Kategori: Opini

  • Berita Bohong Pimpinan GP Ansor Menimbulkan Keonaran di Masyarakat

    Berita Bohong Pimpinan GP Ansor Menimbulkan Keonaran di Masyarakat

    Dengan adanya aksi pembakaran bendera berkalimat Tauhid, maka telah terjadi dua peristiwa pidana. Pertama, penodaan agama Islam dan kedua, terbitnya keonaran di masyarakat.

    Pada yang tersebut kedua, terbitnya keonaran di masyarakat, disebabkan adanya perbuatan “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” yang dilakukan oleh pimpinan GP Ansor. Perihal tentang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong – yang lazim disebut dengan istilah hoaks – diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagaimana telah dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, yang berbunyi : “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”

    Perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong ini disertai dengan aksi sweeping di berbagai daerah yang dilakukan secara massif dan terstruktur. Padahal, Ormas tidak diperkenankan melakukan aksi sweeping. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Ormas.

    “Disebutkan bahwa Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aksi sweeping yang dilakukan oleh GP Ansor melalui Banser telah mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum”.

    Merujuk pada ketentuan Pasal 60 UU Ormas, aksi sweeping yang dilakukan oleh Banser terancam dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

    Bendera berkalimat Tauhid dikatakan oleh pimpinan GP Ansor sebagai bendera HTI. Pernyataan bendera berkalimat Tauhid sebagai bendera HTI juga disampaikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam surat Pernyataan Sikap Tentang Peristiwa di Garut (24/10/2018). Padahal bendera berkalimat Tauhid adalah “Arrayan” dan “Alliwa” yang merupakan bendera Rasulullah SAW. Jadi bukan milik HTI semata, melainkan milik semua umat Islam. MUI menyatakan bahwa “dalam perspektif MUI karena tidak ada tulisan ‘Hizbut Tahrir Indonesia’, maka kita mengatakan kalimat tauhid…” (23/10/2018).

    Menyikapi kasus pembakaran bendera berkalimat Tauhid yang terkait dengan timbulnya akibat keonaran dimasyarakat. Teori hubungan kausalitas menjadi rujukan guna menilai sebab-musabab dari suatu akibat.

    Dalam ajaran hukum pidana, teori hubungan kausalitas digunakan pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil dan akibat yang ditimbulkan merupakan unsur tindak pidana. Teori hubungan kausalitas dimaksud adalah teori generalisir dan teori individualisir.

    Baik teori generalisir maupun individualisir hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab, yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Perbedaannya adalah, pada teori generalisir melihat sebab secara in abstracto, menurut perhitungan yang layak yang akan menimbulkan suatu akibat, sedangkan teori individualisir melihat sebab secara in concreto atau post factum.

    Menurut penulis, sebab yang paling utama atau yang paling berpengaruh adalah pernyataan “bendera berkalimat Tauhid adalah bendera HTI” dan kemudian diringi aksi sweeping di berbagai daerah. Dengan kata lain, dapat dikonstruksikan bahwa aksi sweeping yang berujung pada pembakaran bendera berkalimat Tauhid. Didasarkan pada pernyataan pimpinan GP Ansor bahwa bendera berkalimat Tauhid adalah bendera HTI.

    Pernyataan tersebut adalah “tidak benar alias bohong,” yang kemudian menimbulkan akibat berupa keonaran di masyarakat. Dengan demikian unsur “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” menunjuk pada pernyataan pimpinan GP Ansor tersebut.

    Selanjutnya, frasa “dengan sengaja” pada Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menurut ajaran hukum pidana, mencakup tiga corak (gradasi) kesengajaan baik dengan maksud (als oogmerk), dengan sadar kepastian (dolus directus) atau dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). Walaupun dirinya tidak dengan maksud (menghendaki) akibat yang timbul berupa keonaran di masyarakat, melainkan hanya untuk bermaksud melakukan sweeping namun akibat yang timbul berupa keonaran di masyarakat telah terjadi.

    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memang perbuatan sweeping dikehendaki, sebagaimana terjadi diberbagai daerah. Namun timbul akibat berupa keonaran dimasyarakat, walaupun tidak dikehendaki terjadi. Menurut hukum termasuk perbuatan dengan sengaja.

    Apakah termasuk dengan sadar kepastian atau dengan sadar kemungkinan, adalah tugas Penuntut Umum untuk mengkonkritkannya lebih lanjut dalam dakwaan. Yang jelas akibat keonaran sudah ada. Sebab adanya berita atau pemberitahuan bohong tersebut.

    Oleh karena itu, pimpinan GP Ansor yang menyampaikan kebohongan tersebut harus bertanggungjawab secara hukum. Kepadanya dimintakan pertanggungjawaban pidana, sebab telah menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Yang mengakibatkan keonaran di masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946.

  • Bagaimana Nasib Dana Haji Indonesia Yang Sudah Dipakai Pemerintah Jokowi Untuk Infrastruktur?

    Bagaimana Nasib Dana Haji Indonesia Yang Sudah Dipakai Pemerintah Jokowi Untuk Infrastruktur?

    Oleh : Salamuddin Daeng

     Hal yang harus diperhatikan dalam hal penggunaan dana haji untuk infrastruktur ini adalah bahwa dana ini menurut UU harus dikelola secara nirlaba, yakni semua keuntungan hasil pengelolaan dana haji harus dikembalikan kepada jamaah haji sebagai pemilik dana.

    Apakah selama ini jamaah haji telah menerima bagi hasil sebagai keuntungan atas penempatan dana mereka dalam instrumen investasi dan surat utang negara? kalau belum, kemana keuntungan hasil pengelolaan dana ini mengalir ? semoga ini segera disampaikan kepada pemilik sah uang tersebut.

    Selama ini dana Sukuk haji telah digunakan dalam jumlah yang sangat besar untuk membangun infrastruktur. Masyarakat tidak mengetahui secara persis berapa dana yang tersisa di badan pengelola dana haji yang baru-baru ini dibentuk oleh pemerintah.

    Namun, yang jelas dana haji tidak lagi utuh, akan tetapi telah dialokasikan untuk macam-macam kepentingan termasuk membangun infrastruktur.

    Pertanyaannya setiap tahun pemerintah memberangkatkan jamaah haji menggunakan dana apa? Jangan jangan skema ponzi? Ibarat investor, Jamaah haji yang baru mendaftar membayar jamaah haji yang telah menunggu puluhan tahun.

    Mengapa dapat disimpulkan demikian ? karena calon jumlah jamaah haji yang mendaftar setiap tahun hanya separuh dari jumlah jamaah haji yang berangkat setiap tahun. Dengan demikian dana haji yang terkumpul setiap tahun sangat besar, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya haji yang dialokasikan pemerintah.

    Jumlah dana haji ini terus bertambah, karena meningkatnya jumlah pendaftar haji setiap tahun. Pada 2018 ini, BPKH juga menargetkan jumlah pendaftar baru 550 ribu orang.

    Jika masing-masing jamaah haji menyetorkan uang sebesar Rp. 25 juta rupiah, maka setiap tahun akan ada tambahan dana sebesar Rp.13,75 triliun. Sementara setoran keseluruhan jamaah haji sebesar Rp. 35 Juta.

    Biaya ini mengalami peningkatan jika dibandingkan biaya haji tahun 2017 yakni sebesar Rp 34.890.312 (kompas, 22/1/2018). Dengan demikian maka setoran keseluruh jamaah setahun mencapai Rp. 19.189.671.600.000 setiap tahun.

    Sementara kuota calon haji Indonesia 2017 sebesar 221.000 orang. Jumlah itu terdiri dari 204.000 orang calon haji reguler dan 17.000 calon haji khusus. (kompas, 22/3/2017).

    Kepala Biro Perencanaan Kementerian Agama RI, Ali Rahmat mengatakan bahwa total biaya yang dikeluarkan untuk penyelanggaraan ibadah haji tahun ini sebesar Rp 12,6 triliun. (Kompas, 7/9/2017). Sedangkan penerimaan dana haji setiap tahun mencapai Rp. 19.189.671.600.000.

    Dengan membandingkan antara penerimaan dana haji dengan alokasi dana haji setiap tahun, Maka terdapat tambahan dana haji yang secara otomatis berakumulasi ditangan pemerintah setiap tahun sebesar Rp. 6,6 triliun. Angka yang sangat besar. Itulah mengapa pemerintah dengan sangat leluasa menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur.

    Pertanyaannya jika dana haji yang ada ditangan pemerintah telah habis untuk infrastruktur dan investasi macam-macam, jangan-jangan jamaah diberangkatkan ke tanah suci menggunakan skema Ponzi? Jika demikian maka ini akan menjadi bahaya yang terakumulasi setiap tahun dan akan ada jamaah haji yang menjadi daftar tunggu hingga akhir hayatnya.

    Dari total dana haji yang tersedia telah digunakan Rp 39.93 triliun, dan yang telah digunakan selama pemerintahan Jokowi Rp. 37.56 triliun. (telusur)

  • Meikarta, Negeri Tanpa Tirai dan Sirnanya Investor Haven Island

    Meikarta, Negeri Tanpa Tirai dan Sirnanya Investor Haven Island

    Oleh Haris Rusly Moti

    KONON katanya bambu yang tumbuh di dataran China itu jenisnya berbeda dengan bambu di tempat lain di daratan Asia. Bambu China, atau dikenal dengan nama ilmiah “bambusa multiplex”, itu terkenal kualitasnya yang terbaik di dunia. Sangat kuat, katanya tidak mudah patah.

    Konon di China, biji bambu jenis itu jika ditanam membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa tumbuh. Berbeda dengan jenis bambu yang tumbuh di daratan kita, nusantara. Benih yang ditanam sangat cepat tumbuh. Tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk berkembang menjadi rebung.

    Katanya, rentan waktu enam tahun lamanya untuk dapat melihat biji bambu yang ditanam itu tumbuh menjadi rebung. Biji bambu yang ditanam itu harus disiram setiap pagi sebelum matahari terbit dan sore hari sesudah matahari terbenam.

    Selama enam tahun pertama, penyiraman harus dilakukan setiap hari dengan setia. Jika tidak, maka biji bambu yang ditanam itu tidak akan pernah tumbuh, pasti mati. Selama enam tahun itu juga kita harus bersabar, karena tak akan melihat gejala dari biji yang kita tanam itu.

    Bambu yang tumbuh di China itu memang ajaib. Katanya enam tahun lamanya, bambu itu tumbuh di dalam tanah, tak menampakan gejalanya di permukaan tanah. Bambu itu memperkuat dirinya secara senyap. Pada fase-fase itu akar-akarnya bekerja, berkembang dan merayap makin dalam. Bumi dicengkeramnya sangat kuat.

    Baru pada tahun ketujuh benihnya tampak tumbuh di permukaan tanah. Ketika memasuki tahun kedelapan dan seterusnya, pertumbuhan bambu China itu tak dapat lagi dikendalikan. Bambu China itu akan terus tumbuh dan berkembang hingga puluhan meter panjangnya, seakan ingin merangkul langit.

    Banyaknya tumbuhan bambu di daratan China, hingga tak heran jika di negeri itu terkenal penggunaan bambu sebagai tirai. China kemudian dijuluki sebagai “negeri tirai bambu”. Di negeri kita, sangat populer penggunaan anyaman pelepah pohon enau sebagai tirai. Di rumah kita sering memkai tirai dari pohon enau untuk menangkal cahaya matahari.

    Negeri Tirai Bambu

    Namun, julukan “negeri tirai bambu” itu sebetulnya tidak semata menggambarkan fungsi bambu yang dipakai sebagai tirai di rumah. Julukan “tirai bambu” itu juga menggambarkan filosofi bangsa China yang sangat kuat memegang tradisi warisan leluhur.

    Persis seperti filosofi akar bambu yang kuat mencengkeram bumi, tidak akan roboh oleh tiupan angin kencang. Persis seperti filosofi bambu China yang melewati tahap penguatan akar untuk mencekeram bumi, yaitu melalui revolusi kebudayaan, sebelum tumbuh dan berkembang tinggi mencakar langit.

    Tirai bambu menggambarkan bahwa negerinya itu bukanlah negeri yang telanjang untuk dapat dilihat dari seluruh sisi nya. Bayangkan saja jika jendela kamar di rumah kita tidak ada tirainya, maka seluruh aktivitas kita, dari tidur, memakai baju, hingga lainnya dapat dilihat secara telanjang dari luar.

    Tirai bambu juga bermakna negeri itu bukanlah negeri yang terbuka, yang dapat dengan mudah dimasuki dan dipengaruhi oleh unsur lain di luar dirinya. Tirai adalah “barrier” untuk menyaring dan menangkal segala bentuk pengaruh maupun intervensi yang datang dari luar dirinya.

    Bisa dibayangkan jika sebuah rumah dibangun tanpa tembok, hanya terdiri dari atap dan lantai saja, seperti pendopo. Maka segala bentuk wabah penyakit setiap saat akan menyerang penghuninya. Bahkan di zaman pre history saja, mereka masih membutuhkan gua untuk berlindung dari segala macam pancaroba cuaca, hingga ancaman keganasan hewan predator.

    Karena itu, ketika masyarakat di banyak negara di dunia beramai-ramai menginternasionalisasi diri dengan cara hidup dalam budaya dan pengetahuan orang lain, bangsa China justru makin terdidik dan bangga untuk menjadi dirinya sendiri.

    Kini China tak semata dikenal sebagai negeri tirai bambu. China telah disulap menjadi negeri “tirai baja”, negeri “tirai beton” hingga negeri “tirai digital”. Dengan revolusi kedaulatan digital di tangannya, bahkan di era yang terbuka dan telanjang saat ini, negeri itu tak gampang diintip oleh tetangganya. Google, Twitter hingga Facebook tak diperkenankan beroperasi di negeri itu.

    Investor Haven Island

    China menikmati kelengahan Amerika sekian lama yang membiarkan perusahaan multi national nya beroperasi di luar negaranya menikmati surga pajak murah di sejumlah negara, termasuk di China. Setelah kapasitas sistem negaranya dibangun sangat kuat, akar-akar budayanya kuat mencengkeram bumi, persis seperti filosofi bambu China di atas. Tirai negeri itu kemudian sedikit disingkap dan diubah menjadi negeri surga investasi.

    Kepastian hukum, jaminan keamanan, pajak yang bersaing, hingga pekerja murah telah menjadikan negeri itu sebagai sasaran dari investor global, termasuk perusahaan MNC dari Amerika. Pertumbuhan China pernah disulap secara sekejap hingga mencapai angka dua digit.

    Kita lalu bermimpi meng-copy paste kemajuan di China itu. Kita ingin mencetak pembangunan infrastruktur itu secepat kilat, sebagaimana yang terjadi di China itu. Jalan tol, kereta cepat, MRT, hingga bendungan, dibangun tanpa mempertimbangkan kebutuhan, tanpa menghitung kemampuan kita, hingga tak mempertimbangkan tantangan yang berpotensi menghadang di depan.

    Anggaran yang dibutuhkan sangat besar untuk mewujudkan secara kilat impian itu. Penerimaan APBN sudah pasti tidak akan mampu meng-cover kebutuhan sebesar itu. Jika bersandar pada penerimaan dari APBN saja, katanya dibutuhkan waktu 100 tahun lamanya baru dapat mengejar ketertinggalan infrastrukur itu.

    Kita lupa dengan filosofi yang diajarkan leluhur kita di Jawa, “alon-alon asal kelakon”, pelan-pelan asal sampai pada tujuan. Untuk apa cepat-cepatan, jika pada akhirnya “kebablasan”. Bahkan mungkin tidak sampai pada tujuan karena tertimpa musibah. Apalagi segala aktivitas pembangunan yang terburu-buru itu konon dimotivasi untuk mengeruk keuntungan semata.

    Untuk mewujudkan ambisi itu, kita lalu meniru China. Kita mengubah negeri kita menjadi “investor haven island”, negeri surga bagi para investor. Seluruh “barrier” yang menangkal segala bentuk pengaruh dan intervensi dari luar ditiadakan.

    Kita terinspirasi dengan “tax haven island”, pulau surga bagi pengemplang pajak dan perampok uang negara. Kita ingin menjadikan negeri kita ini menjadi “suaka” bagi para investor nakal. Kita menghendaki negeri kita dibuat tanpa tanpa tirai, tanpa barrier.

    Padahal di China, barrier atau tirainya sangat kuat. Bahkan di China seluruh pembangunan direncanakan, digerakan dan dikendalikan langsung oleh negara. Sedangkan di Indonesia seluruh pembangunan diduga kuat direncanaka dan digerakan oleh para taipan dan saudagar dalam negeri, swasta nasional yang bertamengkan BUMN, serta investor asing.

    Kita lalu berharapa uang gelap (back office), seperti uang kejahatan korupsi yang diparkir di luat, uang pengemplangan pajak, hingga uang yang dihasilkan dari judi, narkoba dan pelacuran, yang berputar di luar sana dapat masuk ke dalam negeri kita untuk dicuci dalam sejumlah paket investasi yang kita tawarkan, seperti projek infrastruktur, destinasi wisata hingga pembangunan properti.

    Sejumlah landasan untuk landing atau pendaratan uang-uang back office itu dipersiapkan sedemikian rupa. Diantaranya, pertama, projek reklamasi pantai di Jakarta dan sejumlah tempat lainnya, seperti di pantai Benoa, Bali, dll. Kedua, pembangunan kawasan properti di Meikarta dan sejumlah tempat lainnya. Ketiga, Pembangunan kawasan ekonomi khusus seperti pulau Morotai dan lainnya. Keempat, pembangunan kawasan destinasi wisata di Toba dan sejenisnya di tempat lainnya.

    Sejumlah perangkat kebijakan atau regulasi dipersiakan untuk mewujudkan impian “investor haven island” itu. Diantara kebijakan itu adalah: Pertama, kebijakan tax amnesty, sebuah projek yang diduga untuk pengampunan terhadap kejahatan korupsi, pengemplangan pajak hingga pemutihan terhadap kekayaan yang dihasilkan dari kejahatan transnasional, seperti narkoba, judi hingga pelacuran.

    Kita berharap, kebijakan tax amnesty itu ditumpangi oleh sejumlah kepentingan investor global untuk mendaratkan uangnya ke dalam berbagai skema investasi di negeri kita. Kenyataannya, mereka justru kuatir menjadi sasaran pemerasan, akibat tidak adanya kapasitas sistem negara dan lemahnya kepastian hukum di negeri kita.

    Kedua, belasan paket kebijakan ekonomi dikeluarkan oleh pemerintah, tercatat sekitar 16 paket kebijakan sudah dikeluarkan. Tujuan dari paket kebijakan itu untuk menyulap Indonesia menjadi negeri yang menjadi surga para investor.

    Diantara paket kebijakan yang meniadakan barrier itu adalah: (1), liberalisasi di sektor imigrasi yang memudahkan kuli asing untuk bekerja di negeri kita. (2), kemudahan warga negara asing untuk memiliki properti di negeri kita. (3), kebijakan bebas visa untuk 169 negara, katanya untuk tujuan wisata, walaupun kenyataannya kunjungan wisata di negeri kita malah anjlok, dll. (4), pemangkasan sejumlah izin usaha, diantaranya terkait izin tentang AMDAL.

    Hampir seluruh kebijakan yang meniadakan tirai negara kita itu nyaris tidak menggoda para investor untuk mendaratkan uang nya di sejumlah paket kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah.

    Masalahnya karena tidak dimulai dengan menata dan membangun kapasitas bernegara. Akibatnya dikuatirkan tidak terjadi kesinambungan di dalam pembangunan. Masalah yang lainnya tentu adalah tidak adanya kepastian hukum dan tidak adanya kepercayaan terhadap pemerintah yang berkuasa.

    Dengan adanya masalah hukum yang melilit Meikarta dan bos nya James Riady, dipastikan akan turut mengubur mimpi indah untuk menyulap Indonesia menjadi surga bagi para investor.

    Bisa dibayangkan orang hebat seperti James Riady dan Aguan saja tidak mampu menjamin dan melindungi projeknya dari tindakan penegak hukum. Padahal mereka selama ini dikenal sebagai shadow goverment, pemerintahan bayangan, yang mengatur regulasi hingga arah dari setiap pemerintah yang berkuasa. Sayonara Meikarta, sayonara James Riady..!!

  • Ketika James Riady Mencium Bau Kekalahan Jokowi

    Ketika James Riady Mencium Bau Kekalahan Jokowi

    Oleh: Hersubeno Arief

    Banyak yang terkejut ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menggeledah rumah dan apartemen big boss Lippo Group James Riady.

    Bahwa Lippo group beberapa kali kedapatan melakukan suap untuk melancarkan proyek dan bisnisnya, itu memang benar terjadi.

    Bahwa beberapa petinggi Lippo ditangkap karena kasus suap, itu memang sudah menjadi fakta hukum dan diketahui publik.

    Tapi ketika KPK berani mengusik, sekali lagi mengusik belum menyentuh James Riady, sungguh sebuah peristiwa hukum dan politik yang luar biasa. Keluarga besar Riady, dan tentu saja James, bukanlah “manusia biasa”.

    Beberapa orang yang mengenalnya menyebut James sebagai manusia yang tidak pernah “menyentuh tanah.” Ketika bepergian ke bebagai kota James selalu menggunakan pesawat pribadinya yang diparkir di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

    Dan dari Halim dia menggunakan helikopter pribadi untuk pulang kembali ke rumahnya di kawasan Lippo Karawaci, Banten. Begitu juga untuk kegiatannya di Jakarta, dia akan memilih lokasi yang ada helipadnya untuk pendaratan helikopternya.

    Kendati tidak termasuk dalam kelompok yang sering disebut sebagai pengusaha “9 Naga” (Gang of Nine), keluarga Riady tidak bisa dianggap main-main. Mereka adalah “Naga” besar, baik dari sisi bisnis, maupun pengaruhnya secara politik.

    Keluarga ini bukan pemain lokal, yang hanya jago kandang. Pengaruhnya membentang luas, bahkan pernah berhasil menembus Gedung Putih, simbol kekuasaan di negara adidaya Amerika Serikat (AS).

    Keluarga Riady adalah sahabat dekat Presiden AS Bill Clinton. Hubungan mereka telah terjalin jauh sebelumnya, sejak Clinton masih menjadi gubernur negara bagian Arkansas (1986). Mereka sering disebut sebagai Arkansas Connection.

    Pada tahun 2001 James Riady dicekal oleh pemerintah AS karena terbukti melakukan pelanggaran batas pemberian sumbangan kepada calon presiden (Clinton) dari orang asing. Lippo Group juga dijatuhi denda sebesar USD 8.6 juta, sebuah denda terbesar sepanjang sejarah pelanggaran kampanye di AS.

    Di Indonesia James juga dikenal sangat dekat dengan kekuasaan. Dia juga disebut-sebut sebagai salah satu “arranger” pengumpulan dana politik bagi kandidat capres di kalangan taipan. James diketahui sangat dekat dengan Presiden Jokowi, dan juga Ketua Umum PDIP Megawati.

    Beberapa foto yang banyak beredar di medsos menunjukkan betapa sangat dekatnya James dengan Jokowi, maupun Megawati.

    Sengkarut Meikarta

    Jejak kedekatan James dengan Jokowi setidaknya terkonfirmasi pada kasus ribut-ribut seputar pembangunan Kota Meikarta. Mendagri Tjahjo Kumolo kala itu sempat menyindir Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, yang mempersoalkan perizinan Meikarta. Tjahjo menilai Deddy Mizwar menghambat investasi.

    Sementara Menko Maritim Luhut Panjaitan terjun langsung “membereskan” urusan Meikarta. Dia mencoba menerobos kebuntuan perizinan karena terbentur Rencana Detail Tata Ruang ( RDTR) Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Luhut mengusulkan Meikarta menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

    Dengan menjadi KEK, maka Meikarta akan mendapatkan berbagai insentif dan kemudahan investasi. Jalan tol dan karpet merah dibentangkan oleh pemerintah, agar pembangunan proyek terbesar dalam sejarah bisnis Lippo itu bisa berjalan tanpa hambatan apapun, dan oleh siapapun.

    Usulan Luhut mentok. Kepala Bappenas Bambang Soemantri Brojonegoro menolak, dengan alasan kawasan tersebut telah berkembang menjadi metropolitan. Tidak layak menjadi KEK.

    Gagal menjadikan Meikarta sebagai KEK. Luhut kemudian mencari jalan lain. Dia mengajak sejumlah pejabat, petinggi partai, dan media untuk menghadiri topping off Meikarta.

    Luhut tampaknya ingin menunjukkan kepada publik bahwa pembangunan Meikarta tidak bermasalah. Pemerintah pusat mendukung penuh. Para konsumen pembeli yang kabarnya sudah mencapai ratusan ribu, tidak perlu khawatir.

    “Saya tanya Pak James mengenai semua masalah perizinan dan kepemilikan tanah. Semua tidak ada masalah,” kata Luhut, (29/10/2017).

    Kehadiran Luhut saat itu banyak dipertanyakan. Apa kaitannya seorang Menko Maritim menghadiri dan meresmikan “penutupan atap” sebuah proyek apartemen. Kasusnya menjadi menarik, karena Deddy Mizwar menjelaskan bahwa topping off itu dilakukan pada proyek apartemen Orange County, bukan Meikarta.

    Orange County, adalah proyek lain dari Lippo yang lokasinya tidak jauh dari rencana lokasi proyek Meikarta. Untuk Meikarta saat itu belum ada pembangunannya sama sekali. Nah…

    Setelah petinggi Lippo ditangkap karena suap dan rumah James digeledah, Luhut bereaksi ringan. “Kalau kasus, KPK kan urusannya, urusan hukum. Tapi kalau urusan investasi, kita harus urus,” ujarnya.

    Hubungan James dan Jokowi merenggang?

    Melihat kedekatan James dengan penguasa, muncul pertanyaan menarik. Apa yang sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa KPK sampai berani merambah “tempat terlarang” itu? Bagi Jokowi yang kini tengah mengincar jabatan kepresidenan untuk yang kedua kalinya, peran orang seperti James sangat penting.

    Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf bahkan sudah mengumumkan akan melakukan pengumpulan dana dari publik. Salah satunya adalah menjual program kepada para taipan.

    “Kita akan jual program Pak Jokowi, kita akan sampaikan pada beliau-beliau terutama para taipan gitu ya,” ujar Wahyu Sakti Trengono, bendahara umum TKN Jokowi-Ma’ruf.

    Diusiknya James oleh KPK pasti akan memberi signal buruk bagi para taipan lain. Tidak ada jaminan bahwa dekat dengan kekuasaan, tidak bakal digaruk oleh KPK. Sejumlah kepala daerah yang menjadi tim sukses Jokowi-Ma’ruf juga ditangkap KPK. Salah satunya adalah Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin yang menerima suap dari Lippo.

    Spekulasi yang berkembang kemungkinan KPK mengusik James, sebagai upaya pengalihan isu. KPK saat ini tengah dalam tekanan besar menyusul meledaknya kasus investigasi perobekan “buku merah” oleh penyidik KPK.

    Sejumlah wartawan investigasi yang tergabung dalam Indonesialeaks menyebutkan bahwa dalam buku merah tersebut terdapat sejumlah bukti suap kepada para pejabat Indonesia, termasuk Kapolri Tito Karnavian.

    Namun melihat besar dan pentingnya posisi James dalam pusaran kekuasaan dan politik Indonesia, tampaknya spekulasi tersebut kurang kuat. Kasus James terlalu besar, bila hanya untuk menutupi kasus Tito. “Ini namanya menutup bencana, dengan bencana.” Sama seperti yang dilakukan pemerintah, menalangi dana korban bencana, dengan berutang kepada Bank Dunia.

    Kalau cuma sekadar pengalihan isu, KPK cukup membuat kehebohan dengan melakukan penangkapan beberapa pejabat di daerah. Soal beginian KPK kan jagoannya. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pernah menyebut KPK paling jago membuat drama.

    Spekulasi lain mengapa KPK sampai mengusik James, karena ada tanda-tanda dia mulai “meninggalkan” Jokowi. Jadi ini baru semacam warning, peringatan bagi James dan Lippo Group.

    Sebagai pengusaha, figur seperti James sangat tajam radar penciumannya ke mana bandul kekuasaan berayun. “Jangan sampai mereka menaruh seluruh telurnya dalam keranjang yang salah.” Prinsip utama yang mereka pegang ”money follows the winner.” Mereka akan mendukung siapa saja yang paling berpotensi menang.

    Benarkah begitu? Kita tunggu saja bagaimana perkembangan kasus ini. Aguan alias Sugianto Kusuma salah satu pengusaha yang sering disebut-sebut sebagai salah satu anggota “9 Naga” pernah diperiksa dan dicekal KPK, namun kasusnya tidak berlanjut. Apakah nasib James juga akan berakhir sama?

    Mempunyai uang, apalagi dalam jumlah besar, sama dengan memiliki kekuasaan besar. Dengan kekuasaan kita bisa membuat hukum, dan dengan hukum berada di tangan, kita bisa membangun kekuasaan. “Money equals power; power makes the law, and the law makes government”, Kim Stanley.

  • Komnas HAM Beri Raport Merah Jokowi: 7 Data Faktual atas Dugaan Pelanggaran HAM Jokowi 2014-2018

    Komnas HAM Beri Raport Merah Jokowi: 7 Data Faktual atas Dugaan Pelanggaran HAM Jokowi 2014-2018

    Oleh: Natalius Pigai

    Pemberian raport Merah oleh Komnas HAM kenapa Jokowi ini telah membuktikan kredibilitas, akuntabilitas kinerja Jokowi- JK selama 4 tahun memimpin negeri ini. Ternyata berbagai jargon yang terucap pada tahun 2014 tentang Revolusi Mental dan NAWACITA hanyalah jargon-jargon utopis. Bagaimana kita membayangkan bahwa sebuah lembah independen negara memberi Rapor Merah kepada Kepala Negara yang sedang berkuasa?. Tentu saja tidak salah karena Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menilai kinerja pemerintah dalam hal ini negara (state). Pemberian Raport Merah dapat diduga sebagai bertanda (Signal) Kartu Merah untuk berhenti bertarung dalam membohongi publik terkait hak asasi manusia sebagaimana disampaikan dalam berbagai laporan Komnas HAM.

    Jokowi terpilih sebagai Presiden karena kapitalisasi dugaan pelanggaran HAM berat oleh Prabowo yang ditunjang oleh media massa dan para aktivis HAM. Selain itu, persoalan HAM yang dirumuskan secara tegas oleh Jokowi dalam butir cita-cita NAWACITA telah memberi harapan animo rakyat Indonesia.

    Dilihat dari kebijakan dan tindakannya dalam memimpin negeri ini selama 4 tahun, apa legasi yang Jokowi berikan Konstribusi bagi negeri ini terkait Hak Asasi Manusia sebagai persoalan artifisial bangsa. Memang bukan minim, namun memikirkan tentang membangun bangsa berbasis HAM saja belum terlihat.

    Berikut adalah sederet kasus yang patut diduga sebagai pelanggaran HAM yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan dengan Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan.

    1. Kasus Paniai tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rezim kepemimpinan Joko Widodo. Jokowi menitipkan peristiwa kelam baru bagi bangsa ini. Sebagai kepala negara, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran HAM berat di Komnas HAM.
    2. Adanya penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 4 tahun merupakan catatan negatif rezim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).
    3. Dugaan terjadinya genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil penyelidikan beberapa lembaga internasional, menguatkan dugaan Jokowi sebagai kepala negara, dengan sadar atau sengaja (by commision) melakukan pembiaran (by ommision).

    Tindakan 1 dan 3 ini mengancam integritas nasional karena itu selain bertanggungjawab melalui proses penyelidikan, Jokowi harus bertanggungjawab juga secara politis dengan mengurungkan niatnya untuk maju sebagai capres di 2019.

    4. Pernyataan Penolakan grasi dan eksekusi mati kasus narkoba awal tahun 2015. Ini kasus paling serius dibanding eksekusi tahap-tahap berikutnya. Jika dilakukan penyelidikan, Jokowi tidak hanya diduga sebagai commander responsibilities tetapi juga pelaku (mens rea). Harus bertanggungjawab melalui proses penyelidikan hukum HAM.

    5. Pengekangan kebebasan sipil (civil liberties) dan hak untuk menjalankan agama dan kepercayaan khususnya bagi umat Islam melalui Perppu Ormas. Membiarkan adanya labilitas integrasi sosial dan politik sejak Jokowi berkuasa merupakan perusakan terhadap tatanan dan upaya destruktif terhadap pilar demokrasi, hak asasi dan perdamaian.

    6. Ketidakmampuan melaksanakan proses penyelesaian persoalan pelanggaran HAM berat oleh Jokowi bertentangan dan menunjukkan inkonsistensi Jokowi terhadap cita-cita NAWACITA yang justru ditulis dengan tangannya sendiri. Apabila sampai tahun 2019 Jokowi tidak bisa melaksanakan NAWACITA, maka Jokowi telah melakukan kebohongan publik dan harus dipertangungjawabkan. Penunjukan pejabat kabinet yang berindikasi melanggar HAM adalah secara sadar menenggelamkan asa (ketajaman) untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Disitulah Jokowi terlihat tidak memiliki sensivitas kemanusiaan dan keadilan.

    7. Belum adanya tindakan pengungkapan keberadaan Wiji Tukul dan pengungkakan kasus Munir sesuai janji Jokowi dan ekspektasi keluarga korban telah menjadi memori buruk (memoria passionis). Sangat disayangkan bahwa selama kepemimpinan Jokowi, jangankan soal penyelesaian, memulai proses saja sama sekali tidak ada.

    Tujuh persoalan tersebutlah yang membingkai Jokowi berada dalam pusaran pelanggaran HAM. Apalagi, dari ketujuh kasus itu, jika dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM atau lembaga penyelidik internaional, Jokowi patut diduga tidak hanya sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities), tetapi pelaku (mens rea) sebagai pelanggar HAM Berat.

    Dengan demikian, pada tahun 2019, saya yakin persoalan HAM akan mengganjal karier politik Jokowi. Selain tidak mendapat dukungan dari keluarga korban, juga aktivis kemanusiaan, NGO kemanusiaan dan juga Komnas HAM, Jokowi juga tidak akan mendapat dukungan dan simpati internasional juga rakyat Indonesia.

    Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM 2012-2017

  • I don’t Trust Him Anymore

    I don’t Trust Him Anymore

    Oleh : Ferizal Ramli

    Satu yang hilang dari Jokowi pada aku pribadi…
    “I don’t trust him anymore!”

    Aku kecewa secara nyata bahwa Jokowi bukan orang yang serius mewujudkan apa yang dikatakan. 3 hal ini aku bersaksi bahwa Jokowi tidak pernah mewujudkan janjinya. 2 diantaranya malah aku serius membantu.

    1. Saat bicara Esmeka sebagai Mobnas.

    Aku sebagai Tim Ahli IASI (Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia Jerman) sampai meminta audiensi Jokowi yang saat itu Walikota Solo.

    Kukoordinasikan para Tim Pakar Otomotif Jerman bahkan pihak VW sudah siap bantu, lalu melalui sahabatku Anggota DPRD Solo sampaikan dukungan riil kita. GRATIS tanpa dibayar!

    Jokowi karena dia sibuk setelah itu kampanye di DKI untuk jadi Gubernur maka lupa.
    Kupikir setelah jadi Gubernur akan mewujudkannya, tapi dia pun sibuk jadi Presiden.

    Kupikir setelah jadi Presiden akan mewujudkannya, ternyata dia terbiasa untuk tidak pernah mewujudkan janji-janjinya.

    Enough is enough, I don’t trust him anymore.

    2. Saat mau memajukan Sekolah Vokasi.

    Ini pengorbananku buat Program Jokowi tak terhingga. Waktu cutiku 1 bulan kubuang demi mewujudkan Program Sekolah Vokasi. Plus selama lebih 1 tahun aku fokus bantu ini secara GRATIS!

    Kudesain bersama temen2 IASI dari NOL karena jujur tidak banyak orang Indonesia tahu apa itu Program Vokasi acuan dunia seperti Dual-System Jerman. Sebagai Ketua Umum IASI saat itu semua Sumber Daya serta Network yang kumiliki difokuskan untuk mewujudkan program yang visioner ini.

    Kuarrange konsepnya, kubantu Kemendikmbud! Dapat komitmen dari pemerintah Jerman akan bantu kirimkan 650 ahli Jerman secara “gratis” mendidikan para ahli vokasi Indonesia.

    Menteri berganti, aku tetap konsisten bantu. Tapi kelak aku tahu rupanya Jokowi cuma basa-basi disini. Tidak ada komitmen serius mewujudkannya. Kita yang trust padanya berkorban jiwa raga, jebule dia cuma mau main pencitraan belaka.

    Enough is enough, I don’t trust him anymore.

    3. Saat di KBRI Berlin beberapa tahun yang lalu. Jokowi dengan gagah berani bilang Gedung KBRI Berlin seperti rumah toko dan dalam waktu 3 bulan akan dibuat gedung baru. Malu punya gedung KBRI jelek. Kita sambut dengan tepuk tangan gegap gempita luar biasa. Tapi ternyata seperti bisa lidah tak bertulang. Ternyata hampir 3 tahun berlalu itu gedung KBRI tidak terwujud juga.

    Enough is enough, I don’t trust him anymore.

    Jangan lagi anda tambahkan dengan janji-janji yang lain. Believe me he has no intention to fulfill his promise. He focuses to keep his chair only, that’s all!

    Aku memutuskan mengkritisi Jokowi sebagai tanggung jawab moralku pribadi bahwa aku kecewa dengan cara dia belum sepenuhnya bertanggung-jawab dengan janji-janjinya.

  • Prabowo dan Manusia Indonesia-nya Mochtar Lubis

    Prabowo dan Manusia Indonesia-nya Mochtar Lubis

    Oleh : Tarli Nugroho

    Pada 6 April 1977, Mochtar Lubis memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) tentang “Situasi dan Manusia Indonesia Kini”. Belakangan, ceramah itu menjadi demikian terkenal dan memancing polemik. Oleh Yayasan Idayu, ceramah pemimpin Harian Indonesia Raya itu kemudian dibukukan menjadi “Manusia Indonesia”.

    Ada banyak kritik yang disampaikan oleh Mochtar Lubis. Dan sebagian besar kritik itu ditujukan kepada manusia dan kebudayaan Jawa. Mochtar, misalnya, menganggap jika pepatah Jawa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe, amemayu ayuning bawana,” sebagai buah bibir atau hiasan pidato saja.

    Ceramah Mochtar Lubis itu mendapatkan tanggapan Margono Djojohadikusumo. Melalui tulisannya, “Feodalisme, New-Feodalisme, Aristokrasi”, yang dimuat di Harian Kompas, 13 Mei 1977, sebagai bangsawan Jawa, Margono memberikan sejumlah klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang disampaikan Mochtar dalam ceramahnya.

    Menurut Margono, banyak orang mencampuradukan antara aristokrasi dengan feodalisme, seolah keduanya sama dan sebangun. Kadang orang menyebut aristokrasi sebagai bentuk feodalisme. Ataupun sebaliknya, menyebut feodalisme sebagai bentuk dari aristokrasi. Kekeliruan perseptual semacam itu bukan hanya sering hinggap di orang luar Jawa, tapi juga banyak diidap oleh orang Jawa sendiri.

    Padahal, tulis Margono, aristokrasi menunjukkan kepribadian manusia dalam cara hidup, tingkah laku dalam pergaulan, pendirian menghadapi kesukaran dan sebagainya, yang dalam filsafat Jawa disebut kesatria. Ini adalah sikap yang terpuji, budaya yang perlu dipelihara.

    Sebagai keturunan bangsawan, Margono bersikap egaliter dengan mengakui bahwa seorang aristokrat tidak harus selalu datang dari golongan bangsawan. Menurutnya, seorang aristokrat bisa saja datang dari kampung atau keluarga miskin. Begitu pula sebaliknya, orang dari golongan bangsawan tidak selalu mempunyai jiwa aristokrasi. Seringkali, mereka hanya memelihara sikap feodal saja, bukan sikap aristokrat. Itu sebabnya Margono menyayangkan kritik Mochtar yang cenderung gebyah uyah, menyamakan aristokrasi dengan feodalisme, seolah kebudayaan Jawa tak memiliki kebaikan sama sekali.

    Sebagai bagian dari kritiknya terhadap kritik yang disampaikan Mochtar Lubis, Margono lalu mengutipkan sebuah surat dari cucunya. Surat itu dikirim oleh Prabowo Subianto dari pedalaman hutan Timor Timur, medio September 1976. Pemuda Prabowo, yang saat itu berusia 25 tahun, mengirimkan surat permohonan maaf karena tak bisa berkumpul dengan kakeknya yang telah sepuh itu di Hari Raya Idul Fitri.

    Surat itu bagi Margono sangat mengharukan. Di tengah suasana hari raya yang penuh kegembiraan, dikelilingi anak cucu dan sanak familinya yang lain, ia harus mengasingkan diri sejenak untuk menenangkan diri setelah membaca surat cucunya tersebut.

    Surat Prabowo itu pendek saja:

    “Eyang, pada hari Idul Fitri kali ini saya tidak ada di lingkungan keluarga. Maafkanlah segala kesalahan saya. Salam dari medan juang. Kami sudah lebih dari satu bulan berada di pegunungan. Tugas kami lumayan juga beratnya. Tiap jengkal tanah kami rebut dengan tetesan darah, keringat, dan air mata. Putra-putra terbaik Indonesia memberi segala yang ada pada dirinya dalam pengabdian pada negara dan bangsa”.

    “Yakinlah, kami selalu ada di bagian terdepan bersama para anggota kami. Yakinlah, prajurit-prajurit Indonesia terus berjuang tanpa pamrih, hanya ingat pada sumpahnya sebagai prajurit dan ksatria.”

    Dalam artikelnya di Kompas, Margono menulis, “Bayangkanlah, perasaan seorang kakek pada saat itu. Saya terpaksa mengundurkan diri untuk beberapa menit masuk kamar untuk menenangkan hati saya,” tulis Margono. “Apakah ‘tanpa pamrih’ yang dituls dalam surat itu hanya buah bibir saja atau hiasan surat dari seorang cucu kepada kakeknya? Tidak adil kiranya kalau ada orang mengatakan ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ dan sebagainya hanya pepatah kosong belaka.”

    Lebih jauh Margono menulis bahwa meskipun cucunya itu lahir di tengah keluarga bangsawan Jawa, yang dalam ceramah Mochtar diidentikan dengan feodalisme, namun cucunya itu mempunyai ciri manusia Indonesia yang jauh berbeda.

    “Sejak umur  6 tahun sampai 16 tahun dia ada di luar negeri, karena ayahnya selama 10 tahun masih jadi buronan dan belum dapat kembali ke Tanah Air. Pada umur 18 tahun, sekembalinya di Tanah Air, walaupun atas usaha sendiri (bukan usaha ayahnya) sudah mendapat beasiswa pada universitas di Amerika, tetapi dia lebih senang tinggal di Tanah Air sendiri.”

    Margono kemudian menulis bahwa tanpa sepengetahuan ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, Prabowo muda diam-diam telah mendaftar ke akademi militer di Magelang. Sesudah ia diterima, barulah ia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, sebagai bentuk ‘fait a compli’ atas kehendak ayahnya yang menginginkannya meneruskan pendidikan ke jenjang universiter. Karena disabot demikian, Sumitro akhirnya merestui. “Ambil keputusanmu sendiri, dan terima apapun konsekuensinya.”

    Prabowo masuk Akabri pada tahun 1970. Ia satu angkatan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Wirahadikusumah, dan Ryamizard Ryacudu. Karena berasal dari keluarga elite, bangsawan, saat menjadi taruna Prabowo sempat jadi bulan-bulanan para seniornnya. Apalagi, waktu itu kemampuan bahasa Indonesianya masih terbata-bata. Prabowo memang besar dan tumbuh menjadi remaja di pengasingan. Saat masuk ke akademi militer, ia belum genap setahun kembali ke Indonesia.

    Menurut kelakar salah satu seniornya, Zacky Anwar Makarim, “Jangankan menjabarkan ide dalam bahasa Indonesia, Prabowo itu ngigaunya saja pakai bahasa Inggris.”

    Kembali ke tulisan Margono, meskipun ia menerima kritik Mochtar atas feodalisme, namun Margono mengingatkan bahwa tak semua priyayi Jawa otomatis feodal. Dengan kebanggaan yang terukur, ia bisa melihat jika cucunya sendiri, yang hidup dan dibesarkan di tengah keluarga priyayi, tidaklah mengidap “penyakit Manusia Indonesia” sebagaimana yang dikhawatirkan Mochtar Lubis.

     

  • Lahan Pertanian Indonesia Mengkwatirkan!!

    Lahan Pertanian Indonesia Mengkwatirkan!!

    Oleh : Dr Jerry Massie MA, PhD
    Peneliti Kebijakan Publik Indonesian Public Institute (IPI)

    Indonesia dikenal dengan dengan sektor pertaniannya. Negeri ini melimpah pangan. Kalau di Amerika bahkan Eropah komsumsi mereka gandum berbeda dengan kita. Yang mana makanan utama atau primer kita adalah beras.

    Akan tetapi kondisi saat ini terkait pangan di tanah air sangat mencemaskan. Betapa tidak, dipastikan target swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah pasti gagal.

    Pasalnya, sejauh ini luas lahan pertanian kita kian harini kian menyusut. Dibandingkan di era Soeharto maka Indonesia sebetulnya gudangnya pangan, terutama beras.

    Dicatat tahun 1984 Indonesia mampu mencapai swasembada pangan.  penyebabnya adalah luas lahan pertanian yang tidak memadai.

    Menurut data dari Bank Dunia pada 2017 yang menyebutkan hanya 31,5% atau 570.000 kilometer persegi lahan di Indonesia yang digunakan untuk pertanian.

    Padahal di era pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada grand design di bidang pertanian yakni, revitalisasi pertanian tahun 2004. Namun sayang gema revitalisasi ini mati suri atau redup.

    Tapi ini dikebiri tiga tahun setelah itu dengan hanya menjadikan program itu menjadi program kecil

    Fakta yang menarik yakni, impor pangan Indonesia tahun 2013 mencapai US$ 14,9 miliar atau naik empat kali lipat dari nilai ekspor tahun 2003 senilai US$ 3,34 miliar.

    Namun tak berbanding dengan lahan pertanian yang menjadi dasar sektor pertanian terus menyusut dari 31,2 juta hektar tahun 2003 menjadi 26 juta hektar pada tahun 2013.

    Tak sampai disitu, dalam sensus pertanian 2013 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja disektor pertanian pun menurun 5 juta orang.

    Presiden Soeharto kala itu menjauhkan Indonesia dari pertanian. Setelah reformasi, kita semakin meninggalkan pertanian.

    Perbandingan Pertanian Indonesia dengan negara-negara ini.

    1. Thailand memiliki lahan pertanian seluas 221.000 kilometer persegi atau 43,3% dari total lahan di negara tersebut.
    2. Australiamenggunakan 52,9% lahan atau sekitar 4 juta kilometer persegi khusus untuk pertanian.
    3. Tiongkok, memiliki lahan pertanian seluas 5 juta kilometer persegi atau 54,8% dari total luas lahan.

    Sementara itu, perbandingan rasio penduduk dan lahan di Indonesia adalah setiap satu orang memiliki 0,22 hektare (ha) lahan.

    Lebih kecil dibandingkan Thailand yang memiliki perbandingan 1:0,32 ha dan Tiongkok 1:0,35 ha.

    Bahkan, di Negeri Kangguru perbandingan penduduk dan lahan mencapai 1:16,67 ha.

    Kini Indonesia diperhadapkan dengan tantangan agar dapat mengejar swasembada pangan bukan hanya semakin berkurangnya luas lahan, jumlah pekerja di sektor pertanian juga terus menurun.

    Bukan itu saja problem yang dihadapi kita sekarang bukan produsen lagi tapi konsumen beras. Bayangkan stok di gudang bulog melimpah, Indonesia dengan ego-nya akan mengimpor 2 juta ton beras. Jadinsudah berbalik dulunya kita pengekspor beras, tapi kini pengimpor beras.

    Hingga saat ini sebanyak 45% pekerja bekerja di jasa.

    Miris! betapa tidak pekerja di sektor pertanian hanya 33%,”. Belum lagi petani sudah beralih fungsi ke Gojek, Grab dan lainnya.

    Ke depan pemerintah harus lebih memperhatikan soal pangan. Stop! lahan pangan dijadikan pabrik atau mendirikan rumah. Lebih baik bikin apartemen atau rusun tinggal disesuaikan.

    Kalau tidak ada kebijakan pemerintah terkait hal ini, maka krisis pangan bisa mengancam Indonesia. (Esensinews)

  • Mari Membahas KONI Sekali Lagi

    Mari Membahas KONI Sekali Lagi

     

    Oleh : Nizwar Affandi

    Pembaca dan Pemerhati Berita

    Kemarin saya membaca berita yang menarik, ada aksi demonstrasi dari Lampung di KPK. Menarik karena dilakukan setelah Pilgub selesai dan materi aksinya faktual. Dari tautan berita aksi itu saya mendapatkan informasi bahwa mereka juga sudah melakukan aksi dalam bentuk lain di sela-sela agenda acara KPK di Hotel Novotel di Lampung pada minggu sebelumnya.

    Walaupun saya tidak mengenal teman-teman yg melakukan aksi itu di KPK, saya harus menyampaikan apresiasi kepada mereka. Setidaknya mereka telah menunjukkan sikap menolak lupa atas dugaan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Lampung yang menyimpang, wa bil khusus terkait dengan tata kelola urusan keolahragaan dalam lembaga Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Lampung.

    Selang sehari dari berita aksi itu, saya membaca tautan berita yang jauh lebih menarik. Bang Alzier dan dua orang anggota DPRD Provinsi Lampung dalam kapasitas mereka sebagai pimpinan cabang olahraga, menyampaikan pernyataan keberatan atas aksi itu disertai wanti-wanti akan melaporkannya ike kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter terhadap Ketua KONI yang dirangkap oleh Gubernur Lampung.

    Pernyataan Bang Alzier dan kawan-kawan itu menarik bagi saya karena masih lekat di ingatan saya betapa lugasnya beliau dan beberapa pimpinan partai lainnya dua tahun yang lalu mengkritik dan memberi berbagai catatan terhadap kinerja Gubernur Lampung dalam tata kelola pemerintahannya. Sebuah perubahan sikap yang sangat berbeda 180 derajat dibandingkan dengan pembelaan yang beliau lakukan beberapa bulan terakhir. Sekali lagi adagium “lawannya lawan adalah kawan atau lawannya kawan adalah lawan” tampaknya masih menjadi rumus yang diamalkan.

    Saya bukan seorang ahli hukum dan tidak pernah belajar hukum lebih dari sekedar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Saya menempuh pendidikan sarjana di Ilmu Pemerintahan dan pasca sarjana dengan kekhususan tentang Otonomi. Karena itu dalam tulisan ini saya tidak akan menelisik lebih dalam materi hukum yang bukan kompetensi saya. Saya hanya berusaha memahami sengkarut masalah KONI Lampung dari sisi regulasi pemerintahan.

    Dimulai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 62 menerangkan tentang redaksi Sumpah/Janji Jabatan Kepala Daerah (KDH), diawali dengan bersumpah atas nama Allah seorang KDH bersumpah akan “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”.

    Pasal 67 berisi tentang Kewajiban Kepala Daerah, pada butir b disebutkan; “menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    Pasal 76 isinya tentang Larangan bagi Kepala Daerah, pada butir g tertulis lugas; “menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya”.

    Pasal 78 menjelaskan tentang Pemberhentian Kepala Daerah, pada ayat 2 butir c, d dan e dapat dibaca bahwa seorang Kepala Daerah diberhentikan karena melanggar sumpah/janji jabatannya (pasal 62), karena tidak melaksanakan kewajiban (pasal 67), karena melanggar larangan (pasal 78).

    Pasal 80 dan 81 menjelaskan tentang Tata Cara Pemberhentian Kepala Daerah. Pasal 80 memberitahu kita bahwa DPRD Provinsi dapat mengusulkan pemberhentian Gubernur cukup dengan persetujuan 43 orang anggota (2/3) pada rapat yang dihadiri 64 orang anggota (3/4) dari 85 orang keseluruhan anggota DPRD Provinsi Lampung. Sedangkan pada pasal 81 diterangkan bahwa usulan pemberhentian juga dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui DPRD.

    Kedua-duanya harus melalui uji materi di Mahkamah Agung sebelum ditindaklanjuti oleh Presiden. Keseluruhan prosesnya dibatasi tidak terlalu lama dan berlangsung tidak lebih dari hitungan bulan.

    Masih merujuk ke UU 23, pasal 108 tentang kewajiban Anggota DPRD pada butir b menyebutkan: “… dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan pasal 134 ayat 1 pada butir c melarang Anggota DPRD merangkap jabatan di; “… badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD”.

    Pasal 135 berisi tentang jenis sanksi sampai ke sanksi pemberhentian. Pasal 139 ayat 2 pada butir g menerangkan bahwa Anggota DPRD diberhentikan jika; “melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. (pasal 134).

    Setelah membaca UU 23, saya kemudian mencari regulasi bidang olahraga. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) merupakan induk dari seluruh regulasi negara di bidang olahraga.
    Pada pasal 40 disebutkan; “Pengurus komite olahraga nasional bersifat mandiri, tidak terikat dengan kegiatan Jabatan Struktural dan Jabatan Publik”.

    Ketentuan larangan rangkap jabatan publik pada UU SKN itu dijabarkan lebih detail melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Pada pasal 56 ayat 4 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jabatan publik adalah; “jabatan yang diperoleh melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, antara lain Presiden/Wakil Presiden dan anggota kabinet, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, anggota DPR-RI, anggota DPRD, hakim agung, anggota Komisi Yudisial, Kapolri, dan Panglima TNI”.

    Setelah membaca semua rujukan di atas, bagi saya sudah sangat terang benderang bahwa gubernur dan anggota DPRD dilarang menjadi pengurus KONI. Sejak pertama kali isu ini mengemuka, bahkan sampai hari ini saya masih mengalami kesulitan untuk memahami alasan yang disampaikan para pejabat publik yang rangkap jabatan menjadi pengurus KONI Lampung. Mereka mengakui bahwa larangan itu ada tetapi menurut mereka tidak apa-apa dilanggar karena dalam UU SKN tidak ada ketentuan tentang sanksinya. Pengetahuan teoritis maupun praktis saya tentang hukum sangat terbatas, tetapi logika dasar tentu tidak sulit untuk mengerti bahwa sanksi bagi pejabat publik yang melanggar larangan rangkap jabatan itu tidak diatur dalam UU SKN karena telah sangat detail diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.

    Jika saya seorang pimpinan partai tingkat provinsi di Lampung, tentu sejak dua tahun yang lalu saya sudah menginstruksikan fraksi partai yang saya pimpin untuk mengajukan usul pemberhentian gubernur karena telah melanggar sumpah jabatan, tidak menjalankan kewajiban dan melanggar larangan dengan merangkap jabatan menjadi Ketua KONI Lampung. Terlepas dari apakah usulan itu akan berhasil atau kandas di parlemen, setidaknya sudah berikhtiar untuk menjalankan kewajiban moral dan konstitusional.
    Jika saya seorang ketua partai di Lampung yang anggota fraksinya melakukan pelanggaran rangkap jabatan, tentu sudah sejak dua tahun yang lalu saya mengajukan Pergantian Antar Waktu (PAW) mereka.

    Walaupun kenaikannya fantastis (hampir tiga kali lipat dibandingkan PON sebelumnya) dengan hasil yang berbanding terbalik (peringkat terburuk selama 30 tahun terakhir), saya tidak akan mengomentari lebih jauh tentang dugaan unsur pidana korupsi qdalam penggunaan anggaran KONI dari APBD, karena itu telah menjadi domain kejaksaan dan sampai hari ini saya belum pernah mendengar maupun membaca keputusan atau pernyataan dari Kejaksaan Tinggi Lampung bahwa penanganan kasus KONI sudah mereka hentikan.

    Bagi saya dugaan potensi kerugian negara akibat pelanggaran larangan rangkap jabatan itu tidak bersifat parsial hanya pada item-item tertentu seperti yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK-RI. Dalam pandangan subyektif saya, seluruh penggunaan APBD dalam kegiatan KONI Lampung sejak pelantikan sampai hari ini adalah kerugian negara, mengapa? Karena dikelola oleh mereka yang tidak berhak dan dilarang oleh UU 23/2014, UU 3/2005 dan PP 16/2007. Seperti membangun rumah tangga dari para mempelai yang dilarang dan diharamkan menikah karena masih mahramnya, selama pernikahan itu tidak diakhiri selama itu pulalah pelanggaran terus berlangsung, selama itu pula pernikahan itu tetap berstatus haram, tidak akan pernah berubah menjadi mubah apalagi halal.

  • Jika Mau! DP Rumah 0% Juga Bisa di Sini

    Jika Mau! DP Rumah 0% Juga Bisa di Sini

    Oleh Ilwadi Perkasa

    SEMULA banyak dicemooh, bahkan dianggap sebagai program yang mustahil bisa berjalan, namun program kredit rumah uang muka 0 persen akhirnya resmi diluncurkan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

    Program Solusi Rumah Warga (Samawa) merupakan realisasi janji kampanye Anies-Sandi saat pilkada DKI tahun lalu. Sayangnya, kredit 0 persen tersebut hanya berlaku untuk warga yang punya KTP Jakarta. Orang Lampung atau Banten atau daerah-daerah yang dekat Jakarta tidak bisa.

    Samawa adalah program jenius yang ditawarkan Anies-Sandi. Semula dianggap remeh, dan dikesankan sebagai mimpi besar di siang bolong. Kenyataannya, program ini berhasil diwujudkan dengan angka proyeksi menakjubkan; membantu 51,7 persen warga Jakarta yang belum memiliki rumah sendiri.

    Program Samawa jauh lebih maju dibanding pembangunan rumah susun yang dikembangkan Ahok selama menjadi gubernur Jakarta. Sama seperti Ahok, pembangunan rumah susun untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah juga dikembangkan Walikota Bandarlampung, Herman HN, meski dalam jumlah yang sangat terbatas.

    Program rumah DP 0 persen lebih menyentuh, karena memberikan jalan bagi warga untuk memiliki rumah sendiri, meski harus membayar cicilan utangnya. Sementara rumah susun cuma sekedar rumah sewaan yang mesti dibayar tiap bulan atau tahunan.

    Tak bisa dipungkiri, banyak sekali rumah tangga di Lampung tak punya rumah sendiri, karena tidak mampu membeli rumah karena terkendala uang muka yang cukup tinggi. Jika Jakarta bisa, program serupa tentu bisa diadopsi juga oleh para kepala daerah di Provinsi Lampung, khususnya Pemerintah Kota Bandarlampung.

    Lagi pula, ternyata progam Samawa tak serumit yang dibayangkan. Skemanya sederhana; pembayaran DP 20 persen dibiayai melalui dana talangan pemerintah daerah. Selanjutnya penerima manfaat membayar cicilannya selama 15 tahun dan 20 tahun.

    Sebagai warga Bandarlampung, kita tentu bersyukur punya walikota yang berhasil membawa kemajuan bagi kota ini. Lewat visinya yang tajam, Herman HN sukses membangun banyak jalan layang hingga mengubah wajah kota menjadi metropolitan.

    Dan, karena program Samawa bisa juga dikembangkan di sini. Dan kepadanya kita minta agar Herman HN dapat memberikan jalan bagi warga kota berpenghasilan rendah untuk punya rumah sendiri. Jakarta bisa, Bandarlampung bisa!, Semoga. (***)

    Penulis adalah Dewan Redaksi Sinarlampung.com