor.

    Akhirnya, saya lantas memutuskan untuk membeli laptop sendiri di akhir tahun 2008. Tetapi karena tidak punya uang, saya memberanikan diri membeli laptop secara kredit.

    Angsurannya sebesar Rp700 ribu per bulan selama sepuluh bulan. Pembayarannya saya pilih setiap tanggal 15. Saya memilih tanggal tersebut, karena setiap tanggal 15 saya mendapatkan uang tunjangan prestasi (TP) dari kantor.

    Ya, jurnalis SKH Radar Lampung memang mendapatkan cash money dari kantor dua kali dalam sebulan. Pertama setiap tanggal 27, yakni berupa gaji pokok, tunjangan-tunjangan, uang transportasi, dan uang makan. Kemudian setiap tanggal 15, berupa uang TP.

    Uang TP besarannya dihitung dari jumlah laporan berita yang diterbitkan di koran. Ada rumus dalam menghitungnya. Jika laporan jurnalis tersebut headline, point-nya besar. Jika laporan beritanya hanya menjadi kirian koran, point-nya kecil. Jika tidak terbit, ya tidak dihitung. Kemudian, jika menulis features, nilai point-nya setara headline.

    Penentuan berita headline, second headline, atau kirian, pastinya dilihat dari news value dari laporan masing-masing wartawan.

    Nah, kala itu agar bisa mendapatkan uang TP yang besar, saya bersemangat mencari berita sebanyak-banyaknya dan sebagus-bagusnya. Sebab, dengan begitu, peluang untuk laporan saya terbit di koran juga besar.

    Saat itu saya menargetkan kepada diri saya minimal dalam sehari harus membawa pulang lima berita ke kantor. Dan lima berita itu harus memiliki news value yang tinggi. Kebetulan kala itu pos liputan saya cukup banyak yakni Polsek se-Bandarlampung ditambah Tanjungbintang dan Gedongtataan serta Padangcermin. Kemudian rumah sakit se-Bandarlampung, Polresta Bandarlampung, dan Polda Lampung.

    Di akhir tahun 2008 hingga 2009 itu produktivitas berita saya cukup banyak, bahkan beberapa kali halaman satu Radar Lampung didominasi berita saya.

    Alhasil, kala itu rata-rata saya bisa mendapatkan TP Rp1,8 juta, bahkan pernah beberapa kali diatas Rp2 juta.

    Dari uang TP itulah saya bisa membayar kredit laptop tersebut. Meskipun saat pembagian laptop “kloter” kedua, saya ternyata juga mendapatkan jatah dari kantor.

  • Jembatan Timbang “Punya” Kemenhub: Seberapa Greget Tak Ada Pungli?

    Jembatan Timbang “Punya” Kemenhub: Seberapa Greget Tak Ada Pungli?

    Oleh: Ahmad Saleh David Faranto.

    (Asisten Ombudsman R.I. Perwakilan Provinsi Lampung)

    Diantara tahun 2015-an, mobil angkutan barang dengan sumbu tertentu yang melintasi jalan nasional dari pintu gerbang Sumatera, tepatnya mulai dari pelabuhan Bakauheni Lampung Selatan hingga menuju ke Sumatera Selatan atau Bengkulu bisa diprediksi menyambangi jembatan timbang. Jembatan timbang dimaksud tersebar di tiga Kabupaten di Lampung, dua di Kabupaten Lampung Selatan, satu di Kabupaten Way Kanan, dan satu di Kabupaten Mesuji.

    Jumlah keseluruhannya ada empat jembatan timbang yang beroperasi di ruas jalan nasional. Beroperasinya jembatan timbang kala itu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung Cq.

    Dinas Perhubungan Provinsi Lampung (Dishub) melalui Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UUPKB) di masing masing lokasi jembatan timbang. UPPKB Penengahan dan Way Urang di Kabupaten Lampung Selatan, UPPKB Simpang Pematang di Kabupaten Mesuji, dan UPPKB Blambangan Umpu di Kabupaten Way Kanan.

    Berbekal Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengawasan dan Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang (Perda 5/2011), para petugas UPTD pada waktu itu melenggang menarik pungutan atas nama retribusi Pengawasan dan Pengendalian kepada setiap angkutan yang masuk jembatan timbang.

    Temuan Ombudsman Penarikan retribusi tersebut menurut cerita yang berkembang sudah sesuai dengan aturan. Hal ini seperti dikatakan juga oleh Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Lampung saat itu, Idrus Efendi, menanggapi publikasi temuan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung, tanggal 19 April 2016. Dimana, dalam publikasi tersebut Ombudsman memaparkan temuan atas dugaan pungutan liar (pungli) dalam penyelenggaraan Pengawasan dan Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang oleh pihak dinas tersebut.

    Temuan meliputi pada tiga hal. Pertama, dokumen menyangkut peraturan yang menjadi dasar beroperasinya jembatan timbang dan penarikan retribusi atas nama pengawasan dan pengendalian. Kedua, fakta di lapangan menyangkut pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kelebihan muatan angkutan barang, seperti tempat pelaksanaan, praktek dan produk yang dikeluarkan. Ketiga, hasil pemeriksaan kepada pejabat dan pelaksanaan yang melakukan.

    Dari hasil temuan menunjukan, antaralain pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kelebihan muatan angkutan barang melalui penerapan jembatan timbang oleh Dinas Perhubungan Provinsi Lampung dilakukan di ruas jalan nasional. Padahal, Pemerintah Daerah dilarang melakukan pengoperasian dan perawatan alat penimbang secara tetap di ruas jalan nasional sebelum memperoleh penetapan dari Menteri Perhubungan. Dasarnya merujuk pada UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peratuan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Sementara mereka hanya mengikuti Perda 5/2011.

    Wajar saja jika Pemerintah Provinsi Lampung tidak mempunyai penetapan dari Menteri. Sebab, pihak pemerintah daerah setelah berlakunya UU 23/2014, justru diminta menyerahkan aset jembatan timbang yang ada di ruas jalan nasional kepada pemerintah pusat atau Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Artinya, setelah keluarnya UU 23/2014, pendataan dan penataan aset jembatan timbang yang ada di ruas jalan nasional harus dilakukan oleh Kemenhub guna persiapan untuk melaksanakan perintah undang-undang tersebut dan peraturan perundang-undangan di sektor lainnya.

    Selama kurun waktu beroperasinya jembatan timbang pada tahun 2015, Ombudsman juga mencatat kalau pihak Dinas Perhubungan Provinsi Lampung telah memungut yang disebut sebagai retribusi dari pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kelebihan muatan angkutan barang senilai kurang lebih Rp. 6,6 miliar. Sementara, dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bagi awak angkutan yang membawa barang berlebih atau menyalahi ketentuan dapat dilakukan penegakan hukum.

    Dengan kata lain, para pelanggar itu tidak dibebani yang namanya retribusi tetapi dapat dikenakan sanksi. Baik sanksi berupa denda atau sanksi berupa kurungan dari pengadilan.

    Beroperasinya jembatan timbang yang katanya sudah sesuai aturan dan enggan ditutup itu berakhir dengan dibatalkannya Perda 5/2011 oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Begitu juga dengan jembatan timbangnya turut ditutup dan dikembalikan kepada Menteri Perhubungan selaku pihak yang punya kewenangan.

    Jembatan Timbang “Punya” Kemenhub Kurang lebih tiga minggu yang lalu, sekitar tanggal 20 Oktober 2018, untuk pertama kalinya diumumkan ke publik bahwa pihak Kementerian Perhubungan melalui Direktur Jenderal Perhubungan Darat (Dirjenhubdar) secara resmi kembali mengoperasikan jembatan timbang di Provinsi Lampung. Pengoperasian ini bisa jadi juga ada di daerah lain di Indonesia.

    Berkaca dari pengalaman di atas terhadap beroperasinya jembatan timbang bagi kendaraan muatan barang dengan sumbu tertentu, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Terutama, penyelenggaraan yang dilakukan adalah bentuk pelayanan kepada publik di sektor perhubungan. Baik karena tugas atau misi dari Negara.

    Perhatian itu menyangkut jembatan timbang yang baru beroperasi, khususnya di Way Urang Lampung Selatan harus bersih dari pungli dan ramah pelayanan. Mengutip rilis yang dimuat olehokezone.com. 20/10/18, saat peresmian UPPKB Way Urang Lampung Selatan, Dirjenhubdar Budi Setiyadi mewakili Menteri Perhubungan, mengatakan jika jembatan timbang yang baru ini banyak filosofi, antara lain pertama, terang, banyak lampu dipasang diarea jembatan timbang. Kedua, akuntabel dan keterbukaan tercermin dari bangunan yang modern dan minimalis serta banyak kaca. Sehingga orang dari luar bisa melihat apa yang dilakukan oleh personel di dalam.

    Jika memperhatikan dua hal ini saja lantas kita berharap pelayanan penyelenggaraan jembatan timbang tersebut akan bersih dari pungli dan ramah pelayanan rasanya jauh sekali. Walaupun Dirjenhubdar mengatakan juga kalau ditempat jembatan timbang tersebut bukan untuk mencari
    uang tetapi untuk melakukan pengawasan.

    Upaya yang sudah dilakukan itu tentu kita hargai. Cuma perlu diingat bermodalkan fasilitas dan pernyataan saja tidak cukup.

    UPPKB Way Urang Lampung Selatan punya kewajiban untuk menyusun, menetapkan dan melaksanakan dengan patut standar pelayanan yang mudah diketahui atau dibaca di lingkungan pelayanan. Kewajiban ini sudah bukan barang baru, pihak Kemenhub sampai UPPKB bisa lihat dan baca Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

    Perhatian yang lain, adalah pengawasan angkutan muatan lebih tidak berujung dengan sanksi atau denda oleh UPPKB. Sanksi atau denda dapat diterapkan melalui putusan pengadilan, tapi ini bukan solusi karena dibangunnya gudang untuk menjawab sanksi tersebut. Sehingga, awak angkutan cukup dikenakan tarif penyimpanan muatan lebih dan diberikan pembinaan.

    Terakhir, semua tentu berharap praktek dari beroperasinya jembatan timbang di masa lalu seperti adanya pungli tidak terjadi lagi di jembatan timbang “punya” kemenhub dimana saja berada, termasuk di Way Urang Lampung Selatan.

    Pihak kemenhub melalui Dirjenhubdar boleh saja mengatakan dalam rilisnya praktek pengawasan dengan jembatan timbang yang kini dilakukan, diyakini tidak ada pungli, tapi pada prakteknya kita belum tahu apakah benar tidak ada, atau seberapa greget tak ada pungli? Dari pada kita penasaran yuk kita buktikan. ***

  • Skenario Besar Dibalik OTT Detik.com

    Skenario Besar Dibalik OTT Detik.com

    Oleh : Hersubeno Arief

    Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memprotes “Operasi Tangkap Tangan” (OTT) wartawan detik.com yang kedapatan asyik memotret sampah, pada Aksi Bela Tauhid (ABT) Jumat (2/11).

    AJI menyebutnya sebagai intimidasi, menghalangi kebebasan media melakukan peliputan. Tindakan semacam itu bisa dipidanakan.

    Sebaliknya Direktur Pemberitaan detik.com Achmad Ridwan Dalimunte mengakui wartawannya menyalahi standar operasi peliputan (SOP). “Yang bersangkutan wartawan baru,” kilahnya. Dia ditugaskan meliput Aksi Bela Tauhid. Tentu saja bukan untuk meliput sampah yang berserakan.

    Dalam sebuah negara demokrasi, kita tentu sepakat bahwa media harus dijamin kebebasan dalam melakukan peliputan. Media adalah pilar ke-empat demokrasi. Namun kebebasan seperti apa yang harus dijamin?

    Benarkah media di Indonesia saat ini benar-benar bebas, dalam meliput? Lebih jauh lagi dalam situasi post truth, dimana fakta tidak lagi relevan, banyak mewarnai pemberitaan media kita, benarkah media telah dan dapat tetap menjunjung tinggi kebebasannya?

    Mari kita telisik faktanya. Ketika ratusan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) menggelar unjukrasa, Ahad (28/10) nyaris tak ada media mainstream yang memberitakannya. Silakan googling, hanya ada beberapa media yang meliput beritanya. Sebagian besar bukan media arus utama.

    Berita itu hanya heboh di medsos. Mengapa? Karena aksi itu dilakukan untuk mengevaluasi empat tahun pemerintahan Jokowi yang dinilai gagal.
    Kisah serupa nyaris terulang ketika ribuan guru honorer kriteria II (K2) melakukan unjukrasa di Istana Presiden. Mesin pencari percakapan drone emprit mencatat hanya dua media yang memberitakan aksi tersebut pada hari pertama, Rabu (31/10). Yakni Radio Elshinta, dan Radio Sonora.

    Pada hari kedua, Kamis (1/11) mulai ada sejumlah media yang meliput dan menurunkan aksi para pahlawan tanpa tanda jasa itu. Barulah pada hari ketiga, Jumat (2/11) aksi ini mendapat liputan yang cukup lumayan.

    Apakah kasus itu tidak layak berita? Dari unsur apapun, aksi ribuan guru honorer yang berdatangan dari seluruh Indonesia itu memenuhi semua unsur kelayakan berita.

    Ada drama, dan tragedi, luasnya pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), aktual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest) dan keluarbiasaan (unusualness). Yang luput hanya faktor ketokohan (figure), karena mereka adalah orang-orang biasa. Manusia yang terpinggirkan. Secara konten, maupun visual sangat layak. Jadi sangat layak tayang di media cetak, online, dan televisi.

    Berita aksi para guru honorer itu kalah jauh dengan kunjungan Presiden ke sebuah pasar di Bogor untuk mengecek harga tempe. Foto Jokowi yang menggenggam tempe “sebesar batako” heboh di media massa. Drone Emprit menyebut peristiwa ini sebagai The Game of Tempe sebagai plesetan dari judul film The Game of Throne yang pernah dikutip dalam pidato Jokowi.

    Mengapa kedua berita itu tidak diberitakan, atau kalau diberitakan, hanya dengan porsi yang sangat kecil? Jawabannya cukup jelas. Memberi dampak buruk terhadap citra pemerintah. Dalam masa kampanye dan jelang Pilpres 2019 bisa berdampak terhadap elektabilitas inkumben. Karena itu harus dilakukan black out, tidak diberitakan. Sehingga tidak tersebar secara luas.

    Sebaliknya untuk berita yang merugikan oposisi, harus disiarkan secara besar-besaran. Kalau perlu dilakukan framing, membingkai berita sehingga sesuai target politik yang diinginkan. Contoh terbaru adalah berita “Prabowo geram” karena emak-emak ribut di Ponorogo, dan guyonan Prabowo soal “tampang Boyolali.” Berita itu digoreng habis di media massa, dan tentu saja medsos.

    Apakah kedua berita itu jauh lebih penting dibandingkan dengan unjukrasa BEM-SI dan unjukrasa ribuan guru honorer? Dalam konteks inilah bisa dipahami ketika para peserta ABT jadi parno.  Heran kok ada wartawan malah sibuk memotret sampah, bukan meliput orasi. Mereka pasti tidak bisa melupakan  begitu saja, bagaimana sebuah stasiun tv berita, fokus menyoroti  sampah, sementara jutaan umat Islam  berunjukrasa dalam Aksi Bela Islam (ABI) 411, dan 212. Selamat datang di era post truth.

    Empat skenario
    Jurus black out dan framing, saat ini telah menjadi andalan dari inkumben. Dua jurus itu merupakan bagian dari agenda setting yang jauh-jauh hari sangat disadari oleh inkumben. Mereka sangat paham arti penting jargon “siapa yang mengendalikan media massa, maka dia juga mengendalikan pikiran publik.” Karena itu dibuat skenario besar penguasaan media.

    Ada empat strategi yang dilakukan inkumben untuk mewujudkan skenario besar itu.

    Pertama, penguasaan media melalui cara merangkul para pemilik media. Dalam hal ini yang sangat terlihat adalah kelompok Media Group, (Metro TV dan Media Indonesia) karena pemiliknya Surya Paloh adalah pendukung inkumben. Erick Thohir pemilik Mahaka Media (Republika, Jak TV, dan sejumlah radio) diangkat menjadi Ketua Tim Sukses.

    Kedua bila tidak bisa dirangkul, maka pemilik media harus ditekan melalui politik sandera. Pola ini terlihat pada pemilik MNC Group Harry Tanoe, dan TV One yang dimiliki keluarga Bakrie.
    Tom Power seorang peneliti dari Australian University (ANU) dalam sebuah artikelnya berjudul “Jokowi’s Authoritarian Turn” menulis Harry Tanoe disandera secara hukum, sehingga tidak ada pilihan lain baginya kecuali bergabung dalam kubu pemerintah.
    Sementara tekanan terhadap TV One sangat terlihat dari beberapa kali tidak tayangnya program talk show populer ILC yang dipandu Karni Ilyas.

    Ketiga melalui media buying. Strategi ini sangat mengandalkan kekuatan dana. Sebagai inkumben Jokowi mempunyai akses pendanaan yang sangat kuat yang bisa dijadikan posisi tawar dengan media. Salah satunya adalah anggaran belanja promosi departemen.

    Berdasarkan catatan lembaga riset pemasaran Nielsen pada kwartal ketiga tahun 2018 belanja iklan pemerintah dan politik di televisi, menduduki peringkat teratas sebesar Rp 2.9 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi dari layanan online Rp 2.4 triliun, dan iklan perawatan rambut Rp 2.1 triliun.

    Jangan terlalu percaya dengan firewall theory. Sebuah teori ideal yang mengharuskan ada pembatas berupa “tembok api,” antara kepentingan bisnis dan idealisme jurnalistik. Realitasnya hari ini pemasang iklan terbesar bisa mendikte redaksi sebuah media. Mereka bisa menentukan berita apa yang harus tayang, dan berita apa yang tidak boleh tayang.

    Keempat melalui penggalangan wartawan di lapangan. Di kalangan wartawan baik cetak, online, dan televisi dikenal sebuah istilah Korlap (koordinator lapangan).

    Para korlap ini mempunyai pengaruh besar di kalangan wartawan peliput di lapangan. Tengan-tangan mereka bisa menjulur jauh sampai ke para redaktur/editor di meja redaksi. Mereka biasanya menjadi jembatan mempertemukan “kepentingan” para wartawan dan pemilik modal. Mereka juga bisa menentukan berita apa yang harus digoreng dan apa yang harus di-black out.

    Dengan memahami realitas semacam itu, tidak perlu heran bila ada berita besar yang tidak tayang. Namun sebaliknya ada berita yang tidak layak tayang, malah mendapat peliputan  besar-besaran secara tidak proporsional.

    Dalam situasi seperti ini ada baiknya kita merenungkan peringatan dari seorang penulis novel asal Selandia Baru, Lance Morcan “Manipulating the media is akin to poisoning a nation’s water supply – it affects all of our lives in unimaginable ways.”
    Memanipulasi media, sama dengan meracuni suplai air suatu negara. Itu akan mempengaruhi seluruh kehidupan kita dalam cara yang tidak pernah kita bayangkan. Waspadalah.

  • Pemerintah Jokowi telah Sukses Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Malaysia, Brunei dan Vietnam

    Pemerintah Jokowi telah Sukses Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Malaysia, Brunei dan Vietnam

    Oleh:

    Wajan Sudja (Alumni Teknik Kimia ITB Angkatan 1979 dan Ketua ABILINDO)

    Yang paling mahal ternyata bukan bisa kalajengking namun 5 buah Permen KP dan 1 PP yang merugikan negara kehilangan devisa sebesar US$ 10 milyard selama 5 tahun, membangkrutkan ribuan UMKM usaha budidaya ikan kerapu, menyebabkan sekitar 220.000 pembudidaya ikan kehilangan penghasilan, dan membuang-buang waktu jutaan rakyat Indonesia pemilih capres JkW-JK.

    Usaha Budidaya ikan kerapu mulai tumbuh di Indonesia pada tahun 2001 setelah perekayasa teknologi BRKP KKP berhasil mengembangkan teknik pemijahan ikan kerapu.

    Dengan modal awal sebesar Rp 2 milyar, tahun 2001 saat ekonomi Indonesia hancur akibat Krisis Moneter saya memulai usaha UMKM budidaya ikan kerapu di pelosok NTB, di Teluk Saleh, Sumbawa dengan 50 buah jaring ukuran 3x3x3 meter.

    Usaha ini setelah up and down terus berkembang hingga menjadi 400 jaring di tahun 2014.

    Sejak tahun 2005 kami mengekspor langsung ke grosir di Hong Kong tanpa melalui eksportir dalam negeri lagi.

    Usaha budidaya ikan kerapu yang menguntungkan UMKM, telah menciptakan lapangan kerja bagi 220 ribu kepala keluarga di desa-desa pesisir, mengentaskan kemiskinan dan menghasilkan devisa bagi negara.

    Usaha UMKM budidaya ikan kerapu dari tahun 2001 hingga 2014 mampu tumbuh sebesar 22% per tahun.

    Ekspor ikan kerapu hidup dari Aceh hingga Tual ini tumbuh terus dari nol ton di tahun 2000 hingga mencapai sekitar 6.500 ton di tahun 2014.

    Saya juga selalu mengurus sendiri semua ijin dan dokumen ekspor dan mengajarkan tata caranya ke seribuan anggota ABILINDO, Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia yang saya pimpin.

    Saya pelajari regulasinya dan kita perbaiki regulasinya bersama mentri Dr.Ir. Fadel Muhammad, agar tidak mempersulit eksportir dan buyer.

    Komunikasi saya dkk dengan eselon 1 hingga 4 di KKP juga sangat baik.

    Tiba-tiba tanpa ada kajian akademis, tanpa ada konsultasi dengan stakeholder, Susi mengeluarkan Permen KP no 32/2016 yang menghambat ekspor ikan kerapu hidup. Akibatnya 85% UMKM pembudidaya ikan kerapu Indonesia dibuat bangkrut.

    Seribu lebih UMKM tutup. Tenaga kerja sebanyak 220.000 kepala keluarga kehilangan penghasilan.

    Negara kehilangan devisa sebesar sekitar US$ 90 juta per tahun, setara Rp 1.26 Triliun.

    Pembudidayaan ikan kerapu dan ratusan ribu pembudidayanya yang 95% memilih capres JkW-JK sungguh heran, kenapa pendukung capres usahanya dimatikan.

    Selama 3.5 tahun lebih, saya bersama 34 Paguyuban Nelayan dan asosiasi berjuang untuk merevisi regulasi yang kontra produktif dan bertemu dengan Komisi 4 DPR RI, Komite 2 DPD RI, Menko MARITIM, KEIN, WANTIMPRES, Wapres hingga Presiden.

    Hasilnya keluar Instruksi Presiden no 7/2016 yang memerintahkan mentri KKP untuk merevisi aturan Perundangundangan yang menghambat pertumbuhan usaha penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengolahan ikan dan petambak garam.

    Namun Menteri KKP membangkang instruksi Presiden. Herannya Presiden tidak memecat mentri yang membangkang dan mematikan usaha rakyat kecil yang memilih capres JkW-JK.

    Surat dari nelayan dan pembudidaya ikan kerapu untuk bertemu Megawati pun tidak dihiraukan. Megawati ternyata bukan pelindung wong cilik sebagaimana dia kampanyekan. Dia juga bukan seorang pelindung kaum marhaen. Dia bukan penerus cita-cita ayahnya yang ingin memakmurkan kaum marhaen.

    Komisi 4 DPR RI dalam 13 kali RAPAT KERJA dengan Menteri KKP sudah mendesak Menteri KKP untuk merevisi aturan-aturan yang kontra produktif.

    Lagi-lagi Menteri KKP membangkang kesepakatan RAKER dengan Wakil Rakyat di Komisi 4 DPR RI.

    Konsekuensinya Komisi 4 DPR RI memotong 50% APBN KKP dari Rp 16 Triliun di tahun 2015 menjadi tinggal Rp 8 Triliun di 2018.

    Karena berbagai industri dihambat rekomendasi import garam industri oleh Menteri KKP, maka Presiden mengeluarkan PP No 9/2018 yang memindahkan kewenangan mengeluarkan Rekomendasi import garam dari KKP ke Kemendag dan Kemenperin.

    Para pembudidaya ikan kerapu heran, mengapa Presiden tidak membantu UMKM budidaya ikan kerapu yang EKSPORT oriented namun sigap sekali membantu korporasi industri yang butuh IMPORT garam.

    Heran kami kok IMPORT cepat sekali dibantu, sementara EKSPORT DIHAMBAT. Padahal local content budidaya kerapu sebesar 99% dan eksportnya menghasilkan devisa bagi negara.

    Siapa yang diuntungkan dari Permen KP no 32/2016? Vietnam, Brunei dan Malaysia yang telah berhasil mengambil alih pasar kerapu Indonesia.

    Dari tanggal 15 sampai dengan 17 Maret 2016, Bapak Wakil Presiden Drs. Jusuf Kall bersama belasan pelaku usaha perikanan sidak ke Ambon, Banda, Tual dan Bitung.

    Beliau mendapati ratusan kapal nelayan yang investasinya Triliunan Rupiah dibuat mangkrak oleh Permen KP no 56/2014, Permen KP no 57/2017 dan Permen KP no 02/2015.

    Anehnya sekitar 400 bh kapal import LEGAL tersebut telah lulus analisa dan evaluasi Satgas 115 KKP dan SEGERA dibolehkan diperpanjang ijinnya.

    Sekitar 300 bh melakukan pelanggaran ringan dan sekitar 400 bh ditemui telah melakukan pelanggaran berat.

    Anehnya lagi yang melakukan pelanggaran berat, umumnya kapal berbendera rangkap (double flagging), diberi karpet merah oleh KKP untuk pulang ke Thailand dan Cina dan TIDAK DIPROSES HUKUM, namun yang PATUH dan telah lulus analisa dan evaluasi Satgas 115 KKP tidak diperpanjang ijinnya tanpa ada alasan sama sekali. Ada apa dengan mentri KKP?

    Dimangkrakkannya sekitar 1.302 kapal ikan IMPORT LEGAL ini telah menyebabkan pasokan bahan baku ikan ke industri pengolahan dan pengalengan ikan anjlok.

    Kapal-kapal ikan yang berukuran antara 200 GT hingga 700 GT ini adalah tulang punggung armada penangkapan ikan Indonesia yang memasok bahan baku ke industri pengolahan dan pengalengan ikan Indonesia. Ukuran kapal ikan ini mini jika dibandingkan dengan ukuran kapal ikan di USA, UE, Jepang, Rusia, Australia dan Cina yang rata-rata berukuran 1.500 GT hingga 4.500 GT bahkan ada yang terbesar berukuran 9.500 GT, MV Marguires dengan panjang kapal 104 meter dan panjang jaring trawl 600 meter.

    Dengan dimangkrakkannya kapal-kapal ikan ini kemampuan armada perikanan Indonesia memasok bahan baku ikan ke industri pengolahan ikan anjlok sekitar 65%.

    Puluhan industri pengolahan ikan di Bitung tutup dan 12.000 kepala keluarga buruh ikannya di PHK dan kehilangan penghasilan.

    Utilisasi industri pengolahan ikan di Bitung yang semula sudah rendah, 57% dari kapasitas terpasang, anjlok tinggal 7% dari kapasitas terpasang.

    Investasi Triliunan sia-sia, pemerintah Joko tidak melindungi investor PMA maupun PMDN dan tidak juga melindungi lapangan kerja buruh ikan.

    Selain itu industri shurimi Indonesia yang mempekerjakan puluhan ribu kepala keluarga buruh ikan terpaksa tutup dan mem PHK buruhnya, akibat Permen 71/2017 yang melarang alat tangkap LEGAL Cantrang dll, yang ada SNI nya.

    Alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang selektif dan tidak pernah menyentuh benthic/dasar laut apalagi karang, karena jika menyentuh karang jaring yang harganya ratusan juta akan rusak.

    Anehnya lagi KKP meminta nelayan mengganti alat tangkap cantrang yang LEGAL untuk diganti dengan alat tangkap gillnet yang dibanyak negara ilegal dan telah dilarang digunakan.

    Gillnet bukan alat tangkap yang selective, karena mematikan dugong, hiu, dolphin dan penyu yang dilindungi, karena itu di banyak negara dilarang digunakan.

    Sementara itu FAO heran KKP melarang penggunaan cantrang, karena FAO dan negara-negara maju di dunia tidak melarang penggunaan cantrang.

    Akibat anjloknya pasokan bahan baku ikan ke industri pengolahan ikan, mereka terpaksa mengimpor bahan baku ikan yang akhirnya diberitakan heboh oleh media utama, ada cacing di ikan kaleng mackerel.

    Selain itu, sekitar 500 ribu kepala keluarga pembudidaya kepiting juga kehilangan penghasilan akibat Permen KP no 56/2016 yang melarang penangkapan dan pengiriman kepiting ukuran tertentu.

    Eksport kepiting anjlok 81% dari 34.000 ton menjadi 6.400 ton per tahun.

    Akibatnya negara kehilangan devisa sebesar US$ 0.552 milyard per tahun.

    Herannya KKP tidak segera menyebar luaskan teknologi pembenihan kepiting yang telah berhasil di kembangkan di 4 Balai Budidaya KKP di Maros, Takalar, Gondol-Bali dan Jepara agar usaha budidaya dan eksport kepiting bisa menghasilkan devisa dan membuka lapangan kerja di desa-desa pesisir seperti janji di Nawa Cita capres JkW.

    Sesungguhnya ada potensi ekonomi yang belum dikembangkan KKP yakni aquaculture yang bisa menghasilkan devisa sekitar US$ 240 milyard per tahun, setara Rp 3.340 Triliun, 3.3 kali devisa yang dihasilkan dari CPO dan turunannya dan 10 kali dari pariwisata.

    Pemerintah Joko memang hebat, sukses menurunkan eksport dan sukses menaikkan import.

    Alih-alih melindungi buruh ikan Indonesia, pemerintah Joko malah membuka lapangan kerja untuk buruh kasar Cina di Indonesia.

    Devisa negara sebesar US$ 2 milyard per tahun dari eksport perikanan juga hilang. Memang hebat pemerintah Joko.

    Yang paling mahal ternyata bukan bisa kalajengking namun 5 buah Permen KP dan 1 PP yang merugikan negara kehilangan devisa sebesar US$ 10 milyard selama 5 tahun.

    Saya juga heran dengan sikap beberapa alumni ITB pendukung Joko yang nyinyir dan senang mengejek UMKM yang eksport oriented.

    Saya yakin ini bukan salah lembaga pendidikan tinggi INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG, namun itu hanya segelintir oknum alumni pendukung Joko yang tidak nasionalis dan DOYAN IMPORT saja.

  • 1.999 Kejadian Bencana Selama Tahun 2018, Ribuan Korban Meninggal Dunia

    1.999 Kejadian Bencana Selama Tahun 2018, Ribuan Korban Meninggal Dunia

    Oleh : Sutopo Purwo Nugroho

    Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Berbagai bencana selalu menyertai setiap tahunnya. Trend bencana juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya bahaya bencana, seperti gempa, tsunami, erupsi gunungapi, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, dan cuaca ekstrem, juga masih tingginya kerentanan dan masih rendahnya kapasitas menyebabkan tingginya risiko bencana. Bencana adalah multidisiplin, multisektor, multidimensi dan multikomplek yang satu sama lain saling berkaitan sehingga memerlukan penanganan yang komprehensif yang berkelanjutan.

    Selama tahun 2018, hingga Kamis (25/10/2018), tercatat 1.999 kejadian bencana di Indonesia. Jumlah ini akan terus bertambah hingga akhir 2018 mendatang. Dampak yang ditimbulkan bencana sangat besar. Tercatat 3.548 orang meninggal dunia dan hilang, 13.112 orang luka-luka, 3,06 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana, 339.969 rumah rusak berat, 7.810 rumah rusak sedang, 20.608 rumah rusak ringan, dan ribuan fasilitas umum rusak.

    Kerugian ekonomi yang ditimbulkan bencana cukup besar. Sebagai gambaran, gempabumi di Lombok dan Sumbawa menimbulkan kerusakan dan kerugian Rp 17,13 trilyun. Begitu juga gempabumi dan tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan kerugian dan kerusakan lebih dari Rp 13,82 trilyun. Jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah.

    Selama tahun 2018, terdapat beberapa bencana yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian cukup besar yaitu banjir bandang di Lampung Tengah pada 26/2/2018 yang menyebabkan 7 orang meninggal dunia. Bencana longsor di Brebes, Jawa Tengah pada 22/2/2018 yang menyebabkan 11 orang meninggal dunia dan 7 orang hilang. Banjir bandang di Mandailing Natal pada 12/10/2018 menyebabkan 17 orang meninggal dunia dan 2 orang hilang. Gempabumi beruntun di Lombok dan Sumbawa pada 29/7/2018, 5/8/2018, dan 19/8/2018 menyebabkan 564 orang meninggal dunia dan 445.343 orang mengungsi. Bencana gempabumi dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 28/9/2018 menyebabkan 2.081 orang meninggal dunia, 1.309 orang hilang dan 206.219 orang mengungsi.

    Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah korban meninggal dunia dan hilang akibat bencana pada tahun 2018 ini paling besar sejak 2007. Jumlah kejadian bencana, kemungkinan hampir sama dengan jumlah bencana tahun 2016 dan 2017 yaitu 2.306 kejadian bencana dan 2.391 kejadian bencana. Namun dampak yang ditimbulkan akibat bencana pada 2018 sangat besar.

    Selama tahun 2007 hingga 2018, kejadian bencana besar yang menimbulkan korban banyak adalah pada tahun 2009, 2010 dan 2018. Pada tahun 2009 tercatat 1.245 kejadian bencana. Terjadi gempa cukup besar di Jawa Barat dan gempa di Sumatera Barat. Dampak bencana selama tahun 2009 adalah 1.767 orang meninggal dunia dan hilang, 5.160 orang luka-luka, dan 5,53 juta orang mengungsi dan terdampak bencana.

    Pada tahun 2010 tercatat 1.944 kejadian bencana. Beberapa kejadian besar terjadi secara beruntun selama 2010 yaitu banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, erupsi Gunung Merapi, dan erupsi Gunung Bromo. Dampak yang ditimbulkan bencana selama tahun 2010 adalah 1.907 orang meninggal dunia dan hilang, 35.730 orang luka-luka dan 1,66 juta orang mengungsi dan terdampak bencana.

    Selama tahun 2018 ini, bencana hidrometeorologi tetap dominan. Jumlah kejadian puting beliung 605 kejadian, banjir 506, kebakaran hutan dan lahan 353, longsor 319, erupsi gunungapi 55, gelombang pasang dan abrasi 33, gempabumi  yang merusak 17, dan tsunami 1 kali. Gempabumi yang merusak dan tsunami memang jarang terjadi. Namun saat terjadi gempabumi yang merusak seringkali menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang besar.

    Statistik bencana tersebut makin menunjukkan bahwa negara kita rawan bencana. Secara umum tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam menghadapi bencana-bencana besar belum siap. Mitigasi bencana, kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan pengurangan risiko bencana masih perlu terus ditingkatkan. Pengurangan risiko bencana harus dimaknai sebagai investasi pembangunan nasional. Tanpa itu maka dampak bencana akan selalu menimbulkan korban jiwa besar kerugian ekonomi yang besar.

    Saat ini, wilayah Indonesia akan memasuki musim penghujan. Diperkirakan banjir, longsor dan puting beliung akan banyak terjadi selama musim penghujan. Gempabumi tidak dapat diprediksi secara pasti. Rata-rata dalam setahun terjadi 5.000 – 6.000 kali gempa. Gempabumi dapat terjadi kapan saja terutama di daerah-daerah rawan gempa.

    Masyarakat dihimbau untuk selalu waspada. Kenali bahayanya dan kurangi risikonya.

    Sutopo Purwo Nugroho
    Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB