Kategori: Opini

  • Orang-Orang Semifinal

    Orang-Orang Semifinal

    Oleh : Alamsyah Saragih

    LAGA Piala Dunia 2018 berlangsung bersamaan dengan momen Pilkada serentak di Indonesia yang sulit dipisahkan dari dinamika suksesi nasional pada tahun 2019 mendatang. Sebagian menjadikan Pilkada kali ini sebagai proksi Pilpres 2019, sebagian yang lain masih meragukan.

    Analogi dan satire Pilkada ke dalam Piala Dunia atau sebaliknya tak terhindarkan dan mewarnai media sosial. Bedanya, sindiran dan olok-olok dalam dunia sepak bola tak membawa kita pada pertikaian sosial pada apa yang disebut anak milenial sebagai ‘baper tingkat dewa’.

    Debut Para Ronaldian

    Indonesia masih dipenuhi euforia Reformasi ketika itu. Di Bondy, Perancis, tepatnya pada 20 Desember 1998, lahir seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Kylian Mbappe. Mbappe remaja menekuni Bola. Dinding kamarnya dipenuhi gambar sang idola: Cristiano Ronaldo.

    Di usia 19 tahun Mbappe telah menjadi bintang kesebelasan Perancis dalam Piala Dunia 2018 yang digelar di negeri Beruang Merah. Beberapa gol yang dicetaknya dalam babak 16 besar melawan Argentina telah memulangkan Messi dan timnya. Takdir berjalan lain, Ronaldo sang idola harus pula menyusul Messi beberapa jam kemudian karena Portugal dikalahkan Uruguay.

    Di Chingford, Inggris, 28 July 1993, seorang anak berdarah Irlandia lahir dan diberi nama Harry Edwin Kane. Ia menggemari bola dan mengembangkan bakatnya di Akademi Arsenal. Kane dikeluarkan dari akademi Arsenal ketika usia 8 tahun karena dinilai kegemukan. Di kemudian hari keputusan tersebut diakui salah oleh direktur Akademi Arsenal, Liam Brady.

    Pemain kesebelasan Inggris yang kini berusia 24 tahun itu menjadi pencetak gol terbanyak Liga Inggris selama dua musim tanding berturut-turut, dalam kurun waktu 2015-2017. Sebagaimana Mbappe, Kane juga mengagumi Ronaldo. Dalam satu wawancara ia mengatakan: “Ronaldo adalah teladan. Ia pemain fantastis. Saya berharap suatu hari akan mencapai performa seperti dia”.

    Inggris dan Perancis melaju ke babak semi final. Namun, kemungkinan Mbappe atau Kane berhadapan dengan sang idola di Piala Dunia boleh jadi tak lagi akan ada. Pasalnya, Ronaldo yang pulang lebih dulu telah berusia 33 tahun. Bukan tak mungkin ia mulai memilih untuk menapaki masa transisi karier menjadi Pelatih beberapa tahun ke depan.

    Angin Perubahan

    Rusia mengingatkan pada lagu Scorpion: Wind of Change. Sepertinya angin perubahan juga bertiup di piala dunia kali ini. Beberapa bintang bukan hanya harus pulang ke kampung halaman, tapi juga sudah mulai memasuki penghujung usia karir dan sebagian sedang menapaki usia matang.

    Rusia menjadi kuburan bagi para bintang ternama. Kehadiran bintang-bintang baru yang masih terbilang muda seperti Mbappe, mengisyaratkan alih generasi dimulai. Di luar itu capaian Belgia dan Kroasia ke babak semi final menjadi catatan sejarah tersendiri, mengingat keduanya tak memiliki bintang yang sangat-sangat menonjol.

    Sebagai ciri khas, bintang piala dunia tetap beragam etnik, kendati memasuki semi final yang tersisa hanya kesebelasan asal daratan Eropa. Selama musim pertandingan, ada berita mengenai sedikit ricuh terkait Israel. Meski demikian isu SARA praktis tak mendominasi warna pemberitaan.

    Magistrature of Influence

    Pelatih kesebelasan Belgia berkebangsaan Spanyol, Roberto Martinez, menjadi salah satu pusat perhatian. Di tangannya Belgia melaju ke semi final mengalahkan Brazil yang digadang-gadang akan menjadi juara dunia setelah Argentina menyusul kekalahan Jerman. Praktis puluhan tahun Belgia tak mengalami prestasi gemilang dalam laga dunia.

    Berbeda dengan Argentina yang agak ricuh ketika menetapkan Messi sebagai Kapten, Martinez tak menghadapi masalah dalam penetapan Eden Hazard untuk memimpin kesebelasan. Martinez tidak hanya menerapkan taktik yang dihitung rapih, tapi juga memiliki kemampuan memotivasi yang luar biasa. Ia bahkan memanfaatkan ruang publik untuk menyampaikan penilaian positifnya terhadap para pasukan.

    Memasuki akhir tahun lalu, ia mulai mempromosikan Kevin De Bruyne sebagai pemain yang akan mencapai performa setara dua super bintang, Ronaldo dan Messi. Upaya Martinez memanfaatkan lini pengaruh dalam suatu pertempuran mengingatkan saya pada apa yang disebut sebagai ‘Magistrature of Influence’.

    Sebelum berlaga melawan Brazil ia menyampaikan pujiannya melalui media kepada Eden Hazard sebagai Kapten dengan kepemimpinan terbaik, “dia sudah menjadi kapten sesungguhnya, pemimpin sebenarnya yang selalu menjadi dirinya sendiri”.

    Pujiannya terhadap sang Kapten dan tim banyak dikutip media, “anda lihat, banyak kapten di tim ini. Ketika melihat Hazard anda akan menikmati sepak bolanya, dia membuat sepak bola jadi indah”.

    Pesan positif yang disampaikan Martinez kepada publik bukan tanpa maksud. Ia tahu meskipun Belgia sedang panen generasi baru tapi sedang berhadapan dengan para raksasa. Ia tidak hanya sekedar mengembangkan strategi dan taktik yang setiap saat bisa berubah di lapangan datar, tapi juga mengelola mental tim maupun lawan.

    Pujiannya semakin memuncak bersamaan dengan kemenangan demi kemenangan tim. Ini dapat dilihat sebagai perang psikologis. Selain untuk menjaga mental tim hingga ke titik penghabisan, hal tersebut juga penting untuk mempengaruhi persepsi dan moral lawan terhadap kekuatan tim binaannya.

    Sebagai Jenderal, Martinez seperti tak mau kehilangan kemenangan di semua lini pertempuran. Meski ia meyakini keberuntungan juga menentukan, ia merancang taktik yang adaptif dan mengelola momentum dengan cermat. Melalui tim Belgia ia berusaha mepelopori kelahiran super star baru di dunia sepak bola. Tak mengherankan jika Spanyol yang harus pulang lebih dulu ingin mengambilnya dari Belgia.

    Indonesia

    Pilkada serentak 2018 juga seperti mengisyaratkan angin perubahan. Partai-partai menengah di daerah yang lebih proaktif mencari bintang lokal relatif memimpin dan memenangkan pertempuran. Politik dinasti dan ‘proksi incumbent’ mulai berguguran meski sebagian bertahan. Ada sedikit kericuhan di Kalbar dan upaya membangun sentimen SARA di beberapa daerah selama pilkada, tapi sepertinya tak mempan.

    Rakyat tengah ogah dipaksa memilih kandidat jadi-jadian apa lagi syarat kesan hegemonik. Mereka lebih rela memilih kotak kosong atau memilih yang dirasa lebih memberi manfaat meski berstatus tersangka. Nanti dulu bicara hukum. Upaya memanfaatkan sisa sentimen Pilgub DKI dua tahun lalu juga tak membuahkan kemenangan.

    Hasil perhitungan suara belum selesai ditetapkan oleh KPUD, tapi hampir pasti tak akan berbeda dengan hasil real count mereka. Di Jawa Barat, PKS yang bekerja keras dengan jaringan saksinya akhirnya mengakui kemenangan lawan versi real count. Sikap yang patut dipuji dari partai kader ini, meski masih belum diakui oleh tim sukses.

    Menjelang akhir pilkada Jawa Barat, SBY menyampaikan opini negatif terhadap indikasi perangkat negara yang tak netral. Publik ikut dicemaskan, seolah-olah ada target penguasa untuk memenangkan kandidat tertentu.

    Berbeda dengan Martinez yang memilih meggunakan pengaruh positif, sentimen negatif ini justru dinilai banyak kalangan memberikan keuntungan bagi lawan politik. Meski ada juga yang meyakini sebagai kepanikan akibat laporan internal mengenai perpindahan suara besar-besaran kepada kandidat tertentu.

    Apapun yang telah terjadi, Pilkada serentak 2018 memasuki tahap usai. Bintang politik alternatif mulai memancarkan sinar. Cadangan kepemimpinan nasional untuk 2019-2024 bermunculan dari daerah. Mahathir effect mulai meredup.

    Politisi senior Jusuf Kalla menolak pinangan Partai Demokrat untuk menjadi Capres. Tak terobsesi menjadi Mahathir, mungkin ia lebih memilih beranjak keluar dari gelanggang dan mengambil peran mentor sebagaimana Martinez. Dua kali perjalanan semobilnya dengan Anies Baswedan seolah mengisyaratkan itu.

    Potongan syair Cat Stevan (Yusuf Islam), dalam Father and Son, cukup menyentuh: “look at me, I’m old but I’m happy; … you will still be here tomorrow, but your dreams may not; … I know that I have to go away”.

    Sumber: FB Alamsyah Saragih/ Anggota Ombudsman RI

  • Pilgub Lampung Sebaiknya Yang Kalah Dan Legowo

    Pilgub Lampung Sebaiknya Yang Kalah Dan Legowo

    Oleh : Imam Untung Selamat (Jiun)

    TIDAK mudah menguraikan makna kata ‘legowo’. Legowo kira-kira berarti sikap bisa menerima keputusan, tidak dendam, tidak suudzon, dan tidak curiga. Legowo adalah menerima kondisi yang terjadi sebagai ketetapan Tuhan. Dibutuhkan penjelasan panjang untuk menjabarkan satu kata saja. Tulis Rektor UGM, medio Pilpres 2014 Lalu. Tentu pelaksanaan legowo lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Tapi kalau bisa, maka segala perkara dan kejadian akan dianggap sebagai nikmat dan bukan kesusahan. Pandangan tersebut sangat berguna pada waktu-waktu seperti saat ini, di mana situasi politik Provinsi Lampung sedikit memanas imbas dari runcingnya rivalitas pada kontes Pilkada 2018, dalam Pilgub Lampung.

    Perlu dipahami bersama bahwa dalam demokrasi, kalah menang adalah hal yang biasa. Pihak yang menang tidak perlu terlalu membanggakan diri, sementara mereka yang kalah tidak harus kecewa secara berlebihan. Tugas memimpin bukanlah perkara ringan, apalagi memimpin daerah sebesar Provinsi Lampung. Ada tuntutan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Lampung yang jumlahnya banyak. Luas wilayah Lampung ini juga luar biasa. Dari Lampung Barat Hingga Lampung Timur, Dari Selatan Hingga Utara, terdapat perbedaan waktu sampai tiga jam, dengan khas gerbang Sumatera. Jika gambaran tersebut bisa ditangkap secara baik, niscaya tokoh-tokoh itu akan paham bahwa tujuan yang sebenarnya bukan untuk berkuasa, melainkan harus bisa menyejahterakan orang banyak.

    Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung mengumumkan hasil penghitungan Pilgub Lampung 2018 media Minggu (8/7/2018). Hasilnya, pasangan nomor urut 3 Arinal Djunaidi-Chusnunia (Arinal-Nunik) meraih suara terbanyak.

    Data Rekapitulasi Perolehan Kabupaten-Kota Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2018 menyebut Arinal-Nunik meraih 1.548.506 atau 37,78% dari 4.179.405 surat suara. Pasangan nomor 1, Ridho-Bachtiar memperoleh 1.043.666 suara atau 25,46%. Sementara pasangan nomor 2, Herman HN-Sutono memperoleh 1.054.646 suara atau 25,73%, dan pasangan nomor 4, Mustafa-Jajuli memperoleh 454.452 suara atau 11,04%. Sebaran suara di 15 kabupaten dan kota di seluruh Provinsi Lampung menunjukkan pasangan Arinal-Nunik unggul di tujuh dari 15 kabupaten dan kota.

    Rinciannya:

    1. Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 185.590 suara atau 38,32%
    2. Kabupaten Pringsewu sebanyak 91.716 suara atau 43,82%
    3. Kabupaten Lampung Timur sebanyak 304.931 suara atau 58,95%
    4. Kota Metro sebanyak 28.620 suara atau 38,30%
    5. Kabupaten Lampung Tengah sebanyak 305,980 suara atau 46,68%
    6. Kabupaten Tulang Bawang sebanyak 79,916 suara atau 47,87%
    7. Kabupaten Mesuji sebanyak 41.187 suara atau 41,49%.

    Jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 5.768.061. Jumlah surat suara yang masuk sebanyak 4.179.405 atau 72,46%. Jumlah suara sah sebanyak 4.099.272. Jumlah suara tidak sah 80.133.

    Jadi, sebenarnya pihak yang kalah dalam Pilgub 2018, siapapun keputusan KPU Lampung, bisa mensyukuri hasil tersebut. Mereka tidak perlu memikul tanggung jawab yang begitu berat. Tapi tampaknya di Provinsi Lampung, orang yang kalah cenderung sulit menerima kenyataan tersebut.

    Saya kira, akan sangat baik bila tokoh-tokoh berpengaruh, baik Cagub sendiri maupun tim suksesnya, bisa menciptakan suasana harmonis dan kondusif bagi para pendukung. Tiupkanlah hawa sejuk, sampaikan kepada para pendukung agar mempercayakan proses di jalur hukum lewat mekanisme pengadilan. Tidak perlu pengerahan massa apalagi sampai berakhir pada peristiwa kerusuhan.

    Pemungutan suara dan pengumuman hasil Pilgub 2018 terjadi setelah bulan Ramadan. Ramadan artinya membakar, membakar semua dosa dan kesalahan manusia. Setelah Ramadan, jatuh bulan Syawal. Syawal berarti meningkatkan. Ibadah serta segala ketaqwaan yang dibentuk selama Ramadan hendaknya terus ditingkatkan pada bulan-bulan setelahnya, dimulai dari Syawal. Jangan malah karena sudah tidak puasa, malah nafsu dipuaskan secara jor-joran.

    Rasulullah Muhammad sendiri pernah bersabda, bahwa Perang Badar hanyalah perang yang kecil maknanya dibanding perang yang selanjutnya harus dihadapi manusia. Perang besar itu adalah perang menghadapi hawa nafsu. Manusia berhadapan dengan perang tersebut setiap hari. Jika bisa dimenangkan, Insyaallah bisa terhindarkan dari kerusuhan atau tindak destruktif lainnya.

    Apapun hasil yang keluar dari KPU yang merupakan hasil final. Kita berharap semua pihak bisa menerimanya. Sebagai Daerahwan, kepentingan Daerah harus lebih diutamakan, bukan lagi kepentingan pribadi, partai, atau kelompoknya belaka. Perlu dipahami bahwa langkah yang diambil harus mengutamakan kepentingan rakyat, termasuk bagaimana menjauhkan masyarakat dari segala bentuk intimidasi.

    Padahal jika direnungkan, bagi pihak yang kalah, masih ada kesempatan pada lima tahun lagi. Masih ada rentang waktu yang cukup untuk mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk bisa sejahterakan masyarakat. Jika rakyat kecil sudah sejahtera, niscaya pengusaha juga akan ikut menjadi lebih makmur. Hal itu terkait daya beli yang meningkat. Di sisi lain, menyejahterakan kalangan pengusaha saja tidak bisa menjamin kesejahteraan masyarakat kecil.

    Contoh sederhana, bagaimana pengusaha gorengan bisa meraup keuntungan lebih besar saat Ramadan. Tiap sore omset mereka meningkat. Harus dipikirkan cara agar hasil tersebut bisa dikembangkan di luar bulan Ramadan. Inilah yang menjadi harapa bersama semua orang.

    Pada zaman kekhalifahan dulu, di masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, masyarakat hidup begitu berkecukupan. Masa kepemimpinan beliau tidak lama, hanya sekitar 2,5 sampai tiga tahun. Tapi pada masa itu, untuk membayar zakat pun sulit. Tidak ada orang yang kekurangan materi, hingga uang zakat pun masuk kepada pemerintah yang pada gilirannya akan digunakan untuk kemakmuran bersama juga.Pada situasi tersebut, terlihat bagaimana Daerah dalam kondisi aman dan tenteram.

    Orang ingin mencuri dan merampok karena ingin harta. Kalau semua orang sudah makmur, maka tidak ada alasan untuk melakukannya. Secara umum, jika kesejahteraan terpenuhi, maka situasi yagn tidak kondusif seperti kerusuhan bisa dihindari. Semua jadi baik jika kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesejahteraan batin terpenuhi. Selama beberapa waktu belakangan, bangsa dan Daerah kita dibuat jenuh oleh black campaign dan cara-cara curan gdemi menjegal lawan politik. Saya memandang langkah tersebut tidak sesuai dengan budaya kita sebagai bangsa Provinsi Lampung maupun sebagai umat Islam.

    Perhatikan Pancasila. Sila pertama dikatakan jelas bagaimana rakyat Provinsi Lampung harus ber-Tuhan. Apapun agamanya, tidak ada yang mengajak bermusuhan dengan manusia lain. Kemudian mengutamakan hak-hak kemanusiaan. Ketiga, mengenai persatuan, yang bertolakbelakang dengan perceraian dan permusuhan.

    Untuk menghadapi perbedaan pendapat, ada sila keempat yang menyebut mengenai permusyawaratan. Sayang, saat ini banyak masalah diselesaikan secara voting tanpa melalui proses musyawarah yang matang. Akibatnya, sering kita lihat adanya walk out di parlemen. Langkah itu berarti mengutamakan kepentingan sendiri. Terakhir, bagaimana keadilan sosial harus diperjuangkan bersama. Pemimpin harus memikirkan kesejahteraan bersama, bukan hanya keluarga dan golongannya saja.

    Kembali ke Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, ia tengah mengerjakan tugas di bawah lentera yang redup. Ia sengaja tidak menggunakan terlalu terang, karena lentera itu adalah milik Daerah. Umar bin Abdul Aziz tidak ingin terlalu banyak memboroskan kekayaan Daerah itu.

    Kala itu, ada kerabat yang datang. Umar pun bertanya apakah kedatangan yang bersangkutan adalah untuk kepentingan pribadi atau Daerah. Tamu itu menjawab, untuk berbicara kepentingan pribadi. Seketika itu, Umar bin Abdul Aziz pun mematikan lentera di ruangan itu. “Bukankah engkau kemari untuk urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan Daerah? Lentera beserta cahayanya ini dibayar oleh Daerah karena itulah aku matikan agar tidak terjadi penyelewengan penggunaan harta Negara,”, .

    (Tulisan ini disadur dari tulisan akademisi saat Pilpres 2014)

  • Yang Bangun Tol Lampung Bukan Ridho?

    Yang Bangun Tol Lampung Bukan Ridho?

    Oleh : M Furqon

    SEJAK sekitar tiga tahun silam, pemerintah memulai pembangunan Jalan Tol Tans Sumatera (JTTS). Jalan bebas hambatan yang membentang dari Lampung hingga Aceh Darussalam. Khusus di Provinsi Lampung, JTTS akan dibangun sepanjang sekitar 250 km dari Bakauheni Lampung Selatan hingga Mesuji, kabupaten yang berbatasan Sumatera Selatan.

    Gubernur Lampung M Ridho Ficardo, dalam setiap kesempatan bertemu masyarakat, selalu membanggakan pembangunan jalan tol sebagai bukti kerjanya selama sekitar tiga tahun memimpin Lampung. Bahkan, proyek bernilai triliuan rupiah itu, menjadi andalan saat kampanye pilgub.

    Sepintas tidak ada yang keliru dengan apa yang disampaikan Calon Petahana Gubernur Lampung nomor urut satu itu. Dan, mungkin saja banyak masyarakat Lampung yang percaya dengan apa yang diucapkan Ridho saat berkampanye. Apalagi, proyek pembangunan jalan itu berlangsung pada saat Ridho menjabat sebagai Gubernur Lampung bersama wakil gubernur Bachtiar Basri.

    Padahal, jelas, pembangunan jalan tol di Lampung — bagian dari Jalan Tol Trans Sumatera– adalah proyek pemerintah pusat yang akan `membelah` Pulau Sumatera dari Lampung hingga Aceh. Untuk Tol Lampung, pembangunannya dimulai sejak 2015 yang terbagi menjadi sembilan bagian. Seluruh pembangunan tol Lampung dari Bakauheni sampai Mesuji ditargetkan selesai pada 2019.

    Pemerintah menugaskan badan usaha milik negara (BUMN) PT Hutama Karya (Persero) sebagai kontraktor proyek tol Lampung. Pembangunannya dimulai dari ruas tol Bakauheni (Lampung Selatan) sampai Terbanggibesar (Lampung Tengah).

    Proyek ini mendapatkan pinjaman kredit Rp8,067 triliun dari tujuh bank yakni Bank Mandiri, BNI, BCA, Bank CIMB Niaga, Bank Maybank Indonesia, Bank Permata, dan Bank ICBC Indonesia. Tetapi, bukankah ada peran pemerintah daerah? Tentu, ada. Terutama daerah yang wilayahnya terkena proyek jalan tol. Peran itu misalnya, dalam proses pembebasan lahan, yang mau tidak mau, harus melibatkan aparatur di daerah, mulai dari provinsi hingga ketua RT.

    Namun, bukan berarti mega proyek pembangunan jalan berbayar itu hasil kerja pemerintah daerah, provinisi maupun kabupaten/kota. Karena keterlibatan aparatur pemerintah di daerah merupakan kewajiban untuk menyukseskan proyek pemerintah pusat. Artinya, siapa pun gubernur dan bupatinya, bahkan siapa pun lurah dan RT-nya, proyek serupa di daerah akan tetap berjalan.

    Sebenarnya, gubernur sebagai pemimpin tertinggi di provinsi, memiliki peluang terhadap setiap proyek pemerintah pusat di daerah agar bisa memberikan manfaat besar bagi daerah dan rakyatnya. Misalnya terhadap proyek pembangunan jalan tol. Pemerintah daerah dapat meminta kepada pemerintah pusat agar ikutberperan dengan menjadi bagian dari pemilik perusahaan pengelola jalan tol.

    Dengan demikian, pemerintah daerah akan memperoleh tambahan PAD (pendapatan asli daerah) yang berasal dari pembagian hasil perusahaan pengelola jalan bebas hambatan itu. Dan, celakanya, hingga kini belum diketahui apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung agar meperoleh manfaat maksimal dari pembangunan jalan tol.

    Padahal, pembangunan jalan tol juga memiliki dampak negatif. Misalnya, bisnis masyarakat di sepanjang jalan lintas tengah dan lintas timur, terancam gulung-tikar. Karena konsumen andalan mereka selama ini, nanti tak lagi lewat di kedua jalan lintas Sumatera itu.

    Dengan demikian, jika pemerintah daerah hanya bisa `pasrah` terhadap keberadaan proyek jalan tol, maka harus siap untuk tidak mendapatkan manfaat apa-apa kecuali, misalnya, kebanggaan ada jalan bebas hambatan.

    Atau, sebatas memberikan kenikmatan pemilik mobil yang tidak perlu lagi bermacet-ria di jalan Bandarjaya, Lampung Tengah. Tentu, manfaat itu tidak sebanding dengan bisnis rakyat Lampung di sepanjang jalan lintas tengah dan timur Sumatera yang terancam mati. (m.furqon).

    Penulis adalah jurnalis seior di Bandar Lampung

  • Kedekatan Polri-TNI Dan Masyarakat Menuju Pilkada Damai Berkualitas

    Kedekatan Polri-TNI Dan Masyarakat Menuju Pilkada Damai Berkualitas

    Oleh : Juniardi

    Pilkada serentak yang dijadwalkan  dilaksanakan pada 27 Juni 2018 ini menjadi pesta demokrasi yang sangat penting. Agenda politik ini akan dilakukan serentak di 171 daerah, termasuk tiga daerah di Lampung, Pemilihan gubernur dan Pilkada Kabupaten Tanggamus dan Lampung Utara. Pilkada juga akan digelar serentak di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota melalui sistem pemilihan secara langsung.

    Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak Juni tahun lalu sudah meresmikan dan meluncurkan tahapan pilkada serentak 2018 yang akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018 ini. Persiapan dan tahapan dalam pelaksaan pilkada serentak itu semakin dimantapkan dan terus dikoordinasikan kepada semua pihak.

    Ada beberapa peraturan dalam pilkada serentak, salah satunya dalah pelaksaan Pilkada hanya satu putaran dan tidak ada pemungutan suara ulang terkait perolehan suara. Hanya provinsi DKI Jakarta yang memiliki aturan berbeda. Dalam aturan Pilgub DKI, putaran kedua bisa terjadi apabila suara calon kepala daerah tidak di atas 50 persen.

    Dalam Pilkada serentak ada 569 pasangan calon yang terdaftar di KPU. Artinya bahwa masyarakat di semua daerah yang akan mengadakan pilkada serentak harus benar benar cermat memilih dan memilah siapa pasangan yang dipilihnya untuk menjadi pemimpin di daerahnya.

    Mengenal program dan memahami pola penanganan untuk kesejahteraan di daerah yang dipilihnya itu dirasa sangat diperlukan agar pembangunan dan kemajuan di daerah dapat terwujud.

    Dalam kuliah umum di Para Syndicate, Jakarta, waktu lalu,  Mahfud menilai Pilkada saat ini seperti peternakan koruptor. Kira-kira koruptor baru mau lahir, seperti dibudidayakan. Lalu juga tidak sedikit orang yang menghindar dari tuduhan korupsi dan menjadikan hukum sebagai alat untuk mengelak, meskipun sudah jelas publik melihatnya.

    Sebagai pakar hukum Mahfud MD menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah saat ini seperti peternakan koruptor karena banyak kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi lantaran diduga terlibat korupsi.

    Hukum dinilainya sudah lepas dari asal mula tujuannya dan kini hukum bisa dibeli di mana-mana. Hilangnya budaya adiluhung pun menjadi masalah. Orang Indonesia sekarang mulai tidak takut sanksi moral, yang ditakuti hanya sanksi hukum. Faktanya adalah saat ini Indonesia belum mampu melahirkan pemimpin yang tegas dalam menegakkan keadilan. Pemimpin di Indonesia, tidak hanya presiden, melainkan juga anggota DPR, DPRD, gubernur dan bupati.

    Data Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyebutkan KPK sudah menangkap 18 gubernur dan 75 bupati/walikota karena tindak pidana korupsi. Untuk itu, calon kepala daerah yang berkompetisi di Pilkada serentak 2018 untuk tidak melakukan kejahatan yang sama.

    Selain fenomena hukum, dan proses politik dalam demokrasi,  Pilkada tidak bisa lepas dari proses keamanan dan ketertiban masyarakat. Proses demokrasi di Indobesia masih acapkali memicu konflik lain yaitu bentrokan antar pendukung hingga kerusuhan antar kelompok,  yang juga dapat berakibat jatuhnya korban jiwa.  Baik yang diakibatkan saling dukung,  hingga bermain diisu sara,  suku,  agama,  dan lainnya. Sementara kesadaran masyarakat tentang politik yang terbatas.

    Karena keamanan menjadi bagian tugas Polri dan TNI,  maka kedua institusi itupun,  wajib dilibatkan dalam kancah mensukseskan Pilkada. Pimpinan Polri dan TNI tentu saja terus dan berupaya menjamin proses demokrasi itu betjalan dengan baik,  tertib, aman dan lancar.  Kapolri  Jenderal Poliai Prof Tito Karnaviab bahkan memberikan ultimatum,  jika terjadi ketusuhan didaerah yang melaksanakan pilkada maka jaminannya adalah jabatan Kesatuan Wilayah yang akan bertanggung jawab.

    Warning Kapolri itu tentu disambut cepat oleh para Kapolda,  dan Jajaranya. Di Lampung misalnya,  Kapolda Irjen Pol Suntana meminta kepada para pasangan calon (paslon) Pilgub dan Pilbup, tim sukses, termasuk para pendukung hingga partai politik, menghindari Politik uang, Sara, pada proses menjelang hingga pelaksanaan Pilkada Lampung.

    Karena Politik uang secara tidak langsung membodohi masyarakat sendiri. Dari konteks agama pun sudah jelas itu dosa. Jadi mohon dihindari saja. Aturan jelas jadi sebenarnya tidak usah bicara lagi. Pelaksanaannya sekarang. Jangan sampai nanti ditengah lapangan terjadi operasi tangkap tangan oleh polisi atau Bawaslu.

    Kapolda hingga Polsek dan Bhabinkamtibmas melibtakan Babinsa juga mengajak para kandidat menyampaikan proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini dibuat untuk memilih pemimpin Lampung yang lebih baik. Berbagai cara dilakukan untuk memikat hati rakyat Lampung lalu adu program terbaik untuk kemajuan Provinsi Lampung itu lebih baik dibanding menukar nominal uang untuk mendulang suara.

    Selain pesan pesan,  Polda juga mengintruksikan jajaran Polri merubah paradigma untuk dekat dengan masyarakat,  hingga para tokoh. Berbagai kegiatan juga dilakukan bersama KPU,  Bawaslu,  Pemda,  hingga tokoh agama, dan Pers untuk memastikan situasi tetap kondusif menjelang hingga pelaksanaan Pilkada.

    Berbagai kegiatan bersama masyarakat itu ternyata berpengaruh terhadap proses menjaga situasi kamtibmas.  Dengan banyak turun ke masyarakat,  tentu akan menjadi pembatas gerak mereka, atau kelompom yang akan menggangu kamtibmas. Terutama untuk deteksi dini,  gangguan kamtibmas menjelang Pilkada Damai.  Tentunya juga dengan melakukan edukasi dalam pemahaman tentang proses Pilkada yang menjadi proses berdemokarsi.

    Komitmen Polri bersama Bawaslu akan mengawal pelaksanaan pilkada berjalan sesuai rel tanpa diwarnai politik Uang dan Sara, dan terus koordinasi dan kerjasama dengan pihak Kejaksaan untuk memastikan pelanggaran hukum yang dilakukan Paslon, tim sukses dan pendukungnya berjalan juga terus di bangun,  karena akan menjadi cerminan netralitas aparat dalam Pilkada.

    Karena dalam konteks politik Indonesia, sejak bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan dilakukannya amandemen UUD 1945, penyempurnaan sistem politik terus dilakukan. Demokrasi menjadi pilihan rakyat di tengah tengah lanskap geo politik masyarakat yang sangat plural.

    Demokrasi memang bukan obat atau penyembuh bagi permasalahan manusia, namun saat ini sistem ini menawarkan prinsip yang paling komprehensif untuk mencari legitimasi sebagai tatanan politik “keinginan rakyat”. Rakyat yang menginginkan kebebasan berpendapat, kesetaraan dan keadilan. Sebagai konsekuensinya, demokrasi menghasilkan komunitas politik dimana rakyat dipandang memiliki kesetaraan politik.

    Slogan One man one vote. Tak adalagi paksaan terhadap pilihan politik, semua berhak menentukan suaranya dan semua sepakat memahami demokrasi adalah sesuatu yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

    Demokrasi politik kita adalah sesuai dengan demokrasi pancasila yang selalu mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

    Menyadari hal ini, maka iklim politik di Indonesia secara umum, dan Lampung secara khusus haruslah benar benar kondusif. Pilihan kita terhadap demokrasi sebagai jalan masa depan tidak boleh gagal. dan memang bahwa demokrasi masih menyisakan banyak kritik dan kekurangan.

    Seperti yang dikhawatirkan oleh Plato dan Aristoteles, demokrasi yang sangat mendewakan kebebasan ini bisa berujung anarki. Oleh karena itulah diperlukannya mekanisme yang paling tepat untuk mengontrol kebebasan rakyat ini.

    Kita masih terus mengejar kedewasaan masyarakat, kemahirn aktor politik dan fokusnya pakar demokrasi menyampaikan arti demokrasi secara jujur, akan membuat demokrasi di Indonesia menjadi terkelola dengan baik. Karena sampai saat ini,  kita masih meyakini bahwa kedaulatan rakyat dapat banyak ditemui dalam sebuah perhelatan politik. Salah satunya adalah pemilihan kepala Daerah (PILKADA).

    Kini mendekati proses itu,  pemerintah dengan berbagai elemennya terus memantau perkembangan momen pesta demokrasi yang besar ini agar berjalan dengan sangat baik. Kekhawatiran akan ternodanya pesta rakyat ini menjadi hal yang sangat ditakutkan oleh semua pihak.

    Oleh karena itu berbagai pertemuan yang terkait pilkada ini terus dilakukan, baik oleh Kementerian keamanan, Kementerian Dalam Negeri, DPR, Kepala Daerah, Bawaslu, Kepolisian Republik Indonesia, TNI  dan KPK, Pers serta masyarakat

    Kekhawatiran ini jelas tidak bisa dianggap remeh mengingat banyak dan luasnya daerah yang mengikuti ajang pilkada serentak. Beberapa kejadian terror yang terjadi belakangan ini di beberapa daerah ditambah lagi dengan akan banyaknya pergesekan yang akan terjadi antarpengusung masing masing calon kepala Daerah.

    Pemberitaan buruk mengenai lawan pasangannya acap kali dilakukan, black campaign hingga saat ini masih ada. Ditambah lagi dengan kemajuan digital teknologi yang memudahkan orang melakukan black campaign secara massif.

    Berbagai macam kebencian, bahkan isu yang bersifat Sara, hoax dan berita buruk tentang pasangan kepala daerah dengan mudahnya dishare atau dibagikan kepada masyarakat lewat kecanggihan internet. Selain memerangi hoax yang hingga saat ini masih merajalela di dunia maya, isu Sara juga tak kalah pentingnya. Kerja polisi dengan segala lini menjadi pethatian kita semua.  Semoga Pilkada serentak berjalan damai, Bravo Polri-TNI,  NKRI Harga Mati. (Juniardi)

  • Paruh Baya …

    Paruh Baya …

    Oleh Wirahadikusumah

    Alhamdulillah. Hari ini (10/6) usia saya genap 35 tahun. Suatu usia yang menurut beberapa artikel yang saya baca dini hari tadi, sudah tak disebut anak muda lagi.

    Bahkan, ada yang menyatakan, usia 35 tahun adalah awal umur seseorang disebut paruh baya. Karenanya, diimbau di usia 35 tahun mulai selektif mengonsumsi makanan sebagai persiapan menghadapi masa tua.

    Dari sekian artikel yang saya baca dini hari itu, ada pernyataan yang “menggelitik” hati. Yakni, pernyataan dari Jack Ma. Miliuner asal Tiongkok ini mengatakan, jika di usia 35 tahun kita masih miskin, jangan salahkan siapa-siapa, salahkan saja diri sendiri.

    Saya tidak tahu apakah parameter miskin Jack Ma sama dengan saya. Sehingga tidak diketahui apakah kondisi saya saat ini masuk kategori miskin atau kaya menurut owner Alibaba Group itu.

    Usai membaca artikel itu, saya membayangkan bisa bertemu Jack Ma. Ada pertanyaan yang akan saya ajukan kepadanya.

    Ya, saya ingin bertanya, apakah dengan kekayaannya saat ini, dia bahagia? Jika tidak, siapa yang harus disalahkan. Dirinya sendiri, orang lain, atau lingkungan?

    Beberapa orang bijak bilang, dalam kehidupan bukan kaya yang dikejar, tetapi kebahagiaan dan salah satu cara menggapai bahagia adalah bersyukur.

    Ya, bersyukur! Banyak orang, termasuk saya terkadang luput bersyukur. Selalu saja merasa kurang.

    Seperti hari ini, di momentum ulang tahun ini, seharusnya saya bersyukur atas nikmat umur. Masih dipertemukan Allah SWT dengan bulan suci Ramadan tahun ini. Alangkah banyak manusia yang ajalnya menjemput sebelum Ramadan tiba.

    Sebab, ulang tahun bukan hanya kuantitas umur yang bertambah, tetapi masa “kontrak” di dunia juga berkurang. Ya, kita tidak akan pernah tahu sampai usia berapa masih bisa hidup. Sewaktu-waktu ajal bisa menjemput.

    Karena itu, momentum ulang tahun ini harus menjadi ajang muhasabah atau refleksi diri bagi saya. Apakah sudah bermanfaat bagi kehidupan? Bagaimana kualitas ibadah saya? Bagaimana Hablum Minallah dan Hablum Minannas saya?

    Di hari ulang tahun ini juga, saya tak hanya berharap doa, tetapi juga pemberian maaf sebesar-besarnya dari semuanya, karena saya yakin banyak kesalahan yang saya perbuat selama hidup.

    Semoga di awal usia paruh baya ini menjadikan motivasi diri bagi saya untuk menjadi lebih baik lagi sesuai apa yang diperintahkan Allah SWT, hingga nantinya mengakhiri hidup dengan husnul khotimah. Aamiiin Ya Rabb…(*)

  • WTP Sampai Adipura Hanya Souvenir Penghias Meja Dinas atau Raihan Prestasi Berdasarkan Fakta

    WTP Sampai Adipura Hanya Souvenir Penghias Meja Dinas atau Raihan Prestasi Berdasarkan Fakta

    Oleh : Ardiansyah*

    Di penghujung tahun politik 2018, Pemerintah Kabupaten Lampung Utara menghadapi begitu banyak persoalan. Baik yang bersentuhan dengan tatakelola birokrasi, maupun permasalahan administrasi keuangan daerah.

    Beragam persoalan yang ada meluncur bak sekumpulan hujan asteroid di zaman prasejarah jatuh ke Bumi. Bertubi-tubi dan menghujam secara tidak terarah.

    Tidak begitu banyak yang mengetahui apa penyebab dari tumpukan masalah yang seakan tanpa ada penyelesaian ini. Bermula dari berbagai pembiayaan publik yang tidak tersalurkan, hingga penegakan supremasi hukum yang terkesan semakin menegaskan pemeo ‘tajam ke bawah, namun tumpul ke atas’.

    Sebuah ironi dimunculkan dalam panggung pemerintahan di Kabupaten Lampung Utara. Dari berbagai raihan prestasi, justru berbanding terbalik dengan wujud nyata dalam kehidupan di masyarakat.

    Semisal, di satu sisi, raihan prestasi tatakelola administrasi keuangan daerah, Pemkab. Lampura secara berturut-turut mampu meraih penghargaan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

    WTP merupakan salah satu Opini Badan Pemeriksa Keuangan yang menjadi dasar pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada empat kriteria, yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. (sumber : wikipedia.org)

    Sangat mengherankan. Jika merujuk pada definisi WTP dimaksud, justru bertolak belakang dengan relitas yang ada. Artinya, beragam carut-marut administrasi keuangan daerah menjadi satu akumulasi yang memicu timbulnya berbagai aksi demonstrasi yang ada. Selain itu, sikap indisipliner ASN seolah tidak lagi mengindahkan etika kepegawaian yang mengakibatkan disharmonisasi antara pimpinan dan bawahan. Ditemukan berbagai indikasi penyalahgunaan anggaran daerah, yang paling mengejutkan, adanya dugaan pengalihan Dana Desa tahun anggaran 2018 untuk termin I senilai Rp.43 miliar yang mengalir tanpa diketahui petinggi birokrasi hingga tersisa hanya Rp.5 miliar. Belum lagi tanda tanya terkait bantuan Kemenpora tentang Program Satu Desa Satu Lapangan.

    Tidak hanya itu, konon khabarnya stadion olahraga Sukung Kotabumi yang menjadi kebanggaan warga Lampung Utara mendapatkan rehabilitasi rumput sintetik dan lintasan atletik berstandar internasional dengan bantuan pembiayaan yang fantastis. Faktanya ? Nonsens !

    Belum lagi pelayanan publik yang terancam akibat sumber-sumber pembiayaan daerah tidak mampu membiayai operasional badan dan/atau instansi yang ada. Penulis juga mencatat, Pemkab. Lampura saat ini hampir tidak ada pembinaan pada sektor seni dan budaya. Berbagai aktifitas yang ada justru tampil tentatif dalam panggung ceremonial semata tanpa proses pendidikan yang terintegrasi dan berkelanjutan.

    Sekali lagi penulis menilai, Nonsens !

    Denyut perekonomian di Lampung Utara mangkrak. Kebutuhan anggaran tidak mencukupi beban kerja yang harus dilaksanakan oleh ASN dengan integritas yang tinggi. Kualitas pembangunan infrastruktur menurun drastis. Sementara, dari segala aspek, pihak eksekutif dan legislatif berlomba-lomba saling menyalip kebijakan daerah serta menglaim berbagai ujaran pembenaran.

    Dan hal yang juga cukup menyedihkan adalah mati surinya BUMD Lampura Niaga yang digadang-gadang mampu berkontribusi bagi peningkatan PAD.

    Idealnya pihak eksekutif tidak bermain dalam ranah politik praktis. Pemkab. Lampura tidak mencampuradukkan adonan blueprint Renstra Pembangunan Berkelanjutan dengan kepentingan sekelompok rekanan yang jika ditelusuri secara mendalam adalah sebuah rekayasa para petinggi di tubuh pemerintahan. Pun demikian dengan pihak legislatif. Semestinya, para Wakil Rakyat Yang Terhormat melahirkan beragam regulasi daerah yang bersinergi dengan program pemerintah kabupaten. Bukan menyelipkan kepentingan partai politik untuk terus survive dan meraup pundi-pundi keuangan daerah.

    Penulis hanya berharap kelak usai pelaksanaan Pesta Demokrasi Pilkada Serentak 2018, Kabupaten Lampung Utara mampu meraih prestasi yang sesuai dengan tingkat keberhasilannya mengelola tatapemerintahan dan kesesuaian dengan beragam program yang akuntabel, transparan, serta berpihak kepada masyarakat.

    *penulis adalah wartawan portal media on-line www.sinarlampung.com

  • Memahami “Mata Sipit” Dari Cagub Pertahana

    Memahami “Mata Sipit” Dari Cagub Pertahana

    Oleh : Nizwar Affandi

    DUA MALAM Yang lalu sebelum tidur saya membaca pesan-pesan yg masuk ke dalam gawai selama tiga jam terakhir. Seperti biasa 2/3 pesan yg masuk adalah broadcast berulang dari teman-teman yg menjadi tim atau sekedar simpatisan paslon Pilgub Lampung 2018.

    Dari ratusan pesan, hanya satu yg menarik perhatian saya, pesan berisi file rekaman suara sambutan calon petahana di sebuah kegiatan buka puasa bersama. Tidak panjang isinya tetapi penuh kejutan, kejutan pertama tentu materinya dan yg kedua cara menyampaikannya.

    Di bagian akhir orasinya M. Ridho Ficardo (MRF) bicara tentang “kedaulatan pembangunan bukan di tangan mata sipit” dan meminta audien merekam kemudian meng-upload pernyataannya itu ke situs YouTube.

    Bagi saya orasi itu full of surprise, saya kaget mendengar MRF bicara tentang mata sipit karena saya sedikit mengetahui riwayat hubungan dirinya dgn mereka yg (mungkin) ia maksud sebagai golongan mata sipit. Saya juga kaget karena MRF yang saya kenal lebih dari satu dasawarsa seingat saya bukanlah tipe orang yg konfrontatif (siap berkonflik secara terbuka), ia selalu menggunakan cara lain dan orang lain ketika menghadapi lawan. Bisa jadi benar kata sebuah adagium populer, bahwa kekuasaan bisa mengubah seseorang.

    Sependek ingatan saya baik dari cerita yg pernah saya dengar maupun saya saksikan selama kami dulu bersahabat (bisa juga dibaca di riwayat hidupnya), MRF lahir dan melalui masa kecilnya di areal industri gula dan perkebunan tebu.

    Pun ketika saya mengenalnya setelah dewasa, ia masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari lingkungan itu, bahkan sampai tiga tahun yg lalu ketika ia sudah menjadi Gubernur Lampung. Seingat saya, dulu sejak tahun 2005/2006 ia menjadi direktur utama PT Mulia Kasih Sejati (MKS), sebuah perusahaan yg menjadi pemegang HGU ex Register 47, perusahaan yg terafiliasi dgn Sugar Group Compannies (SGC) di mana Bapak beliau menjadi salah satu direksi di sana.

    Jikalau “mata sipit” yang dimaksud MRF dalam orasi itu konotasinya pada masyarakat etnis Tionghoa, maka dapat kita fahami bahwa hampir sepanjang hidupnya M. Ridho Ficardo selalu berada dalam lingkungan mata sipit dan menjadi bagian yg tidak terpisahkan dari lingkungan itu.

    Khusus terkait posisi MRF di MKS, teman-teman DPRD Provinsi Lampung periode 2004-2009 yg pernah menjadi anggota Pansus Register 47 tentu masih mengingatnya, karena pernah beberapa kali bertemu dalam RDP. Yandri Nazir dari Fraksi Demokrat yang pernah menjadi Ketua Pansusnya tentu bisa bercerita lebih banyak.

    HGU ex Register 47 setahu saya adalah HGU pertama yg dimiliki oleh SGC setelah beralih kepemilikan dari Salim Group melalui BPPN. HGU areal lainnya hanya tinggal meneruskan kepemilikan Salim yg sudah berlangsung sejak tahun 70, 80 sampai 90-an.

    Front Lampung Menggugat mestinya tidak sulit menggali informasi tentang ini karena salah satu penggagasnya (Hermawan) merupakan pengurus Partai Demokrat. Begitu juga dgn Pansus SGC DPRD Tuba, Ketua Pansus (Novi Marjani) tentu tidaklah sulit bertanya kepada calon Gubernur. (***)

    *Nizwar Affandi

    (Alumni FISIP Unila dan FISIP UI)

  • Gagapnya Korporasi Dan Shinta di Pilgub Lampung

    Gagapnya Korporasi Dan Shinta di Pilgub Lampung

    Oleh Nizwar Affandi

    PILGUB LAMPUNG kali ini masih sama seperti pilgub-pilgub sebelumnya. Isu soal korporasi dan hubungan luar nikah kembali muncul dan hanya menjadi limbah di ruang publik. Institusi-institusi yang semestinya berkewajiban menghilangkan kabut informasi agar pemilih mengetahui faktanya dengan terang benderang malah tampak gagap.

    Puluhan media yang didominasi media on line seolah berubah menjadi echo yang menggemakan masing-masing isu sesuai dengan kecenderungan dukungan mereka dalam Pilgub Lampung 2018. Mereka yang mengaku independen pun tidak kunjung melakukan jurnalisme investigatif, menelisik apakah benar Arinal-Nunik dibiayai oleh korporasi?

    Apakah korporasinya sama seperti korporasi yang pada 2014 membiayai Ridho-Bakhtiar? Apakah benar korporasinya itu Sugar Group? Apakah pengakuan Sinta itu fitnah? Apakah pengakuan itu berhubungan erat dengan pemanggilan Ridho Ficardo oleh Komisi III DPR-RI setahun yg lalu? Apakah Komisi III dan Sinta berkongsi melakukan fitnah terhadap Ridho?

    Dengan begitu banyak pertanyaan dan petunjuk yang bisa diinvestigasi, tampaknya semua memilih hanya berhenti pada tingkat pergunjingan saja.  Secara pribadi, saya bisa meyakini bahwa korporasi yg membantu Arinal pada pilgub ini adalah korporasi yangg sama yangg membantu Ridho pada Pilgub 2014.

    Karena keterbatasan saya mengakses informasi pada pilgub ini, saya tidak bisa memastikan apakah dukungan yg diberikan korporasi kepada Arinal sama besar, lebih besar atau lebih kecil daripada yg diberikan kepada Ridho pada Pilgub 2014. Jika ada yang menganggap hubungan dengan korporasi ini adalah dosa besar, maka tahun tahun pemerintahan yang sekarang berjalan adalah produk langsung dari dosa besar itu.

    Insha Allah saya cukup memiliki pengetahuan untuk sampai pada kesimpulan tersebut karena pernah menjadi bagiannya sebagaimana saya juga dapat menunjukkan beberapa teman yang juga pernah menjadi bagian dari hubungan itu dulu. Bahkan, ada yang masih menjadi bagian dari hubungan tersebut hingga sekarang.

    Sedangkan untuk isu “estra marital affair” yang dituduhkan kepada Ridho, saya pernah sampaikan sebelumnya bahwa saya bersama seorang kolega setahun yang lalu pernah bersafari menemui pihak-pihak yg disinyalir mengetahui peristiwa itu.

    Kami beberapa kali bertemu Sinta, bertemu pengacaranya Dewi, bertemu Thomas Riska (Dewi mengenalnya melalui Krishna Murti), dan menjadi penonton mengikuti RDP Komisi III DPR-RI di Senayan.

    Hanya informasi dari Ridho Ficardo yang belum pernah saya dengar secara langsung, karenanya kendatipun berbagai file baik visual maupun audio yang pernah saya dengar dan lihat begitu identik dgn Ridho.

    Berdasarkan ingatan saya akan suara, gesture dan tata kalimat dalam percakapan sebagai hasil pengalaman saya berinteraksi dengannya lebih dari satu dasawarsa, saya masih membutuhkan informasi lain yang bisa menunjukkan bahwa semua itu bukan Ridho.

    Bagi institusi yang memiliki peralatan cukup, tentu tidak sulit untuk membuktikan secara ilmiah keaslian dari file yang dimiliki oleh Sinta dan pengacaranya.  Jika saya di posisi Ridho dan meyakini bahwa semua itu fitnah, saya tentu sudah lama meminta kepolisian untuk melakukan investigasi sampai ke tingkat pembuktian.

    Saya juga pasti akan langsung datang memenuhi panggilan Komisi III DPR RI agar spekulasi yg berkembang menjadi semakin tidak menentu. Karenanya, daripada terus menerus bersilang pendapat, memelihara harapan kosong akan ada institusi yang mau melakukan investigasi serius terhadap isu-isu itu, saya menyarankan teman-teman untuk menempuh jalan lain.

    Lebih baik, kita ajak para pihak melakukan “mubahalah” saja. Insha Allah saya bersedia ikut melakukannya jika yang bersangkutan bersikukuh membantahnya.

    Membantah bahwa tidak pernah dibantu oleh korporasi (Sugar Group) dalam pilgub maupun membantah tidak pernah melakukan extra marital affair dengan Sinta Melyati dalam masa jabatannya sebagai gubernur.  Karena ini bukan masalah yg bersifat personal, saya kira kita tidak perlu peduli soal bantuan yang diterima dari korporasi di luar konteks pilgub.

    Sebagaimana juga kita tidak perlu peduli soal extra marital affair yg terjadi di luar konteks jabatan gubernur. Kita mungkin sama-sama percaya bahwa sesuatu yang diawali dengan kebohongan pasti akan menuntut serangkaian kebohongan lainnya.

    Kita juga mungkin sama-sama percaya bahwa kita hanya bisa membohongi sebagian orang untuk sementara waktu saja dan tidak mungkin bisa membohongi semua orang untuk selama-lamanya.  Tetapi, kita semua pasti percaya bahwa pada akhirnya semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat’

    Saya tidak dapat membayangkan betapa repotnya di Padang Mahsyar mempertanggungjawabkan kebohongan yang pernah dilakukan kepada 5,8 jt pemilih sekaligus 8,1 jt rakyat Lampung. Naudzubillahi min dzalik tsumma naudzubillah.****

    *) Alumni Pasca Sarjana FISIP UI

  • Indonesia Jangan Lupa, Pembangunan Indonesia Berbasis Pancasila

    Indonesia Jangan Lupa, Pembangunan Indonesia Berbasis Pancasila

    Oleh:
    Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak, ST., MT., D.Min
    (Guru Besar & Ketua Program Studi S2 T.Sipil Konsentrasi Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan – HP 081219197499 (WA) / 081383454548)

    Anugerah terbesar bagi bangsa Indonesia adalah Tuhan YME senantiasa terus menyertai Indonesia secara khusus Pembangunan Indonesia yang berbasis Pancasila. Mengucap syukur kepada Sang Pencipta dalam memaknai Hari Lahir Pamcasila setiap 1 Juni, maka pada tahun ini 1 Juni 2018 kita kembali merefleksikan Nilai-Nilai Pancasila dalam Pembangunan Indonesia.

    Mencermati Proses Pembangunan Indonesia yang mengintegrasikan Nilai-Nilai Pancasila dapat direfleksikan:

    Satu, Sila Pertama Pancasila menyadarkan kita untuk mengucap syukur atas Dia yang menyertai seluruh Proses Pembangunan baik di tingkat Nasional dan di Daerah. Sila Pertama juga menegur kita, bahwa mandat utama dalam Pembangunan Indonesia adalah “Mengelola dan Berkelanjutan”. Kedua hal ini menjadi dasar filosofis kelima Sila Pancasila yang diintegrasikan dalam Pembangunan Indonesia. Jadi tugas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan seluruh Masyarakat Indonesia adalah untuk menyelenggarakan Pembangunan Indonesia yang berbasis “pengelolaan yang baik” dan “mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan”.

    Dua, Sila Kedua Pancasila diintegrasikan untuk mewadahi “human needs” yang sifatnya bukan saja berbasis Nasional, tetapi juga Internasional. Hal ini yang dikehendaki Pancasila sila Kedua yang mendorong tentang hal kemanusiaan yang adil dan beradab baik secara nasional maupun internasional. Sehingga tantangan Pembangunan Indonesia juga harus peka terhadap dinamika dan standar nasional maupun internasional, serta juga berdampak positif.

    Tiga, Sila Ketiga Pancasila mengingatkan kita semua bahwa Pembangunan Indonesia adalah dari kita dan untuk kita, serta berdampak positif bagi orang/negara lain. Persatuan Indonesia melambangkan koordinasi/cair/kebersamaan para pihak dalam seluruh tahapan Proses Penyelenggaraan Proyek di Indonesia dan Internasional.

    Empat, Sila Keempat Pancasila menekankan bahwa Pembangunan Indonesia “berbasis masyarakat”. Seluruh Stakeholder harus “peka” terhadap “arah” dan “Project Goals” sehingga tercapai Tujuan Proyek yang direncanakan dalam proses awal proyek.

    Lima, Sila Kelima Pancasila menyatakan setiap Proyek Konstruksi di Indonesia unik/bukan copy paste. Sehingga mungkin kita tidak sadar bahwa “dampak” Proyek yang diselenggarakan tidak hanya bagi Pengguna Jasa, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia.

    Selamat terus memaknai Integrasi Pancasila dalam setiap tahap Pembangunan Indonesia di masa mendatang. (red)

  • Adakah Konspirasi Dibalik Penanganan Kasus Dugaan Penganiayaan Berat Yogi Andhika?

    Adakah Konspirasi Dibalik Penanganan Kasus Dugaan Penganiayaan Berat Yogi Andhika?

    Oleh : Ardiansyah

    Ada apa dengan penanganan kasus almarhum Yogi Andhika? Begitu kira-kira yang ada dalam benak sebagian warga Kabupaten Lampung Utara. Polemik yang bersifat Pro dan kontra silih berganti menghias dinding media sosial maupun dalam percakapan warga sehari-hari.

    Hingga saat ini penanganan kasus kematian Yogi Andhika terkesan mencapai titik stagnan. Masing-masing pihak terkait menglaim jika proses penanganan kasus tersebut terus berjalan.

    Belum lama ini, pihak Polda Lampung merilis dua orang tersangka. Meski demikian hanya Moulan Irwansyah Putra alias Bowo, yang tak lain merupakan ajudan Bupati non-aktif Lampura, Agung Ilmu Mangkunegara dan berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara, yang diekspose dan menjadi konsumsi publik.

    Dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Polda Lampung, A3 nomor : B/293/IV/2018/Direskrimum, tertanggal 24 April 2018 menyebutkan nama Moulan Irwansyah Putra alias Bowo beserta dkk menjadi tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan berat yang dialami Yogi Andhika.

    Pasca terbitnya SP2HP Direskrimum Polda Lampung, babak baru dari pengungkapan kasus tersebut dimulai dengan segudang tanda tanya yang juga baru. Pertanyaan pertama; siapa saja nama oknum tersangka selain Moulan Irwansyah Putra alias Bowo; Kedua, tersiar kabar rekan Bowo yang diduga eksekutor almarhum Yogi Andhika juga melibatkan oknum Polri dan TNI-AD; Ketiga, salah satu nama tersangka yang diduga berasal dari Satuan Kepolisian tidak diproses hukum dan hal ini mengakibatkan satuan TNI-AD meradang; Keempat, saksi kunci kasus tersebut serta terduga tersangka Moulan Irwansyah Putra alias Bowo menghilang dan tidak jelas keberadaannya.

    Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang seakan dirancang jadi sebuah skenario drama kolosal sebuah kisah telenovela. Siapakah yang merancang naskah itu sehingga jalinan peristiwa pengungkapan kasus ini dari bagian satu ke bagian lainnya begitu penuh dengan teka-teki ?

    Beragam spekulasi muncul. Penanganan kasus dugaan penganiayaan berat Yogi Andhika sengaja “diulur” pihak-pihak tertentu guna meredam adanya kemungkinan konflik yang terpendam, mengingat terkuaknya kasus ini menjadi konsumsi publik bersamaan dengan proses pelaksanaan Pilkada Serentak 27 Juni 2018 mendatang. Sebagian pihak juga berspekulasi jika ada oknum yang terindikasi kuat terlibat dalam peristiwa tersebut akan dihapus dalam daftar tersangka.

    Bahkan, sebagian pihak lainnya beranggapan jika aktor intelektual dibalik peristiwa naas itu telah mengatur penanganan kasus ini dengan harapan menguap bak gelembung sabun.

    Pada prinsipnya, pengungkapan kasus ini secara tuntas akan berdampak positif bagi penegakan supremasi hukum di bumi Sang Bumi Ghuwa Jughai. Hal ini juga akan memupus stigma negatif bahwa hukum di negeri ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

    *penulis adalah wartawan www.sinarlampung.com