Kategori: Opini

  • Makna Hari Pancasila

    Makna Hari Pancasila

    oleh : Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang

    Sebagian orang menyebut tanggal 1 Juni adalah Hari Lahirnya Pancasila, yg sekarang sebagian orang menyebutnya dg istilah Hari Pancasila. Pancasila adalah landasan falsafah negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke 4.

    Saya lebih suka menyebut Pancasila sebagai “landasan falsafah negara” bukan dasar negara atau ideologi sebagaimana sering kita dengar. Istilah landasan falsafah negara itu bagi saya lebih sesuai dengan apa yg ditanyakan Ketua BPUPKI dr. Radjiman Wedyodiningrat.

    Diawal sidang, Radjiman berkata, sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka nanti?. Radjiman tdk bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah negara.

    Bagi saya ucapan Radjiman itu benar. Landasan falsafah adalah sesuatu rumusan yg mendasar, filosofis dan universal. Beda dgn ideologi yg bersifat eksplisit yg digunakan oleh suatu gerakan politik, yg berisi basis perjuangan, program dan cara mencapainya.

    Landasan falsafah negara haruslah merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Karena itu landasan falsafah negara harus menjadi titik temu atau common platform dai semua aliran politik yg ada di dalam negara itu.

    Ada beberapa tokoh yg menanggapi pertanyaan Radjiman. Mereka menyampaikan gagasan ttg apa landasan falsafah negara Indonesia merdeka itu. Supomo, Hatta, Sukarno, Agus Salim, Kiyai Masykur, Sukiman adalah diantara tokoh2 yg memberi tanggapan atas pertanyaan Radjiman.

    Sukarno adlh pembicara terakhir yg menyampaikan tanggapannya pd 1 Juni 1945. Dia mengusulkan 5 asas utk dijadikan sbg landasan falsafah. Sukarno menyebut 5 asas yg diusulkannya itu sbg Pancasila.

    Setelah semua tanggapan diberikan, Supomo berkata bhw dalam BPUPKI itu terdapat 2 golongan, yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan Islam, kata Supomo, menghendak Indonesia merdeka berdsarkan Islam. Sebaliknya golongan kebangsaan menghendaki negara persatuan nasional yg memisahkan antara agama dengan negara.

    Setelah itu dibentuklah Panitia 9 untuk merumuskan landasan falsafah negara berdasarkan semua masukan yg diberikan para tokoh. Kesembilan tokoh itu adlh Sukarno, Hatta, Ki Bagus, Agus Salim, Subardjo, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Maramis dan Yamin.

    Sembilan tokoh itu, 4 mewakili Gol Kebangsaan, 4 mewakili Gol Islam, dan 1 mewakili Gol Kristen. Sembilan tokoh ini merumuskan naskah proklamasi yg sekaligus akan menjadi Pembukaan UUD. Naskah tsb disepakati pd tgl 22 Juni 1945.

    Yamin menyebut naskah itu “Piagam Jakarta” yg berisi gentlemen agreement seluruh aliran politik di tanah air. Dengan Piagam Jakarta kompromi tercapai, Indonesia tdk berdasarkan Islam, tp jg tdk berdasarkan sekularisme yg pisahkan agama dg negara. Dlm Piagam Jakarta itulah utk pertama kalinya kita temukan rumusan Pancasila sbg landasan falsafah negara yg disepakati semua aliran.

    Ketika proklamasi, naskah Piagam Jakarta tdk jadi dibacakan sbg teks proklamasi. Teks baru dirumuskan malam tgl 16 agustus. Teks baru proklamasi yg dibacakan tgl 17 agustus adalah teks yg kita kenal sekarang “Kami bangsa Indonesia..” dst. Namun naskah Piagam Jakarta disepakati akan menjadi Pembukaan UUD yg disahkan tgl 18 Agustus 45.

    Sblm disahkan, Sukarno dan Hatta minta tokoh2 Islam setuju kata Ketuhananan dg kewajiban menjalankan syari’at Islam bg pemeluk2nya dihapus. Walaupun kecewa, namun Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima ajakan Sukarno dan Hatta.

    Kalimat Ketuhanan dg kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk2nya akhirnya dihapus dan diganti dg “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara Pancasila dg rumusan spt dlm Pembukaan UUD 45 adalah terjadi tgl 18 Agustus 45.

    Jadi hari lahirnya Pancasila bukanlah tgl 1 Juni, tetapi tgl 18 Agustus ketika rumusan final disepakati dan disahkan.

    Pidato Sukarno tgl 1 Juni barulah masukan, sebagaimana masukan dari tokoh2 lain, baik dari gol kebangsaan maupun dari gol Islam. Apalagi jika kita bandingkan usulan Sukarno tgl 1 Juni cukup mengandung perbedaan fundamental dengan rumusan final yg disepakati 18 Agustus. Ketuhanan saja diletakkan Sukarno sbg sila terakhir, tetapi rumusan final justru menempatkannya pada sila pertama.

    Sukarno mengatakan bhw Pancasila dpt diperas menjadi trisila dan trisila dpt diperas lg menjadi ekasila yakni gotongroyong. Rumusan final Pancasila menolak pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekesila tsb.

    Demikianlah penjelasan saya tentang Hari Lahirnya Pancasila atau Hari Pancasila semoga ada manfaatnya.

  • Apakah Uji Coba LRT di Palembang Benar-Benar Sempurna?

    Apakah Uji Coba LRT di Palembang Benar-Benar Sempurna?

    Oleh:
    Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak, ST., MT., D.Min
    (Guru Besar Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan –
    HP: 081219197499 (WA)/081383454548)

    Apresiasi jelas perlu kita berikan kepada Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Perhubungan untuk proses UJI COBA berupa Uji Dinamis LRT (Light Rail Transit) di Palembang, Sumatera Selatan pada hari Minggu 27 Mei 2018 yang lalu. Dari berbagai sumber yang dihimpun, UJI COBA dilakukan langsung oleh Menteri Perhubungan RI Bapak Budi Karya berupa Uji Dinamis di dalam kereta dari Stasiun LRT di zona 5 Jakabaring Sport City (JSC) menuju Stasiun OPI Mall. Perjalanan Uji Dinamis dilakukan selama 15 menit yang menempuh kecepatan 35 km/jam. Batas maksimal kecepatan LRT sendiri mencapai 80 km/jam.

    Selanjutnya Proses Operasional LRT di Palembang akan dilakukan oleh PT KAI. Penentuan tarif saat ini sedang dikaji, direncanakan akan ada subsidi Pemerintah agar harganya dapat terjangkau.

    Proyek LRT di Palembang sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) perlu dicermati benar oleh masyarakat. Pertanyaan Penting yang saya teliti sehubungan dengan hal Uji Coba ini, yaitu: 1) Apa itu sebenarnya Proses Uji Coba? 2) Apa yang perlu menjadi perhatian penting kita dalam Proses Uji Coba Proyek LRT di Palembang?

    Bagi saya sebenarnya 2 pertanyaan penting di atas menjadi “concern” kita bersama untuk kita dapat mengawal Proses Uji Coba dapat tuntas sempurna.

    Sehubungan dengan 2 pertanyaan di atas hal mendasar yang perlu diperhatikan saat Proses Uji Coba yaitu “mempersiapkan” dan “memastikan” seluruh sistem sempurna. Berikut ini Kajian Kritis dalam rangka memastikan Proses Uji Coba Proyek LRT berjalan tuntas sempurna:

    Satu, Dalam rangka “mempersiapkan”, perlu dipersiapkan OPERATOR yang menjalankan seluruh Sistem LRT berfungsi maksimal. Selain PT KAI, siapa Operator Partner?

    Dua, Perlu mempersiapkan seluruh Sistem LRT yang akan melayani sempurna, antara lain: Unit Kereta LRT, Sistem Mekanikal & Elektrikal (ME), Sistem Fire Safety, Sistem Security, Sistem Plumbing, Sistem Komunikasi, Sistem Penangkal Petir, Sistem Genset, dll

    Tiga, Mempersiapkan masyarakat pengguna melalui Sosialisasi Operasional Proyek LRT

    Empat, Memastikan Sistem Struktur LRT “andal” terhadap beban yang direncanakan dan beban dinamis lainnya.

    Lima, Memastikan Pelayanan Antar Stasiun LRT mengutamakan Keselamatan.

    Enam, Memastikan Tim Safety & Security Proyek LRT siap dan tanggap.

    Tujuh, Memastikan benar selain Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR RI sebagai Pembina Proyek Konstruksi dan Kementerian lain yang terkait ikut berperan dalam Proses UJI COBA, dan juga Proses Operasional di masa mendatang.

    Semoga Proyek LRT di Palembang dan di daerah lainnya siap dan andal dalam Proses Uji Coba.

  • Membenarkan Kezaliman Dengan Pembenaran

    Membenarkan Kezaliman Dengan Pembenaran

    Oleh : Juniardi

    SEBUAH tradisi, ewuh pakewuh, budaya tak enak, memaafkan dengan pemikiran siapa tahu hilaf, dan akan berubah, terkadang menjadikan sebuah pola yang menjadikan orang toleran dan pembenaran terhadap prilaku salah yang dilakukan orang, keluarga, kerabat, hingga pejabat.

    Tergoda ketika dalam lamunan ramadhan, mendengar khutbah subuh yang singkat di Masjid dekat rumah, Selasa (29/5), yang bicara tentang pemimpin amanah, dan ajakan memilih pemimpin yang baik jelang Pilgub 2018.

    Tugas pemimpin itu, kata Ustad, adalah mengatur dan memikirkan orang banyak. Kemaslahatan umat merupakan tanggung jawab terbesar seorang pemimpin. Semua itu dengan tujuan untuk kemakmuran umat. Makmur atau tidaknya suatu masyarakat sangat tergantung pada bagaimana pemimpin memainkan perannya.

    Ketika seorang pemimpin berlaku adil sesuai dengan petunjuk Syariat maka masyarakat pun akan sejahtera. Demikian sebaliknya, ketika pemimpin tersebut berlaku zalim dan tidak jujur dalam menjalankan amanahnya maka rakyat pun akan berujung pada kesengsaraan.

    Dalan keyakinan Islam disebutkan, apa yang ada dan kita miliki didunia ada pertanggung jawabannya. Karena pada hari kiamat kelak, pemimpin yang adil akan dijanjikan dengan berbagai macam keutamaan. Sementara pemimpin zalim dan tidak jujur dalam menjalankan amanahnya akan diancam dengan berbagai macam ancaman siksa dan api neraka.

    Petunjuk itu datang dari Nabi Akbar Muhammad SAW tentang ancaman terhadap pemimpin zalim serta bagaimana seharusnya kita menyikapi kezaliman tersebut. Kebenaran harus tetap dipegang, sedangkan kesalahan harus senantiasa diluruskan. Bagaimana caranya mengingatkan pemimpin atau penguasa? Nasihat tetap diutamakan, namun amal ma’ruf nahi mungkar tidak boleh dilupakan kata Ustad.

    Bahkan, jauh sebelum berabad abad yang lalu, Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya akan adanya para pemimpin yang berbuat zalim dan berbohong di hadapan rakyat. Dan untuk itu, kita sebagai umatnya, tidak hanya diperintahkan untuk bersabar menghadapi keadaan tersebut, namun lebih daripada itu, Rasulullah SAW mengingatkan untuk senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dan selalu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

    Nah, jika ada pemimpin yang pembohong, dan zalim maka umat wajib mengingatksn. Termasuk dengan cara memberikan nasihat secara diam-diam sebagai pilihan awal dalam melawan kemungkaran. Kita wajib meluruskan kesalahan penguasa.

    Namun, ketika nasihat dengan cara tersebut sudah tidak diindahkan, maka Rasulullah SAW pun memberikan motivasi lain kepada umatnya untuk merubah kemungkaran penguasa.

    Motivasi yang kita berikan kepada pemimpin atau pengusaha itu adalah pahala jihad yang dijanjikan kepada umatnya yang menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim. Karena, Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim, hadis riwayat.

    Lalu ketika usaha tersebut tidak dihiraukan lagi dan pemimpin tetap menzalimi rakyat, maka Rasulullah SAW mengingatkan umatnya untuk menjauhi pemimpin tersebut serta jangan sampai mendekatinya, apalagi membenarkan tindakan zalim yang di lakukan.

    Sebab, ketika seseorang tetap mendekati pemimpin zalim tersebut dan membenarkan apa yang dilakukannya maka ia akan terancam keluar dari lingkaran golongan umat Nabi SAW dan ia tidak akan mendatangi telaganya nanti di hari kiamat. Maka bersikaplah, minimal dengan memilih pemimpin yang dengan tekan jejak yang baik. (juniardi)

  • Catatan Kurang 100 Hari Jelang Asian Games 2018

    Catatan Kurang 100 Hari Jelang Asian Games 2018

    Oleh : Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak

    APAKAH Seluruh Fasilitas Dapat Selesai Makdimal?. Keniscayaan, Indonesia adalah Tuan Rumah Penyelenggaraan Asian Games pada 18 Agustus 2018-2 September 2018. Setidaknya ada tiga Provinsi menyelenggarakan kegiatan Asian Games 18 Agustus 2018-2 September 2018 mendatang, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Palembang dan Provinsi Jawa Barat.

    Jadi bukan hanya dua Provinsi yang menyelenggarakan, tetapi 3 Provinsi. Salah satu cabang olahraga misalnya Sepakbola akan dilaksanakan di 7 Stadion di 3 Provinsi, yaitu: Stadion Utama Gelora Bung Karno – Jakarta, Stadion Si Jalak Harupat – Bandung Jawa Barat, Stadion Gelora Bandung Lautan Api – Bandung Jawa Barat, Stadion Patriot – Bekasi Jawa Barat, Stadion Wibawa Mukti – Bekasi Jawa Barat, Stadion Pakansari – Bogor Jawa Barat, Stadion Gelora Sriwijaya – Palembang.

    Setidaknya 45 negara dan 15000 atlet akan terlibat dalam 462 acara dalam 40 cabang olahraga. Data ini sebagai data awal yang dapat disempurnakan saat pelaksanaan.

    Prinsip utama tanggal 18 Agustus 2018 – 2 September 2018, Indonesia harua mengoptimalkan seluruh persiapan pelaksanaan dan evaluasi seluruh kegiatan. Seharusnya paling tidak 100 hari sebelum acara, fasilitas pertandingan dapat diuji coba untuk mendapatkan atmosfer lingkungan pertandingan yang tepat, sehingga saat bertanding berjalan lancar.

    Hal ini bukan saja kepentingan para atlet, tetapi juga kepentingan pihak penyelenggara. Fakta sampai kajian ini dibuat, belum semua fasilitas selesai, belum semua fasilitas bisa diuji coba, dan belum semua fasilitas dapat diaudit oleh pihak nasional & internasional.

    Solusi penting sebagai rekomendasi bagi Pemerintah, Penyelenggara dan semua Pihak untuk hal di atas adalah
    Satu, Pemerintah Pusat sebagai Koordinator Utama, dimana setidaknya 3 Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat. Ini pekerjaan bersama yang harus terus bersinergi.

    Dua, Karakter fasilitas baik itu Bangunan Gedung, Bangunan, dan fasilitas lainnya dapat dibuat secara permanen ataupun non permanen yang memiliki dan sesuai Standar yang dipersyaratkan baik secara nasional dan internasional.

    Tiga, Aspek kualitas dan keselamatan adalah “syarat utama” untuk seluruh fasilitas fisik Asian Games 2018.

    Empat, Seluruh fasilitas Asian Games dapat dipergunakan secara maksimal pasca Asian Games 2018, sehingga berdampak kepada peningkatan kualitas prestasi olahraga di daerah dan nasional.

    Lima, Sangat penting menghadirkan Dewan Pakar yang “independent” mewakili Pemerintah untuk memastikan semua pihak menjalankan peran masing-masing secara berkualitas, cepat dan tepat, dan seluruh proyek fasilitas pertandingan sempurna.

    (Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak, ST., MT., D.Min – Guru Besar Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan – HP 081219197499 (WA) / 081383454548)

  • Terorisme dan Rekayasa Intelijen

    Terorisme dan Rekayasa Intelijen

    Oleh: Amira Paripurna

    TIM Densus 88 berhasil menangkap tiga orang yang diduga akan melakukan serangan bom bunuh diri di Istana Kepresidenan (10/12). Mereka dibekuk di sebuah rumah kos di Bekasi. Apa yang dilakukan oleh tim Densus 88 itu bukan untuk kali pertama. Sepanjang 2016, sedikitnya mereka telah berhasil menggagalkan rencana pengeboman di Surabaya dan sejumlah rencana aksi teror bom di Bali.

    Keberhasilan menangkap dan menggagalkan sejumlah rencana teror bom itu setidaknya sudah bisa menjawab tuntutan publik untuk mengutamakan pencegahan dengan mengagalkan rencana-rencana teror bom agar tidak berkembang secara luas. Tim Densus 88 setidaknya juga telah menunjukkan bahwa mereka telah memperbaiki cara kerja yang selama ini sering mendapat kritik dan kecaman keras dari publik karena bergerak terlalu represif serta reaktif dalam menanggulangi terorisme sehingga sangat rentan terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

    Namun, kenyataannya, saat mereka berhasil menggagalkan sejumlah rencana serangan teror bom, masih muncul ”suara-suara” ketidakpuasan dan ketidakpercayaan. Suara-suara itu menganggap tindakan kepolisian tersebut hanyalah sebuah rekayasa intelijen. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kepolisian (tim Densus 88) seolah berada dalam posisi yang serbasalah?
    Penting untuk dicatat, apa yang dilakukan oleh Polri (tim Densus 88) saat ini merupakan wujud implementasi proactive counter-terrorismProactive counter-terrorism dilakukan melalui teknik intrusive yang melibatkan surveillance, misalnya penyadapan komunikasi (wiretapping/eavesdropping), penyamaran, dan pengintaian. Pada intinya, dalam proactive counter-terrorism, aparat akan mendedikasikan sumber daya dan energinya untuk mencegah rencana-rencana serangan teror oleh para pelaku teror dan menggagalkan (thwarting and disrupting) rencana mereka agar tidak berkembang lebih lanjut.

    Diimplementasikannya proactive counter-terrorism berimplikasi pada kebijakan-kebijakan yang terkait dalam tiga area, yaitu intelijen, hukum pidana, dan sistem peradilan pidana. Dalam area intelijen, artinya akan memperluas kerja dan jaringan surveillance, meningkatkan penggunaan profiling, meningkatkan kewaspadaan terhadap radikalisasi yang mengarah pada kekerasan, serta semakin berfokus pada pelacakan pendanaan/pengumpulan dana untuk aksi terorisme.

    Sedangkan dalam wilayah criminal justice, kebijakan yang diambil adalah diterapkannya strategi pencegahan kejahatan yang menekankan peningkatan penggunaan intelijen (intelligence-led policing), penangkapan, dan penahanan secara dini untuk menggagalkan rencana aksi teror. Adapun dalam area hukum pidana, kebijakan yang diambil akan semakin mewaspadai tindakan-tindakan yang bersifat menyebarkan kebencian (hate and speech crimes), mengkriminalisasi keanggotaan di dalam organisasi-organisasi yang memberikan dukungan materi, serta memfasilitasi rekrutmen dan pelatihan-pelatihan untuk melakukan kejahatan terorisme.

    Keberhasilan polisi menangkap ”calon pengantin” bom Bekasi dan rencana-rencana serangan bom lainnya tentu tak luput dari kerja-kerja intelijen yang dilakukan oleh tim Densus 88 melalui strategi proaktif dan intelligence-led policing (ILP). Sayang, tak banyak diketahui atau mungkin tak disadari publik bahwa ILP tak hanya berfungsi dan dipakai sebagai strategi mencegah serta menanggulangi kejahatan terorisme. Sebenarnya ILP telah jamak dipakai dalam konteks yang lebih luas dan telah berperan besar dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan terorganisasi serta bersifat lintas negara (transnational organized crime/TOC). Misalnya kejahatan narkoba (drug crime), penyelundupan senjata, pencucian uang, dan perdagangan orang.

    Namun, hingga saat ini intelijen memang telah banyak disalahpahami, seolah intelijen identik dengan operasi dan kegiatan rekayasa yang bermakna negatif semata. Ada beberapa faktor yang membuat sebagian publik tetap ”hidup” dalam atmosfer penuh kecurigaan. Yang pertama, adanya pengalaman buruk praktik-praktik intelijen ”hitam” pada masa lalu –terutama intelijen militer dan intelijen negara yang telah disalahgunakan untuk melanggengkan kepentingan politik penguasa pada masa Orde Baru. Kedua, perang melawan terorisme yang pada awalnya diinisiatori pemerintah Amerika sangat diidentikkan dengan perang terhadap muslim atau antimuslim. Apalagi, sejarah pembentukan Densus 88 tak lepas dari bantuan Amerika dan Australia. Dua negara tersebut oleh sejumlah pihak dianggap sebagai negara kafir yang kebijakan-kebijakannya tidak berpihak terhadap masyarakat muslim. Ketiga, kegamangan publik terhadap aparat hukum yang sangat lekat dengan image perilaku-perilaku koruptif.

    Juga, belum matang dan belum selesainya proses reformasi di sektor keamanan (security sector reform) di Indonesia serta kelemahan dalam UU Antiterorisme yang tidak mengatur secara komprehensif mengenai penggunaan intelijen dalam sistem peradilan pidana.

    Penutup

    Kinerja kepolisian dalam menggagalkan sejumlah rencana serangan bom di tanah air memang patut diapresiasi. Namun, adanya kecurigaan sebagian masyarakat bahwa tindakan proaktif kepolisian untuk mencegah terorisme sebagai suatu rekayasa harus benar-benar dijadikan bahan evaluasi dan refleksi oleh kepolisian. Saat ini mereka tidak hanya dituntut untuk bisa melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan terorisme. Ada tantangan yang cukup besar, yaitu menunjukkan profesionalisme dalam segala aspek sehingga kinerja mereka mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik.

    Intelijen tetap dibutuhkan demi perlindungan negara asalkan tidak digunakan untuk kepentingan golongan tertentu dan kepentingan politis. Karena itu, ini menjadi hal yang sangat urgen bagi pemerintah dan kalangan legislatif untuk kembali memfokuskan pekerjaan rumah yang tertinggal, yaitu melanjutkan proses reformasi di bidang keamanan dan memperkuat pengawasan terhadap kerja-kerja intelijen. Dengan begitu, profesionalitas dan akuntabilitas kerja-kerja intelijen tidak lagi dipertanyakan atau dicurigai. (*)

    * Kandidat PhD di School of Law, University of Washington, USA. Saat ini menulis disertasi The Use of Intelligence in Indonesian Counter-terrorism Policing

    Sumber: jawapost

  • RA Kartini dan Pengaruh Pemikiran Yahudi, Theosofi dan Pluralisme

    RA Kartini dan Pengaruh Pemikiran Yahudi, Theosofi dan Pluralisme

    Kebanyakan orang yang menjadikan Kartini sebagai ikon perjuangan perempuan Indonesia, tak melihat sisi lain dari pemikirannya yang sangat berbau Theosofi dan kebatinan. Padahal, banyak tokoh wanita lain yang hidup semasa dengannya, yang berjuang secara nyata dalam dunia pendidikan, bukan dalam wacana surat menyurat seperti yang dilakukan Kartini.

    Tanggal 21 April dikenal sebagai Hari Kartini. Hampir semua perempuan di Indonesia, termasuk kaum muslimah, yang ikut-ikutan memperingati hari tersebut tanpa mengetahui latar belakang sejarahnya yang jelas. Siapa sesungguhnya Kartini? Siapa orang-orang yang mempengaruhinya? Bagaimana corak pemikirannya?

    Peringatan Hari Kartini sering diikuti beragam acara yang mengedepankan emansipasi perempuan, kesetaraan gender, perjuangan feminisme, dan lain-lain. Kartini, dianggap sebagai ikon bagi perjuangan perempuan dalam persoalan tersebut. Kartini sering disebut sebagai ikon pendobrak bagi kemajuan perempuan Indonesia dan diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 108 tahun 1964.

    Kartini lahir di desa Mayong, sebelah barat Kota Kudus, Kabupaten Jepara. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.

    Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan adat istiadat yang telah berurat akar dalam itu, dianggap mengekangnya sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah ELS Kartini memasuki masa pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul betapa haknya mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat pendidikan Barat-Eropa begitu maju.

    Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
    …Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini…

    Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP).

    Kartini berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

    Dalam sebuah suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902, Stella mengakui sebagai seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya dan Kartini mempunyai kesamaan pemikiran tentang Tuhan. Stella mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan. ”

    Dr Th Sumarna dalam bukunya ”Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” menyatakan ada surat-surat Kartini yang tak diterbitkan oleh Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat yang berkaitan dengan pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme (kebatinan dan mistis). Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut tak diterbitkan. Ny Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan mengenai kepercayaan Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari surat-suratnya yang ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol. Seperti diketahui, okultisme banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi, sebagai bagian dari ritual perkumpulan mereka.

    Nama-nama lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan H. H Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C Abendanon (anak J. H Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini banyak mengeritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan Kartini semua agama sama saja.

    Apakah korespondensi Kartini dengan para keturunan Yahudi penganut humanisme, yang juga diduga kuat sebagai aktivis jaringan Theosofi-Freemasonry, berperang penting dalam memengaruhi pemikiran Kartini? Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia menyebutkan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit Jawa dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu.
    …maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu…
    Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang Belanda gagal mengajak Kartini berangkat studi ke negeri Belanda. Karena gagal, maka mereka menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini seorang gadis kader Zionis bernama Josephine Hartseen. Hartseen, menurut Ridwan adalah nama keluarga Yahudi.

    Siapa yang berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda? Adalah Christian Snouck Hurgronje orang yang mendorong J.H Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap oleh Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara Abendanon dan Kartini di Jepara.

    Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh perhatian kepada kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya. Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar.

    Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren van Indie” kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.

    Pengaruh Theosofi dalam Pemikiran Kartini

    Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon, orang yang dianggap satu-satunya sosok yang boleh tahu soal kehidupan batinnya, dan surat-surat Kartini lainya para humanis Eropa keturunan Yahudi di era 1900-an sangat kental nuansa Theosofinya. Seperti ditulis dalam surat-suratnya, Kartini mengakui ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tanpa sadar sudah masuk kedalam alam pemikiran Theosofi.

    Bahkan, Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok Theosofi. Selain itu, semangat pemikiran dan perjuangan Kartini juga sama sebangun dengan apa yang menjadi pemikiran kelompok Theosofi. Inilah yang kemudian, banyak para humanis yang menjadi sahabat karib Kartini begitu tertarik kepada sosok perempuan ini.
    …Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok Theosofi…

    Kartini juga kerap mendapat kiriman buku-buku dari Ny Abendanon, yang di antaranya buku tentang humanisme, paham yang juga lekat dengan Theosofi dan Freemasonry. Diantara buku-buku yang dibaca Kartini adalah, Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Akhlak Perempuan) karya Helena Mercier, Modern Maagden (Gadis Modern) karya Marcel Prevost, De Vrouwen an Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karya August Bebel dan Berthold Meryan karya seorang sosialis bernama Cornelie Huygens.

    Berikut surat-surat Kartini yang sangat kental dengan doktrin-doktrin Theosofi:
    ”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).

    ”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna…” (Surat Kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).

    ”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat 31 Januari 1903).

    ”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903).

    ”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902).

    ”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).

    Dari surat-surat tersebut, sangat jelas bahwa corak pemikiran Kartini sangat Theosofis, yang di antara inti ajaran Theosofi adalah kebatinan dan pluralism.
    Dari surat-surat tersebut, sangat jelas bahwa corak pemikiran Kartini sangat Theosofis, yang di antara inti ajaran Theosofi adalah kebatinan dan pluralisme.

    Mengenai keterkaitan dan hubungannya dengan Theosofi, Kartini mengatakan:

    ”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).

    Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).

    Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan kebatinan, gambaran Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama: manunggaling kawula gusti. Karena itu, dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan dengan sebutan ”Bapak”. Selain itu, Kartini juga menyebut Tuhan dengan istilah ”Kebenaran”, ”Kebaikan”, ”Hati Nurani”, dan ”Cahaya”, seperti tercermin dalam surat-suratnya berikut ini:

    ”Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” (Surat kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).

    ”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” (Surat kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902).
    …Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat…
    Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat. Inilah yang oleh kelompok Theosofi disebut sebagai upaya menyatukan antara ”Timur dan Barat”. Sebuah upaya yang banyak memikat para elit Jawa, terutama mereka yang sudah terbaratkan secara pemikiran.

    Siti Soemandari, penulis biografi Kartini mengatakan, dalam beragama, Kartini kembali kepada akar-akar kejawennya atau apa yang disebut dengan ngelmu kejawen. Soemandari mempertegas, kepercayaan Kartini adalah gabungan antara iman Islam dan Kejawen. Atau dalam bahasa lain, keyakinan agama atau kepercayaan Kartini adalah sinkretisme yang berlandaskan pada pluralisme agama.

    Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung…
    Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung oleh seorang Teosof bernama R. Musa dan kemudian menyebar di berabagai daerah di Jawa. Tercatat ada beberapa daerah yang berdiri Sekolah Kartini, yaitu Jatinegara (Jakarta), Semarang, Bogor, Madiun (1914), Cirebon, Malang (1916), dan Indramayu (1918).

    Sebagai sekolah yang dikelola oleh para Teosof, ajaran tentang kebatinan, sinkretisme–atau sekarang lebih populer dengan istilah pluralisme– juga tentang pembentukan watak dan kepribadian, lebih menonjol dalam pelajaran di sekolah-sekolah tersebut. Sekolah lain yang didirikan di berbagai daerah oleh kelompok Theosofi adalah Arjuna School, dengan muatan nilai-nilai pendidikan yang sama dengan Kartini School.

    Tepatkah jika Kartini, berpikiran Barat dan berpaham Theosofi, dijadikan ikon bagi perjuangan kaum wanita pribumi?

    Sejarah mencatat, ada banyak perempuan yang hidup sezaman dengan Kartini yang namanya begitu saja dilupakan dalam perannya memajukan pendidikan kaum hawa di negeri ini. Di antara nama itu adalah Dewi Sartika (1884-1947) di Bandung yang juga berkiprah memajukan pendidikan kaum perempuan. Dewi Sartika tak hanya berwacana, tapi juga mendirikan lembaga pendidikan yang belakangan bernama Sakolah Kautamaan Istri (1910). Selain Dewi Sartika, ada Rohana Kudus, kakak perempuan Sutan Sjahrir, di Padang, Sumatera Barat, yang berhasil mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916).

    Kartini, seperti yang tersirat dalam tulisan Prof Harsja W Bachtiar, adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan kelompok humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah sukses melahirkan sosok yang Kartini yang ”tercerahkan” dengan pemikiran Barat

    Kartini adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia
    Karena itu, Harsja menilai, sejarah harus jujur dan secara terbuka melihat jika memang ada orang-orang yang juga mempunyai peran penting seperti Kartini, maka orang-orang tersebut juga layak mendapat penghargaan serupa, tanpa menihilkan peran yang dilakukan oleh Kartini.

    Soal sosok Kartini yang diduga menjadi ”mitos dan rekayasa” yang diciptakan oleh kolonialis juga menjadi perhatian sejarawan senior Taufik Abdullah. Ia menulis:

    ”Tak banyak memang ”pahlawan” kita resmi atau tidak resmi yang dapat menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagian besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos—mereka adalah ”pahlawan” dan selesai masalahnya. R. A Kartini adalah pahlawan tanpa henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos dan sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang menutupinya. Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa politik etis pemerintah kolonial yang ingin menjalankan politik asosiasi?”

    Perjuangan dan pemikiran Kartini, terutama yang berhubungan dengan pluralisme, memang mendapat perhatian dunia internasional. Ny Eleanor Roosevelt, istri Presiden AS Franklin D Roosevelt memberikan pernyataan tentang perjuangan Kartini:

    ”Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang diberikan oleh surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu, menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini katakan: Kami merasa bahwa inti dari semua agama sama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi, wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia? Daripada mempersatukan kita, agama seringkali memaksa kita terpisah, dan sedangkan gadis yang muda ini, menyadari bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu”.

    Perjuangan dan pemikiran Kartini, terutama yang berhubungan dengan pluralisme, memang mendapat perhatian dunia internasional…
    Siapa Ny. Eleanor Roosevelt? Dalam buku Decoding the Lost Symbol, Simon Cox menyebut Eleanor Roosevelt adalah aktivis organisasi the Star of East, sebuah organisasi yang berada di bawah kendali Freemasonry, yang menerima perempuan sebagai anggotanya. Di Batavia, organisasi the Star of East (Bintang Timur), pada masa lalu sangat mengakar dengan berdirinya loge Freemasonry, De Ster in het Oosten (Bintang Timur) di kawasan Weltevreden, yang sekarang berada di jalan Boedi Oetomo.

    Jadi, masih mengidolakan Kartini? [Artawijaya/voa-islam.com]

    http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2010/04/20/5268/ra-kartini-dan-pengaruh-pemikiran-yahudi-theosofi-pluralisme/

  • Polemik Tanggal HPN Momentum 9 Februari Tak Dapat Tergantikan

    Polemik Tanggal HPN Momentum 9 Februari Tak Dapat Tergantikan

    Polemik tanggal 9 Februari menjadi Hari Pers Nasional (HPN) terus muncul tiap tahunnya oleh AJI dan kemudian diikuti IJTI. Penolakan mereka dilatarbelakangi oleh ‘dendam’ masa lalu, baik terhadap orde baru maupun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sehingga menganggap bahwa tanggal 9 Februari 1946, merupakan hari kelahiran organisasi PWI dan penetapannya pun dilakukan pada masa orde baru.

    Padahal sebetulnya, jika melihat sejarah, seperti kutipan berita Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta yang terbit sejak 27 September 1945, dan fakta lainnya, tanggal tersebut merupakan momentum bertemunya sejumlah perhimpunan wartawan, perusahaan pers waktu itu, hingga pemerintah RI yang baru terbentuk, melalui Kongres Wartawan Indonesia di Kota Solo. Kongres berlangsung selama 2 hari, 9-10 Februari 1946.

    Kongres dilakukan dengan semangat mempersatukan para pelaku pers, untuk berperan besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Apalagi saat itu, Belanda sedang gencar ingin merebut kembali wilayah Indonesia melalui agresi militernya. Pers pada waktu itu menjadi tonggak penting dalam memberikan informasi mengenai perjuangan, perang dan nasionalisme kepada masyarakat. Pers pula yang saat itu memberitakan kondisi terbaru mengenai kemenangan perang para pejuang melawan Belanda.

    Nuansa kejuangan pun sangat terlihat dalam kongres tersebut. Terlebih menghadirkan tokoh pergerakan nasional yang cukup keras waktu, yakni Tan Malaka. Tokoh ini kemudian oleh Bung Karno ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Tan seperti dikutip KR, menyampaikan kondisi peperangan di Asia dan semangat untuk menghadapi peperangan khususnya melawan penjajahan kembali.

    Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan dalam kongres tersebut menyebutkan penting peran wartawan untuk menghadapi bahaya penjajahan kembali oleh Belanda. Ancaman penjajahan kembali akan mengganggu pembangunan negara yang baru saja merdeka.

    Untuk melawan penjajah tersebut, maka dibutuhkan persatuan, termasuk para wartawan yang waktu itu memang banyak terlibat dalam memberitakan perjuangan dan nasionalisme. Untuk itu kongres pun sepakat membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah untuk mempersatukan semangat kejuangan insan pers dalam melawan penjajahan Belanda.

    Melihat peristiwa Kongres Wartawan Indonesia tersebut, sebetulnya tidak sebatas lahirnya organisasi PWI, tetapi harus dilihat bahwa tanggal 9 Februari merupakan momentum kesadaran bersama bersatunya insan pers dalam melawan penjajahan Belanda.

    Peristiwa yang menunjukkan semangat kejuangan juga dilakukan sebelumnya, seperti Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda tanggal 9 Oktober 1928 yang ditetapkan sebagai Hari Pemuda. Atau kemudian lahirnya organisasi Boedi Oetomo oleh dr Soetomo, Gunawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji dand digagas oleh Wahidin Soedirohoesodo pada tanggal 20 Mei 1908 yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tanggal 20 Mei tersebut ditetapkan sebagai Kebangkitan Nasional, meski sebetulnya tanggal 20 Mei merupakan kelahiran organisasi Boedi Oetomo.

    Jika kemudian ada upaya mencari tanggal HPN, termasuk gagasan tanggal yang disampaikan oleh AJI dan IJTI, tidak bisa mengalahkan momentum peristiwa Kongres Wartawan Indonesia yang begitu bermakna dan penting. Apalagi muncul ide memperingati dari meninggalnya tokoh pers, karena banyak sekali tokoh yang ada di Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan pers sehingga akan menimbulkan ketidakpuasan dari keluarga atau kelompok lain. Atau lahirnya UU Pers, yang tentu sangat berpeluang berganti atau direvisi.

    Jika kemudian mengabaikan peristiwa Kongres Wartawan Indonesia ini, sama saja mengesampingkan peran besar dari banyak pihak waktu itu, baik para tokoh pers, perusahaan pers, maupun perhimpunan wartawan yang bertujuan sangat mulia untuk bersatu melawan penjajahan.

    Melihat terus dimunculkannya wacana pergantian tanggal HPN, PWI Pusat perlu menyiapkan amunisi untuk melawannya dengan menggali sejarah peristiwa Kongres Wartawan Indonesia tersebut. Apalagi momentum peristiwa tersebut telah dimonumenkan oleh pemerintah dan menjadi museum di Solo.

    Selanjutnya dalam setiap perayaan HPN terus digelorakan semangat kejuangan untuk lebih mengingat peristiwa 9 Februari 1945. Kalau dulu semangat kejuangan melawan penjajahan, maka saat ini tetap semangat kejuangan dalam konteks kekinian. (Primaswolo Sudjono, Sekretaris Dewan Kehormatan Daerah PWI DIY)

  • Hari Ini Ismail Besok Wartawan Lainnya

    Hari Ini Ismail Besok Wartawan Lainnya

    Oleh : Rico Adi Utama

    (Mantan Ketua Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Provinsi Sumatera Barat)

    Hari ini Pers kembali terancam, (18/4/2018), Pers kembali akan di Kriminalisasi, apakah Insan Pers akan berdiam diri? Dan hanya menjadi penonton terhadap nasib saudara se-profesinya sendiri?.

    Ismail Novendra, Pemimpin Pemimpin Umum/ Penanggung Jawab Koran JeJak News dijerat dengan Pasal Karet (Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan), yakni Pasal 310 & 311 KUHP, terhadap pemberitaannya. Hari ini dirinya disidang di Pengadilan Negeri Padang terkait tuduhan tersebut.

    Sementara, berdasarkan tuduhan itu pula, Ismail Novendra sudah mendapatkan Surat Pendapat dan Saran Dewan Pers, Nomor: 55/DP/K/X/2017 yang berbunyi:

    1.    Koran JeJak News yang diterbitkan oleh PT. Jejak Media Group, sudah berbadan hukum dan memenuhi syarat Perusahaan Pers sebagaimana UU No. 4 Tahun 1999 tentang Pers dan Surat Peraturan Dewan Pers Nomor : 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.

    2.    Kasus yang dituduhkan kepada Ismail Novendra, karena medianya memberitakan sebuah permainan proyek di Sumatera Barat, merupakan ‘sangketa pemberitaan Pers’, dengan merujuk Nota Kesepahaman antara Dewan Pers – Kepolisian Republik Indonesia Nomor: 01/DP/MoU/II/2012 dan No: B/15/II/2017 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.

    3.    Pemberitaan JeJak News, bisa diselesaikan dengan Hak Koreksi  dan Hak Jawab. (Seharusnya dua hak itu tidak dipakai oleh Afrizal, Direktur Operasional PT. BMA, selaku Nara Sumber yang diberitakan. Bukan malah mempidanakannya).

    4.    Dewan Pers tetap menganjurkan Ismail Novendra memenuhi panggilan penyidik selaku Penanggungjawab Media, sebagaimana Hukum Pertanggungjawaban Air Terjun (waterfall responsibility) pada media.

    Namun terkesan aneh, Penyidik Polda Sumatera Barat selalu mengarahkan Ismail Novendra kepada Pasal 310 dan 311, apakah Surat Saran dan Pendapat Dewan Pers Nomor: 55/DP/K/X/2017  dan  MoU antara Dewan Pers – Kepolisian Republik Indonesia Nomor: 01/DP/MoU/II/2012 dan No: B/15/II/2017, tidak mampu menjadi pertimbangan penyidik untuk meluruskan terlebih dahulu antara JeJak News dan Afrizal, yang mana hal tersebut termasuk dalam ‘sangketa pemberitaan Pers’?

    Hari ini, Ismail Novendra di Sidang oleh Pengadilan Negeri Padang, tentunya kita menghormati proses hukum dan peradilan di Indonesia. Tetapi, jika hal tersebut terus terjadi di negeri yang kita cintai ini, Jurnalis yang sejatinya dilindungi oleh UU Pokok Pers: No. 40 Tahun 1999 Pers, hanya akan menjadi ‘macan ompong’ dan akan terancam selalu dikriminalisasi oleh pasal karet itu?

    Hari ini, Ismail Novendra? Besok bisa saja Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan/ atau Penanggung Jawab serta Wartawan yang ada di Indonesia lainnya. Apakah para Insan Pers akan tetap berdiam diri.

    Pertanyaan demi pertanyaan, seharusnya sudah menjadi diskusi hangat ditengah kurenah Kerjurnalistikan di Indonesia. Para Senior Jurnalis, juga harusnya tidak lagi berdiam diri, bantah kriminalisasi Wartawan dan tegakkan UU Pokok Pers.

    Hari ini, kita mestinya berduka, saudara kita di Sumatera Barat menghadapi masalah hukum, yang seharusnya tidak dia terima. Mari kita buktikan, bahwa jiwa solidaritas Pers di Indonesia kuat dan kokoh, ibarat salah satu organ tubuh kita yang tersakiti, maka organ yang lain pun akan merasakannya.

    Salam Jurnalis…!

    #saveismailnovendra

    #stopkriminalisasiwartawan – Viralkan!

    Sekilas tentang Penulis (RICO ADI UTAMA):

    1.    Pemimpin Redaksi Koran Suara Keadilan Rakyat (2011-2017)

    2.    Mantan Ketua Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Provinsi Sumatera Barat.

    3.    Pemimpin Umum/ Penanggungjawab www.jurnal.news (2017)

    4.    Kontributor beberapa media.

  • Pernyataan Sikap PWI Banten Atas Upaya Ketua Dewan Pers Merubah HPN

    Pernyataan Sikap PWI Banten Atas Upaya Ketua Dewan Pers Merubah HPN

    Banten (SL)-Santer kabar akan ada recana perubahan Hari Pers Nasional (HPN) oleh Dewan Pers, membuat PWI Provinsi Banten mengajukan protes dengan pernyataan sikap. Sikap penolakan itu juga dilakukan oleh PWI se-Indonesia.

    Dalam rilis pernyataan sikap PWI Banten menyebutkan bahwa sejarah kewartawanan tidak bisa diubah/ diganti karena keinginan dan ambisi organisasi yang ” baru lahir ” yang anggotanya sangat terbatas serta tidak pernah terlibat dalam sejarah wartawan Indonesia di masa kemerdekaan dan pergerakan mempertahankan Republik Indonesia.

    Penetapan HPN bertepatan dengan hari jadi PWI dimana untuk pertama kali segenap insan pers bersatu mendeklarasikan PWI, berdasarkan fakta sejarah tersebut, membuktikan keterlibatan Wartawan Indonesia ikut mewujudkan Kemerdekaan RI.

    PWI Banten meminta Dewan Pers sebagai regulasi pers Indonesia harus membaca fakta sejarah wartawan Indonesia dan tidak membuat keputusan yang memihak kepentingan sekelompok kecil wartawan yang tergabung di organisasi tertentu, hanya karena organisasi tersebut sebagai pendukung dalam pencalonan ketua Dewan Pers.

    “Kami minta Dewan Pers bertindak dan bersikap netral, dan berpihak dalam memutuskan kebijakan terkait kesejarahan bangsa dan negara yang terafiliasi pada gerakan-gerakan berbau ahistoris layaknya gerakan komunis. Dan kami menuntut mengevaluasi kepemimpinan Stanley YAP sebagai ketua DP karena tidak dapat menjalankan fungsinya sesuai UU pers,” kata Rian Nopandra
    Ketua Bidang Organisasi PWI Banten.

    Selain itu, PWI Banten juga minta mengevaluasi Statuta Dewan Pers dan keanggotaan organisasi wartawan yang menjadi konstituen Dewan Pers secara proporsional dilihat dari jumlah keanggotaan dan kepengurusan. Sebagai organisasi wartawan tertua dan terbesar yang merupakan bagian dari sejarah pergerskan kenerdekaan dan pembangunan bangsa dan negara Indonesia tidak akan tinggal diam jika DP tidak mengindahkan tuntutan ini kami akan mengajak komponen pers lainnya untuk menduduki Dewan Pers dan membentuk dan mengganti seluruh keanggotaan Dewan Pers.

    Surat pernyataan sikap dibuat di Serang, 18 April 2018, atas nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
    Provinsi Banten, ditandatangani Rian Nopandra selaku Ketua Bidang Organisasi dan Cahyonoadi, SS Sekretaris. (Ahmad Suryadi)

  • Pemilu Era Big Data

    Pemilu Era Big Data

    By Dahlan Iskan

    Big data. Algoritma. Dua kata itu kini jadi mantra baru.

    Barang siapa bisa mendapatkan big data dan mampu mengolahnya melalui algoritma dialah jagonya. Jago apa saja: bisnis, politik, intelijen, pengelolaan kesehatan, sampai ke menjual bra dan celana dalam.

    Algoritma bisa menguraikan onggokan data seruwet dan secampur-aduk apa pun menjadi informasi nyata. Big data adalah onggokan data ruwet yang jumlahnya mencapai exabytes. Satu exabytes adalah 1.000 petabytes. Satu petabytes adalah 1.000 terabytes.

    Bayangkan gunungan data bertriliun megabyte itu bisa diurai oleh algoritma: bisa dipilah-pilah mana emas, perak, tembaga, mangaan, bijih besi, pasir, tahi ayam dan sperma masing-masing suku, ras, agama sampai pengikut Setya Novanto.

    Pertanyaannya: apakah di Pemilu 2019 nanti dua mantra itu sudah akan memainkan peran utama?

    Donald Trump sudah menggunakannya. Lewat Facebook. Menang. Padahal semua pooling menyatakan Hillary Clintonlah yang unggul.

    Belakangan, ketika penggunaan big data ini terungkap, harga saham Facebook jatuh pingsan. Tapi Hillary toh sudah terlanjur kalah.

    Situs berita dailymail.co.uk menayangkan proses perhitungan suara pemilihan presiden Amerika Serikat yang ditampilkan dalam layar raksasa.

    Dalam waktu dekat Malaysia juga segera berpemilu. Partai petahana (Barisan Nasional, UMNO) dan Pakatan Harapan bersaing frontal. Kampanye meningkat kian panas.

    Padahal kapan Pemilunya belum ditetapkan. Suka-suka yang lagi berkuasa. Hanya disebutkan: tahun ini. Bulan apa belum jelas. Hanya disebutkan: kemungkinan April ini. Tanggal berapa belum disebutkan. Bisa-bisa ditetapkan secara mendadak. Yang lagi berkuasalah yang menetapkan. Tanggalnya akan dicari yang bisa membuat petahana menang.

    Big data, di Malaysia sudah menjadi bagian perang. Tiba-tiba saja, minggu lalu parlemen mengagendakan perubahan batas-batas daerah pemilihan (dapil). Oposisi, yang dipimpin Mahathir Muhamad, menuduh itu bagian dari siasat penguasa agar calegnya tidak kalah.

    Hasil algoritma big data di sana rupanya mengindikasikan kekalahan di dapil tertentu. Karena itu batas distrik perlu digeser.

    Di India yang demokrasinya mirip kita soal big data dan algoritma juga lagi jadi topik politik. Penguasaan IT di India tergolong maju. Big data akan menjadi obyek penting dalam pelaksanaan demokrasi di sana.

    Saya menyerah di sini.

    Saya murid di era yang belum ada pelajaran matematika. Nilai rapot aljabar saya di madrasah dulu merah.

    Tapi anak muda sekarang mulai asyik beralgoritma. Sadar nilai rupiah di baliknya.

    Di Indonesia, saya mulai mendengar ada partai yang sangat sadar big data. Tanpa biaya besar, tanpa tokoh terkenal, tanpa gembar-gembor partai itu bisa lolos KPU. Mengalahkan partai seperti PKPI yang dimotori jendral sundul langit Hendropriyono. Juga nyaris mempermalukan Partai Bulan Bintang dengan mataharinya Yusril Ihza Mahendra: kok tidak lolos.

    Untung akhirnya lolos. Meski kartu suara simulasi partai lain terlanjur tidak sempat mencantumkan PBB sebagai peserta pemilu.

    Ilmuwan politik, pejuang demokrasi, dan para mahasiswa sudah harus membicarakan ini. Bagaimana big data akan mempengaruhi demokrasi kita. Bagaimana big data akan mereduksi peran ulama, peran istikharah, peran tim sukses dan bahkan sampai peran politik uang.

    Akankah era big data akan menjadi akhir era demokrasi?
    Zaman smartphone telah membawa konsekuensi bagi kehidupan demokrasi. Big data sudah terlanjur ada di tangan pihak ketiga.

    Data-data pribadi Anda sudah dikuasai pihak yang ingin memanfaatkannya. Baik untuk kepentingan bisnis, politik maupun jualan kondom.

    Big data yang diolah dengan algoritma akan langsung bisa mengerucut pada dapil. Bahkan pada lingkup TPS.
    Selamat datang Pemilu big data!(dis)