Kategori: Opini

  • Negara Dengan Banyak Bos

    Negara Dengan Banyak Bos

    Oleh : Hersubeno Arief

    Siapa sebenarnya “Bos besar” di negara ini? Kalau Anda jawab “Presiden Jokowi,” seharusnya jawaban itu benar, malah sangat benar.

    Masalah akan muncul bila ada pertanyaan dengan jawaban berganda (multiple choice) a. Jokowi, b.Luhut Panjaitan, c. Megawati, d. Rini Soemarno, e. Ignasius Jonan. Dijamin Anda akan bingung menjawabnya. Kemungkinan besar malah akan ada yang balik bertanya, “kok nama Jusuf Kalla tidak ada?”

    Pembatalan, atau tepatnya penundaan kenaikan harga premium, kurang lebih satu jam setelah resmi diumumkan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan menjadi contoh terbaru. Betapa membingungkannya negara ini.

    Bagaimana sesungguhnya negara ini dikelola? Bagaimana proses pengambilan keputusannya? Apa dasar keputusan tersebut? Dan siapa yang berhak memutuskan?

    Coba perhatikan alur cerita berikut secara kronologis. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan premium. Pada pagi harinya PT Pertamina mengumumkan kenaikan sejumlah BBM non subsidi.

    Berita tersebut menjadi breaking newsdi beberapa media online dan televisi. Jonan membeberkan alasan di balik keputusan Presiden Joko Widodomenaikkan harga BBM bersubsidi ini. Harga minyak brent di pasaran dunia sudah mencapai US$ 85/barel. Sejak Januari mengalami kenaikan 30%. Sementara kenaikan harga di dalam negeri kurang dari 25%. Jadi ada defisit, tidak bisa diteruskan.

    “Karena itu pemerintah mempertimbangkan sesuai arahan Presiden Jokowi premium hari ini naik pukul 18.00 paling cepat tergantung kesiapan Pertamina ke 2.500 SPBU,” kata Jonan saat menggelar konferensi pers di Hotel Sofitel, Bali, Rabu (10/10/2018).

    Namun tak lama berselang Jonan membuat keterangan tertulis “Sesuai arahan Bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina,” tulis Jonan.

    Coba perhatikan kata-kata “sesuai arahan Bapak Presiden.” Dua-duanya sesuai arahan Presiden. Baik keputusan untuk menaikkan, maupun menunda kenaikan. Jadi Jonan tidak mengambil keputusan sendiri. Dan rasanya kita haqul yakin, tidak mungkin untuk keputusan sepenting itu, apalagi di musim kampanye, Jonan berani mengambil keputusan sendiri. Itu sudah terlalu jauh.

    Kebingungan publik tidak hanya berhenti sampai disitu. Tidak lama setelah itu, Deputi Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menjelaskan alasan pembatalan tersebut.

    “Bu Menteri (BUMN, Rini Soemarno) meng-crosscheck dengan Pertamina dan menyampaikan bahwa kami tidak siap untuk melakukan dua kali kenaikan dalam waktu satu hari. Jadi perlu waktu,” kata Fajar di Indonesia Pavilion Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018).

    Menurut Fajar, kenaikan harga BBM Premium harus dilihat dari tiga aspek yang mendasari dan tertuang dalam Perpres Nomor 43 Tahun 2018. “Pertama kondisi keuangan negara dan kedua adalah kemampuan daya beli masyarakat, serta yang ketiga adalah kondisi real ekonomi.”

    Fakta lain yang diungkap Fajar juga cukup menarik. “Kenaikan harga premium akan diputuskan dalam rapat koordinasi (rakor) di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.”

    Jonan berada di Bali, begitu juga Rini juga berada di Bali. Sama-sama menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Presiden Jokowi sejak Rabu (10/10) malam juga berada di Bali, untuk acara yang sama. Media menulis berita ini dengan judul menarik “ Ada Rini di balik penundaan kenaikan premium.” Nah……

    Dari rangkaian pernyataan para pejabat tadi dapat disimpulkan, keputusan menaikkan harga premium adalah arahan Jokowi kepada Jonan. Menko Perekonomian Darmin Nasution tidak tahu menahu. Menteri Rini juga tidak tahu. Pertamina juga tidak tahu, dan tidak siap. Rini minta Presiden menunda.

    Dimana peran Wapres Jusuf Kalla? Tidak ada. Sudah sejak lama Kalla banyak tidak dilibatkan dalam pengambilan berbagai keputusan penting. Perannya sangat berbeda dengan saat masih mendampingi SBY. Powerfull, bahkan sering terkesan seperti presiden bayangan. Pada masa Jokowi yang sangat berperan adalah Menko Maritim Luhut Panjaitan. Dia sering disebut sebagai super minister.Semua urusan dibereskan Luhut, termasuk saat Jokowi punya perhelatan menikahkan anaknya.

    Jonan akhirnya terpaksa menarik pernyataannya. Namun media sudah mencatat, bahwa baik pengumuman, maupun penundaan, dua-duanya “atas arahan Bapak Presiden.” Sebagai bawahan Jonan tidak salah. Dia hanya menjalankan arahan presiden. Yang salah bila dia tidak menjalankan arahan Presiden.

    Seorang mantan menteri di kabinet Jokowi hanya bisa bisa geleng-geleng kepala. “Aku speechless mas.” Kehabisan kata-kata.

    Hanya contoh kecil
    Inkonsistensi alias sering berubah-ubahnya keputusan pemerintah, bukan hanya pada kasus kenaikan harga BBM. Banyak contoh lain. Tinggal kuat-kuatan mengumpulkan data. Dalam peribahasa Jawa disebut “esuk dele, sore tempe.
    Pagi hari masih berupa kedelai, tapi sore harinya sudah menjadi tempe.” Tidak konsisten, antara ucapan dan perbuatan. Hanya dalam hitungan jam, sudah berubah sikap. Dalam bahasa sekarang disebut tukang bikin hoax.

    Pada penanganan gempa di Palu, Sigi, dan Donggala, Presiden Jokowi mempersilakan bantuan asing masuk. “Bapak Presiden telah menyampaikan kepada Ibu Menteri Luar Negeri untuk membuka bantuan dari negara lain, dalam mengatasi gempa di Donggala dan Palu sesuai kebutuhan,” kata Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi di Jakarta, Senin (1/10). Koordinasinya akan dilakukan oleh Menko Polhukam.

    Tak lama kemudian media sempat memberitakan Wapres Jusuf Kalla menolak bantuan asing. Namun pernyataan ini kemudian diluruskan, bahwa yang ditolak adalah bantuan pasukan, termasuk kapal rumah sakit militer. Sementara untuk bantuan rehabilitasi dalam jangka panjang tetap diterima.

    Bagaimana faktanya di lapangan? Situs berita Jerman Deutsche Wellemelaporkan para relawan asing diusir. Termasuk sejumlah relawan terlatih dari Jeman. “Semua anggota tim harus kembali ke negaranya masing-masing. Mereka tidak dibutuhkan di Indonesia,” kisah Ahmed Bham seorang relawan dari Afrika Selatan. Bayangkan. Jauh-jauh datang dari Afsel untuk membantu, malah “diusir.”

    Masih soal penanganan bencana di Sulteng, Mendagri Tjahjo Kumolo kalang kabut ketika instruksinya mempersilakan warga mengambil barang di sejumlah mini market, berbuntut penjarahan. Dia kemudian malah menyalahkan media yang memelintir ucapannya.

    Di Lombok warga korban bencana marah dan kesal karena bantuan yang dijanjikan tak kunjung cair. Secara simbolis Presiden Jokowi menyerahkan bantuan masing-masing sebesar Rp 50 juta untuk warga yang rumahnya rusak berat. Danaya jelas  sudah tertera di dalam rekening bank BRI, namun  tetap tak dapat dicairkan. Rekening bodong. Ajaib.

    Belakangan ada surat edaran dari Kemensos semacam ‘pengakuan dosa.” Anggaran Kemensos sedang cekak, jangan umbar janji bantuan.” Nah siapa yang umbar janji. Siapa yang berbohong?

    Daftar kekonyolan tersebut semakin panjang, bila kita telusuri selama empat tahun lebih Presiden Jokowi berkuasa. Hanya enam bulan setelah berkuasa, Jokowi menandatangani Perpres bantuan uang muka untuk pembelian mobil pejabat. Setelah muncul kritikan pedas, Jokowi membatalkannya. Dia berkilah tidak mungkin membaca satu persatu dokumen yang ditanda tanganinya.

    Harian berbahasa Inggris milik keluarga James Riady, Jakarta Globe kemudian membuat sebuah judul : “I Don’t Read, What I Sign.” Idiom ini kemudian menjadi trending topic di twitter. Sikap Jokowi yang terkesan menyalahkan bawahannya mendapat komentar dari Tommy Soeharto. “Pemimpin yang menyalahkan bawahan ketika sedang terdesak adalah pemimpin yang “tidak bertanggung jawab”, cuit Tommy.

    Publik pasti belum lupa dengan kasus Archandra Tahar. Menteri ESDM tersebut hanya menduduki posisinya selama 20 hari. Dia dilantik 27 Juli 2016 menggantikan Sudirman Said pada reshuffle Kabinet Jilid II. Tanggal 15 Agustus 2016 diberhentikan. Archandra diketahui menjadi pemegang paspor AS.

    Bagaimana mungkin pemegang paspor negara lain—berarti dia warga asing, atau setidaknya berkewarganegaraan ganda—diangkat menjadi menteri? Jelas merupakan pelanggaran konstitusi.

    Apa tidak ada pengecekan, clearancedari BIN, dan Deplu? Bukankah Presiden bisa memerintahkan Deplu untuk melakukan pengecekan ke Kedutaan Besar RI di AS, atau Konsulat Jenderal RI di Houston tempat Archandra tinggal? Namun show must go on. Setelah dua bulan mencari celah, pada 14 Oktober Archandra Kembali ke kabinet. Posisinya turun menjadi Wakil Menteri.

    Banyaknya kekacauan pengambilan keputusan/kebijakan dalam pemerintahan Jokowi memunculkan banyak pertanyaan soal kapasitasnya. Dalam militer dikenal sebuah pameo “Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah adalah komandannya.”
    Bagaimana jika komandannya terlalu “banyak”? Fenomena ini sering digambarkan dalam sebuah frasa “too many chief, not enough Indians.” Frasa yang terkesan rasis ini menggambarkan situasi kerja yang terlalu banyak bos, tapi sedikit pekerja.

    Bila dalam sebuah negara, banyak yang merasa menjadi bos, keputusan satu dengan lainnya bertentangan. Rakyat menjadi bingung. Seperti sebuah pesawat yang kebanyakan pilot. Mereka saling berebut menguasai pesawat. Yang  terbaik, ikuti saran pramugari “ Kembali ke tempat duduk masing-masing. Kencangkan sabuk pengaman.” Pesawat akan mengalami turbulensi. Masalahnya“penerbangannya” akan menempuh waktu selama lima tahun. Masih kuat?

  • Membiarkan RTRW yang Buruk = Mengundang Bencana

    Membiarkan RTRW yang Buruk = Mengundang Bencana

    Oleh : Ilwadi Perkasa

    BANYAKNYA korban akibat bencana gempa dan tsunami sesungguhnya adalah akibat amburadulnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Informasi dan pengetahuan terkait zona rawan bencana gempa terkesan tertutupi oleh pembukaan kawasan pemukiman yang berkembang sangat pesat.

    Peristiwa gempa dan tsunami Palu Donggala adalah bukti nyata bahwa ‘kerusakan’ tata ruang sangat mungkin terjadi di mana-nama. Yang paling menarik dibahas adalah keterangan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.

    Dia mengatakan pada 2012 telah dilakukan penelitian oleh Badan Geologi mengenai potensi likuifaksi di Kota Palu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wilayah Palu merupakan daerah dengan potensi likuifaksi sangat tinggi.

    Bisa dibayangkan hasil penelian yang menyebutkan potensi kerawananan sangat tinggi itu ‘diabaikan’ hingga bencana terjadi. Lalu, bagaimana dengan di Lampung, apakah sudah pernah ada penelitian yang sama?

    Untuk memahami kerawanan bencana gempa khususnya di Bandarlampung, coba kita sedikit mundur ke belakang. Pada 2006 lalu, saat itu Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung, dipimpin Bambang S.N., menyebutkan bahwa Lampung merupakan daerah rawan gempa.

    Pada tahun itu (Mei-Juli) hampir setiap hari terjadi gempa di Lampung. Meski sering, kekuatan gempa tidak lebih dari 5 Skala Richter. Menurut Bambang, gempa yang sering terjadi merupakan gempa lokal yang berpusat di Gunung Betung.

    Hal ini akibat adanya pergerakan tanah dan bebatuan di daerah tersebut. Pergerakan tanah dan bebatuan karena lapisan tanah yang aktif sedang mencari kestabilan. Apakah ini bentuk awal terjadinya fenomena likufaksi?

    Untuk menjawabnya tentu perlu penelitian. Dia juga mengatakan, Lampung juga sangat mungkin terlanda tsunami karena letak geografisnya serupa dengan pesisir selatan Pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan daerah pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng Australia.

    Pemerintah daerah sebaiknya mensosialisasikan kondisi ini terutama kepada warga di sepanjang pesisir selatan Kalianda, pesisir Bandar Lampung, pesisir Tenggamus dan Lampung Barat. Kewaspadaan terhadap ancaman bencana sangat penting.

    Sebab, Lampung belum mempunyai alat pendeteksi dan sistem peringatan dini terhadap bencana gempa. “Jadi langkah ini yang paling tepat dan sebagai tindak lanjut simulasi bencana gempa.”gempa di Lampung juga memicu isu tsunami.

    Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung 2009-2029 dan studi mitigasi bencana Kota Bandar Lampung tahun 2009, wilayah Kota Bandar Lampung memiliki beberapa kawasan yang diidentifikasi sebagai kawasan rawan bencana alam, seperti gempa bumi, tanah longsor dan banjir.

    @Bencana Tanah Longsor dan Gerakan Tanah Secara eksisting kawasan rawan tanah longsor di Kota Bandar Lampung terdapat di daerah yang kondisi tanahnya sangat miring sampai curam di wilayah bagian barat yaitu Kawasan Gunung Betung, Gunung Balau serta perbukitan Serampok di bagian timur.

    Berdasarkan laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesi bulan September 2010, beberapa wilayah di Bandar Lampung juga memiliki potensi gerakan tanah kategori menengah di Kecamatan Sukarame, Tanjung Karang Timur, Panjang, Teluk Betung Utara, Teluk Betung Barat, Tanjung Karang Pusat, dan Tanjung Karang Barat.

    @Rawan Gelombang Pasang dan Tsunami Berdasarkan analisis tektonik kawasan yang rawan terhadap bencana tsunami di Kota Bandar Lampung dan sekitarnya terletak di bagian utara komplek hunjaman Sunda dan di barat-utara Gunung Krakatau yang berpotensi menimbulkan gelombang tsunami.

    Kondisi eksisting menunjukan beberapa kawasan di Bandar Lampung berbatasan langsung dengan Teluk Lampung dan memiliki topografi landai, yaitu wilayah-wilayah Kecamatan Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Barat, dan Panjang dimana daerah ini teridentifikasi sebagai kawasan terhadap rawan bencana gelombang tsunami.

    @Rawan Gempa Bumi Pengamatan lapangan dan penelitian menjelaskan bahwa Kota Bandar Lampung memiliki potensi bahaya alam yang terdiri dari bahaya goncangan gempa bumi, pergeseran tanah “ ground – faulting” bahaya pelulukan/likuifaksi akibat dari bahaya ikutan “colateral hazard” gempa bumi, tumbuh-tumbuhan yang semakin gundul, kondisi batuan yang sebagian sudah lapuk, pola drainase, kandungan cairan dalam batuan dan tanah lapukan dan tanah di beberapa tempat menunjukkan kondisi yang rentan terhadap gempa bumi.

    Kawasan rawan gempabumi teridentifikasi dan dikelompokan dalam 5 zona berdasarkan potensi besaran gempa dengan skala VII MMI – IX MMI. Wilayah paling rawan berada di sekitar Teluk Betung Selatan, Panjang, sebagian Teluk Betung Utara, Teluk Betung Barat, dan Tanjung Karang Pusat. Sedangkan kawasan yang relatif aman dengan potensi paling rendah ada di Kecamatan Rajabasa, Kecamatan Kedaton, Kecamatan Sukarame, dan Kecamatan Tanjung Senang. (***)

    Penulis adalah Dewan Redaksi Sinarlampung.com

  • Uang Palsu Jelang Pemilu 2019 Di Lampung Utara?

    Uang Palsu Jelang Pemilu 2019 Di Lampung Utara?

    Oleh : Ardiansyah*

    Beragam upaya dilakukan dalam hal meraih kemenangan pada tiap-tiap pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia. Mulai dari meraih simpati pemilih dengan strategi politik yang elegan, hingga pergerakan massif yang melanggar undang-undang kepemiluan, pun dilabrak.

    Diyakini, strategi pemenangan dalam aktifitas politik praktis sangat akrab dengan praktik politik uang (money politik). Langkah tersebut diambil oknum tertentu karena dianggap hal yang paling efektif untuk meraup suara pemilih dengan instan. Pada praktik di lapangan, banyak sekali ditemukan contoh kasus jika politik uang memainkan peran yang samgat ampuh untuk meraup pundi-pundi suara pemilih. Umumnya, strategi tersebut dilakukan oknum caleg dan tim suksesnya dengan menyusupkan praktik politik uang di pelosok desa yang jauh dari jangkauan pengawasan penyelenggara Pemilu.

    Terkait fenomena politik tersebut, baru-baru ini ramai diberitakan oleh berbagai media massa, baik cetak, elektronik, maupun media siber, telah tertangkap dua orang oknum karyawan salah satu toko kosmetik yang berada di Kecamatan Bukit Kemuning, Kabupaten Lampung Utara, disebabkan mengelabui pemilik toko tempatnya bekerja dengan menukar sejumlah uang Rp.2.000.000,- hasil tagihan setoran dari konsumen toko tersebut dengan uang palsu (upal) pecahan Rp.50.000,- senilai uang setoran dimaksud.

    Pecahan uang palsu Rp.50.000,- dalam kaitannya dengan kasus dimaksud tentu tidak sedikit jumlahnya. Namun, yang patut menjadi pertanyaan, darimanakah asal uang palsu tersebut didapatkan oleh kedua oknum karyawan toko kosmetik itu?

    Mengingat pelaksanaan Pemilihan Umum 2019 sudah diambang pintu, baik itu untuk perebutan kursi legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, harus diwaspadai, ada korelasi yang kuat jika sindikat uang palsu yang ada di Kec. Bukit Kemuning tidak terbongkar oleh aparatur penegak hukum, bukan tidak mungkin Kabupaten Lampung Utara akan bertabur uang palsu pada pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang. Bisa jadi akan menjadi lahan subur oknum caleg maupun tim sukses tertentu untuk memainkan praktik politik uang palsu.

    Perlu ada pencegahan serta deteksi dini dengan mengubah mindset masyarakat. Pengawasan Pemilu 2019 agar berjalan adil dan bermartabat mutlak melibatkan masyarakat di setiap tingkatan sebagai subjek pengawasan dalam tahapan Pemilu.

    Praktik politik uang sangat mungkin dilaksanakan memasuki tahapan kampanye. Ketidak-awasan penyelenggara Pemilu dan jajaran, dalam hal mengawasi, mendeteksi, serta mencegah pelanggaran Pidana Pemilu, tentu berimplikasi pada ketidaksuksesan penyelenggarannya. Itu berarti, Pemilu bukanlah pesta demokrasi yang adil dan bermartabat. Melainkan, ajang transaksi kursi keterwakilan serta pembodohan hak-hak politik masyarakat secara menyeluruh.

    Dan yang lebih fatal adalah kemungkinan diterapkannya strategi politik uang palsu dalam masa kampanye yang berlangsung dengan tenggat waktu yang panjang.

    Untuk diketahui, adapun landasan hukum dan peraturan terkait Kampanye Pemilu 2019, yakni UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu; PKPU nomor 32 tahun 2018 tentang Perubahan PKPU nomor 7 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2019; PKPU nomor 23, 28, dan 33 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu 2019; serta Perbawaslu nomor 28 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu 2019.

    Dalam pandangan ini, penulis mengimbau agar masyarakat secara umum juga turut berperan serta sebagai ‘penyelenggara Pemilu’ dalam hal pengawasan, pendeteksian, dan pencegahan pelanggaraan yang dapat terjerat pidana pemilu.

    * Penulis adalah wartawan media siber Sinar Lampung.

  • Habib Rizieq Syihab Dalam Cengkeraman Intelijen

    Habib Rizieq Syihab Dalam Cengkeraman Intelijen

    Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, Ketua Umum HRS Center

    Pencegahan terhadap Imam Besar Indonesia Habib Rizieq Syihab (HRS) untuk ke luar dari Saudi Arabia tidak dapat dilepaskan dari adanya motif politik yang mempengaruhinya. Motif politik tersebut sangat terkait dengan tahun politik (Pileg dan Pilpres) yang menjadi pusat perhatian publik. Di sisi lain, pencegahan yang dialami oleh HRS ditengarai adanya pengaruh kekuatan yang ‘dimainkan’ oleh pihak intelijen.

    Pada prinsipnya, konsep intelijen terkorelasi langsung dengan konsep Keamanan Nasional, dimana intelijen dipandang sebagai sebuah alat pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap ancaman bagi Keamanan Nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang atau kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi Keamanan Nasional, maka dilakukan serangkaian tindakan berupa pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan. Terkait dengan hubungan antara intelijen dan Negara – yang kemudian melahirkan konsep intelijen Negara – terdapat 2 (dua) tipe intelijen Negara yaitu tipe ideal intelijen Negara dalam rezim otoriter dan tipe ideal intelijen Negara dalam rezim demokratik.

    Pada kondisi yang dialami oleh HRS terdapat asumsi adanya keterhubungan antara kepentingan politik dan intelijen Negara, maka tipe interaksi intelijen negara mengarah kepada intelijen politik. Tipe ini untuk mengantisipasi munculnya ancaman-ancaman internal yang terutama berasal dari oposisi politik, yaitu orang atau organisasi yang merupakan ‘lawan politik’ rejim yang berkuasa. Lazimnya intelijen politik berlaku pada Negara yang berkarakter otoriter.

    Kita ketahui, bahwa sejumlah kasus yang ‘menjerat’ HRS sebelumnya sangatlah dipaksakan adanya, nuansa ‘kriminalisasi’ demikian terasa. Pemenuhan unsur delik maupun alat bukti cenderung dipaksakan. Belum lagi, berbagai ancaman berupa teror kepada HRS demikian nyata, sehingga HRS mau tidak mau harus mengambil langkah penyelamatan (hijrah) ke Saudi Arabia guna menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan. Hijrahnya beliau bersama keluarga mengacu kepada hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah dari ancaman dan teror kaum kafir Quraisy Makkah.

    Dalam perspektif politik kekuasaan, terdapat dua model yang lazim diterapkan yakni ‘perangkulan’ dan ‘penggalangan’, model ini pun lazim dilakukan oleh intelijen Negara. Apabila perangkulan atau penggalangan tidak mampu dilakukan, maka model lainnya adalah ‘penumbangan’, atau setidak-tidaknya ‘pembatasan’. Dari sejumlah informasi yang penulis himpun, diketahui bahwa HRS ternyata tidak dapat untuk dirangkul atau digalang oleh pihak-pihak tertentu, dan ini terjadi ketika kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mencuat.

    Berbagai tawaran disampaikan kepada HRS, seperti sejumlah uang yang sangat fantastis berjumlah ‘satu triliun’ dan lain-lain. Namun kesemuanya itu ditolak mentah-mentah oleh HRS. Dapat dikatakan, upaya ‘perangkulan’ atau ‘penggalangan’ sia-sia adanya. Oleh karena misi ‘perangkulan’ atau ‘penggalangan’ tidak dapat dilakukan, maka tindakan ancaman berupa teror menjadi model untuk melemahkan yang bersangkutan. Penembakan di kediaman HRS (Pesantren Mega Mendung) dan peledakan Bom saat acara FPI di Cawang Jakarta Timur adalah bentuk teror kepada HRS yang sampai pada saat ini tidak ada kejelasannya.

    Lebih lanjut, adanya kenyataan HRS dicegah untuk meninggalkan Saudi Arabia menuju Malaysia ternyata diketahui terkait dengan keselamatan diri beliau, sebagaimana disampaikan pihak Kerajaan Saudi Arabia melalui Duta Besar Kerajaan Saudi Arabia di Indonesia beberapa hari yang lalu. Jika hal tersebut benar adanya, maka HRS telah diposisikan sebagai orang yang merupakan lawan politik rejim yang berkuasa. HRS menjadi ancaman bagi kepentingan rezim yang berkuasa, dan ini sangat terkait dengan kepentingan Pilpres 2019. Terlebih lagi adanya informasi yang menyebutkan bahwa kediaman HRS saat ini di Makkah diawasi oleh pihak Badan Intelejen Negara (BIN), dimana BIN menyewa rumah yang letaknya di depan rumah HRS. Dapat dipastikan, kegiatan memantau HRS sangat terkait dengan kepentingan pembatasan ruang gerak HRS.

    Di sisi lain, overstay yang terjadi ternyata memang telah dikondisikan sedemikian rupa sebelumnya. Konsekuensinya HRS diposisikan sebagai Warga Negara Indonesia ‘undocumented”, karena izin tinggal telah habis sejak tanggal 21 Juli 2018. Dengan adanya ‘penciptaan’ overstay ini, HRS terancam di deportasi (pengusiran) dengan tindakan-tindakan pendahuluan berupa hukuman imigrasi maksimum 1 (satu) tahun, selain terkena sanksi denda yang besar dan sanksi blacklsit tidak boleh ke Saudi Arabia dalam beberapa tahun ke depan.

    HRS juga mengalami pembatasan khusus, termasuk bertemu dengan orang lain dan bahkan tidak bisa ke luar rumah dengan pemantauan langsung dari pihak BIN, sungguh memprihatinkan. Kiranya, apa yang dialami oleh HRS adalah ‘karantina terselubung’ dengan pengawasan khusus oleh BIN.

    Penulis berpendapat, apa yang dialami oleh HRS adalah rekayasa sistematis terkait dengan kegiatan intelijen politik dan tahun politik. Sepertinya ada pihak-pihak tertentu dalam rezim ini yang menginginkan pembatasan ruang gerak HRS, bukan saja di Saudi Arabia namun juga pembatasan ruang gerak di Indonesia.

    Jika HRS mengalami pencegahan tidak bisa meninggalkan Saudi Arabia selama waktu maksimum, yakni satu tahun sejak tanggal 21 Juli 2018, maka itu berkorelasi dengan hari pelaksanaan pemungutan suara Pemilu (April 2019). Dengan kata lain, memang HRS telah dikondisikan sedemikian rupa untuk tidak berada di Indonesia, minimal sampai hari pemungutan suara.

    Asumsi lainnya, bisa saja terjadi HRS akan dideportasi dalam waktu yang tidak berlangsung lama, pada saat yang bersamaan kasus yang menjeratnya dibuka kembali (pembatalan SP3) dan kemudian perkara dilimpahkan ke Pengadilan untuk selanjutnya dapat dilakukan penahanan terhadap HRS guna kepentingan proses peradilan. Kesemuanya itu menunjuk pada suatu prakondisi, agar HRS tidak mampu lagi memobilisasi massa secara langsung sebagaimana terjadi pada Aksi Bela Islam yang bergelombang dengan Aksi Fenomenal 212 mampu menumbangkan sang petahana Ahok. Jadi, kembalinya HRS ke Tanah Air tentu sangat dikhawatirkan, tumbangnya Ahok pada Pilkada Jakarta tentu tidak diinginkan terulang kembali pada Pilpres 2019.

    Tegasnya, kekhawatiran pihak-pihak tertentu itulah yang menjadikan HRS pada kondisi seperti saat ini. Disinilah terkonfirmasi adanya hubungan yang sangat erat antara intelijen dan politik, yang melahirkan suatu rekayasa sistemik penciptaan overstay HRS dan pembatasan ruang gerak HRS dalam kaitannya dengan agenda “2019 Ganti Presiden”.*

  • Dasar Setan!

    Dasar Setan!

    Oleh: Ilwadi Perkasa

    SEJAK kebohongannya diakui sendiri, sejak itu pula Ratna Sarumpaet menjadi makhluk paling terkutuk di negeri ini. Semuanya orang benci dia, tak ada yang membela, bahkan para sahabat pun berniat mempolisikannya.

    Ratna memang pembohong besar. Itu ia akui sendiri, dan kebohongan yang paling hebat adalah kebohongan korban penganiayaan. Perkara yang sebetulnya sepele mendadak menjadi ‘gempa’ besar, karena terjadi persis saat tensi persaingan pilpres tengah panas.

    Banyak hal menarik dari kasus Bohong Ratna ini. Salah satunya, Ratna mengambinghitamkan setan yang telah memengaruhinya. Padahal, jika melihat rekam jejak dari renteten hoaks yang pernah diproduksinya, maka jangan-jangan dia sendiri setannya. Setan penyebar hoaks berwujud manusia.

    Pada 3 Mei 2018, Ratna pernah menyebar kabar bahwa PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dijual oleh Presiden Jokowi kepada pemerintah Tiongkok. Kabar itu langsung disanggah PTDI melalui akun Twitter resminya. Perusahaan itu menyebut hoaks yang dilayangkan Ratna adalah “mainan” lama yang berupaya digulirkan kembali.

    Setelah disanggah, Ratna minta maaf.

    Lalu, pada September 2018, Ratna juga menyebar cerita soal dana Rp23 triliun dari Union Bank of Switzerland (UBS) yang ditransfer ke BNI, Mandiri, BCA untuk donasi pembangunan Papua. Dana tersebut diklaim Ratna, disembunyikan pemerintahan Jokowi. Ratna mengaku mendapatkan data-data Bank Dunia yang isinya mengonfimasi terjadinya transfer tersebut.

    Namun Bank Dunia membantah dan menyebut tudingan Ratna keliru. Sebab Bank Dunia tak seperti bank umumnya yang menangani transaksi nasabah perorangan. Bank Dunia merupakan institusi yang mendukung penanggulangan kemiskinan dan pembangunan negara berkembang.

    Lalu, masih pada September 2018, melalui akun Twitternya, Ratna menulis bahwa telah resmi beredar uang kertas pecahan Rp200 ribu. Dia kemudian menyertakan tulisan yang menyerang Jokowi. “Masih mau 2 periode? Pakai akal pikiranmu,”

    Cuitan ini lagi-lagi bohong. Bank Indonesia (BI) langsung membantah dan faktanya memang tak pernah BI menerbitkan uang kertas pecahan Rp200 ribu tersebut.

    Terakhir, soal pengakuannya sebagai korban pengiayaan hingga menyebabkan mukanya lebam. Ini adalah hoaks terhebatnya. Ia sukses menipu banyak orang, termasuk capres Prabowo Subianto dan para tim sukses yang terlanjur percaya.

    Lagi-lagi Ratna minta maaf. Dia menyalahkan setan yang sudah memengaruhinya.

    Hal menarik lainnya adalah soal pengakuannya bahwa muka lebam itu akibat sedot lemak yang dilakukannya.

    Banyak nitizen yang mempertanyakan apa yang mendorong perempuan tua berusia 70 tahun itu melakukan sedot lemak itu. Bukankah itu perbuatan yang ‘enggak penting banget’ bagi seorang manusia ‘nini-nini’?

    Setan mana pula yang mendorongnya melakukan sedot lemak itu!

    *Penulis adalah dewan redaksi sinarlampung.com

  • Bunga Bangkai dan Partai ‘Serangga’

    Bunga Bangkai dan Partai ‘Serangga’

    oleh : Ilwadi Perkasa

    DALAM konteks Pemilu, serentak tak identik dengan gotong royong yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai kebersamaan. Pemilu serentak (Pilpres dan Pileg) tak mengenal nilai-nilai itu.

    Pemilu adalah politik, yang dalam praktiknya senantiasa berusaha mengalahkan lawan untuk selanjutnya merebut kekuasaan.

    Pilpres dan Pileg serentak pada Pemilu 2019 bukan hanya pelik, tapi juga penuh jebakan oleh sebab kasak-kusuk pencapresan. Pilpres menjadi perhatian penting hingga partai-partai pun ikut larut hingga terbelah menjadi dua koalisi.

    Dalam proses kasak-kusuk itu tampak ada gotong royong di sana, bahkan semua partai, kecuali Partai Demokrat, berusaha menjadi pendukung yang hebat dengan harapan kelak jika capresnya menang, bisa masuk dalam pusaran kekuasaan, paling tidak dapat jatah menteri.

    Seperti Bunga Bangkai yang indah menawan dan berwarna cerah, memikat serangga untuk mendekat. Kekuasaan pun demikian, memiliki daya pikat yang hebat, hingga mengundang partai untuk datang menghampiri.

    Alhasil, dalam konteks pilpres, situasi ini lebih menguntungkan bagi PDIP dan Partai Gerindra oleh sebab, dua capres yang ada adalah kader dua partai ini. Jokowi identik PDIP dan Prabowo jelas Ketum Partai Gerindra. Sedangkan partai lain adalah ‘serangga’, yang tetap harus bersusah payah memenangkan calegnya di pemilihan legislatif.

    Untuk urusan pilpres, partai koalisasi tentu menampakan sikap gotong royong untuk memenangkan pasangan capres dan cawapresnya. Pada pileg, situasinya jadi berbeda, dimana partai-partai ‘serangga’ dan calegnya harus berusaha merebut kursi dengan performa sendiri-sendiri. Tak ada lagi koalisi-koalisian–partai dan caleg sibuk bersaing satu sama lain–bahkan dengan rekan caleg separtai.

    Fenomena Bunga Bangkai yang indah menawan dan berwarna cerah begitu memukau, hingga menghapus semangat gotong royong, saling membantu rekan separtai dengan menggunakan pola tandem, yakni caleg DPR-RI membantu rekan separtai yang nyaleg di DPRD I atau II.

    Mereka saling urun dana, berbagi macam-macam logistik dan eksis menampilkan foto bareng-bareng di kartu nama, stiker, baliho hingga contoh lembar kartu suara.

    Kali ini, jangan heran, caleg harus berbagi ruang dengan Jokowi atau Prabowo. Sedangkan baliho Jokowi atau Prabowo hanya menampilkan foto capres dan cawapres dengan tampilan besar logo banteng moncong putih atau burung garuda merah lengkap dengan nomor urutnya. **

    *Penulis dewan redaksi sinarlampung.com

  • Mengapa Ratna Sarumpaet Harus Berbohong?

    Mengapa Ratna Sarumpaet Harus Berbohong?

    Oleh : Hersubeno Arief

    Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pernah mengatakan “tidak ada manusia yang sanggup mengingat dengan baik untuk bisa menjadi pembohong yang sukses.’’ Pernyataan Presiden yang dikenang karena menghapus perbudakan itu sangat benar adanya. Kebohongan yang disampaikan Ratna Sarumpaet (RS), bahwa dia digebuki sejumlah orang di Bandung, hanya bertahan sehari.

    Polisi dengan mudah membongkar kebohongan itu karena bisa membuktikan sejumlah fakta. Mulai dari tidak adanya manifest penumpang atas nama RS. Tidak ada rumah sakit di Bandung yang mengaku merawat RS. Yang lebih telak polisi punya foto-foto dan rekaman CCTV, ketika RS di rawat di sebuah klinik kecantikan di Jakarta.

    Polisi juga punya bukti transaksi pembayaran untuk biaya operasi plastik, juga register kapan RS mulai dirawat, dan kapan meninggalkan klinik. Untuk kali ini prestasi polisi top! Sangat sigap. Kita berharap kasus lain yang lebih serius seperti Novel Baswedan, kasus teror terhadap Neno Warisman dan Mardani Ali Sera segera terungkap. Oh iya hampir lupa, kasus editing video pengeroyokan suporter Persija yang ditambahi kalimat tauhid, dan ujaran kebencian yang mengikutinya juga belum terungkap.

    Sejak awal memang banyak kejanggalan atas pengakuan RS. Mengapa setelah lebih dari 10 hari RS baru membuat pengakuan? Sebagai seorang aktivis pemberani dan urat takutnya sudah putus. Sangat tidak masuk akal hanya karena digebuki, RS ketakutan. Pada masa Orde Baru saja RS berani menentang penguasa. Dia membuat pementasan monolog “Marsinah Menggugat,” seorang aktivis buruh yang tewas di tangan aparat militer.

    RS juga berani berdebat dengan super minister Luhut Panjaitan pada musibah perahu motor yang tenggelam di Danau Toba, beberapa waktu lalu. Jadi tak ada kamus takut pada RS.

    Pengakuannya bahwa dia takut karena anak cucunya terancam, menjadi sedikit masuk akal. RS bagaimanapun kini sudah menua. Usianya mendekati 70 tahun.

    Wajar bila Prabowo dan Amien Rais langsung percaya dengan pengakuan RS. Bagaimanapun RS adalah seorang aktivis yang belakangan ini rajin bersuara keras mengkritisi pemerintah. Safari Gerakan Selamat Indonesia (GSI) bersama Rocky Gerung di berbagai wilayah Indonesia sering dihadang, dan dihalang-halangi. Beberapa waktu lalu dia terpaksa pulang ke Jakarta, karena dihadang massa di Bandara Batam.

     

    Namun RS akhirnya mengakui bahwa semuanya bohong. Bengkak-bengkak di wajahnya akibat sedot lemak, dan operasi plastik. Dia membuat cerita bohong karena tidak ingin diketahui keluarganya, karena melakukan oplas. Pengakuan ini juga masih perlu dipertanyakan karena polisi punya bukti pembayaran biaya diklinik menggunakan rekening bank anak lelakinya.

    Biasanya seseorang yang berbohong, cenderung akan membuat kebohongan baru untuk menutupi kebohongannya.
    Kasusnya menjadi heboh karena Prabowo yang kini menjadi capres membuat jumpa pers. Prabowo minta agar polisi menangani kasus RS yang juga tercatat sebagai salah satu Jurkamnas Prabowo-Sandi.

    Reaksi Prabowo sebenarnya sangat wajar. Sebagai prajurit komando yang memiliki semangat esprit de corp yang tinggi, Prabowo pasti akan membela RS yang didzalimi. Jangankan RS, orang lain pun pasti dibela Prabowo bila mendapat perlakuan seperti RS.

    Masalahnya menjadi heboh ketika RS mengaku berbohong, dan Prabowo adalah seorang capres penentang inkumben. Para buzzer inkumben mengekploitasinya habis-habisan sebagai sebuah keuntungan politik (political advantage).

    Maklumlah mereka belakangan ini sangat tertekan. Mulai dari masalah ekonomi yang memburuk, rupiah terus melemah, dan blunder penanganan gempa di Sulteng. Kalau saja peristiwa ini terjadi bukan pada masa kampanye, dan Prabowo bukan capres, pasti ceritanya akan lain. Publik akan segera melupakannya.

    Peristiwa biasa.

    Seorang tokoh berhasil dibohongi, apalagi oleh seseorang yang punya reputasi cukup bagus seperti RS, sebenarnya merupakan peristiwa biasa. Dari sudut yang netral kita bisa mendapat gambaran bahwa Prabowo adalah manusia yang polos. Bukan seorang politisi yang terbiasa hidup dengan kebohongan. Dia selalu melihat orang lain dengan cara positif (positive thinking).

    Kita barangkali belum lupa bagaimana Menteri Agama Said Agil Al Munawar berhasil meyakinkan Presiden Megawati bahwa di Istana Batu Tulis tersimpan banyak harta karun. Harta tersebut bisa untuk membayar utang negara. Presiden SBY juga pernah terpedaya oleh Joko Suprapto seorang pria asal Nganjuk, Jatim yang mengaku bisa mengubah air menjadi energi listrik. Dia menyebutnya sebagai terobosan teknologi bernama blue energy.

    Pada masa Orde Baru Wapres Adam Malik meyakini Cut Zahara Pona seorang perempuan asal Aceh yang mengaku bayi dalam kandungan bisa bicara dan mengaji. Sementara Presiden Soekarno juga pernah dibohongi tukang becak dan seorang pelacur asal Tegal, yang mengaku sebagai Raja Idrus dan Ratu Markonah. Keduanya mengaku sebagai Raja dan Ratu Suku Anak Dalam dan bisa membantu pembebasan Irian Barat. Karena itu mereka diundang ke Istana dan disambut secara resmi.

    Cerita tentang Gus Dur lain lagi. Tukang pijatnya bernama Suwondo berhasil menipu Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) dan membobol uang yayasan itu hingga Rp 35 miliar.

    Moral ceritanya bahwa presiden, maupun wakil presiden adalah manusia biasa. Begitu juga halnya dengan capres seperti Prabowo.  Mereka bisa saja ditipu, maupun dibohongi. Yang tidak boleh itu capres, apalagi presiden, berbohong. Presiden model begini secara moral tidak layak dipilih.

    “I’m not upset that you lied to me, I’m upset that from now on I can’t believe you. -Freiderich Nietzsche. (hersubenoarief.com)

  • Palu

    Palu

    Oleh: Dahlan Iskan

    Selasa kliwon 02 October 2018

    Akhirnya saya dapat sambungan telepon ke Palu. Ke pemilik hotel Roa Roa. Yang hancur akibat gempa. Pak Denny Lim.

    Pukul 11.50 kemarin pak Denny sibuk. Cari alat berat. Tapi masih bisa melayani telepon saya. Ada info baru. Beberapa menit sebelum menerima telepon dari saya itu: ditemukan ada penghuni hotel yang hidup. Tapi masih di bawah reruntuhan hotel. Tahunya dari SMS. Yang dikirim penghuni hotel itu. Mengaku dari kamar 317. Bersama istrinya. Pejabat PLN dari Makassar.

    Berarti 2,5 hari orang itu berada di bawah reruntuhan. Entah mengapa baru kirim SMS pukul 10 an pagi hari Senin kemarin. Kepada anaknya. Lalu anaknya info ke Kompas TV. Pingsan? Baru sadar? HP-nya masih belum lowbatt?

    Itu tidak penting. Yang penting segeralah bertindak. Tapi alat berat amat sedikit di Palu. Mobilisasinya juga tidak mudah. Banyak jalan hancur akibat gempa.

    Hotel Roa Roa tergolong baru. Sekitar tiga tahun. Salah satu yang terbaik di Palu. Bintang tiga. Delapan lantai.

    Roa Roa adalah bahasa Kaili. Artinya: teman-teman.

    Dari hotel ini terlihat jembatan Palu yang baru. Yang jaraknya hanya sekitar lima kilometer. Jembatan terpanjang di sana. Baru tujuh tahunan umurnya. Jadi icon kota Palu. Banyak yang berfoto dengan background jembatan itu.

    ”Saya lihat dari jauh jembatan itu hancur,” ujar Adi, fotografer Fajar Makassar. Yang saat saya hubungi lagi di atas reruntuhan hotel Roa Roa. Adi baru tiba di Palu Minggu siang. Naik Hercules tentara.

    Sebagai pemilik hotel, fokus Danny mengerahkan alat berat. Ia sendiri sedang di Surabaya saat gempa terjadi. Meski lahir di Palu, Danny sudah tinggal di Surabaya. Sesekali saja ke Palu mengecek bisnisnya. Kemarin ia mendadak ke Palu untuk ikut mengatasi akibat gempa ini.

    Saat membangun hotel itu Danny sadar sepenuhnya: ini daerah gempa. Kontraktornya sudah membangun sesuai dengan daerah gempa.

    Tapi gempa Jumat petang lalu itu memang luar biasa: 7,7 Scala Richter.
    ”Masih sekitar 40 orang yang tertimbun di bawah reruntuhan hotel,” katanya.

    Kebetulan, sambungnya, lagi banyak tamu. Lagi ada kejuaraan paralayang. Beberapa atlet nasional bermalam di situ. Ada juga atlet dari Korea. Yang akan bertanding keesokan harinya.

    Di dekat hotel itu, di water front city, juga lagi ada gladi resik. Untuk acara pembukaan festifal Nomoni. Festival budaya. Untuk ulang tahun kota. Nomoni artinya bunyi. Atau nada. Atau tetabuhan.

    Akan ada juga marathon. Dan banyak lagi.

    Gempa itu terjadi tepat di senjakala. Bertepatan dengan surupnya matahari senja. Hampir menginjak waktu maghrib.

    Banyak warga sudah sadar gempa. Berkat rentetan bencana serupa di Lombok belum lama. Warga desa Marowola misalnya. Warga Perumnas itu segera berlarian ke lapangan terbuka. Mereka berkumpul di situ. Tidak jauh dari jembatan icon. Dengan penuh ketakutan.

    Setelah warga berkumpul, tanah di situ ternyata membelah. Lenyap masuk bumi. Di lapangan Perumnas itu salah satu korban terbanyak.
    Danny menceritakan semua itu. Dengan sedihnya.

    Saya sendiri tidak menyangka. Gempa Palu separah itu. Informasi awal begitu lambat. Tentang keadaan pasca gempa.

    Saya sendiri mengalami kesulitan. Untuk cepat menulis. Bahan yang tersedia sangat terbatas. Bagi saya tidak ada artinya. Kalau hanya menulis sama dengan yang sudah ada.

    Saya coba hubungi teman-teman wartawan di sana. Di hari pertama. Tidak bisa. Saya coba lagi di hari kedua. Tidak bisa juga. Saya ulangi di hari Senin pagi. Hari ketiga. Juga belum bisa. Semua saluran telepon masih terputus.

    Saya hubungi jaringan saya di barongsai. Juga tidak bisa. Saya hubungi seorang doktor universitas di sana. Yang saya ikut mengujinya saat meraih gelar doktor. Sama saja.

    Saya coba lewat jaringan keluarga. Adik menantu saya kawin dengan orang Palu. Ia sendiri tidak berhasil menghubungi sang istri. Dan anaknya. Padahal ia lagi kerja di Banjarmasin.

    Hatinya terus gundah. Ia putuskan ke Palu. Lewat Makassar. Kini masih dalam perjalanan darat. Bisa 12 jam.

    Ketika pertama disebut: tsunami terjadi di Donggala. Saya tidak khawatir. Donggala itu dataran tinggi. Paling hanya bagian-bagian kecil pantai yang terkena.

    Tapi begitu disebut Palu saya ingat: wilayah padat penduduknya berupa dataran rendah. Dekat pantai. Terutama di sekitar muara sungai Mutiara.

    Tapi saya juga belum terlalu khawatir. Kawasan muara sungai itu jauh dari laut lepas. Pantainya berada di ujung paling jauh sebuah teluk. Teluk Palu. Teluk yang sangat panjang. Bagian padat penduduk itu benar-benar jauh dari laut terbuka. Terlindung gunung Donggala.

    Teluk ini begitu panjangnya. Sering jadi petunjuk arah pendaratan pesawat. Landasan bandara Palu memang searah dengan teluk Palu.

    Saya tidak menyangka yang meninggal begitu banyaknya: lebih seribu orang. Data Senin pagi mencapai 1.100 orang. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

    Mungkinkah itu karena tsunami terjadi di senja hari? Ketika pantai di teluk itu lagi ramai?

    Teluk itu memang kian cantik belakangan ini. Dipercantik. Dengan jalan baru di sepanjang pantai. Taman Ria. Water front city.

    Kian banyak juga hotel. Di pantai sini. Maupun di seberang sana. Ada Mercure. Ada Swissbel. Diperkirakan juga masih banyak korban di bawah reruntuhannya. Seperti di Roa Roa.

    Saya pernah di satu hotel bersama istri. Hotel baru. Yang kamarnya sangat menarik. Menyentuh air laut. Saya ingin tahu nasib hotel itu. Pasca gempa ini.

    Kawasan teluk ini kian populer sejak ada jembatan. Di muara sungai. Jembatan terpanjang di Palu. Orang sana menyebutnya Golden Gate-nya Palu. Begitu banyak orang berfoto dengan background jembatan ini.

    Saya sedih lihat di media sosial: jembatan ini roboh. Bangkainya masih berada di tempat asalnya. Tapi sudah dalam keadaan membujur seperti mayat.

    Lalu saya perhatikan. Titik gempa itu di daratan. Searah dengan bentuk teluk. Berarti tsunami itu datang dari teluk. Bukan dari arah laut lepas.
    Sampai tulisan ini saya edit jam 18.00 kemarin belum ada kabar baru. Tentang penghuni 317 itu. Berarti sudah tiga hari tiga malam suami-istri ini berada di bawah reruntuhan.

    Dua alat berat lagi bekerja di situ. Tapi terlalu sedikit untuk mengejar waktu.

    Korban-korban lainnya berarti juga punya nasib serupa. Puluhan. Ratusan.
    Akhirnya saya bisa menghubungi putri kamar 317 itu. Namanya Erika. Alumni elektro Univeritas Hasanuddin.

    ”Bukan saya menerima SMS bapak saya,” ujar Erika. ”Tapi menerima SMS dari kakak saya,” kata Erika lagi.

    Kakaknya itu juga lagi ke Palu. Bersama bapak dan ibunya. Akan menghadiri kawinan sepupunya. Sehari setelah gempa. Rencananya.

    Ayah-ibunya di kamar 317. Sang kakak di kamar sebelahnya. Selamat. Berhasil keluar dari reruntuhan. Lalu kirim SMS ke Erika. Adiknya. Yang kini bekerja di PLN itu.

    Erika ingin nekat ke Palu. Mencari bapak-ibunya. Tapi semua keluarga melarangnya.

    Dan pernikahan itu sendiri diurungkan.

    Melihat kacaunya keadaan di Palu, ada baiknya disediakan kapal Pelni yang besar. Di pelabuhan. Kalau masih bisa disandari. Kapal itu bisa jadi tempat pengungsian yang aman. Untuk 3 ribu orang. Perkapal.

    Air bisa cukup di kapal itu. Kalau perlu dilayarkan ke Balikpapan. Hanya perlu waktu satu malam.

    Saya sedih mendengar penjarahan di mana-mana. Pun rebutan mau naik Hercules. Rebutan ingin selamat. Akibat gempa susulan. Yang terus terjadi.

    Juga akibat fenomena baru: rumah berjalan, jalan bergeser, tanah tiba-tiba membelah…

    Kita tidak tahu jenis apa tanah di bawah Palu. Yang ketika diguncang gempa di bagian bawahnya, terkibas bagian atasnya. Seperti tikar yang mengambang di atas tanah bergoyang. Yang bisa pindah-pindah posisi. (dahlan iskan)

  • Jokowi (Diyakini) Tidak Akan Pernah Melakukan Sidang HAM

    Jokowi (Diyakini) Tidak Akan Pernah Melakukan Sidang HAM

    Lutfi Sarif Hidayat
    Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)

    Pada pidato kenegaraan 16 Agustus 2018, Jokowi menyadari bahwa pemerintahannya belum bisa menyelesaikan masalah HAM. Dikatakan oleh Jokowi, “Saya menyadari masih banyak pekerjaan besar, pekerjaan rumah perihal penegakan HAM yang belum bisa tuntas diselesaikan.”

    Inilah yang membingungkan berbagai pihak sebenarnya. Karena pada faktanya, baik pilpres 2014 atau 2019 isu HAM akan terus menjadi bola panas dalam pertarungan opini. Pendukung Jokowi beralasan mengapa mendukung Jokowi adalah karena tidak ada catatan hitam tentang pelanggaran HAM. Sebaliknya, menurut mereka Prabowo mempunyai catatan kelam tentang HAM, meski sampai saat ini tidak pernah ada sidang HAM.

    Selain itu, sebagian aktivis HAM merasa sangat kecewa dengan Jokowi. Hal demikian dimaklumi, karena penyelesaian HAM bukanlah prioritas Jokowi. Dan itu terbukti, hingga detik ini belum ada penuntasannya. Baik berkaitan dengan reformasi, papua dan lainnya.

    Dalam konteks pilpres 2019. Sebenarnya jika Jokowi mempunyai niat baik agar pertarungan berjalan tanpa ada prasangka atau dugaan-dugaan. Sehingga kepastian bisa tercapai tanpa ada simpang siur dengan persoalan HAM yang selalu disematkan — salah satunya — kepada Prabowo, Jokowi semestinya melalui kewenangannya melakukan sidang HAM untuk Prabowo dan lainnya.

    Kubu Jokowi melalui pendukungnya, tentu akan selalu menggoreng isu HAM. Seakan hanya Prabowo yang bersalah. Padahal belum ada kepastian hukum melalui sidang HAM. Jokowi yang memegang bola panas ini karena sangat memungkinkan melakukan sidang HAM, diyakini tidak akan pernah bisa atau berani. Sehingga sampai pilpres mendatangpun persoalan ini akan terus menggantung.

    Mengapa diyakini Jokowi tidak bisa? Jawabannya sederhanya. Sebab di kubu Jokowi. Juga ada nama-nama yang sering disebut-sebut baik oleh Kontras dan pegiat HAM lainnya. Dimana pada intinya, nama-nama tersebut juga diduga tersangkut dalam persoalan HAM pada 1998 silam.

    Artinya, aktivis HAM yang mendukung Jokowi itu lucu. Aktivis HAM yang turut men-judge termasuk yang mendukung Prabowo juga lucu. Keduanya sama-sama lucu.

  • Islam, Politik dan Kebangkitan

    Islam, Politik dan Kebangkitan

    Oleh: Chusnatul Jannah

    Masih terdengar beberapa pihak melarang ulama memberi kajian berisi politik. Setelah penghadangan dan persekusi yang dialami sejumlah ulama, isi ceramah pun diminta tak usah singgung politik. Padahal, pendidikan politik untuk umat sangat dibutuhkan.  Agar umat memiliki kesadaran serta kepedulian merespon dan mengoreksi setiap kebijakan penguasa negeri ini. Ketika umat acuh terhadap aktifitas politik, siapa yang akan mengoreksi dan mengawasi kebijakan dan kinerja penguasa? Penting memahami politik dengan benar. Sesuai pandangan Islam.

    Memahami Politik Islam

    Seringkali politik dinarasikan sebagai sesuatu yang kotor, rendah, gila kekuasaan, dan jahat. Padahal, dengan politik kesejahteraan rakyat bisa didapat. Kemaslahatan umat bisa diraih. Islam tak sekedar agama ritual yang mengatur ibadah.  Islam adalah agama ruhiyah dan siyasiyah. Mengatur urusan manusia dengan Tuhannya, dirinya, dan manusia lainnya.

    Politik dikenal dengan istilah ‘siyasah’. Secara bahasa, siyasah berarti mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Politik dalam Islam diartikan riayah su’unil ummah, yaitu mengatur urusan umat. Segala permasalahan umat dipecahkan sesuai pandangan Islam. Inilah esensi politik Islam. Maka sangat aneh bila ada yang mengatakan bahwa agama harus dipisah dari politik. Pemahaman semacam ini tidak terlepas dari pengaruh sistem sekuler yang diterapkan. Dalam pandangan sistem sekuler, agama tak boleh mengatur urusan manusia. Agama itu suci, politik itu kotor. Bila kita cermati, politik saat ini menjadi kotor tersebab sistem demokrasi. Dalam demokrasi tak ada standar halal – haram. Apapun dilakukan demi meraup kekuasaan.

    Rasululullah saw, Politisi Sejati

    Rasulullah mulai membangun pemerintahan Islam di Madinah dengan aqidah dan syariat Islam sebagai pedoman bermasyarakat dan bernegara. Hal ini bisa kita lihat perbedaan dakwah Rasul saat di Mekkah dan Madinah. Ketika Rasulullah belum memiliki kekuasaan, aktifitas dakwah tetap dilakukan tanpa perlawanan fisik. Rasul dan para shahabat mendapat siksaan fisik yang tak berkesudahan. Dakwah tanpa kekerasan terus dilakukan untuk membina masyarakat. Menentang tradisi dan sistem jahiliyah kala itu. Pasca baiat aqabah dan hijrah ke Madinah, barulah Rasul melakukan perlawanan dan futuhat ke seluruh jazirah arab dengan misi dakwah dan jihad.

    Rasulullah saw juga melakukan kontak dakwah ke penguasa – penguasa negeri Arab. Mengirim utusan dan surat yang berisi seruan dan ajakan menerima Islam sebagai jalan kebenaran. Menghukumi persolan umat dengan  syariat Islam. Contoh aktifitas politik yang paling menonjol selepas masa beliau adalah penunjukkan khalifah sebagai pengganti beliau dalam memimpin umat. Dalam pengangkatan itu ditunjuklah Abu Bakar ra sebagai pengganti Rasulullah saw menjalankan roda pemerintahan. Beliau dibaiat sebagai khalifah pertama  dalam sejarah umat islam. Dalam mengangkat seorang khalifah, para shahabat berpijak pada pengaturan dan syarat pemimpin dalam Islam. Mereka sepakat bahwa khalifah terpilih  harus berpegang teguh pada al qur’an dan As sunnah.

    Politik Islam, Jalan  Kebangkitan Umat

    Islam memiliki seperangkat aturan yang komprehensif. Dari urusan ibadah hingga muamalah. Dari urusan makan hingga mengelola sumber daya. Dari mengurus keluarga hingga mengatur negara. Syariat Islam megatur setiap detil problematika manusia. Memberi solusi yang berkeadilan dan menyejahterakan. Sebab, Ia lahir dari aturan Pencipta alam, Allah SWT.

    Sayangnya, masyarakat masih terwarnai dengan sekulerisasi agama dan politik. Seolah Islam hanya urusan agama. Sedang politik tak ada urusan dengannya. Banyak problem manusia yang tak kunjung usai diurai. Solusi tambal sulam yang diberikan tak mampu membawa kebaikan. Sistem sekuler – demokrasi telah mengkerdilkan peran Islam dalam mengatur urusan manusia.

    Oleh karena itu, umat Islam harus memiliki kesadaran berpolitik, yaitu peduli dan kritis terhadap setiap kebijakan penguasa yang tidak memihak kepentingan rakyat. Dengan kesadaran ini akan menumbuhkan keinginan umat untuk bangkit dari keterpurukan. Ketika umat sadar politik Islam, jalan kebangkitan semakin terbuka lebar. Tak ada pemisahan antara Islam dengan politik. Semoga, kebangkitan umat Islam segera mewujud sempurna dengan penerapan syariah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    #Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban