Kategori: Opini

  • Ketika Boneka Menjadi Pemimpin

    Ketika Boneka Menjadi Pemimpin

    Oleh : Emha Ainun Najib

    “Kenapa rakyat mau memilih boneka, patung atau berhala untuk menjadi pemimpinnya?”

    “Karena partai politik memperkenalkan calonnya dengan mendustakan kenyataannya. Calon pemimpin ditampilkan dengan pencitraan, pembohongan, di make-up sedemikian rupa, dibesar-besarkan, dibaik-baikkan, diindah-indahkan, dihebat-hebatkan”

    “Itu bukan politik namanya, Pak, itu kriminal”

    “Memang bukan politik, melainkan perdagangan. Bukan demokrasi, melainkan perjudian. Memang bukan kepemimpinan, tapi talbis. Kalau dipaksakan untuk disebut demokrasi, ya itu namanya Demokrasi Talbis”

    “Talbis itu apa tho, Pak?”

    “Talbis adalah Iblis menemui Adam di sorga dengan kostum dan make up Malaikat, sehingga Adam menyangka ia adalah Malaikat. Maka Adam tertipu. Rakyat adalah korban talbis di berbagai lapisan. Mereka dibohongi sehingga menyangka bahwa yang dipilihnya adalah pemimpin, padahal boneka. Boneka yang diberhalakan melalui pencitraan”

    “Apakah pemimpin yang demikian bisa berkuasa?”

    “Yang benar-benar berkuasa adalah botoh-botoh (bobotoh) yang membiayainya. Setiap langkahnya dikendalikan oleh para bobotoh. Setiap keputusannya sudah dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri, karena dikepung oleh kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan kepentingan masing-masing”.

    Baca juga:  Lombok gempa lagi, mana Negara?

    “Apa ia tidak merasa malu menjadi boneka?”

    “Itu satu rangkaian: tidak merasa bersalah, tidak malu, tidak tahu diri, tak mengerti bahwa ia sedang menyakiti dan menyusahkan rakyatnya, tidak memahami posisinya di hati masyarakat, tidak punya cermin untuk melihat wajahnya”

    “Sampai separah itu, Pak?”

    “Tidak punya konsep tentang martabat manusia, harga diri Bangsa dan marwah Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal, tidak paham perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak memahami tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian, dengan time-line matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian membawa bangsanya berlaku sebagai pengemis yang melamar ke rentenir…”.

    “Pemimpin yang seperti itu akhirnya pasti jatuh dan hancur”, kata Kakak.

    “Belum tentu”, kata Bapak.

    “Jangan lupa bahwa kalau para bobotoh mampu mengangkat berhala ke kursi singgasana, berarti mereka juga menguasai seluruh perangkat dan modalnya untuk bikin apa saja semau mereka di Negara itu.

    Baca juga:  Makemak Milenial, I’m gonna rock you ……

    Juga selalu sangat banyak orang dan kelompok yang mencari keuntungan darinya, bahkan menggantungkan hidupnya. Sehingga mereka membela boneka itu mati-matian.

    Mereka selalu mengumumkan betapa baik dan hebatnya pemimpin yang mereka mendapatkan keuntungan darinya, sampai-sampai akhirnya mereka yakin sendiri bahwa ia benar-benar baik dan hebat. Uang, kekuasaan dan media, sanggup mengumumkan sorga sebagai neraka, dan meyakinkan neraka adalah sorga”.

    S a l a m ,

    (net)

  • HTI Bukan Ormas Terlarang

    HTI Bukan Ormas Terlarang

    Oleh : Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra

    Biasakanlah berucap dengan dilandasi keputusan hukum, jika merasa seorang warga negara yang taat hukum.  Karena tidak ada satupun keputusan hukum yang menyebutkan HTI ormas terlarang.
    Terus darimana ribut-ribut HTI Ormas terlarang ?

    Itu adalah fitnah yang disebar untuk mem’by pass pemusnahan HTI. Fitnah yang disebar agar masyarakat termakan isu bahwa HTI adalah ormas terlarang.  Bagi yang masih beranggapan HTI adalah ormas terlarang, silahkan sampaikan satu dokumen keputusan hukum, atau dokumen negara yang menyatakan HTI adalah ormas terlarang.  Tapi sudah dicabut BHP (Badan Hukum Perkumpulan) nya ?

    Inilah opini jahat. Padahal dalam prosedur keormasan di negara ini, punya BHP itu hanyalah pilihan, bukan kewajiban. Ada ribuan organisasi kemasyarakatan di negara ini yang tidak mengurus BHPnya. Dan itu sah-sah saja menurut hukum keormasan.

    Jadi jikapun salah satu ormas dicabut BHPnya, itu bukanlah vonis Ormas Terlarang, tapi cuma vonis administrasi pencabutan BHP tok.
    Sampai disini paham kan ???

    Begitu juga dengan Dakwah Syariah dan Khilafah. Tidak ada satu dokumen keputusan hukum ataupun dokumen negera yang menyatakan bahwa dakwah syariah dan Khilafah adalah dakwah yang terlarang.

    Opini terlarangnya Dakwah Syariah dan Khilafah ini muncul dari asumsi sepihak dari pemerintah bahwa dakwah Syariah dan Khilafah ini memenuhi hal yang terlarang pada UU Ormas yang baru. Padahal ini di UU Ormas itu yang terlarang adalah :  Komunisme, Leninisme, Atheisme, Marxisme, dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila.

    Dakwah Syariah dan Khilafah itu kemudian dimasukkan sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. Ini asumsi sepihak, karena belum ada keputusan pengadilan yang secara sah melalaui peradilan bahwa dakwah Syariah dan Khilafah itu bertentangan dengan Pancasila.

    Intinya, ini adalah upaya membangun asumsi menjadi kebenaran, walau tidak berpijak pada dokumen resmi dari pengadilan atau dari negara.

    Ini sama kasusnya dengan menyebar opini seseorang itu tukang santet kepada masyarakat. Padahal belum ada pembuktian. Sehingga ketika masyarakat termakan opini ini, maka masyarakat tidak memerlukan lagi pembuktian dan ikut bersama menghakimi si tertuduh tukang santet.
    Berapa kali kejadian begini berakhir dengan penyesalan ?

    Ada tertuduh maling, dibakar hidup-hidup oleh massa yang termakan tuduhan tanpa memperdulikan pembuktian, namun ternyata yang dituduh bukan maling. Ada tertuduh melarikan ampli mesjid, dihajar masa hingga mati, padahal bukan maling, tapi seorang service alat elektronik yang kebetulan shalat di mesjid sambil membawa ampli yang hendak di servisnya.

    Jadi, biasakanlah memeriksa setiap tuduhan-tuduhan, opini-opini. Jangan termakan tuduhan atau opini yang tidak punya landasan hukum.

    Prof Yusril Ihza Mahendra, seorang pakar hukum tata negara saja sudah menyampaikan dengan jelas bahwa HTI sampai saat ini bukanlah ormas terlarang. Artinya apa ? Secara hukum, memang HTI itu bukan ormas terlarang.

    Jadi yang terus menuduh HTI ormas terlarang adalah oknum atau pihak yang menuduh diluar hukum, atau mengadili sendiri diluar pengadilan. ***

  • Catatan Sahabat, Mengapa Orang Tetap Merasa Benar Walau Sejatinya Salah?

    Catatan Sahabat, Mengapa Orang Tetap Merasa Benar Walau Sejatinya Salah?

    Oleh : Juniardi

    Seorang sahabat yang lama tak berkabar tiba tiba menyapa via whatsahpp, Selasa (11/9) dini hari. “Selama Satu Muharam brother,” ucapnya. Kegembiraan tiba tiba kami bercengrama meski tak bertatap muka. Mengenang masa delapan tahun lalu, di Istana Negara.

    Bicara dari soal keluarga hingga konstelasi politik, hingga kandidat jelang Pilpres 2019 termasuk isu isu nasional. Diujung percakapan, ada sebuah tulisan panjang, yang mungkin juga dari sebuah proses copas, tapi cerita itu menyentuh pemikiran saya.

    Dalam tulisan pesan WA itu ditertulis, Pada tahun 1894, sebuah surat yang telah disobek- sobek ditemukan di keranjang sampah oleh staf dari seorang Jenderal Prancis. Maka dilakukanlah investigasi besar2an untuk mengetahui siapa yang lewat bukti surat itu telah menjual rahasia militer Perancis ke pihak Jerman. Dan kecurigaan kebanyakan orang mengarah pada Letkol Alfred Dreyfus.

    Dreyfus tidak punya track record yang tercela, tidak juga punya motif untuk melakukan pengkhianatan. Cuma ada dua hal yang dapat membuat kecurigaan terhadap Dreyfus. Pertama, tulisannya mirip dengan surat yang ditemukan, dan lebih parah lagi, dia satu2nya pejabat militer yang beragama Yahudi. Waktu itu, Militer Perancis dikenal anti Yahudi.

    Lalu rumah Dreyfus digeledah, mereka tidak menemukan bukti apa pun. Tapi ini pun malah dianggap sebagai bukti betapa liciknya Dreyfus. Tidak hanya berkhianat, dia juga dengan sengaja menghilangkan semua bukti. Lalu mereka memeriksa personal history-nya, bahkan menginterview guru sekolahnya.

    Ditemukan dia sangat cerdas, menguasai empat bahasa, dan punya memori yang sangat tajam. Maka ini pun dianggap sebagai “bukti” bahwa Dreyfus punya motif dan skill untuk kerja pada agen intelijen asing. Bukankah memang agen intelijen harus punya 3 skill itu? Benarkan?

    Maka Dreyfus diajukan ke pengadilan militer, dan dinyatakan bersalah. Di depan publik, lencananya dilucuti, kancing baju dicabut, pedang militernya dipatahkan. Peristiwa ini dikenang sebagai “Degradation of Dreyfus”.

    Saat diarak oleh massa yang menghujat dia, Dreyfus teriak, “Saya bersumpah saya tidak bersalah, saya masih layak untuk mengabdi pada negara, Hidup Perancis. Hidup Angkatan Darat”. Tapi semua orang sudah tidak peduli dengan teriakannya, dan akhirnya dia divonis penjara seumur hidup di Devil’s Island, pada tanggal 5 Januari 1895.

    Mengapa serombongan orang pintar dan berkuasa di Perancis waktu itu begitu yakin bahwa Dreyfus bersalah? Dugaan bahwa Dreyfus memang sengaja dijebak, ternyata keliru. Para sejarawan meyakini bahwa Dreyfus tidak dijebak, dia hanya menjadi korban dari sebuah fenomena yang disebut. “Motivated Reasoning”.

    Yaitu sebuah penalaran yang nampak sangat logis dan rasional, padahal semua itu hanyalah upaya mencari PEMBENARAN atas suatu ide yang telah diyakini sebelumnya. Tujuannya? termotivasi untuk membela atau menyerang ide tertentu, bukan mencari KEBENARAN secara jernih, dari pihak mana pun kebenaran itu berasal.

    Maka kalau orang sudah mengeras sikapnya untuk sangat pro atau anti partai politik tertentu, atau sudah terlanjur gandrung atau benci sama seseorang, maka orang akan cenderung mengalami “motivated reasoning”. Apa pun pendapat orang lain yang dianggap musuh akan nampak salah di pikiran “rasional”.

    Karena memang itulah hebatnya otak, selalu bisa menemukan alasan rasional kenapa mereka salah, dan saya benar. Orang akan bisa mencari 1000 bukti yang membenarkan sikap itu. Bahkan hal2 yang sifatnya netral tiba tiba jadi nampak sebagai “bukti” dari kebenaran sikap ini.

    Kalau hati sudah dikuasai oleh cinta atau benci, dan berketetapan, pokoknya saya pro ini, anti itu, kita akan cenderung meyakini kebenaran segala pendapat yang mendukung pendapat kita, dan mengabaikan segala argumen yang berlawanan dengan keyakinan kita.

    Kita jadi kehilangan akal sehat yang adil dan proporsional dalam menyikapi segala hal. Para psikolog menyebut kesesatan pikir yang mewabah akhir akhir ini disebut “Confirmation Bias”.

    Fenomena “Confirmation bias” dan “Motivated reasoning” ini sudah sangat jamak ditemukan di sekitar kita, bahkan kadang kita pun ikut jadi pelaku utamanya. Karena hampir semua dari kita telah mengambil sikap untuk memilih partai tertentu, suka tokoh tertentu, punya agama atau madzhab tertentu, bahkan mungkin menjadi anggota fanatik supporter klub sepak bola tertentu. Semua ini telah menjadikan kita secara otomatis mudah sekali terjebak dalam dua kesesatan pikir di atas.

    By the way, bagaimana dengan nasib Dreyfus? Adalah “Colonel Georges Picquart”, yang walaupun dia juga anti Yahudi, mulai berpikir, bagaimana jika memang Dreyfus tidak bersalah? bagaimana jika karena salah tangkap, penjahat sebenarnya masih berkeliaran dan terus membocorkan rahasia militer Perancis pada Jerman?

    Kebetulan dia menemukan ada pejabat militer lain yang tulisan tangannya lebih mirip dengan surat yang ditemukan, dibanding tulisan Dreyfus. Singkat cerita, atas perjuangan Colonel Picquard, Dreyfus baru dinyatakan tidak bersalah 11 TAHUN kemudian.

    Yang paling menakutkan dari Motivated Reasoning & Confirmation Bias_ ini adalah, pelakunya seringkali tidak menyadari dan membela pendapatnya mati-matian sambil menghujat pendapat lain yang berbeda, sehingga efeknya terjadi perang mulut, bahkan di beberapa negara, terjadi genocida, dan perang saudara.

    Maka bagaimana caranya agar kita bisa berpikir lebih adil dan jernih?
    Bagaimana agar kita selamat dari dua sesat pikir di atas? agar kita bisa membuat prediksi yang akurat, membuat keputusan yang tepat, atau sekedar membuat good judgement?

    Menariknya, ini tidak berkaitan dengan seberapa pintar atau seberapa tinggi IQ kita atau gelar akademis kita. Kata para ahli tentang “good judgment (penilaian yang jernih)”, ini justru berkaitan erat dengan bagaimana anda “merasa” (how you feel).

    Berikut beberapa Tips untuk memiliki “penilaian yang jernih” :

    1. Jangan terlalu emosional. Semakin kita emosional, semakin kita termotivasi untuk menyeleksi kebenaran. Semua argumen yang berlawanan akan cenderung kita abaikan. Sementara hoax-pun, asal cocok dengan selera kita akan buru2 kita yakini kebenarannya.

    2. Pertahankan rasa Ingin tahu (Curiosity). Rasa penasaran ingin tahu ini akan membuat kita lebih ingin mengecek argumentasi dari dua kubu. Tidak cepat puas buru2 meyakini segala informasi yang masuk.

    3. Milikilah hati dan pikiran yang terbuka (Open-Mind & Open-Heart)
    dengan begini kita akan cenderung mau mendengarkan dan berempati atas posisi masing masing dari dua kubu yang berseteru. Jangan menutup diri hanya mau menerima informasi dari pihak yang pro sama kita, dan langsung mencurigai, bahkan menolak berita dari semua yang kita anggap pro lawan kita.

    4. Jadilah orang yang Independen (grounded). Jangan mudah anut grubyuk ikut-ikutan pendapat seseorang atau satu kelompok. Jangan letakkan harga diri kita berdasarkan omongan orang lain tentang kita. Silahkan pro ini atau anti itu. Tapi jangan overdosis, sampai menganggap segala hal yang dari pihak kita pasti benar dan segala hal yang dari pihak lawan pasti salah.

    5. Milikilah kerendahan hati (Humbleness) bahwa memang kita punya keyakinan tertentu tentang segala hal (politik, sikap keagamaan, aliran pemikiran, dll) tapi dengarkan dengan empatik juga pendapat2 yang berlawanan dengan kita. Dan jika bukti bukti menunjukkan kita memang salah, jangan sungkan sungkan untuk mengakui dan minta maaf.

    Kesimpulannya, menurut Julia Galef, yang ceramahnya di Tedx mendasari tulisan ini adalah “Untuk memiliki good judgment (penilaian yang jernih), khususnya untuk hal2 yang kontroversial, kita tidak terlalu membutuhkan kepintaran atau analisa yang canggih, tapi kita lebih membutuhkan “kedewasaan psikologis dan pengelolaan emosi yang baik”

    Jadi apa yang paling kita inginkan? Apakah membela mati-matian pendapat subyektif kita? Ataukah ingin melihat dunia dengan mata hati sejernih mungkin?. Semoga bermanfaan. Tabik. ****

    (tulisan ini disadur dari pesan WA sahabat)

  • “One Way Ticket”, Kisah Perantauan (Hijrah) Keluarga Sandiaga Salahuddin Uno

    “One Way Ticket”, Kisah Perantauan (Hijrah) Keluarga Sandiaga Salahuddin Uno

    Oleh: Sandiaga Salahuddin Uno
    Perantauan  telah menjadi jejak takdir yang saya terima. Jauh sebelum saya lahir, ayah saya Razif Halik Uno meninggalkan tanah kelahiran Gorontalo merantau di kota Bandung. Ibu saya, Mien Uno, setelah menikah dengan ayah ikut pula merantau meninggalkan kota Bandung menuju pedalaman Rumbai yang kaya minyak.
    Rumbai adalah tanah kelahiran bagi saya dan kakak, Indra Cahya Uno. Sebagaimana ayah dan ibu, tanah kelahiran tidak pernah menjadi tanah tinggal kami. Pada saat saya duduk di Sekolah Dasar, ayah pindahkerja ke Jakarta. Di ibukota, ayah membangun peruntungan  dan pada saat itu saya berpikir petualangan kami telah mencapai kota impian. Saya pun mulai menggantungkan cita-cita di langit ibukota.
    Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Jakarta. Saya tidak kesulitan mendapatkan teman baru, karena rumah kami selalu menjadi tempat berkumpul teman-teman sekolah. Ini dikarenakan rumah kami selalu dekat dengan sekolah. Dalam hal memilih sekolah, ibu punya prinsip bahwa sekolah harus dekat dengan rumah. Dengan itu, beliau tetap bisa mengawasi kami.
    Selain itu, kegemaran saya akan olahraga bola basket juga membuka pintu pergaulan. Satu lemparan bola seolah mendatangkan sekeranjang teman untuk saya. Hingga jelang lulus dari bangku SMA, saya menikmati kenyamanan  Jakarta dengan segala dinamika masa remaja. Saya pun mulai menapaki tangga meraih impian sederhana. Saya ingin kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kemudian dengan titel sarjana bekerja di perusahaan bonafit dengan gaji cukup untuk hidup mapan.
    Pada saat semua kenyamanan itu menggenggam hidup saya, ayah menyodorkan sebuah tawaran yang tidak mungkin bisa saya tolak. Tawaran itu berupa sebuah tiket untuk berangkat kuliah ke Amerika Serikat. One Way Ticket, tanpa ada tiket untuk kembali. Satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan pergi kesana, menyelesaikan studi sebaik mungkin dan hanya peluang kerja lah yang bisa membawa saya balik ke Jakarta. Sulit untuk mendeskripsikan perasaan saya yang campur aduk pada saat itu. Tetapi yang jelas tidak ada lonjakan perasaan gembira. Saya menerima tawaran itu dan episode perantauan dimulai kembali.
    Tanpa internet dan penerbangan murah, dunia pada dekade delapan puluhan tampak sangat luas. Amerika dalam bayangan saya adalah wonderland dengan semua keajaiban yang tampak dalam berita dan film. Ditambah lagi dengan cerita dari orang-orang yang pernah kesana tentang kemajuan yang masih menjadi impian di tanah air.
    Gedung-gedung pencakar langit, hiruk pikuk megapolitan hingga berjuta orang dari beragam ras dan latar belakang dengan kesibukan tiada henti adalah Amerika di layar kaca. Tetapi pada saat saya menginjakkan kaki di sebuah kota bernama Wichita, bayangan itu memudar menjadi sebuah keterasingan. Dulu pada dekade dua puluhan, Wichita dikenal sebagai “Air Capital of The World” karena di kota itu dibangun beberapa pabrik pesawat terbang, tetapi tetap saja jauh dari bayangan saya sebelumnya tentang Amerika. Tidak ada gedung pencakar langit, malam terasa lebih cepat sepi dibanding Jakarta dan tidak ada keramaian beragam ras, bisa dibilang Wichita hanya dihuni oleh orang-orang kulit putih. Tambahan lagi, saya tiba disana pada saat musim dingin baru saja mulai. Kombinasi yang sempurna untuk kenangan Jakarta yang terus menggelayuti pikiran.
    Perlahan saya menyadari, rantau yang asing bagaikan kanvas putih yang luas untuk melukis hidup. Keterasingan menyediakan ruang bagi kita untuk memulai segala sesuatu dari nol sebab tempat yang baru tidak menyediakan masa lalu. Walaupun harus melupakan mimpi kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, saya tetap setia pada impian untuk menekuni bidang akuntansi di Wichita State University (WSU). WSU adalah kampus terbesar ketiga di negara bagian Kansas. Sebagian besar mahasiswanya berasal dari daerah sekitar, tidak banyak yang berasal dari negara bagian lain, apalagi luar negeri. Saya tidak bisa berharap banyak menemukan mahasiswa Indonesia lainnya disini.
    Dalam keterasingan itu, insting saya untuk survive semakin terasah. Belajar di negeri orang ternyata bagi saya memberikan motivasi berlipat. Bukan untuk membuktikan diri pada siapapun tetapi lebih pada kebutuhan untuk bertahan hidup.Tidak ada pilihan lain tersedia selain menggondol ijazah tepat waktu dengan nilai yang harus memuaskan.
    Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan kampus WSU. Bergelut dengan angka, dari sebuah kewajiban berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Rutinitas lainnya adalah mendatangi kantor pos yang terdapat di dalam kampus, berkirim dan menunggu kedatangan surat dari tanah air.
    Berhubungan lewat telepon terasa sulit bagi mahasiswa dengan kantong pas-pasan seperti saya. Tetapi berkirim surat dengan orang tua dan juga dengan pacar yang kemudian jadi istri saya, Nur Asia Uno, membuat saya yang dulu asing dengan dunia tulis menulis menjadi lancar bercerita. Jarak perantauan kembali memberikan bonus untuk saya.
    Rutinitas belajar yang benar-benar ditekuni membuat saya tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan pergaulan lebih luas. Menurut saya, itu adalah pengorbanan yang wajar demi segenggam mimpi bekerja di perusahaan besar demi kehidupan yang mapan. Impian untuk menjadi pengusaha belum ada dalam pikiran saya pada saat itu. Padahal sebenarnya di kampus WSU lah pertama kali secara serius saya mengenal kata “enterpreneurship”.
    Pada tahun 1988, awal saya kuliah disana, diadakan peletakan batu pertama untuk pembangunan Devlin Hall. Pada tahun 1990, seiring berakhirnya masa studi saya di WSU, bangunan  yang diperuntukkan untuk Center for Enterpreneurship itu selesai dibangun dan berdiri megah di tengah-tengah kampus.
    Devlin Hall adalah salah satu bangunan kampus pertama di dunia yang diperuntukkan bagi pengembangan wirausaha. Selain itu, di tengah kampus juga berdiri bangunan sederhana yang baru dipindahkan dari Bluff and Kellog Street pada tahun 1986, Pizza Hut Number One. Bangunan itu adalah toko Pizza Hut pertama yang didirikan oleh dua orang mahasiswa WSU pada tahun 1958 yang kemudian menjadi jejaring waralaba yang mendunia. Dan bahkan kelak saya berkesempatan punya kepemilikan dalam jejaring waralaba itu di Indonesia.
    Dua tahun tidak terasa sejak ayah menyodorkan one way ticket. Syukur Alhamdulillah, saya tidak sekedar mendapatkan Degree dari W Frank Barton School of Business Wichita State University tetapi juga lengkap dengan predikat summa cum laude. Prestasi akademik di negeri orang itu membuat saya dipanggil pulang kembali ke tanah air, diajak bergabung menjadi Finance and Accounting Officer di Bank Summa. Bank yang dimiliki oleh Edward Soeryadjaya, pada waktu itu merupakan salah satu bank swasta yang tengah tumbuh dengan pesat.
    Perlahan, impian saya tentang dunia kerja mulai terwujud. Menjadi seorang junior di Bank Summa membuka kesempatan luas bagi saya untuk mengenal dunia perbankan dan keuangan. Saya mengikuti keseluruhan proses yang harus dialami oleh seorang pekerja baru, pelatihan, mendapatkan bimbingan dari senior-senior yang sudah punya nama di dunia perbankan hingga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tampak kecil dan remeh bagi banyak orang tetapi penting untuk pengembangan diri.
    Di tengah gairah baru dunia kerja itu, Bank Summa memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan Master of Business Administration di George Washington University, (GWU) Washington DC.  Rantau Amerika tidak lagi terasa asing bagi saya. Saya menikmati tugas belajar dari tempat kerja ini. Mimpi indah menyeruak di awang-awang, tentu setelah menyelesaikan pendidikan Master ini saya bisa meniti karier lebih tinggi di Bank Summa. Suasana DC dimana terdapat jauh lebih banyak pemukim Indonesia dibandingkan di Wichita juga membuat saya semakin nyaman. Satu tahun pertama pendidikan di GWU berjalan dengan lancar. Saya juga punya kesempatan untuk terlibat aktif dengan perkumpulan mahasiswa Indonesia di Amerika.
    Akhir dari setiap mimpi, baik atau buruk, adalah terbangun dalam kesadaran. Mimpi indah saya pada tahun pertama kuliah di GWU tiba-tiba berhadapan dengan kenyataan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Di tanah air, Bank Summa mengalami kesulitan likuiditas yang berujung pada kasus kredit macet. Om Williem, -William Soeryadjaya, turun tangan mengambil alih kepemilikan Bank Summa hingga kemudian menjaminkan kepemilikan sahamnya di aset paling berharga milik keluarga Soeryadjaya, Astra.
    Tetapi semua usaha yang dilakukan oleh Om Williem, -yang pada akhirnya kehilangan kepemilikan di Astra, tidak bisa menyelamatkan Bank Summa. Dampaknya bagi saya yang jauh berada di Amerika sungguh sangat terasa. Beasiswa saya terhenti justru di tengah gairah saya ingin segera menyelesaikan program Master ini. Bagi saya saat itu, sungguh tidak etis di tengah badai besar yang tengah dihadapi Bank Summa, untuk menanyakan kelanjutan beasiswa.
    Di tahun 1992 itu, saya seolah kembali memegang selembar one way ticket. Mimpi-mimpi indah yang sempat terbang di langit cita-cita, satu per satu pecah bagai gelembung yang tidak berdaya. Perantauan kembali menguji insting saya untuk survive. Untuk menyelesaikan studi ditambah lagi dengan biaya hidup di Amerika, tabungan saya pada saat itu jauh dari cukup. Tidak banyak yang bisa saya simpan dari hasil bekerja selama satu setengah tahun di Bank Summa.
    Saya merasa pada saat itu, sudah tidak pantas lagi merepotkan orang tua dengan  kesulitan yang saya hadapi. Masalah terhentinya beasiswa ini saya simpan rapat dari orang tua hingga saya berhasil menyelesaikan studi di GWU. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah mencari pekerjaan dan dengan uang dari hasil pekerjaan itu saya bisa terus melanjutkan kuliah.
     Pada saat kehidupan menantang saya untuk bertahan maka pada saat itu saya bersiap untuk melakoni pekerjaan apapun sepanjang halal dan cukup untuk menyelesaikan studi. Bahkan sempat terpikir untuk menjadi tukang cuci piring atau tukang bersih-bersih. Untunglah, dengan prestasi akademik di atas rata-rata pada saat itu, saya bisa melamar pekerjaan menjadi asisten lab di GWU. Pada saat itu saya mendapatkan bayaran US$ 3 perjam. Pekerjaan itu tidak lama saya tekuni, karena kemudian terbuka kesempatan untuk pekerjaan dengan gaji lebih tinggi menjadi Tutor dengan gaji US$ 6 perjam. Bekerja sambil kuliah di negeri orang benar-benar menjadi ujian disiplin hidup.
    Saya harus pintar-pintar membagi waktu, agar pekerjaan bisa mendukung kuliah yang tengah saya tempuh, bukan sebaliknya. Disini pula saya menyadari pentingnya menetapkan target dan prioritas. Target saya dalam bekerja adalah untuk mendapatkan uang demi menyelesaikan kuliah. Artinya kuliah menjadi prioritas utama yang harus didukung oleh kesungguhan saya dalam bekerja. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, saya mampu melaluinya dengan baik. Saya tidak sekedar berhasil menyelesaikan studi di GWU, tetapi kembali lulus dengan predikat summa cum laude.
    Usia saya dua puluh tiga tahun ketika menggondol gelar Master of Business Administration dari George Washington University. Dengan usia yang masih muda itu, ada godaan untuk menerima pekerjaan lain di tengah ketidakpastian yang menyelimuti Bank Summa. Mimpi untuk bekerja di perusahaan besar dan hidup mapan masih mungkin saya rangkai kembali. Tetapi sejak kecil saya terbiasa loyal dengan satu hal. Saya loyal dengan satu olahraga, bola basket. Saya loyal dengan satu wanita, dari pacaran hingga menjadi istri saya, Nur Asia Uno.
    Saya juga loyal dengan bidang finance yang saya tekuni. Dan menurut saya adalah penting untuk loyal pada bank yang telah memberikan saya kesempatan bekerja dan kemudian bahkan untuk melanjutkan studi  Master di Amerika.  Kalau pun karir saya harus berakhir, saya ingin keputusan itu datang dari orang yang mempekerjakan. Saya kembali ke Indonesia, tetap dengan status sebagai karyawan Bank Summa.
     Pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Saya kehilangan pekerjaan. Loyalitas buta saya sepertinya kalah telak oleh kenyataan. Tampak di permukaan memang seperti itu. Tetapi sebenarnya yang terjadi, itulah masa-masa yang penting dan berharga dalam hidup saya. Saya punya kesempatan untuk melihat lebih dekat bagaimana Om Willem, mentor bisnis yang sangat saya kagumi, mengelola krisis. Dari Om Willem saya belajar, bahwa bisnis lebih dari sekedar masalah untung rugi tetapi tanggung jawab. Begitu banyak yang dikorbankan oleh Om Willem demi mengembalikan uang nasabah di Bank Summa, hingga akhirnya Astra yang dibangun dan dibesarkannya berpindah kepemilikan.
    Dalam jangka panjang, krisis yang dialami oleh tempat saya bekerja ini memberikan pelajaran yang jauh lebih besar pada saat nantinya saya menangani perusahaan-perusahaan termasuk perbankan yang tengah “sakit”. Seringkali saya berpikir, bila pada titik krisis di tahun 1992 itu saya memutuskan meninggalkan Bank Summa begitu saja, tentu saya tidak akan pernah bisa berjalan sejauh ini di dunia bisnis. Itulah pelajaran dari pohon loyalitas yang buahnya saya petik di masa depan.
     Kehidupan terus berjalan. Jarum jam tidak pernah menunggu kita untuk bergerak. Saya memutuskan untuk kembali mengadu peruntungan di perantauan. One Way Ticket membawa saya ke negara tetangga, Singapura. Setia dengan bidang yang saya tekuni, keuangan, saya bekerja sebagai finance and invesment analist di Seapower Asia Invesment Limited. Setahun kemudian, karirnya saya menanjak ketika bergabung dengan MP Holding Limited Group sebagai Investment Manager.
    Pada tahun 1995, ketika menginjak usia dua puluh enam tahun, saya bergabung dengan NTI Resources Ltd, Kanada sebagai Executive Vice President.  Pekerjaan ini membawa saya kembali ke tanah Amerika Utara, tepatnya Calgary Canada. Di usia yang masih muda itu, saya sudah bisa menghasilkan pendapatan dollar “enam digit”. Apabila kesuksesan diukur dari kecepatan menghasilkan uang, maka pada usia dua puluh enam tahun saya telah mengukir kesuksesan. Tetapi masalahnya, roda kehidupan saya tidak pernah berhenti. Malah roda itu berputar lebih cepat dibandingkan dengan roda kehidupan banyak orang.
     Dengan semua capaian yang saya dapatkan, pada saat itu saya merasa sudah bisa untuk membeli “tiket kembali” dari one way ticket yang dulu diberikan oleh ayah. Mimpi-mimpi masa remaja tentang kehidupan yang mapan telah menjadi kenyataan. Realitas itu semakin lengkap ketika saya memutuskan untuk menikahi kekasih saya sejak masa remaja, Nur Asia Uno pada tahun 1996. Satu tahun kemudian lahirlah putri pertama kami Anneesha Atheera Uno. Tetapi justru di tengah kesempurnaan hidup ini, ujian hidup yang sangat besar menunggu saya.
    Pada awal tahun 1997, krisis ekonomi mulai merambat dan perlahan melilit beberapa negara Asia. Dimulai dari terpukulnya mata uang Baht Thailand akibat aksi spekulasi besar-besaran, krisis ini kemudian menjalar ke negara-negara Asia lainnya. Perusahaan tempat saya bekerja benar-benar mengalami pukulan hebat akibat krisis ini. Sejak pertengahan tahun 1997, bisa dikatakan saya tidak pernah lagi menerima gaji dari tempat saya bekerja walaupun masih menjalankan tanggung jawab sebagai salah satu eksekutif perusahaan. Tanpa gaji, mungkin saya masih bisa bernafas dengan mengandalkan tabungan yang ada. Sayangnya, mungkin karena kepercayaan diri yang terlalu tinggi karena berhasil mengelola dana investasi orang lain, saya menginvestasikan sebagian besar tabungan di pasar modal yang kemudian ambruk.
     Saya pulang ke Indonesia nyaris tanpa membawa apa-apa. Bahkan di Jakarta saya belum sempat menyiapkan sebuah rumah untuk keluarga sehingga harus menumpang di rumah orang tua. Sempat terlintas dalam pikiran saya, betapa kejamnya kehidupan ini, menerbangkan dan kemudian menghempaskan saya dalam tempo yang begitu cepat.
    Tetapi lambat laun saya mulai bisa menerima ujian hidup itu dengan keikhlasan. Hingga kemudian saya mengubah cara pandang terhadap ujian yang datang ini. Betapa murah hatinya kehidupan, memberikan pelajaran nyaris lengkap dalam tempo singkat kepada saya. Dalam tempo hampir sepuluh tahun sejak ayah memberikan one way ticket, saya telah melewati begitu banyak hal. Bertahan dalam keterasingan di Wichita, bergumul dengan mimpi yang nyaris sirna, menikmati impian masa remaja hingga sekarang saya seolah memulai segala sesuatunya kembali dari nol. Bila saya tidak pernah jatuh dengan keras maka saya tidak akan pernah belajar untuk bisa berdiri dengan kokoh.
    Di tengah badai krisis ekonomi yang menerjang tanah air, mustahil bagi saya untuk menemukan peluang kerja baru. Sementara saya tidak lagi hidup sendiri. Ada istri dan anak yang masih bayi yang harus saya hidupi. Saya tidak mungkin menghabiskan waktu duduk menunggu badai krisis ini berlalu. Satu-satunya pilihan untuk bertahan pada waktu itu adalah dengan keluar dan berjuang di tengah-tengah badai.
    Pada saat semua pintu pekerjaan tertutup, saya harus menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri saya sendiri. Menjadi pengusaha dengan cara berwirausaha tidak pernah terlintas di benak saya sebelumnya. Tetapi saya tidak punya pilihan lain untuk bertahan pada waktu itu. Berbeda dengan sebagian besar pengusaha muda lainnya, dalam darah saya tidak mengalir darah pengusaha. Ayah saya adalah seorang karyawan perusahaan minyak, sementara Ibu seorang pendidik. Dalam lingkaran keluarga dekat, juga tidak seorang pun yang menjalani kehidupan sebagai pengusaha. Dari seorang karyawan menjadi pengusaha seperti perantauan baru bagi saya. Dunia wirausaha menjadi kanvas putih yang akan saya lukis dalam rentang usia berikutnya.
    Seringkali dalam berbagai kesempatan saya mengatakan, bahwa saya menjadi seorang pengusaha adalah karena kecelakaan. Bila saya boleh jujur, alasan yang lebih pantas sebenarnya, saya menjadi pengusaha demi bisa memenuhi kebutuhan susu anak saya. Pada saat memulai usaha bersama sahabat saya sejak SMA Rosan  Perkasa Roslani, kami lebih mengandalkan insting untuk bertahan hidup ketimbang perencanaan bisnis yang komprehensif. Sesuai dengan bidang yang saya tekuni, perusahaan yang kami dirikan pada tahun 1997 itu, Recapital, awalnya bergerak dalam jasa penasihat keuangan. Kantor kami luasnya tidak lebih dari lima puluh meter persegi dengan karpet berwarna merah muda.
    Pernah suatu hari saya berniat meminjam uang kepada Rosan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari sebesar tiga juta rupiah, ternyata Rosan cuma punya lima puluh ribu rupiah. Untuk bertemu dan rapat dengan klien terpaksa kami menggunakan mobil Suzuki Katana pinjaman dari orang tua. Saya coba membuka kontak kembali dengan klien-klien dari luar negeri yang dulu saya dapatkan ketika bekerja di luar. Sementara di dalam negeri, pergaulan ibu saya yang luas, membuka banyak pintu bagi kami walaupun itu belum berarti kesepakatan bisnis. Semua perjuangan itu perlahan membuahkan hasil ketika kami mendapatkan klien-klien pertama kami, Ramako Group dan Jawa Pos Group.
    Saya memantapkan diri untuk menjadi pengusaha. Bukan semata-mata karena Recapital mulai menunjukkan hasil tetapi karena saya mulai percaya bahwa saya pulang ke tanah air bukan sebagai orang yang gagal. Justru sebaliknya, saya pulang sebagai orang yang berhasil ditempa oleh waktu dan nasib. Pengalaman adalah modal penting dalam dunia usaha, tidak bisa didapatkan di bangku sekolah dan juga tidak bisa didapatkan dengan uang. Pengalaman berharga hanya bisa didapatkan sepanjang kita hidup dalam prinsip-prinsip yang secara utuh diterapkan dalam menghadapi berbagai keadaan.
    Prinsip hidup yang kuat tidak sekedar tumbuh dari sikap melainkan kebiasaan. Disiplin, loyalitas, target, prioritas serta keikhlasan, Alhamdulillah, sikap itu mengakar jadi kebiasaan hidup saya. Inilah nilai-nilai yang banyak membantu saya di masa-masa sulit. Tabungan dalam bentuk harta kekayaan suatu saat mungkin habis atau berkurang, tetapi tabungan pengalaman senantiasa akan bertambah sepanjang hayat dikandung badan.
     Recapital bukanlah akhir dari perantauan saya. Perjalanan hidup mengajarkan, dunia tidak pernah memberi ruang yang cukup bagi saya untuk berhenti dan sekedar menikmati kenyamanan. Dia selalu datang menggoda lewat tantangan dan ujian. Pada tahun 1998, ketika mengunjungi mentor saya Om Willem di kantornya jalan Teluk Betung, saya bertemu dengan salah satu putra Beliau Edwin Soeryadjaya melalui kolega lama dari NTI, Andreas Tjahjadi. Dari pertemuan tidak sengaja itu, Edwin mengajak saya untuk terlibat membantu sebuah transaksi bisnis yang tengah dilakukannya.
    Ternyata pekerjaan itu jauh lebih sulit dari yang saya pikirkan karena di tengah krisis kepercayaan dunia terhadap Indonesia kami harus meyakinkan investor asing untuk kembali menanamkan modalnya disini. Butuh waktu enam bulan untuk menyelesaikan transaksi ini. 2 Desember 1998 adalah tanggal yang tidak mungkin saya lupakan, karena bertepatan dengan kelahiran putri kedua saya Amyra Atheefa Uno  di rumah sakit Medistra, kami berhasil melakukan transaksi. Itulah inisiasi awal untuk kemudian saya memutuskan secara penuh bergabung bersama Edwin di bawah bendera Saratoga.
     Dua orang putri saya ternyata membawa jejak peruntungan sendiri-sendiri. Recapital rejeki Atheera dan kemudian Saratoga rejeki Amyra. Alhamdulillah, sekarang kebagiaan keluarga kami bertambah lengkap dengan hadirnya Sulaiman Saladdin Uno, anak ketiga saya yang baru lahir. Saya tidak mau menduga-duga, jejak seperti apa yang akan dibawa oleh Sulaiman. Saya ingin hidup tetap menjadi kado penuh misteri yang indah pada waktunya nanti.
    Sekarang Recapital dan Saratoga telah menjelma menjadi salah satu kekuatan swasta nasional. Bukan licin jalan beraspal yang kami lalui untuk sampai seperti sekarang ini. Tetapi belukar penuh duri dimana kata penolakan akrab di telinga. Saya tidak pernah menghapus kata gagal dari kamus hidup saya. Sebab saya percaya bahwa kegagalan adalah komplemen serasi dari kesuksesan. Recapital di awal berdirinya, seringkali gagal mendapatkan pinjaman dari Bank. Bahkan di tengah kemajuannya, beberapa kali kami juga gagal dalam transaksi penting. Saratoga di awal tahun saya bergabung malah mendapatkan ujian yang menguras emosi kami. Betapa tidak, pada tahun 1999 kami memiliki kesempatan untuk  mengelola kembali “the dream Company”, Astra Group , melalui pelelangan BPPN, tetapi kami gagal. Rendezvous Edwin dan saya yang memiliki keterikatan dengan Astra tidak pernah terjadi. Keberhasilan tidak lebih dari persekutuan positif kita dengan kegagalan.
     One Way Ticket. Saya percaya bahwa kehidupan hanya menyediakan satu tiket pergi tanpa kembali. Tidak ada tempat untuk kembali, yang bisa kita lakukan hanyalah membuka lembaran baru dengan belajar dari pengalaman di masa silam. Karena hanya ada satu tiket pada setiap kita, kenapa kita harus menumpang pada mimpi orang lain. Itulah yang mendasari gagasan saya tentang kewirausahaan. Dimana kita tidak hanya membuat diri sendiri berdaya tetapi juga saling memberdayakan sesama manusia.
    Kita merantau atau berdiaspora untuk sepetak tanah yang dijanjikan. Luasnya hanya kurang lebih  dua meter persegi. Satu tiket yang kita miliki sekarang lah yang menentukan apakah di atas permukaan tanah itu akan tumbuh semak belukar atau sebuah nisan sederhana yang senantiasa mengundang mata. Ingatlah, bumi itu bulat, kita hanya butuh satu tiket untuk bisa mengelilinginya.
  • Jangan Takut Beli Ikat Pinggang

    Jangan Takut Beli Ikat Pinggang

    Oleh: Dahlan Iskan

    Beredar luas. Di kalangan pengusaha. Lewat media sosial. Isinya: tawaran ikat pinggang. Ekonomi lagi sulit. Dan masih akan sulit. Rupiah terus melemah. Inflasi akan terjadi. Bank mengetatkan pemberian kredit. Suku bunga akan tinggi. Buntutnya: akan ada PHK.

    Anjurannya: berhematlah. Kendalikan pengeluaran. Jangan boros. Siapkan uang yang cukup. Untuk jaga operasional perusahaan. Setidaknya untuk enam bulan.

    Beri pengertian karyawan: untuk ikut berhemat. Agar jangan ada PHK. Bagi yang merencanakan proyek baru tunda dulu. Wait and see. Anjuran seperti itu, yang beredar luas itu, sumbernya dari bank. Untuk mengingatkan nasabahnya. Agar waspada. Bank yang baik selalu menjaga nasabahnya. Saya setuju dengan anjuran seperti itu.

    Turki, India, Iran dan banyak negara lagi sulit-sulitnya. Bahkan Iran sampai memecat dua menteri ekonominya. Dipecat oleh DPR-nya.

    Kita juga lagi sulit. Jangan salahkan Sri Mulyani. Kalau kita tidak gagal di bidang ekspor Sri Mulyani akan baik-baik saja. Kalau ambisi kita tidak berlebihan semua akan baik-baik saja.

    Tapi siapa mau all out menggalakkan ekspor? Politik, bagi mereka, lebih menggiurkan. Apa boleh buat. Kita harus mengencangkan ikat pinggang. Siapa yang tidak mau ikat pinggang tanggung sendiri resikonya. Siapa yang belum punya ikat pinggang segeralah membelinya.

    Saya sudah biasa mengencangkan ikat pinggang. Bagi pengusaha seumur saya ini tidak baru. Ikat pinggang pertama saya alami tahun 1988. Yang kedua di tahun 1998. Yang ketiga tahun 2008. Yang keempat tahun 2018 ini. Terjadi tiap 10 tahun. Seperti ada mistiknya. Padahal tidak.

    Saya masih ingat ikat pinggang pertama itu. Sumbernya: tight money policy. TMP. Begitu populer istilah TMP saat itu. Sedikit-sedikit beralasan TMP. Kebijakan uang ketat. Kebijakan TMP bertujuan untuk mengendalikan inflasi. Ekonomi memang lagi ‘panas’ saat itu. Terlalu baik. Semua perusahaan ekspansi. Kalau tidak dikendalikan bisa ambruk.

    Akibat TMP itu sulit sekali cari uang. Sulit cari kredit. Bunga bank 24 persen. Banyak yang di atas itu. Saya mengalami semua itu. Justru ketika baru 6 tahun terjun di bisnis. Yang seharusnya masih dalam tahap belajar bisnis.

    Tapi pelajaran itu saya dapat: nenjalankan perusahaan dengan bunga 24 persen.
    Efisiensi kami lakukan habis-habisan. Bekerja lebih keras. Kami tidak pernah mengeluh. Tidak pernah minta tolong pemegang saham.

    Kami berhasil lolos dari krisis. Bahkan lebih kokoh. Banyak perusahaan yang juga selamat. Juga lebih kuat. Yang abai pada keadaan itu pada bangkrut. Ada yang kelak bisa bangkit lagi. Dengan susah payah. Banyak yang bangkrutselamanya.

    Hal yang sama terjadi sepuluh tahun berikutnya. Lebih berat. Krismon itu. tahun 1998 itu. Saat itu kami sudah lebih kokoh. Berkat ujian di tahun 1988. Tapi kami tidak lengah. Tetap kencangkan ikat pinggang. Ratusan ide, puluhan terobosan, penghematan, kerja lebih keras kami lakukan.

    Karyawan pun saya larang beli baju baru. Tidak boleh pakai dasi. Ke kantor boleh pakai sandal. Mutasi besar-besaran dilakukan. Karyawan berkorban habis-habisan. Mau kerja apa saja. Termasuk di luar bidangnya.

    Salah satu karyawan ganti bicara. Di rapat umum perusahaan. ”Pak Dahlan juga harus berhemat. Tidak boleh lagi naik mercy,” katanya.

    Saya ingat nama karyawan itu. Ia wartawan. Yang biasa kalem. Pendiam. Kali itu berani bicara begitu kepada bos besarnya. Di depan umum pula. Namanya akan abadi di hati saya: Budi Kristanto.

    Saya pun spontan memutuskan. ”Sejak rapat ini saya tidak naik mercy,” kata saya saat itu.

    Saya pilih naik Hundai kecil. Bekas. Mercy dikandangkan. Dua tahun kemudian diketahui: mercy itu rusak. Tidak pernah dipanasi.

    Tapi perusahaan lolos dari krisis. Menjadi sangat kokoh. Bahkan luar biasa kuat. Ketika terjadi krisis lagi sepuluh tahun kemudian: sepele. Krisis di tahun 2008 tidak terasa apa-apa di perusahaan kami. Padahal begitu banyak perusahaan kelimpungan.

    Saat terjadi krisis tahun ini saya sudah pensiun total. Tidak ikut merasakan. Tidak ikut mengalaminya.
    Tapi prinsipnya sama: Jangan takut ikat pinggang. Sepanjang tujuannya untuk kelangsungan perusahaan.
    Ingat. Saya pernah tiga kali mengalaminya. Dengan bunga 24 persen. Bahkan pernah 29 persen.

    Jangan mikir politik. Pikirkan perusahaan. Dan jaga karyawan Anda. (dahlan iskan)

  • Gerakan Deklarasi 2019 Ganti Presiden Dalam Tinjauan Hukum Dan Ketatanegaraan

    Gerakan Deklarasi 2019 Ganti Presiden Dalam Tinjauan Hukum Dan Ketatanegaraan

    Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
    Ketua LBH PELITA UMAT

    Pasca pembatalan rencana deklarasi 2019 ganti Presiden yang diinisiasi oleh Bunda Neno Warisman di Riau, publik prihatin. Kejadian ini, semakin menegaskan kondisi negara sedang absen dalam menjaga hak konstitusional warga negara untuk menjalankan kemerdekaan menyatakan pendapat dimuka umum.

    Situasi ini diperparah, ketika gerakan yang mengatasnamakan ormas tertentu memaksakan kehendak menolak sekaligus menuntut pembubaran gerakan deklarasi 2019 ganti Presiden di Surabaya. Bahkan, di Surabaya tidak saja terjadi penolakan gerakan ganti Presiden, tetapi sampai pada aktivitas persekusi (perburuan) anggota masyarakat yang hendak menjalankan aktivitas beribadah (sholat) di masjid, yang tegas dijamin konstitusi khususnya sebagaimana diatur dalam pasal 29 UUD 1945.

    Cekaknya, situasi ini diperparah dengan adanya anasir liar yang menuding secara sepihak gerakan 2019 ganti Presiden dianggap memecah belah, menimbulkan kebencian dan SARA, pada saat yang sama diam seribu bahasa melihat tindakan radikal dan intoleran yang dipertontonkan oleh ormas tertentu yang memaksakan kehendak membubarkan kegiatan masyarakat yang memiliki aspirasi 2019 ganti Presiden sebagaimana dijamin konstitusi.

    Karena itu, perlu kajian hukum dan ketatanegaraan yang membuat simpulan hukum untuk memberikan predikat atas adanya gerakan rakyat yang menginginkan 2019 ganti Presiden. Predikat hukum ini, menjadi dasar dan pijakan sikap dan tindakan hukum bagi aparat penyelenggara negara dan para penegak hukum agar dapat menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan hak konstitusional untuk beserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

    Predikat hukum ini juga penting, agar tidak ada oknum penegak hukum
    atau ormas yang berdalih berdasarkan logika kamtibmas dan penyebaran kebencian pada pihak tertentu, kemudian menghalangi apalagi sampai membubarkan kegiatan Penyelenggaraan kebebasan berpendapat dimuka umum yang dijamin undang undang.

    GANTI PRESIDEN ADALAH GANTI OKNUM BUKAN STRUKTUR KETATANEGARAAN

    Gerakan 2019 ganti Presiden dimaksudkan untuk mengganti jabatan Presiden oleh anak bangsa yang diyakini lebih kapabel, lebih amanah, jujur dan bertanggung jawab serta dapat menjalankan tugas tugas pemerintahan dan pengelolaan tata kenegaraan agar menjadi lebih baik. Bukan mengganti struktur dan nomenklatur Presiden menjadi perdana menteri dalam sistem parlementer atau menjadi Raja dalam sistem kerajaan.

    Konstitusi tegas menyebut negara berbentuk Republik dengan dikepalai oleh seorang Presiden. Presiden, selain berfungsi sebagai kepala negara juga menjalankan tugas kepala pemerintahan. Bahkan, sistem presidensial memberi mandat penuh kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan eksekutif secara mandiri dan otoritatif.

    “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” (pasal 1 ayat 1 UUD 45).

    “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”. (Pasal 4 ayat 1 UUD 45).

    Karenanya, gerakan ganti presiden yang dilakukan menjelang Pilpres 2019 adalah gerakan yang harus dipahami sebagai aspirasi untuk mengganti pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan dengan orang lain yang dipandang lebih cakap dan amanah. Gerakan ini sah dan legal, sebab jabatan Presiden bukan seumur hidup, tetapi dibatasi 5 (lima) tahun sebagaimana dijelaskan konstitusi.

    “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. (Pasal 7 UUD 45).

    Dalam dinamakan politik menjelang Pilpres 2019, gerakan 2019 ganti Presiden dimaksudkan untuk mengganti posisi Pak Jokowi selaku pejabat Presiden saat ini, dengan cara yang sah dan legal melalui pemungutan suara dalam ajang Pilpres 2018. Meskipun Pak Jokowi dapat dipilih kembali untuk satu kali periode jabatan (lima tahun), adalah sah dan legal jika ada gerakan rakyat yang menyampaikan aspirasi agar Pak Jokowi tidak terpilih lagi sebagai Presiden dan digantikan oleh Presiden lainnya. Dalam konteks itulah secara hukum memaknai gerakan 2019 ganti Presiden, yakni gerakan yang menyampaikan aspirasi untuk mengganti posisi pemegang jabatan Presiden melalu mekanisme yang diatur konstitusi (Pilpres) dan bukan mengubah struktur dan nomenklatur negara dan pemerintahan.

    Lagipula, mekanisme untuk mengubah struktur Presiden, wewenang, hubungan kelembagaan dengan lembaga yudikatif dan legislatif, secara konstitusi diatur melalui mekanisme sidang umum MPR RI dengan agenda amandemen konstitusi. Jika dalam amandemen konstitusi disepakati merubah bentuk dan corak kekuasaan eksekutif, dari presidensial menuju parlementer, bahkan mengubah negara kesatuan menjadi Serikat, sepanjang ditempuh secara konstitusi adalah sah dan legal menurut hukum.

    Sejarah negara dan bangsa, menunjukan bahwa bangsa ini pernah mengalami masa pemerintahan Republik Serikat, pernah menetapkan kekuasaan sentralistik, dan perubahan kembali menuju negara kesatuan dengan konsep desentralisasi kekuasaan ditempuh melalui jalur konstitusi. Satu-satunya cara-cara perubahan struktur dan bentuk negara yang melanggar konstitusi adalah kudeta PKI yang hendak mengubah negara Pancasila menjadi negara komunis melakukan cara pemberontakan.

    Namun, jika gerakan ganti Presiden ini digaungkan setelah Pilpres 2019, setelah dilantiknya Presiden terpilih melalui mekanisme Pilpres sebagaimana diatur konstitusi, barulah gerakan ini bisa dituding gerakan makar dan memiliki agenda untuk merubah struktur dan bentuk negara. Karenanya, tudingan gerakan 2019 adalah gerakan makar yang bertujuan mengganti struktur dan nomenklatur lembaga negara pada saat menjelang Pilpres 2019 adalah tudingan yang tidak berdasar hukum.

    Tudingan makar ini, lebih condong sebagai gerakan politik picisan yang menunjukkan ketidakmampuan menyerap dan beradaptasi dengan perbedaan aspirasi ditengah rakyat, kemudian menebar fitnah dan ancaman agar rakyat meninggalkan aktivitas menjalankan hak konstitusional berupa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

    ALAT NEGARA HARUS MELAYANI RAKYAT BUKAN MELAYANI PENGUASA

    Aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum, tindakan yang diambil lembaga kepolisian adalah memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada segenap elemen raKyat yang hendak menjalankan hak konstitusi.

    Gerakan 2019 ganti Presiden adalah representasi aspirasi rakyat yang ingin diaktualisasikan dalam bentuk penyampaian pendapat dimuka umum. Fungsi kepolisian adalah melindungi dan mengamankan kegiatan. Jika ada aspirasi berbeda, kepolisian wajib memediasi dan melindungi aspirasi setiap warga negara -meskipun memiliki aspirasi berbeda- dengan menjamin keseluruhan kegiatan dapat berjalan dengan baik.

    Kepolisian tidak boleh mengambil tindakan, dengan berdalih ada komponen masyarakat yang tidak setuju gerakan 2019 ganti Presiden, kemudian mengambil tindakan membubarkan kegiatan deklarasi 2019 ganti Presiden dengan dalih adanya potensi gangguan kamtibmas. Sebaliknya, kepolisian wajib melayani, melindungi dan mengayomi semua pihak.

    Cara paling tepat yang bisa dilakukan oleh kepolisian adalah memediasi pihak yang tidak setuju dan menyarankan pihak yang tidak setuju 2019 ganti Presiden dengan melakukan kegiatan lain sesuai aspirasi yang dikehendaki-nya. Bagi yang tidak setuju gerakan 2019 Ganti Presiden, bisa disarankan untuk membuat gerakan lain seperti gerakan dukung Jokowi sampai mati, pejah gesang nderek Jokowi, pokoknya sekali Jokowi tetap Jokowi, biar utang menumpuk asal presidennya Jokowi, biar sengsara asal Jokowi, atau gerakan lain yang semisal untuk menandingi gerakan 2019 ganti Presiden, dengan catatan satu dengan yang lain tidak saling mengganggu dan saling membubarkan.

    Dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum ditegaskan :

    “Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
    Manusia”.

    Karenanya tindakan menghalangi bahkan hingga membubarkan kegiatan masyarakat dalam rangka Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum berupa aspirasi 2019 Ganti Presiden, selain melanggar hukum juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih lagi, setiap tindakan yang dilakukan untuk menghalangi hak warga negara untuk Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dipidana :

    “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan
    Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”. (Pasal 18 UU No. 9/1998).

    Adapun prosedur pelaksanaan hak Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum cukup memberitahu pihak kepolisian, tidak memerlukan izin. Sebab, hak Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum adalah hak konstitusi, bagaimana mungkin warga negara hendak menjalankan hak yang dijamin konstitusi harus ijin polisi ?

    Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 10 UU No. 9/1998 :

    “Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri”.

    Esensi pasal ini adalah bahwa menjalankan hak konstitusi tidak perlu izin, tetapi cukup pemberitahuan. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar kepolisian bisa melakukan serangkaian tindakan yang bisa menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum ini berjalan tertib tanpa gangguan pihak lainnya. Itulah, tugas dan fungsi kepolisian yang melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat untuk melaksanakan hak konstitusi.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Setelah mendalami realitas dan fakta hukum sebagaimana kami jelaskan, maka kami berkesimpulan :

    Pertama, gerakan 2019 Ganti Presiden secara hukum dan konstitusi adalah gerakan yang sah dan legal, dilindungi oleh hukum dan perundangan serta dijamin sebagai salah satu Hak Asasi Manusia.

    Kedua, gerakan 2019 ganti Presiden adalah salah satu ekspresi dan aspirasi menyampaikan pendapat dimuka umum yang dijamin undang undang, sebagai sebuah kemerdekaan konstitusi yang pelaksanaannya cukup memberikan pemberitahuan dan tidak membutuhkan izin dari pihak kepolisian.

    Ketiga, gerakan 2019 ganti Presiden tidak bisa dan tidak boleh dibatalkan atau dibubarkan oleh pihak manapun baik oleh aparat penegak hukum apalagi ormas, karena hal ini bertentangan dengan konstitusi.

    Keempat, setiap pihak yang mencoba mengambil tindakan baik mengatasnamakan ormas atau institusi lainnya, baik dengan menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan yang menghalangi hak untuk menjalankan kemerdekaan menyatakan pendapat dimuka umum, adalah pelanggaran hukum dan merupakan tindak pidana yang dapat diancam dan diberi sanksi pidana.

  • Dikala Oposisi Mengisi Ruang Kosong, Negara Hadir Ibarat Monster Leviatan

    Dikala Oposisi Mengisi Ruang Kosong, Negara Hadir Ibarat Monster Leviatan

    oleh : Natalius Pigai

    PASTI banyak orang berprasangka begitu kejamnya judul tulisan ini. Tentu saja judul ini tidak begitu saja jatuh dari langit, ada akar historisnya dan tidak ironis bahwa landas pijak lahirnya sebuah negara bangsa termasuk Indonesia hadir untuk melindungi segenap warga negara dari ancaman nyata antar individu (homo homini lupus), lantas negeri dihadirkan sebagai monster leviathan untuk menerkam rakyat ( Thomas Hobes).

    Negara ini kita lahir karena adanya sumpa pemuda menyatakan kehendak antar individu melahirkan pejanjian berdirinya sebuah negara bangsa (pactum unionis), maka kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat (John Locke). Harus di sadari oleh Presiden Jokowi bahwa negara ini tidak pernah dilahirkan karena adanya penjanjian antara rakyat dan negara (pactum subjectionis) maka negara tidak bisa serta merta mengatur sesuai kehendak pribadi, presiden memiliki ruang terbatas yang dibatasi oleh kekuasan yang bersumber dari konstitusi.

    Saya bukan Descartesian atau pengikut Rene Descartes yang mengandalkan kehidupan berlogika dan nalar sebagai sentrum kehidupan. Namun bernalar dan berlogika seringkali menjadi penting tidak hanya di dunia akademia tetapi juga pentingnya logika dalam merancang bangun negara bangsa (nation-state) seperti Indonesia yang bangunan tata praja dan pranata hukumnya belum sempurna.

    Apakah bernalar jika seorang Presiden yang pemimpin tertinggi sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan perlu membentengi diri dari oposisi pemerintah?. Begitu jahatkah oposisi sehingga seorang Presiden yang juga adalah orang terpilih, terbersih, terbaik dari sisi pengetahuan (Knowledge), ketrampilan memimpin (skills) juga bermental baik (attitute) yang dipilih oleh partai-partai politik melalui tahapan seleksi secara ketat lantas memanfaatkan segala instrumen negara untuk kepentingan kekuasaan dirinya bukan untuk kepentingan umum atau kebaikan bersama (bonum commune).

    Ironi, bahwa saat ini partai-partai yang justru mengusung kader terbaik mereka menjadi Presiden Republik Indonesia berusaha keras untuk mempertahankan kedigdayaan dengan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dari ancaman hanya sekedar tekanan verbal adalah sesat pikir dan sesat nalar. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan merupakan pengguna kekuasaan yang bersumber dari konstitusi, namun konstitusi negara mengamanatkan kekuasaan Presiden juga Tidak Tak Terbatas. Itu esensi negara yang perlu dipahami oleh Presiden Jokowi.

    Di saat presiden yang berada di Bizantium Kekuasaan yang saban hari disembah sujud oleh semua elemen bangsa justru memanfaatkan semua instrument negara hanya untuk melindungi diri sendiri yang berkuasa luar biasa. Sementara rakyat kecil berjuang setengah mati mencari perlindungan dan keadilan di negeri ini.

    Sangat naif, bilamana Presien menjadikan institusi negara sebagai alat kekuasaan maka tindakannya merupakan perwujudan nyata dari apa yang sering diungkapkan dan dikhawatirkan rakyat bahwa ternyata kekuasaan negara ibarat silet yang menyayat dan menancap tajam ke orang-orang kecil tetapi tumpul pada penguasa di singgasana kekuasaan.

    Harus disadari bahwa dimana-mana di dunia ini, seorang Presiden hanya dilindungi dari ancaman keselamatan jiwa dan fisik yang terdiri ancaman luar (external treath) dan keamanan dan kenyamanan di dalam negeri. Dalam konteks ancaman ini, semua upaya perlindungan secara protokoler telah diberikan oleh negara sehingga tidak terlalu penting diberi perlindungan secara hukum apalagi terkait ujaran, demonstrasi dari rakyat terhadap Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

    Negara kita menganut sistem meritokrasi termasuk jabatan Presiden Republik Indonesia. Terpilih melalui seleksi dan hasil pemilihan umum. Kedaulatan Presiden merupakan resultante dari kedaulatan individu melalui kumpulan satu orang, satu suara, satu nilai (Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu rakyat berhak mencabut kedaulatan, apalagi hanya sekedar menyampaikan pikirkan, perasaan dan pendapat untuk menilai kemajuan (progress) dan kemunduran (regress) atas kinerja Presiden.

    Presiden Pemangku jabatan publik sehingga mutlak untuk dinilai baik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab maupun juga cara bertutur, bertindak, mentalitas dan moralitasnya sebagai panutan seluruh rakyat. Presiden juga harus siap menerima berbagai cacian, makian, kritikan yang berorientasi kepada merendahkan harga diri dan martabat sekalipun sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara jabatan Presiden dan pribadi.

    Sekali lagi bahwa Presiden itu orang yang terseleksi secara ketat termasuk kadar moralitas dan persoalan pribadinya sehingga sejatinya secara otomatis nyaris terhindar atau bahkan jauh dari ujaran kebencian. Namun jika rakyat menyampaikan kata-kata yang mengandung ujaran kebencian maka tentu saja terdapat persoalan yang serius dan kronis dilakukan oleh seorang presiden yang disegani dan dihormati.

    Karena itu justru yang harus diperiksa adalah Pemerintahannya yang tidak mempu mendeliver haluan negara kepada rakyatnya, bukan rakyat yang disalahkan. Karena itu saya menduga para pemimpin kita ini bernalar laba-laba, komplicated atau bahasa saya di Papua disebut logika rumit (bunikigi)!.

    Tagar 2019 Ganti Presiden bukan menghina Presiden. Salah besar Prof Jimly Assidiqie menyatakan menghina Presiden. Rakyat tidak menyatakan mengganti Presiden yang sedang berkuasa pada tahun 2018 karena bisa dianggap makar, tetapi 2019 ganti presiden adanya komitmen rakyat untuk melakukan perubahan pimpinan nasional secara konstitusional melalui momentum pemilihan umum 2019. Sangat wajar jika rakyat menggaungkan opini atau

    keinginan ganti Presiden dari saat ini dimana sudah memasuki momentum politik Pilpres 2019. Apa yang disampaikan oleh Prof Jimly tentang pasal penghinaan bahwa perlu diketahui bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden itu warisan pemerintah orde baru yang otoriter dan kejam. Jika pemerintah berpandangan kembali sistem kadaluwarsa ini maka reformasi secara substansial belum berjalan secara maksimal. Dan inilah problem serius bangsa ini, dimana kita tersandera dengan pola pikir dan nalar orde baru bahwa presiden adalah simbol negara sehingga harus diselamatkan dan dilindungi. Padahal tidak ada satu pasal dalam konstitusi yang menyatakan Presiden simbol negara.

    Jabatan Presiden itu bukan simbol negara bangsa (nation state simbols) seperti Pancasila, UUD 1945, Burung Garuda, adagium unitarian Bhinneka Tunggal Ika. Secara hukum kekuasaan presiden juga tidak tak terbatas artinya kekuasan presiden dibatasi oleh konstitusi, selain sebagai mandataris MPR juga sebagai warga negara biasa dihadapan hukum. Oleh karena itu Presiden memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan juga kewajiban untuk mematuhi hukum.

    Ada pandangan bahwa tindakan Neno Warisman dan rakyat yang menginginkan ganti presiden 2019 adalah Penghinaan terhadap Presiden merupakan sesat logika dan sesat hukum. Bahkan secara politis akan berbahaya karena selain mengkultuskan individu Presiden, juga apapun yang dikatakan Presiden bisa dianggap sebagai sebuah Titah Raja yang tidak terbantahkan, semacam devine right of the King seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Jhon di Inggris aband ke-15 yang pada diakhirnya juga perlawanan rakyat yang melahirkan magna charta.

    Pada saat ini, kita mesti mencari jalan keluar bagaimana negara memberi ruang ekspresi bagi kelompok oposisi dan intelektual atau juga masyarakat untuk menjalankan keseimbangan (check and balances) terhadap kekuasaan. Hal ini penting untuk antisipasi agar kekuasaan tidak memupuk pada seorang individu yang cenderung otoriter dan bernafsu menyalahgunakan kewenangan (Powers tens to corrupt and Will corrupt absolutely).

    Sepertinya para politisi dan birokrat gila jabatan dan penjilat terhadap kekuasan. Untuk kepentingan apa dan siapa dari para punggawa ilmu, para profesional, politisi, bahkan preman jalanan sampai mengatur urusan privat seorang warga negara yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Jika ada tindakan rakyat dan oposisi yang mengarah pada tindakan yang mengandung unsur pidana maka tanggung jawab pribadi untuk menggunakan haknya sebagai warga negara untuk ajukan gugatan hukum. Dan presiden bisa saja menunjuk pengacaranya sendiri tanpa harus menggunakan instrumen negara untuk menekan rakyat atau Jaksa sebagai pengacara negara.

    pemerintah jangan hadir seperti monster leviathan yang menerkam rakyat karena menyalahi kodratiyah lahirnya sebuah negara yaitu demi melindungi dan membawa perlindungan dari bahaya saling menerkam (homo homini lupus).

    Bagaimanapun harus diakui bahwa kelemahan kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 ini adalah ketidakmampuan membangun bangsa dan memantapkan karakter kebangsaan. Kegagalan terbesar adalah membiarkan disharmoni sosial/horisontal juga secara vertikal antara negara dan rakyat dampaknya terjadi kerusakan fundamental soal kebangsaan. Hal ini patut diduga karena kontribusi tumpukan pemilik nalar orde baru di lingkaran istana negara jadi wajar jika nalar progresif dan reformasi stagnan alias tidak berjalan. (Natalius Pigai adalah Kritikus dan Aktivis)

  • Kepemimpinan Inspiratif Jokowi Membuahkan Sukses Asian Games 2018

    Kepemimpinan Inspiratif Jokowi Membuahkan Sukses Asian Games 2018

    Oleh: Muhammad Yamin
    Ketua Umum DPN Seknas Jokowi

    Hari-hari ini bangsa Indonesia merasa berbahagia dan penuh kebanggaan. Itu karena dalam ajang pesta olahraga Asian Games 2018, atlet-atlet kita telah meraih 23 medali emas, 15 perak, dan 27 perunggu. Dan kemungkinan besar bertambah lagi, karena beberapa cabang yang akan berlaga masih akan menyumbang medali.

    Prestasi ini jelas kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. Apalagi bila dibandingkan dengan perolehan medali di Asian Games 2014, di masa pemerintahan SBY, Indonesia cuma di peringkat 17: dengan perolehan 4 medali emas, 5 perak, dan 11 perunggu.

    Pada masa pemerintah SBY bisa.dikatakan gagal dalam membangun olahraga, baik prestasi maupun sarananya. Kita ingat kasus Wisma Hambalang yang mangkrak pembangunannya, karena dana pembangunan wisma atlet itu dikorupsi oleh politisi Partai Demokrat dan kontraktornya. Bandingkan dengan Wisma Atlet Kemayoran yang sangat megah, dengan 10 tower dengan dicat warna warni, yang dibangun di masa pemerintahan Presiden Jokowi.

    Selain prestasi dan sarana olahraga, acara pembukaan Asian Games 2018 membuat kita semua terpukau. Bukan main bagusnya sehingga ang memuji, bahkan publik dan media internasional menyebut acara itu setingkat kelas Olimpiade. Akibat acara pembukaan yang sukses, hampir semua pertandingan cabang olahraha penontonnya membludak. Malah ada pertandingan tiketnya yang sold out. Bahkan untuk acara penutupan Asian Gamesz kabarnya sudah sold out.

    Beredar juga gosip Sandiaga Uno sudah memborong tiket, lantas membuangnya supaya acara penutupan terlihat kosong.. Tapi, saya tidak percaya gosip ini.

    Yang menarik, antusiasme terhadap Asian Games ini tidak hanya dirasakan di Jakarta, Palembang, dan daerah sekitarnya. Tapi, juga dirasakan hingga ke seluruh pelosok negeri.

    Menurut saya, sukses dan antusiasme ini tidak semata-mata karena persiapan teknis yang dilakukan pantia dan latihan para atlet. Lebih dari itu karena kepemimpinan Presiden Jokowi yang inspiratif dan merakyat dalam memimpin negara bangsa Indonesia. Hal ini menumbuhkan keyakinan bahwa negara ini bila dipimpin oleh orang yang tepat dan amanah, maka dipastikan Indonesia bisa maju dan disegani negara-negara lain. Seperti yang kia rasakan sekarang ini.

    Presiden Jokowi telah memimpin bangsa ini secara benar. Karenanya, mari kita pastikan Jokowi memimpin lagi untuk periode kedua atau #Jokowi2periode.

  • KPK Perlu Periksa Seluruh Pembangunan Infrastruktur Jokowi, Karena Ada Indikasi Korupsi Raksasa

    KPK Perlu Periksa Seluruh Pembangunan Infrastruktur Jokowi, Karena Ada Indikasi Korupsi Raksasa

    Oleh : Yudi Syamhudi Suyuti.
    Ketua Presidium Musyawarah Rakyat Indonesia.

    Jokowi sangat bangga dengan pembangunan proyek infrastrukturnya. Bahkan para relawannya selalu menjadikan proyek infrastruktur Jokowi untuk bahan kampanye nya dimana-mana. Namun, jika kita selidiki secara seksama, ternyata ada indikasi penyimpangan dana super besar. Dan ini jika memang terbukti, maka Jokowi bisa dianggap melakukan korupsi yang mengerikan.

    Memang masalah ini perlu diselidiki mendalam. Karena kita tidak ingin anggaran negara dihabiskan untuk korupsi, apalagi anggarannya dari hutang. Ada kejanggalan di proyek infrastruktur Jokowi. Indikasinya terletak harga yang ada indikasi Mark up di proyek infrastruktur Jokowi.

    Ada biaya standart internasional harga per km untuk biaya produksi jalan tol, LRT dan lain-lain yang jauh lebih murah dari biaya yang dikeluarkan pemerintah. Semisal, ada salah satu proyek yang harga produksinya per kilometer hanya USD 8 Juta (sekitar 120an Milyar), tetapi anggaran yang dikeluarkan pemerintah, 300 Milyar per kilometer.

    Kami bersama teman-teman sedang mengamati dan memonitor tentang angka-angka di proyek infrastruktur Jokowi. KPK perlu periksa, ada atau tidak ada korupsi di proyek pembangunan infrastruktur Jokowi. Ini sangat penting, karena anggaran yang digunakan Jokowi ini anggaran dari Rakyat. Apalagi jika anggarannya hutang. Yang terbebani tentu Rakyat Banyak. (detikperistiwa)

  • Etika Dan Moral Dalam Pancasila Kita Yang Hilang

    Etika Dan Moral Dalam Pancasila Kita Yang Hilang

    Oleh : Jacob Ereste

    Akibat dari politik kita yang abai terhadap etika, ujungnya telah menggerus moral yang harus selalu berada dalam bingkai Pancasila.Keculasan dari sikap berbohong, ingkar janji, khianat rakyat, bahkan munafik, sungguh sulit dicari rumusnya dalam Pancasila. Agaknya itulah yang membuat pemerintah gundah hingga panik untuk segera mengadakan lembaga seperti BPIP (Pembina Ideologi Pancasila).

    Kepanikan pemerintah jelas tampak dari nilai insentif atau honoraria yang lumayan besar diberikan kepada mereka yang dinobatkan jadi pembinanya. Belum pula sempat dievaluasi agak serius, Dr. Yudhi Latif sebagai “kapten” yang ditunjuk Presiden — belum apa-apa — langsung nyerah, mengundurkan diri akibat kegaduhan yang terus meruyak.Padahal lembaga Badan Pembina Ideologi Pancasila itu memang masih harus dan patut disingkronkan dengan apa yang telah dirancang oleh MPR RI dengan “Proyek Empar Pilarnya”.

    “Proyek Empat Pilar MPR RI” itu awalnya merinci salah satu pilar berbangsa dan bernegara kits adakah Pancasila. Akibat dari terkilirnya rumusan itu, konsep dan program MPR RI itu pun riuh menuai protes. Setidaknya saya sendiri sudah lebih dari enam kali menurunkan ulasan yang keberatan pada rumusan MPR RI itu yang menggradasi Pancasila sebagai pilar. Karena dalam pemahaman ilmu teknik bangunan, pilar itu tidak sama dengan fondasi sebagai alas utama yang menjadi dasar untuk tegaknya tiang-tiang atau pilar dari4 konstruksi yang menopangnya.

    Jadi pemahaman pada Pancasila itu sebagai fundamen dari cara berpikir bangsa Indonesia sudah pas dan sangat tepat.Hikmahnya memang dari pemahaman rumusan MOR RI sempat terkilir itu tadi, bisa segera disadari betapa perlunya serta pentingnya pada pemahaman arti dan makna dari Pancasila itu sebagai landasan berpikir, falsafah hidup serta pandangan bagi segenap warga bangsa Indonesia untuk merujuk, mengacu atau membandingkan apakah prilaku, adat istiadat hingga budaya yang menyertai segenap sikap dan perbuarannya tidak keluar dari bingkai Pancasila yang lebih rinci dan teknis bisa metujuk pada UUD 1945.Sebagai manusia yang percaya pada tuntunan agama, bangsa
    Indonesia jelas bisa berpegang pada sila pertama dari Pancasila.Begitu juga dengan kemanusiaan yang adil (jujur) dan beradab (menghargai nilai-nilai budaya suku bangsa Indonesia) yang adi luhung, tinggi dengan sadar bersandar pada tradisi serta tuntunan serta ajaran agama yang diturunkan dari langit.

    Hingga pada akhirnya harus dimuarakan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Artinya bisa segera dipiham bahwa kesejahteraan yang berkeadilan pasti tercapai bila persatuan kita sebagai warga bangsa yang beragam suku bangsa dan agama menyatu dalam hati dan ruh seperti keteguhan dari garuda yang mengepakkan sayapnya untuk merengkuh dunia.Dalam perspektif agama, jelaslah konsep itu yang tersurat maupun tersirat dari pemahaman kita pada rachmatan lil alamin. Begitu pula dalam perspektif yang bersifat illahiah lain, yaitu cinta dan kasih.

    Artinya, bagaimana mungkin etika dan moral bisa begitu kropos, sehingga prilaku culas dan degil terus meruyak dengan praktek korup berjamaah, tidak sedikit pun merasa malu mengingkari janji. Berbohong bahkan munafik.Dari jalan sesat inilah sebetulnya kita semua jadi merasa miris pada arti dari Pancasila yang sesungguhnya merupakan falsafah hidup kita yang sedang kehilangan ruh-nya yang sejati. Karena kita abai dari gerusan dan gesekan cara dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain, tidak teguh dan tetap berpegang pada pusaka warisan para leluhur, yaitu etika dan moral kita bangsa timur. Silogisnya dari soneta kuno Melayu, jangan pernah percaya matahari dan rembulan itu akan terbit dari Barat, karena sunnatullah sudah tersurat begitu dari langit biru..

    Jadi nilai-nilai etika dan moral yang sudah hilang dalam Pancasila yang sudah tersemat di dada kita, jelas karena tergulung dan terlipat dalam kepayang kita yang mabuk oleh penampilan dari kapitalisme yang terkesan semakin keren bergaya model neo-liberalisme. Padahal wajah otentik kita yang sesungguhnya sosialisme religius.

    Banten, 2 Agustus 2018

    Jacob Ereste
    Atlantika Institut Nusantara