Pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasar rilis dan data Badan Pusat Statistik (BPS) RI awal Februari 2018 lalu, adalah tumbuh pada kisaran 5,07 persen. Sedangkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berdasarkan angka berlaku mencapai Rp13.588,8 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp51,89 juta.
Berdasarkan data dimaksud, perekonomian Indonesia secara spasial tahun 2017 masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.Kontribusi Jawa terhadap perekonomian Indonesia mencapai angka 58,49 persen. Sedang kontribusi Sumatera sebesar 21,66 persen terhadap perekonomian Indonesia.Berturut-turut kontribusi Kalimantan 8,20 persen, Sulawesi 6,11 persen, Bali-Nusra sebesar 3,11 persen, adapun Pulau Papua berkontribusi sebesar 2,43 persen.Jika merujuk pada data di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi perekonomian regional Jawa dan Sumatera, kontribusinya hampir mencapai 80 persen terhadap perekonomian nasional.
Keadilan Bidang Infrastruktur
Geliat pembangunan infrastruktur dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini, dalam era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sangat terasa afmosfir pembangunannya. Diantaranya yang terlihat adalah Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera, pembangunan infrastruktur perbatasan, pembangunan waduk, bendungan berskala besar pun tak luput dari perhatian pemerintah khususnya Kementerian PUPR.
Seperti diketahui dan sudah menjadi konsumsi pemberitaan di media massa, pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera ruas Palembang-Lampung sepanjang lebih-kurang 400 km, telah dimulai sejak Maret 2015 lalu, sejatinya telah disanggupi oleh Menteri PUPR sebagai komitmen mendukung suksesnya penyelenggaraan Asian Games 2018. Namun sepertinya target dan komitmen tersebut agak meleset jika melihat kondisi eksisting yang belum mencapai 70 persen konstruksi.
Jika merujuk pada angka kontribusi Sumatera terhadap perekonomian nasional, memang sudah selayaknya pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera menjadi concern dan prioritas pemerintah untuk penyelesaiannya.
Berdasar data statistik Kementerian PUPR 2017 lalu, pemerintah melalui Kementerian PUPR memprogramkan pembangunan ribuan embung. Embung –bangunan konservasi air yang berbentuk kolam, berfungsi utama sebagai penampungan air hujan atau air limpahan. Tentu juga berfungsi sebagai habitat hidup tumbuhan dan hewan lain.
Ribuan embung yang dibangun Kementerian PUPR kurun waktu tiga tahun terakhir ini ternyata menyisakan persoalan jika ditinjau dari perspektif keadilan sebaran wilayah. Bagaimana tidak, berdasar statistik yang dikeluarkan Kementerian PUPR tahun 2017, Provinsi NTT mendapatkan porsi terbanyak pembangunan embung (486 buah).
Jumlah ini sangat tidak imbang jika dibanding dengan jumlah embung yang terdapat di Sumatera berjumlah total 262 buah (tersebar di sepuluh provinsi di Sumatera). Bahkan ironisnya adalah berdasar statistik jumlah embung di Indonesia pada tahun 2016 untuk Provinsi Riau, Bengkulu, dan Bangka Belitung “nihil” atau “nol” buah embung (sumber: Statistik Kementerian PUPR 2017).
Pertanyaannya, bagaimana mungkin Sumatera yang memberikan kontribusi perekonomian terbesar kedua setelah Jawa, jumlah infrastruktur embungnya hanya separoh dari jumlah embung yang dimiliki Provinsi NTT?
Seperti kita ketahui pula, Sumatera merupakan wilayah produksi padi terbesar kedua setelah Jawa. Produksi padi Sumatera sebesar 18.358.385 ton.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana keberpihakan pemerintah atas program pembangunan infrastruktur di daerah-daerah atau wilayah yang memberi kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, selain Jawa? Mengapa begitu istimewanya Provinsi NTT atau Papua sehingga anggaran APBN untuk bidang infrastruktur begitu besar?
Sementara kita lihat kondisi lapangan, masih banyak terdapat kondisi infrastruktur jalan di wilayah Sumatera yang rusak berat dan rusak sedang. Seperti terdapat di Riau dan Sumatera Utara.
Prioritas pembangunan infrastruktur tentunya tidak hanya didasari atas “permintaan politik” tertentu atau atas dasar suka atau tidak suka pemangku kepentingan.
Namun prioritas pembangunan infrastruktur harus didasari oleh “keadilan” dan kebutuhan prioritas untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan juga peningkatan ekonomi masyarakat.
Kaum perempuan, yang pada era Orba dijauhkan dari politik dan ditundukkan dalam ruang domestikasi, mulai menemukan ruang untuk memperjuangkan hak-haknya, termasuk menuntut kesetaraan dalam ruang politik.
Seturut dengan itu, melalui UU nomor 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum, pemerintah Indonesia mulai menerapkan affirmative action (tindakan afirmatif) untuk menaikkan keterwakilan perempuan dalam politik.
Namun, setelah 15 tahun berjalan, kebijakan affirmative action belum memberikan hasil yang diharapkan. Untuk diketahui, sejak pemilu pertama pasca pertama hingga 2014 lalu, keterwakilan perempuan hingga 30 persen belum pernah terwujud.
Pada titik inilah kebijakan affirmative action mulai dipertanyakan efektifitasnya.
Niat Baik Kebijakan Affirmative Action
Di dalam Standford Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, “Tindakan afirmatif” berarti langkah positif yang diambil untuk meningkatkan keterwakilan perempuan maupun kaum minoritas di lapangan ketenagakerjaan, pendidikan, dan politik, yang mana mereka secara historis terdiskriminasi.
Jika mengacu pada definisi di atas kebijakan affirmative action memiliki sisi positif untuk mengurangi ketimpangan ataupun ketidakadilan partisispasi dalam ruang politik, sosial, dan budaya. Memiliki kehendak untuk memajukan dan mengembangkan secara kuantitas keterwakilan kaum minoritas yang rentan terhadap diskriminasi dalam sistem sosial.
Jadi, affirmative action diambil untuk: pertama, menghilangkan diskriminasi yang bersifat sistemik atau mengakar pada sejarah dan sosial-budaya; kedua, menciptakan rasa keadilan bagi setiap warga negara, baik berdasarkan gender, maupun kelompok sosial tertentu; ketiga, memperjuangkan masyarakat yang lebih demokratis dan setara (gender, ras/etnis, agama/kepercayaan, orientasi seksual, dan lain-lain).
Karena itu, saya tidak setuju dengan anggapan sebagian politisi perempuan yang menganggap affirmative action sebagai “belas kasihan”. Sebab, mereka luput melihat faktor sejarah dan konstruksi sosial yang mendiskriminasi dan menghambat kemajuan perempuan.
Nah, bagaimana kebijakan affirmative action di Indonesia?
Tahun 2002 terbit Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, yang menginisiasi keadilan gender dalam kepengurusan parpol. Kemudian dalam UU nomor 12 tahun 2003 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD mensyaratkan kepada partai politik agar mengajukan calon perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Kemudian pada UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik ada ketentuan tentang pendirian partai politik yang mengharuskan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan partai. Aturan ini tidak hanya berlaku di tingkat pusat tetapi juga sampai ke tingkat daerah, sebagaimana tercantum dalam pasal 20 UU nomor 2 tahun 2008.
Akan tetapi, ketetentuan UU parpol kurang didukung oleh UU pemilu. Setidaknya, baik UU nomor 10 tahun 2008 maupun UU nomor 7 tahun 2017 hanya menegaskan persyaratan partai politik peserta pemilu, antara lain: keterwakilan minimal 30 persen hanya di kepengurusan pusat, tidak sampai ke Provinsi dan tingkatan Kabupaten/Kota.
Selain itu, kebijakan affirmative action diperkuat dengan penerapan zipper system, yang berarti dalam setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakan calon.
Setidaknya, itu langkah affirmative action yang diambil Negara dalam kerangka legislasi. Sayangnya, langkah tersebut belum berhasil mewujudkan keterwakilan minimum 30 persen perempuan di parlemen.
Dilansir dari data BPS, jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR pada pemilu 1999 sebanyak 44 orang atau 8,80 persen. Jumlah ini meningkat menjadi 65 orang atau 11,82 persen pada Pemilu 2004. Kemudian, pemilu 2009 proporsi perempuan dalam kursi DPR mengalami kenaikan yang tajam yakni 100 orang atau menjadi 17,86 persen. Namun empat tahun berikutnya, pemilu tahun 2014, angka itu turun menjadi 97 orang atau hanya 17,32 persen dari total anggota DPR RI 560 orang.
Perbandingan jumlah anggota legislatif perempuan dan laki-laki di DPR-RI dari hasil pemilu 1999-2014. (Sumber: BPS)
Sejumlah Persoalan
Kalau kita lihat, kendati proporsi caleg perempuan yang maju bertarung di pemilu pasca reformasi semakin meningkat, hingga di pemilu 2014 sudah menembus angka 30 persen, tetapi tingkat keterpilihan mereka rendah.
Di sini sejumlah persoalan yang masih mengganjal sepanjang penerapan kebijakan affirmative action, mulai dari sistim pemilu, persoalan UU, kultur politik, hingga persoalan sosial-budaya.
Pertama, ada persoalan pada sistim pemilu. Pada pemilu 1999 dan 2004 masih menggunakan sistim proporsional tertutup. Akibatnya, kendati ada zipper system, peluang perempuan yang maju dari partai menengah dan gurem sangat kecil. Sebab, potensi caleg terpilih dari partai itu paling-paling hanya satu.
Pada proporsional tertutup, kesempatan besar itu ada di nomor urut atas (nomor urut 1). Faktanya, persentase caleg perempuan dengan nomor urut 1 di hampir semua partai politik tidak pernah menembus angka 30 persen.
Ada kemajuan sejak pemilu 2009 kita mengadopsi proporsional terbuka (open list), yang mendasarkan keterpilihan calon pada perolehan suara terbanyak. Artinya, caleg nomor urut bawah berpeluang lolos, asalkan meraih suara banyak.
Persoalannya, proporsional terbuka membuat persaingan antar caleg dalam dapil maupun sesama partai sangat keras, begitu juga biaya politiknya.
Kedua, meskipun affirmative action lewat kuota minimal 30 persen caleg perempuan per parpol sudah dikenalkan sejak pemilu 2004, tetapi baru pada pemilu 2014 semua partai politik menempatkan di atas 30 persen perempuan dalam pencalegkan.
Artinya, ada persoalan UU yang kurang tegas atau kurang dikawal implementasinya.
Persentase (%) jumlah caleg perempuan di masing-masing partai politik di pemilu 2004, 2009, dan 2019. (Sumber: theconversation.com/id)Jumah caleg perempuan terpilih masing-masing partai politik di pemilu 2004, 2009, dan 2014 (Sumber: theconversation.com/id)
Ketiga, mayoritas partai politik mengakomodasi kouta 30 persen perempuan di pencalegkan sekedar sebagai pemenuhan persyaratan administratif (ketentuan UU). Tidak didibarengi dengan komitmen serius memajukan politik perempuan, melalui pelibatan perempuan dalam kepengurusan, kaderisasi politik, hingga mengisi posisi strategis di kepengurusan partai.
Keempat, biaya politik pemilu sangat tinggi. Misanya, pada pemilu 2014, berdasarkan hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), biaya politik yang dikeluarkan rata-rata caleg untuk terpilih adalah Rp 1,8 milyar.
Di sisi lain, akibat patriarki selama beratus-ratus abad, perempuan dikurung dalam rumah tangga dan dijauhkan dari akses sumber daya ekonomi.
Akibatnya, tidak semua perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan peluang kuota 30 persen. Sebagian besar yang berhasil memanfaatkan itu adalah perempuan yang dekat dengan dinasti politik atau perempuan pengusaha. Seperti yang dicatat oleh Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) pada Pilkada 2018, ada 40 persen kandidat perempuan berasal dari jejaring kekerabatan (istri bupati/walikota atau keturunan politisi-politisi ternama) dan 25 persen berlatar belakang sebagai pengusaha.
Situasi itu, sedikit-banyaknya, berpengaruh pada minimnya perhatian politisi perempuan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan dan anak-anak.
Kelima, masih kuatnya kontruksi sosial yang menganggap perempuan sebagi pekerja domestik (rumah tangga) berkontribusi menghalangi peran politik perempuan, persepsi publik tentang kapasitas politik perempuan, hingga elektabilitas politisi perempuan.
Sejumlah jalan keluar
Memang, sejak diberlakukan pada pemilu 2004 lalu, affirmative action berhasil sedikit menaikkan keterwakilan perempuan di parlemen, meskipun belum signifikan.
Hanya saja, selain kebutuhan memperbanyak caleg perempuan, affirmative action perlu juga dipastikan pada memperbanyak jumlah perempuan di kepengurusan partai politik. Untuk itu, perlu mendorong UU pemilu untuk mewajibkan parpol memiliki kepengurusan bergender perempuan paling minimal 30 persen dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan.
Namun, belajar dari pengalaman Amerika latin, affirmative action saja tidak cukup. Kita bisa belajar pada Venezuela dan Kuba. Di kedua negara ini, selain konstitusi yang mengakui kesetaraan gender, langkah pertama yang diambil negara adalah menerobos kontruksi sosial yang mengurung perempuan sebagai pekerja domestik.
Di Kuba, perempuan keluar rumah, setelah ada seruan revolusi untuk kampanye pemberantasan buta-huruf. Hampir 52 persen relawan pemberantasan buta-huruf, yang disebut Brigadistas, adalah perempuan. Selain itu, Kuba punya organisasi perempuan yang disebut Federasi Perempuan Kuba (FMC), yang memobilisasi perempuan untuk terlibat dalam revolusi melalui kerja-kerja di bidang sosial, pendidikan dan kesehatan.
Disamping itu, Kuba membuka seluas-luasnya pintu pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi perempuan, yang memungkinkan perempuan berdaya secara pengetahuan dan ekonomi.
Begitu juga di Venezuela. Langkah pertama pemerintah mendorong perempuan agar “keluar rumah” adalah melibatkan perempuan dalam berbagai misi sosial pemerintah, terutama urusan pendidikan, pangan, dan kesehatan.
Selain itu, Venezuela punya “Dewan Komunal”, sebuah organisasi politik akar rumput yang memutuskan berbagai keputusan penting di tingkat komunitas. Dewan Komunal berkontribusi mendidik dan memajukan kapasitas politik perempuan.
Untuk pemberdayaan ekonomi, Venezuela punya Bank Perempuan, Banmujer, yang menyalurkan bantuan dana untuk membantu perempuan agar ambil bagian dalam produksi ekonomi.
Karena itu, selain mendorong maju affirmative action, perlu langkah-langkah tambahan untuk menerobos konstruksi sosial yang menghambat kemajuan perempuan.
Pertama, menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan mendapatkan haknya untuk berkembang sebagai manusia seutuhnya, seperti hak pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan upah yang adil.
Kedua, mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan melalui “koperasi perempuan” yang disokong oleh pemerintah, terutama melalui bantuan pendanaan, pengembangan kapasitas dan pemasaran.
Ketiga, memberi dukungan pada tumbuh-kembangnya organisasi-organisasi perempuan, yang menjadi sekolah pertama bagi perempuan untuk mengembangkan diri dan berpartisipasi dalam kegiatan publik. (Berdikari Online)
Multi tafsir, Mengapa Jokowi pilih Ma’ruf Amin. Dan mengapa Prabowo pilih Sandiaga Uno.
Tafsir 1:
Dua-duanya percaya diri. Berani tidak ambil tokoh dengan rating tinggi.
Jokowi mungkin percaya omongan ini: disandingkan dengan sandal jepit pun akan menang.
Pasangan yang dipilih tidak harus yang bisa menambah suara. Yang penting tidak mengurangi suara.
Itu mirip dengan posisi pak SBY. Di pereode kedua. Yang memilih Pak Budiono. Sebagai cawapres: tua, nurut, tidak mbantahan, tidak menjadi matahari kembar, tidak punya potensi menjadi presiden berikutnya.
Dengan pasangan seperti itu Pak Jokowi berharap bisa jadi satu-satunya matahari.
Pertanyaan: benarkah Kyai Ma’ruf Amin tidak mengurangi suara Jokowi?
Bagaimana dengan banyaknya Ahoker yang bukan Jokower? Tentu mereka kecewa. Kyai Ma’ruf Amin adalah tokoh yang membuat Ahok masuk penjara.
Sebaliknya sebagai tokoh sentral 212 bisa jadi Kyai Ma’ruf menambah suara. Dari kalangan Islam. Meski sejak awal tagline 212 adalah ganti presiden.
Tinggal hitung-hitungan. Lebih banyak Ahoker yang kecewa atau 212 yang batal ganti presiden.
Prabowo juga percaya diri. Tidak ambil ulama. Justru ambil anak muda. Tidak takut 212 lari ke sana.
Tasfir 2:
Jokowi tidak menyiapkan calon presiden pereode berikutnya. Tidak bisa dipungkiri. Posisi wakil presidennya Jokowi nanti punya potensi jadi the next presiden.
Mestinya Jokowi memilih wakil yang khusus: yang bisa diharapkan menjadi the next yang kapabel.
Kalau kelak Jokowi yang terpilih terulanglah sejarah: persiangan lima tahun berikutnya sangat terbuka. Untuk siapa saja.
Kalau kelak Prabowo yang terpilih ada dua kemungkinan: Prabowo maju lagi. Atau Sandi yang ditampilkan.
Tafsir 3:
Partai koalisi Jokowilah yang tidak mau ada orang kuat. Di sebelah Jokowi. Bisa merepotkan Jokowi. Dan menghambat partai-partai itu. Itulah sebabnya orang seperti pak Mahfud terpental. Di detik terakhir.
Sebaliknya Prabowo bisa di atas partai-partai pendukungnya. Dengan tidak menggandeng ulama. Termasuk ulama yang diusulkan PKS.
Kini rasanya lebih seimbang.
Kebetukan saya kenal dua calon Wapres ini.
Dengan Kyai Ma’ruf Amin saya kenal sejak tahun 1990-an. Ketika Gus Dur minta saya menyelamatkan Bank Nusumma. Milik NU. Setelah bank itu ditinggal bangkrut Bank Summa. Milik pengusaha Edward Soeryajaya.
Mula-mula Gus Dur minta saya menaruh uang di Nusumma. Lalu menjadi pemegang saham mayoritas. Lantas menjadi direktur utama.
Permintaan terakhir itu saya sanggupi. Asal Gus Dur sendiri yang menjadi komisaris utamanya.
Jadilah saya Dirut Nusumma. Gus Dur preskomnya. Kyai Ma’ruf Amin komisarisnya. Sampai beberapa tahun kemudian. Sampai menjelang Gus Dur jadi presiden.
Menjelang Pak Harto jatuh Gus Dur minta saya menyerahkan kembali saham itu. Untuk diberikan ke Edward lagi. Dibayar dengan cek. Yang ditandatangani oleh Edward sendiri. Di depan saya.
Sampai sekarang cek itu masih ada. Tidak bisa diuangkan. Kosong.
Waktu saya menjabat menteri pun sering sekali bertemu Kyai Ma’ruf Amin. Beliau menjadi anggota dewan pertimbangan presiden. Sering duduk bersama. Di sidang kabinet.
Di NU Kyai Ma’ruf dikenal sebagai ulama garis lurus. Prinsipnya: ‘tidak’ atau ‘ya’. Tidak ada prinsip ‘atau’.
Itu berbeda dengan ulama NU lainnya. Seperti Kyai Aqil Siraj. Yang berprinsip: di antara ‘ya’ atau ‘tidak’ ada kemungkinan ‘atau’.
Saya pernah menerbitkan koran di Mekah. Ketika masih muda dulu. Saya minta dibantu dua mahasiswa S3. Yang asal Indonesia. Sebagai redaktur tamu. Yang lebih paham situasi Arab Saudi.
Yang satu: mahasiswa S3 asal Lombok. Namanya: Suwardi Al Ampenani.
Yang satu lagi: mahasiswa S3 asal Cirebon. Namanya: Said Aqil Siraj.
Setelah bermingu-minggu bergaul kami pun tahu. Keduanya ternyata berbeda sikap. Dalam hal keagamaan.
Kami tidak akan bertanya pada Suardi tentang boleh atau tidak menghidupkan tv di kantor kami. Kami sudah tahu jawabnya: tidak boleh. Haram.
Maka kami menanyakan itu kepada Said Aqil Siraj. Kami sudah tahu jawabnya. Boleh.
Seperti itu pula bedanya antara Said Aqil Siraj dengan Ma’ruf Amin.
Maka ada guyonan di kalangan NU. Kalau mau bertanya yang tidak boleh tidak boleh bertanyalah ke Kyai Ma’ruf Amin. Kalau mau bertanya yang boleh-boleh bertanyalah ke Kyai Said Aqil Siraj.
Itu pula sebabnya Kyai Ma’ruf Amin di kubu 212. Sedang Kyai Said Aqil Siraj di luarnya.
Akan hal Sandiaga Uno saya kenal lama juga. Dalam kaitan dengan bisnis. Saya di bisnis tradisional. Ia di bisnis modern. Saya bisnis bumi. Ia bisnis langit.
Kalau ada kesulitan di bumi minta tolongnya ke langit.
Sandi menawarkan pertolongan itu. Dengan otak cerdasnya. Ia masih sangat muda. Saat itu. Belum 30 tahun.
Sejak itu saya kagum pada anak muda. Siapa saja. Yang ternyata lebih pinter dari yang tua. Tapi Sandi bukan orang sombong. Di mana-mana ia bilang: bisnisnya mulai berkembang setelah bertemu saya itu.
Tentu Sandi hanya merendah. Kenyataannya ia memang lebih sukses.
Jadi, saya akan mendukung siapa?
Lho. Mengapa ada pertanyaan seperti itu?
Memangnya Pilpresnya besok pagi?
Saya sebaiknya memutuskan untuk bekerja seperti biasa. Tidak ada yang memikirkan nasib kita lebih dari kita sendiri. (Dahlan Iskan)
PASCA ditinggal Gubernur Atut Chosiyah yang ditahan KPK atas kasus Suap Pilkada Lebak tahun 2013 dan kasus Korupsi Alat Kesehatan yang juga merembet ke kasus lain, Pemprov Banten kemudian menerapkan system Layanan Pengadaan Secara Elektronik – LPSE dalam proses tender proyek APBD, tahun 2014.
Kasus Atut juga melibatkan perkara Pemerasan terhadap sejumlah Kepala Dinas yang ditengarai untuk biaya operasional Anggota DPD RI (Andika Hazrumi), termasuk kasus TPPU bersama adiknya, Chaeri Wardana alias Wawan itu menjadi catatan untuk memperbaiki kinerja pengelolaan pemerintah dan APBD Banten.
Provinsi Banten kini menerapkan pola LPSE, yang sejatinya mekanisme LPSE diterapkan untuk menjamin transparansi, akuntabel, professional, efisien dan mempermudah semua pihak, terbebas dari unsur-unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme; mengikis pola kuno yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya; dimana proyek-proyek APBD dikendalikan oleh Wawan.
Namun yang terjadi sejak 2014 hingga saat ini, justru lahir persoalan lain. Diantaranya Kebijakan yang diterapkan justru sangat membebani para pengusaha, terutama pengusaha kecil dan menengah di Banten. Faktanya pungli tetap berlaku. Broker atau calo proyek yang dalam pengakuan gubernur Wahidin Halim disebut “Pihak Ketiga”. bergentayangan di semua OPD dan Pokja ULP.
Penyusuran sinarlampung.com di Provinsi Banten, jika pada jaman Atut dan Wawan, pengusaha harus mengeluarkan biaya (setoran) di kisaran 25% s/d 30%, namun si pengusaha ada kepastian bahwa ia mendapatkan pekerjaan/proyek. Kini mereka juga tetap harus mengeluarkan biaya di kisaran 1,5% dari nilai proyek yang ditenderkan, tetapi tidak ada jaminan ia akan mendapatkan tender.
Jika mendapatkan tender, pemenang tetap harus mengeluarkan uang sekitar 25% juga. Imbasnya kualitas pembangunan tetap buruk. Pengusaha Banten kini benar-benar berspekulasi untuk mendapatkan tender. Mereka seperti sedang berjudi. Sebab proyek yang nilainya milyaran rupiah sudah menjadi rahasia umum memiliki “Bin”.
Semisal, “Proyek pengadaan Undur-undur senilai 10 milyar Bin Uday” atau “Proyek pengecoran Jalan Tikus di Kuluwut senilai 5 milyar bin Suhada” dan seterusnya. Seorang pengusaha bisa mendapat tender jika memiliki hubungan khusus dengan pihak yang memiliki power tertentu (para oknum). Sejauh ini tidak ada satupun pengusaha kecil dan menengah yang tidak mengamini kondisi tersebut.
Jika diurai, berikut rentetan persoalannya:
1. Proses Persiapan Tender. Pengusaha yang tidak dapat menyiapkan dokumen, maka di Pokja ULP ada yang bisa menyiapkan dokumen tersebut, dengan imbalan kisaran Rp.5 juta.
2. Masih dalam tahap persiapan, pengusaha juga wajib memiliki rekening koran di bank. Nilainya minimal 10% dari nilai proyek yang ditenderkan. Faktanya, hanya segelintir pengusaha saja yang memiliki modal sebesar itu. Maka ada cara yang diduga merupakan bentuk KREDIT FIKTIF. Contohnya, sebuah proyek senilai 6 milyar. Maka seorang pengusaha harus membayar biaya administrasi, provisi 1/2% dan bunga 1,4%, yang diakumulasi sekitar Rp. 39.400.000,-. Setelah terbit, maka sesungguhnya uang 10% dari nilai proyek yang tertera dalam rekening koran bank tersebut adalah fiktif. Selain tidak bisa diambil, masa berlakunya hanya untuk formalitas proses tender (sebulan).
Kita bisa bayangkan, satu proyek saja diperebutkan oleh puluhan perusahaan yang semuanya melakukan hal yang sama, berapa rupiah pengusaha harus keluarkan uang untuk pihak bank (Bank Banten dan BJB) ?
Bayangkan juga dalam setahun dari APBD Banten untuk pembangunan infrastruktur – merujuk pada contoh proyek di atas (6 milyar), jika di angka Rp. 7 trilyun rupiah, maka uang jasa kredit fiktif untuk pihak bank akan mencapai angka Rp.45,5 milyar (0,65%). Jika ada 5 perusahaan saja yang mengikuti tender di masing-masing proyek, maka dalam setahun sekitar Rp.227,5 milyar uang pengusaha terkuras untuk bank.
3. Perusahaan dengan contoh tadi pun harus memiliki sertifikat Tenaga Ahli, S2, S1, SKT. Tentu seperti biasa sudah siap biro jasa penyedia Sertifikat TA. Sertifikat S2 dibandrol 5 juta; Tiga sertifikat S1 bernilai @Rp.3 juta; Empat sertifikat SKT @Rp.1,5 juta. Dijumlah-jambleh menjadi Rp.20 juta. Pemilik Sertifikat itu hanya bertugas untuk datang pada saat Pembuktian Dokumen di Pokja ULP, selebihnya tak ada. Itu belum termasuk biaya untuk mendapatkam Surat Dukungan Bank dan Surat Jaminan Penawaran, sekitar Rp.3 juta (untuk proyek yang nilainya diatas Rp.5 milyar).
4. Jika syarat dokumen sudah terpenuhi, maka penawaran pun disampaikan ke Pokja ULP. Disini babak kedua dilalui. Jika ia mendapatkan “bintang” (pemenang tender), maka koceknya harus dirogoh sebesar 3% dari nilai kontrak.
5. Setelah berkas di Pokja ULP rampung, pengusaha bergeser ke Pejabat Pembuat Komitmen – PPK di Organisasi Perangkat Daerah – OPD / Dinas. Diakui oleh sejumlah informan (pengusaha) bahwa disana mereka merogoh koceknya lagi sebesar 5% dari nilai kontrak.
6. Jika menjadi pemenang tender itu murni tanpa persekongkolan dengan Broker/calo atau Orang Ketiga (meminjam bahasa gubernur Wahidin Halim), maka pengusaha akan leluasa melaksanakan tugasnya. Namun jika tidak, maka ia harus menyobek kantongnya lagi di kisaran 7% untuk Broker/Pihak Ketiga atau si “Bin” itu.
Dalam prakteknya, pengkondisian proyek di dinas/OPD/PPK dikendalikan oleh beberapa pihak yang dominan. Di samping oleh kaki tangan Wawan – yang juga diamini gubernur Wahidin Halim dalam statementnya “Benar masih ada yang datang ke PU. Yang berjalan itu sudah sistematis, melalui orang ketiga” (26/07), ternyata juga terungkap dari para pengusaha bahwa ada pula keluarga gubernur Wahidin Halim yang turut bermain dan mengkondisikan proyek-proyek APBD Banten.
7.Dalam melaksanakan pekerjaan, pengusaha akan mengeluarkan biaya tenaga kerja, sekitar 10%. Kemudian biaya Peralatan 10% (jika harus sewa lagi, maka akan membengkan menjadi 15%).
8.Sebagai pengusaha, tentu ia harus mendapatkan keuntungan, di kisaran 10%.
9.Itu belum termasuk biaya tidak terduga di lapangan. Resiko yang harus dihadapi pengusaha adalah banyaknya “oray kadut” di lapangan yang meminta “japrem”. Berbagai oknum berseliweran sepanjang pelaksanaan proyek.
10.Nah, mari kita hitung prosentase dan segala tetek-bengeknya yang diurai di atas. Maka uang rakyat yang akan riil nempel di lapangan hanya tersisa maksimal 45%. Itu jika tidak disubkon lagi.
Pertanyaannya kemudian,
Dimana kehadiran Penguasa untuk rakyat? carut marut pengelolaan pengadaan barang jasa saat ini adalah fakta. Apa langkah kongkrit Gubernur dan Wakil Gubernur…? Sebab diam saja, berarti mengamini apa yg terjadi.
Dimana posisi aparat penegak hukum berada?
Dimana pula suara para pengusaha yang sebagian besar menjadi korban?
Wallahu’alam bisshawab. Sebab, sementara saya disini, tetap ditepi. (***)
*Disampaikan di Acara Diskusi Panel “Carut Marut Tender Proyek APBD Banten”, Kamis 4 Agustus 2018, bersama Ade Irawan ICW dan H. Ade Muklas Syarif Ketua AJKI Banten di aula hotel Abadi – Serang.
Jakarta (SL) – Dua minggu lalu BPS merilis persentase penduduk miskin Maret 2018 turun menjadi 9,82 persen. Terendah sepanjang sejarah dalam berbagai media pemberitaan. Tak salah jika kita berikan apresiasi kepeada Pemerintah atas capaian penurunan kemiskinan ini, sebagai salah satu indikator kerja Pemerintah.
Akan tetapi, yang jadi soal dan tantangan saat ini adalah apakah parameter yang digunakan dalam mengukur kemiskinan tersebut sudah benar-benar mampu secara tepat untuk memotret kemiskinan yang sesungguhnya. Atau sekurang-kurangnya sudah sangat dekat dengan realita “kemiskinan” yang sebenarnya.
Mari kita lihat paramater yang digunakan, yakni Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Per maret 2018, nominal GK sebesar Rp401.220 per kapita per bulan.
Pertanyaan mendasarnya adalah dengan parameter pengeluaran Rp401.220 per orang per bulan,tepatkah angka ini dijadikan sebagai ukuran batas kemiskinan? Kalau mau jujur, angka GK tersebut masih tidak tepat dan masih jauh untuk jadi acuan kemiskinan. Ada beberapa hal yang mendasari parameter yang digunakan masih tepat dan masih jauh.
Pertama, coba kita bandingkan nilai GK tersebut (yang sudah dikonversi dengan berapa kg beras yang dapat dibeli) dengan rata-rata konsumsi beras per kapita per bulan orang Indonesia. Rata-rata konsumsi beras per orang per bulan sebesar 6 kg atau setara 200 gram per hari. Sedangkan GK hanya mampu membeli 1-1,5 kg per bulan atau 34-53 gram per hari (ini masih menggunakan harga beras kualitas bawah II).
Artinya, seluruh nilai GK tersebut hanya mampu membiayai (sedikit) kebutuhan beras. Tanpa sayur, buah dan lauk pauk. Dengan demikian, terlihat sangat jelas bahwa nilai GK sangat kecil dan bukanlah ukuran yang tepat dalam memotret kemiskinan yang sesungguhnya.
Kedua, mari kita kalkulasi berapa kira-kira penghasilan minimal seorang kepala rumah tangga (RT) agar sekeluarga tidak dikatakan orang miskin. Saat ini jumlah orang per rumah tangga sekitar 4 orang dan kita asumsikan hanya kepala rumah tangga yang bekerja. Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka seorang (laki-laki) kepala rumah tangga harus berpenghasilan seminimal-minimalnya Rp1.604.880 per bulan atau Rp53.496 per hari.
Besaran ini relatif sama dengan rata-rata upah buruh tani harian per maret 2018 yang sebesar Rp51.598 per hari. Artinya, rata-rata buruh tani kita sudah nyaris tidak miskin (karena upah hariannya sudah mendekati batas minimal GK per hari). Apa iya? rasanya sangat tidak mungkin.
Ketiga, mari kita bandingkan angka Rp1.604.880 per bulan tadi (penghasilan minimal kepala RT agar tidak dikategorikan miskin) dengan rata-rata upah industri pengolahan yang sebesar Rp2.174.000/bulan per menurut data BPS per desember 2014. Dengan perbandingan data ini, seolah-olah kita dapat menyimpulkan bahwa rata-rata semua buruh di industri pengolahan bukan masyarakat miskin (upahnya sudah jauh diatas garis kemiskinan untuk sekeluarga). Apa iya?, rasanya sangat tidak mungkin. Yang namanya (mayoritas) buruh, saat ini pasti bagian dari kelompok masyarakat miskin.
Terakhir, mari kita bandingkan antara angka GK dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut BPS, KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. KHL juga menjadi dasar dalam penetapan Upah Minimum. “Kebutuhan hidup layak”, ini yang perlu di bold. KHL per 2015 sebesar Rp1.813.396/bulan. Ini untuk lajang dan batas minimum hidup layak secara fisik, belum non fisik-psikologis dan lain sebagainya.
Bayangkan berapa KHL untuk pekerja kepala rumah tangga, agar hidupnya dan keluarga dikatakan hidup layak. Sudah pasti KHL untuk pekerja kepala tangga jauh lebih besar dari Rp2 – 2,5 juta/bulan. Sedangkan menurut GK, seorang kepala rumah tangga (pendapatan tunggal) cukup berpenghasilan Rp1.604.880 agar sekeluarga tidak dikatakan miskin. Padahal KHL lajang saja sudah Rp1,8 juta agar dianggap hidupnya layak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa garis kemiskinan (GK) yang digunakan masih sangat jauh untuk dapat benar-benar memotret kemiskinan yang sesungguhnya.
Dari keempat penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan garis kemiskinan (Rp401.220 per kapita per bulan) masih jauh dari layak sebagai paramater yang tepat untuk memotret realitas kemiskinan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya jangan berpuas diri dengan angka kemiskinan versi GK yang dirilis BPS tersebut dan sebaiknya Pemerintah dan BPS (bersama parlemen juga) sudah harus menyusun parameter baru yang lebih tepat dan mantep dalam memotret kemiskinan yang seutuhnya.
Bank dunia saja sudah menggunakan pengeluaran 3,2 USD dan 5,5 USD per hari (setara Rp44.000 dan Rp77.000 per bulan), sebagai paramater kemiskinan. Parameter baru itulah yang nantinya digunakan untuk mengukur capaian angka kemiskinan negara kita yang sudah benar-benar sesuai kenyataan/kebutuhan hidup layak yang sesunggihnya. Paramater baru tersebut juga nantinya menjadi (benar-benar) ukuran kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, agar tidak lagi angka-angka semu seperti saat ini.
Selain itu, Pemerintah juga harus benar-benar memastikan penurunan angka kemiskinan bukan karena program pemerintah yang berdurasi pendek dan tidak sustain. Tetapi harus melalui program pemerintah yang berdimensi jangka panjang dan sustain. (Robby Alexander Sirait,M.E)
Jakarta (SL) – Tanggal 9 Februari 1946 yang menjadi dasar penetapan Hari Pers Nasional (HPN) melalui Keputusan Presiden no 5 tahun 1985, adalah sebuah peristiwa besar. Pihak-pihak yang tidak menyukai HPN karena tanggal 9 Februari adalah hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengatakan, untuk apa memperingati hari kelahiran organisasi yang terkooptasi di era Orde Baru, yang tidak lagi relevan karena saat ini ada puluhan organisasi wartawan, tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi yang dikandung dalam Undang-Undang tentang Pers no. 40 tahun 1999.
Tidak juga sesuai karena sebelum PWI lahir telah banyak berdiri organisasi wartawan di zaman penjajahan seperti Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia). Bahkan seperti yang ditulis Leo Sabam Batubara, ada orang seperti Tirto Adhi Surjo yang mendirikan Medan Prijaji, Dja Endar Moeda yang mendirikan Pertja Barat sampai Pewarta Deli.
Dikaitkan pula dengan lahirnya Kantor Berita Antara oleh Adam Malik, Soemanang, AM Sipahoetar, Pandoe Kartawigoena yang misinya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang mungkin pantas diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Ada sederetan kejadian yang dapat dijadikan HPN dengan argumen dan jalan pikiran yang masuk akal meski belum tentu pas.
Dengan logika Leo S Batubara di atas mungkin tidak salah pula apabila ada pihak yang mempersoalkan mengapa Hari Pahlawan ditetapkan tanggal 10 November karena ada begitu banyak pertempuran setelah kemerdekaan Republik Indonesia yang merenggut banyak nyawa bangsa Indonesia seperti peristiwa Bandung Lautan Api atau pembantaian puluhan ribu warga Sulawesi Selatan oleh Westerling.
Mengapa pula kita menerima 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional karena ada banyak sekali peristiwa yang sangat relevan sebagai peristiwa pendidikan seperti berdirinya sekolah untuk perempuan yang digagas Ruhana Kuddus atau Dewi Sartika.
Tentang Kongres yang diikuti 180 wartawan di Surakarta sebagaimana diberitakan di Harian Merdeka terbitan 12 Februari 1946, ada beberapa hal yang membuatnya istimewa dan patut menjadi tanggal HPN. Pertama-tama harus diingat bahwa pada saat itu Indonesia yang sudah diproklamirkan merdeka oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, kembali diduduki Belanda dengan membonceng tentara Sekutu yang mencopoti kekuasaan Jepang. Pemerintahan Republik Indonesia terpaksa berpindah ke Yogyakarta dan sebagian besar wilayah republik sudah dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jakarta.
Pergerakan orang-orang dibatasi, khususnya lagi mereka yang dicurigai, termasuk untuk pergi ke luar Jakarta untuk masuk ke wilayah yang dikuasai republik.
Dalam kondisi ini maka perjuangan 180 wartawan dari Sulawesi dan Kalimantan, serta daerah lain di Jawa, untuk berkumpul bukanlah urusan mudah. Manai Sophiaan perlu waktu 35 hari untuk masuk ke Surakarta setelah naik kapal rakyat dari Makassar dan turun di pantai utara Jawa.
Tetapi kekuatan tekad membuat akhirnya 180 orang yang hadir mengikuti Kongres. Wartawan dari Jakarta sampai di Solo berperan sebagai guide bagi wartawan internasional yang diizinkan meliput masuk ke Yogyakarta untuk melihat dengan mata sendiri kondisi negara yang baru berdiri beberapa bulan, apakah betul kemerdekaan didukung rakyat atau hanya menjadi negara boneka Jepang yang didengung-dengungkan penjajah Belanda.
Harian Merdeka 9 Februari menulis: “Rombongan wartawan luar negeri jang datang di Djokja tg 6 Pebr memerlukan djoega mengoendjoengi tjandi Borobudur dengan diantarkan oleh para wartawan Indonesia. Disepanjang djalan mereka amat tertarik kepada tanaman disawah, orang2 jang sedang bekerdja dan anak2 dipinggir djalan jang menjeroekan pekik “merdeka” jang oleh mereka poen didjawab dengan pekik “merdeka” djoega.
Hal kedua adalah representasi. Walaupun disebutkan dalam berita bahwa 180 orang yang hadir dari Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi tetapi sebenarnya itu sudah mewakili sebagian besar wartawan dan media top Indonesia. Ada Sumanang (Antara), Harsono Tjokroaminoto (Al Djihad), Soemantoro (Kedaulatan Rakyat), Djawoto (Antara) yang hadir dan akhirnya menjadi pengurus pertama PWI. Yang disebut dari Jawa itu misalnya termasuk BM Diah (Merdeka), Sjamsudin St Ma’moer (Rakyat) yang berasal dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Termasuk datang Bung Tomo (Antara).
Mereka itu merasa harus bersatu untuk ikut aktif menyatukan rakyat Indonesia yang kembali dijajah Belanda, dibantu oleh pendudukan Inggris di berbagai daerah khususnya di Jawa.
Media republikan menggalang pendapat umum, menyatukan semua kelompok untuk tetap setia pada republik dan pemimpinnya. Rakyat marah dan merencanakan demonstrasi besar untuk merayakan 6 bulan kemerdekaan pada tanggal 17 Februari 1946. Di berbagai pelosok Tanah Air terjadi gerakan untuk menunjukkan dukungan bagi pemerintahan Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir karena bertepatan dengan dibahasnya Indonesia dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.
Headline Merdeka 12 Februari 1946 berjudul “Tjita-Tjita Indonesia Djangan Dihalangi Kekerasan Sendjata” Kata Manuilsky, mengutip pidato utusan Ukraina di PBB, Dr Dmitri Manuilsky, yang meminta agar PBB mengirim komisi ke Indonesia. “Tidak ada orang bisa menyangkal bahwa tentera Inggris telah menyerang penduduk Indonesia di Djawa pada waktu beberapa bulan yang lampau dengan mempergunakan tank-tank, kapal terbang dan lain-lain alat militer.” Terkait dengan keadaan Indonesia ada berita berjudul “Tegak Di Belakang Presiden” sebagai hasil Kongres Pejabatan Pos, Telegrap dan Telepon seluruh Jawa dan Madura yang diadakan di Madiun 10, 11, dan 12 Februari.
Ada berita berjudul “Gerakan Republik Indonesia Soerakarta Menjatakan Kepertjajaan 100%” terhadap Pemerintah yang dijalankan oleh Kabinet Sjahrir, setelah organisasi yang memiliki 75.000 itu rapat pada 9 Februari.
Dalam suasana itulah dengan itu kongres wartawan yang diadakan di Surakarta pada 9 dan 10 Februari. Mereka menunjukkan keberpihakan, karena yakin media punya peran besar untuk menunjukkan sikap rakyat Indonesia, termasuk ke pihak luar yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu ditegaskan sikap wartawan ialah “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa serta selalu mengingat akan Persatuan Bangsa dan Kedaulatan Negara”.
Sehingga seperti juga unsur bangsa lainnya yang tengah berjuang mempertahankan negaranya yang tengah dijajah lagi, wartawan peserta kongres menempatkan diri sebagai pejuang sekaligus. Dan menyadari bahwa besarnya politik adu domba Belanda, mengingatkan bahwa dalam bekerja mereka harus memikirkan persatuan dan kedaulatan negara.
Poin lain hasil kongres adalah kesadaran bahwa para wartawan Indonesia yang hadir sudah memikirkan masalah percetakan dan penerbitan koran, sebagai alat produksi dan juga alat perjuangan. Sebab hanya melalui media mereka bisa terus menggelorakan perjuangan dan memberi informasi kepada masyarakat di berbagai pelosok yang juga coba dikuasai oleh Belanda.
Berdirinya PWI ini kemudian kita ketahui diikuti dengan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) setahun kemudian di Yogya.
Berbagai catatan di atas menunjukkan magnitude peristiwa 9 Februari 1946 sebagai modal untuk menetapkannya sebagai Hari Pers Nasional dibandingkan dengan peristiwa lainnya, sebab tanggal itu bukan sekadar hari lahi PWI tetapi bersatunya wartawan seluruh untuk menyokong Republik Indonesia berusia jabang bayi yang terancam keberadaannya, agar dapat bertahan kukuh berdiri sebagai negara kesatuan seperti yang kita saksikan saat ini.
Dalam pertemuan yang dilakukan Dewan Pers untuk membahas Hari Pers Nasional atas usulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJTI) dan dihadiri pemangku kepentingan, April 2018 lalu, sebagian besar peserta berpendapat bahwa sebaiknya organisasi wartawan dan pers lebih memikirkan tentang berbagai persoalan yang melanda jurnalisme saat ini.
Mulai dari merosotnya performa media cetak dari sisi jumlah media, jumlah oplah, dan keuntungan, karena digerus news agregator; semakin dipinggirkannya etika jurnalistik atas nama rating, kecepatan memberitakan, dan menurunnya kualitas wartawan; semakin suburnya media siber tidak bermutu karena begitu mudah dan murah untuk mendirikannya, yang diikuti dengan semakin banyaknya orang mengaku wartawan yang sama sekali tidak dibekali pelatihan ketrampilan jurnalistik apalagi pemahaman Kode Etik Jurnalistik.
Wartawan adalah profesi intelektual yang bekerja bagi sebesar-besarnya kepentingan publik, dalam hal ini untuk mengontrol kekuasaan, menyampaikan informasi, mengajak mereka berpartisipasi dalam pengambil kebijakan dengan membuka ruang diskusi dengan pembuat kebijakan. Wartawan bukan politisi yang sibuk berpolitik, yang sibuk untuk menuding dan mencari-cari kesalahan orang, mempersoalkan yang tidak penting, karena rasa tidak suka atau cemburu.
Dewan Pers yang memiliki SDM dan anggaran terbatas seharusnya dibantu oleh konstituen agar kemerdekaan pers Indonesia dapat terpelihara sesuai dengan semangat reformasi, apalagi saat ini tengah digerogoti pihak-pihak yang mengaku wartawan tetapi tidak bekerja dalam koridor kode etik yang telah disepakati bersama oleh komunitas pers.
Adapula untuk mengamandenen UU Pers no 40 agar pers kembali ke dalam rezim izin dan sensor, dengan alasan kemerdekaan pers sudah kebablasan karena media mengungkap kebobrokan kinerja aparat eksekutif, anggota parlemen, maupun penegak hukum lainnya.
Sebagai organisasi terbesar dengan anggota mencapai 15.000 wartawan aktif PWI menjadi pendukung utama sertifikasi wartawan yang digagas Dewan Pers, telah mensertifikasi 9.000 anggotanya, dari total sekitar 13.000 sertifikat yang telah dikeluarkan Dewan Pers. PWI juga mendorong media yang dipimpin anggotanya untuk diverifikasi agar dipercaya baik oleh narasumber maupun mitra kerja. PWI juga melatih lebih dari 1000 anggotanya setiap tahun agar semakin profesional, berwawasan, dan menjunjung tinggi etika jurnalistik. (Tribuana Said)
Saya harus ke Amerika lagi. Dalam waktu dekat. Tapi kemarin saya menangis. Dalam hati. Menangis sungguhan. Uang rupiah yang saya siapkan menjadi tidak begitu berarti. Di mata dolar.
Saat itulah saya sadar: sebagian uang saya hilang begitu saja. Padahal uang itu ada di bank. Masih ada. Tapi nilainya begitu merosot. Saya merasa telah kecopetan. Atau kena rampok.
Uang senilai Rp 20 miliar itu tinggal Rp 19 miliar nilainya. Kehilangan Rp 1 miliar. Hanya dalam waktu tiga bulan.
Betapa banyak orang yang tiba-tiba kecopetan seperti itu. Satu miliar itu banyak. Bagi saya.
Itu uang hasil keringat. Banting tulang. Enak banget yang mencopetnya.
Kalau Anda punya tabungan Rp 10 miliar berarti Anda kecopetan Rp 500 juta. Kalau simpanan Anda Rp 1 miliar Anda kecopetan Rp 50 juta. Agar tidak merasa kecopetan baiknya Anda tidak ke luar negeri dulu.
Anda tetap kecopetan tapi tidak terasa. Tidak terasa tapi tetap kecopetan.
Memang saya tergolong orang bodoh. Sudah tahu rupiah bakal kalah. Rupiah bakal merosot. Sudah tahu kinerja ekspor kita loyo. Sudah tahu yang dipikir orang di atas sana lebih banyak hanya politik. Kok saya tidak menyimpan uang dalam dolar.
Diam-diam saya harus memuji para pengusaha. Yang menyimpan uangnya dalam mata uang asing.
Dulu saya akan mengecam mereka sebagai tidak nasionalis. Tidak cinta NKRI. Tidak cinta Pancasilais. Sekarang saya merasakan sendiri kecopetan begitu banyak. Itu menyakitkan.
Maka yang akhirnya betul adalah: mulut tetap berteriak cinta NKRI dan cinta Pancasila tapi simpanannya dalam dolar. (jpnn.com)
Beberapa waktu lalu saya mencari-cari buku yang menceritakan sejarah Lampung. Meskipun saya sendiri bukan suku Lampung, tetapi karena saya dilahirkan dan di besarkan di Tanah ini, sehingga saya tertarik untuk mengetahui sejarah lampung.
Alhamdulillahlah saya sampai ke sebuah tempat yang bisa menghilangkan rasa penasaran saya tentang sejarah Lampung. Sesampainya di sana saya melirik ke sudut lemari dengan mata dan rasa penasaran dari sebuah buku yang sepertinya sudah sangat lama, dan mungkin itu adalah salah satu buku yang saya cari. Maka saya langsung mengambil dan melihat buku itu.
Buku itu berjudul “KERAJAAN TULANG BAWANG LAMPUNG SEBELUM DAN SESUDAH ISLAM.” salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung yang diperkirakan sekitar abad ke V M. judul yang sangat menarik, selain menceritakan sejarah Lampung buku ini juga menceritakan bagaimana awal mula masuknya Islam ke Lampung.
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh yang dibawa oleh Abdul Arif, kemudian dari Aceh Agama Islam disebarkan melalui tiga jurusan: Jurusan pertama melalui Aceh Besar, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan
Jurusan kedua melalui selat Malaka, dan jurusan kertiga melalui Jawa. Sedangkan kota Pelembang di bawa oleh Raden Ahmad. Pulau Riau oleh Sultan Haji, Jawa Timur oleh Maulana Malik Ibrahim, Jawa Tengah oleh Raden Fatah, Jawa Barat banten dan Sunda Kelapa Oleh Maulana Fatahillah.
Namun berbeda dengan Lampung, Islam di bawa masuk ke Lampung oleh PUTRA DAERAH LAMPUNG SENDIRI YANG BERNAMA Minak Kemala Bumi. Pengislaman Lampung bukan datang dari daerah lain atau mubaligh 2 Islam di luar Lampung seperti halnya daerah2 lain.
Islam masuk ke Lampung di bawa oleh putra daerah Lampung sendiri yang bernama Minak Kemala Bumi bin Tuan Rio Mangku Bumi putra dari raja Tulang Bawang. Pada mulanya Minak Kemala Bumi ke Banten memenuhi permintaan Sultan Banten untuk meneruskan rencananya mengalahkan Palembang menebus kegagalan bapaknya Syahanda Tuan Rio Mangku Bumi. Namun kedatangan Minak Kemala Bumi lain yang diharapakan, Minak Kemala Bumi diminta oleh Sultan Banten untuk memeluk Islam.
Akhirnya Minak pun bersyahadat memeluk Islam. Tidak putus di sini, setelah memeluk Islam, Minak merasa tidak puas hingga akhirnya ia memutuskan pergi ke Makkah untuk beribadah dan mendalami Islam di sana. Sesampainya di Makkah, Malak mempelajari dan mendalami Islam, mulai dari ilmu Aqidah, Fikih, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab Nahwu Sorof, dan yang lebih mengharukan lagi beliau juga adalah seorang hafidz yang telah menghafal kitab suci Al Qur’an 30 Juz.
Setelah merasa cukup Minak Kemala Bumi berkeinginan pulang ke Lampung. Melalui via Palembang baru kemudian Lampung. Sebelum ke Lampung Minak Kemala Bumi juga menyiarkan Islam di Palembang, meskipun sudah ada Mubaligh yg ada di sana sebelumnya.
Setelah itu beliau kembali ke Lampung dan menyiarkan Islam. Kemudian hasil dari dakwahnya ternyata berkembang sehingga banyak masjid2 yang berdiri di Lampung. Seorang Mujahid Lampung Minak Kemala Bumi telah meninggal yang diperkirakan meninggal pada tahun XVI M. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Sumber buku “Kerajaan Tulang Bawang Lampung Sebelum dan Sesudah Islam.” yang di susun oleh Hi Assa’i Akip. (Kontenislam.com)
Jujur. Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya menorehkan tulisan ini: Sebuah catatan pamitan.
Ya, terhitung sejak Selasa (17/7), saya memutuskan untuk mundur dari SKH Radar Lampung, sebuah kantor yang sangat saya cintai.
Bagi saya keputusan mundur dari jabatan Pemimpin Redaksi SKH Radar Lampung adalah sebuah konsekuensi yang harus saya tempuh manakala saya memutuskan untuk terjun ke dunia yang berbeda dari jurnalistik, yaitu dunia politik.
Keputusan mundur dari SKH Radar Lampung ini adalah bentuk kecintaan saya terhadap SKH Radar Lampung dan dunia jurnalistik yang telah mengajarkan saya banyak hal.
Saya punya tanggung jawab untuk menjaga SKH Radar Lampung dan jurnalisme yang saya cintai agar tetap berjalan di track-nya. Mengabarkan informasi yang benar, memenuhi hak masyarakat untuk tahu tanpa harus masuk dalam kepentingan politik praktis.
Sebagai seorang profesional, saya harus mundur. Saya wajib mundur demi menjaga marwah dunia pers dan SKH Radar Lampung.
Saya kini resmi terdaftar sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) DPRD Provinsi Lampung dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan Tulangbawang, Tulangbawang Barat, Mesuji.
Lantas, pertanyaannya, mengapa saya memilih untuk terjun ke dunia politik praktis? Karena saya merasa sudah saatnya mengisi ruang-ruang sunyi di dunia politik dengan menyuarakan aspirasi masyarakat yang selama ini saya tangkap, ketika saya bergulat di dunia jurnalistik.
Ya, jurnalisme telah mengajarkan saya satu pelajaran penting dalam hidup. Menjadi seorang jurnalis telah membuka saya tentang banyak hal. Ada kalanya hal yang saya pelajari itu menyangkut sesuatu yang pahit. Seperti tentang ketidak adilan, ketimpangan sosial hingga kesewenang-wenangan.
Melalui jurnalistik, saya mencoba untuk ikut mengambil peran mencoba menghapusnya. Tentunya dengan kaidah-kaidah yang telah ditentukan.
Kini tibalah saatnya bagi saya untuk mengimplementasikan apa yang saya pelajari selama berkecimpung di dunia jurnalistik. Saya memandang politik adalah dunia yang suci alat untuk merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Saya yakin, dengan pelajaran berharga di dunia jurnalistik bersama SKH Radar Lampung, saya akan mampu menyampaikan aspirasi masyarakat dan memperjuangkannya ke tataran yang lebih praktis.
Ada pepatah bijak bilang, hidup adalah pilihan. Ibarat menulis berita, ini adalah titik yang menjadi akhir cerita. Sudah saatnya saya menulis di lembaran baru. Dengan kisah yang baru pula.
Akhir kata, terima kasih saya tidak terhingga kepada SKH Radar Lampung yang telah menjadi keluarga kedua bagi saya sejak 10 tahun terakhir ini.
Selamanya SKH Radar Lampung menjadi keluarga bagi saya. Saya mohon maaf atas kesalahan saya selama ini disengaja ataupun tidak disengaja. Terutama kepada pembaca setia SKH Radar Lampung.
Saya pamit, saya juga mohon doa restu. Semoga SKH Radar Lampung tetap menjadi yang terbesar dan terbaik di Lampung. Tabik !
Wirahadikusuma, Pimred Radar Lampung, Jawapost Group
Pada tanggal 12 Juli Pemerintah telah menandatangani Head of Agreement (HoA) dengan Freeport McMoran. Tentu ini perlu disambut dengan baik namun tidak perlu dianggap suatu kemenangan bagi Indonesia, terlebih lagi untuk memunculkan eforia di masyarakat.
Dari perspektif hukum ada beberapa alasan untuk ini. Pertama HoA bukanlah perjanjian jual beli saham. HoA merupakan perjanjian payung sehingga mengatur hal-hal prinsip saja. HoA akan ditindak-lanjuti dengan sejumlah perjanjian.
Perjanjian yang harus dilakukan untuk benar-benar pemerintah memiliki 51% adalah Perjanjian Jual Beli Participating Rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40% di PT FI. Lalu perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4%.
Perjanjian-perjanjian diatas harus benar-benar dicermati karena bagi lawyer ada adagium yang mengatakan ‘the.devil is on the detail’ (setannya ada dimasalah detail). Kerap bagi negosiator Indonesia mereka akan cukup puas dengan hal-hal yang umum saja.
Kedua, menjadi pertanyaan berapa harga yang disepakati untuk membeli Participating Rights di Rio Tinto dan saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran. Ini muncul karena bila konsesi tidak diperpanjang hingga 2021 tentu harga akan lebih murah dibanding bila konsesi mendapat perpanjangan hingga tahun 2041.
Hingga saat ini belum jelas apakah pemenrintah akan memperpanjang konsesi PT FI atau tidak. Untuk hal ini menjadi pertanyaan apakah pemerintah pasca 2019 (bila ada perubahan) akan merasa terikat dengan HoA yang ditandatangani atau tidak.
Ketiga hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan pengambil keputusan di RUPS. Apakah ada ketentuan untuk sahnya kehadiran dan pengambilan keputusan harus dilakukan minimal 51%+1, bahkan lebih. Bila demikian meski pemerintah mayoritas namun pengendalian perusahaan masih ada ditangan Freeport McMoran.
Terlebih lagi bila saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran adalah saham istimewa yang tanpa kehadirannya maka RUPS tidak akan kuorum. Juga bila penunjukan Direksi dan Komisaris harus tanpa keberatan dari Freeport McMoran.
Keempat, bila pemerintah telah menjadi pemegang saham di PT FI dan ada keputusan RUPS untuk meningkatkan modal dan karena satu dan lain hal pemerintah tidak dapat melakukan penyetoran, apakah kepemilikan saham pemerintah akan terdelusi? Sehingga besaran 51% akan turun.
Tentu masih banyak hal-hal detail yang akan menjadi pembahasan antara pemerintah dengan berbagai pihak. Karenanya menyatakan pemerintah menang tentu merupakan suatu pernyataan yang prematur.
Bila pemerintah transparan dan akuntabel maka apa yang disepakati dalam HoA sebaiknya dibuka ke publik. Ini untuk mencegah publik merasa dikhianati oleh pemerintahnya sendiri. Toh HoA sudah ditandatangani bukan dalam tahap negosiasi. **