Kategori: Opini

  • Facebook Jadi Ajang Kampanye Pilkada

    Facebook Jadi Ajang Kampanye Pilkada

    Ardiasyah

    Mencermati riuhnya pengguna media sosial (medsos) jelang Pilkada Lampura 2018, beragam gagasan antar-pendukung dan simpatisan masing-masing bakal calon kontestan terus bermunculan. Sikap fanatisme dan pendapat ideal silih berganti menghiasi beragam status di akun facebook (FB) sebagai upaya meraih simpati ataupun suatu strategi untuk menjatuhkan pencitraan sosok yang menjadi lawannya.

    Trend giring opini via medsos terutama FB merupakan satu langkah yang patut diapresiasi. Bagaimana tidak, warga penghuni FB begitu berani menyampaikan gagasan atau ide, saran maupun pendapat tanpa harus bersinggungan secara langsung. Dengan demikian, hal itu mampu meminimalisir perseteruan secara fisik (chaos) antar-simpatisan.

    Kebebasan mengutarakan pendapat merupakan hak asasi manusia. Medsos saat ini menjadi alternatif paling jitu dalam menyampaikan beragam persoalan. Medsos menggiring kita menjadi lebih berani dan tajam ketika mengritisi suatu kebijakan dan pemikiran tanpa harus merasa khawatir terjadi ‘kles’ yang berlebihan dengan pihak lain.

    Dalam hal menyampaikan propaganda politik, di era penggunaan gadget dan/atau smartphone, tidak bisa ditolak bahwa medsos menjadi wahana komunikasi paling efektif, ekonomis, serta berdampak langsung dalam mempengaruhi mindset (pola pikir) penggunanya.

    Mengutip sebuah ungkapan status dari akun mikik Juniardi Jun “siapa yang menguasai teknologi informasi, maka dialah pemimpin masa depan”. Suka maupun tidak, medsos menjadi Panglima.

    (Penulis : Ardiansyah, koresponden media online Sinarlampung.com)

  • Politik Transaksional

    Politik Transaksional

    Juniardi

    *Juniardi (Pimum sinarlampung.com)

    Politik transaksional, sebuah istilah yang kerap kita dengan ketika jelang perhelatan Pilkada. Orang yang cukup berpendidikan akan mengartikan bahwa politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama.

    Jika dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai.  Lantas apakah dalam praktek politik, jika terjadi politik transaksional, berarti ada jual beli politik? Ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik itu.

    Tentu semuanya masih dalam dugaan saja. Apakah memang politik transaksional ini selalu berhubungan dengan uang? Sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.

    Seorang ahli politik menyatakan bahwa dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia.

    Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.  Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun.

    Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.

    Ketika baru tahapan koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka transaksi politik itu bisa saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon Gubernur, atau bupati, maka Partai B mengusung calon wakilnya. Jika ada partai lain, maka partai lain itu akan mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang diusung itu jadi, akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak, partai pengusung itu akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif.

    Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah yang kadang disebut sebagai politik transaksional.

    Padahal pengertian sebenarnya, politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Politik transaksional, tidak melulu berkaitan dengan transaksi keuangan saja. Seperti dalam istilah transaksi itu sendiri, yang cenderung bernilai ekonomis, masalah uang.

    Lantas, apakah politik transaksional itu tidak diperbolehkan? Apakah politik transaksional itu sama dengan money politics? Sangat relatif dalam melihat kedua hubungan itu. Karena keduanya memang sangat tipis perbedaannya. Sama halnya ketika berbicara antara politik uang dengan uang politik. Hanya memutar frase kata saja, sudah berbeda artinya. Keduanya juga memiliki makna yang hampir sama, namun berbeda.

    Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit.  Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari.

    Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri, maka hasilnya adalah rakyat yang dirugikan. Salam.

  • Jangan Remehkan Potensi Dirimu

    Jangan Remehkan Potensi Dirimu

    Juniardi SIP, MH

    Juniardi (Praktisi dan penggiat Pers Lampung)

    Siapa tak kenal Michael Jeffrey Jordan, yang lahir di BrooklynNew YorkAmerika Serikat17 Februari 1963 adalah pemain bola basketprofesional asal Amerika. Ia merupakan pemain terkenal di dunia dalam cabang olahraga itu. Setidaknya, enam kali merebut kejuaraan NBAbersama kelompok Chicago Bulls (1991199319961998). Jordan memiliki tinggi badan 198 cm dan merebut gelar pemain terbaik.

    Michael Jordan berkulit hitam, lahir di daerah kumuh Brooklyn, New York. Ia memiliki empat orang saudara, sementara upah ayahnya yang hanya sedikit tidak cukup untuk menafkahi keluarga. Semenjak kecil, ia melewati kehidupannya dalam lingkungan miskin dan penuh diskriminasi, hingga ia sama sekali tidak bisa melihat harapan masa depannya.

    Ketika ia berusia tiga belas tahun, ayahnya memberikan sehelai pakaian bekas kepadanya, “Menurutmu, berapa nilai pakaian ini?”, Jordan menjawab, “Mungkin 1 dollar,”

    Ayahnya kembali berkata, “Bisakah dijual seharga 2 dollar? Jika engkau berhasil menjualnya, berarti telah membantu ayah dan ibumu,”. Jordan menganggukkan kepalanya, “Saya akan mencobanya, tapi belum tentu bisa berhasil.”

    Dengan hati-hati dicucinya pakaian itu hingga bersih. Karena tidak ada setrika untuk melicinkan pakaian, maka ia meratakan pakaian dengan sikat di atas papan datar, kemudian dijemur sampai kering. Keesokan harinya, dibawanya pakaian itu ke stasiun bawah tanah yang ramai, ditawarkannya hingga lebih dari enam jam. Akhirnya Jordan berhasil menjual pakaian itu. Kini ia memegang lembaran uang 2 dollar dan berlarilah ia pulang.

    Setelah itu, setiap hari ia mencari pakaian bekas, lalu dirapikan kembali dan dijualnya di keramaian. Lebih dari sepuluh hari kemudian, ayahnya kembali menyerahkan sepotong pakaian bekas kepadanya, “Coba engkau pikirkan bagaimana caranya untuk menjual pakaian ini hingga seharga 20 dolar?”. Kata Jordan, “Bagaimana mungkin..? Pakaian ini paling tinggi nilainya hanya 2 dollar.”

    Ayahnya kembali memberikan semangat, “Mengapa engkau tidak mencobanya dulu..? Pasti ada jalan,” kata Ayahnya.

    Akhirnya, Jordan mendapatkan satu ide, ia meminta bantuan sepupunya yang belajar melukis untuk menggambarkan Donal Bebek yang lucu dan Mickey Mouse yang nakal pada pakaian itu.  Lalu ia berusaha menjualnya di sebuah sekolah anak orang kaya. Tak lama kemudian seorang pengurus rumah tangga yang menjemput tuan kecilnya, membeli pakaian itu untuk tuan kecilnya.

    Tuan kecil itu yang berusia sepuluh tahun sangat menyukai pakaian itu, sehingga ia memberikan tip 5 dolar. Tentu saja 25 dollar adalah jumlah yang besar bagi Jordan, setara dengan satu bulan gaji dari ayahnya.

    Setibanya di rumah, ayahnya kembali memberikan selembar pakaian bekas kepadanya, “Apakah engkau mampu menjualnya kembali dengan harga 200 dolar..?” Mata ayahnya tampak berbinar.

    Kali ini, Jordan menerima pakaian itu tanpa keraguan sedikit pun. Dua bulan kemudian kebetulan aktris film populer “Charlie Angels”, Farah Fawcett datang ke New York melakukan promo. Setelah konferensi pers, Jordan pun menerobos pihak keamanan untuk mencapai sisi Farah Fawcett dan meminta tanda tangannya di pakaian bekasnya. Ketika Fawcett melihat seorang anak yang polos meminta tanda tangannya, ia dengan senang hati membubuhkan tanda tangannya pada pakaian itu.

    Jordan pun berteriak dengan sangat gembira, “Ini adalah sehelai baju kaus yang telah ditandatangani oleh Miss Farah Fawcett, harga jualnya 200 dollar!” Ia pun melelang pakaian itu, hingga seorang pengusaha membelinya dengan harga 1.200 dollar.

    Sekembalinya ke rumah, ayahnya dengan meneteskan air mata haru berkata, “Tidak terbayangkan kalau engkau berhasil melakukannya. Anakku! Engkau sungguh hebat..!”

    Malam itu, Jordan tidur bersama ayahnya dengan kaki bertemu kaki. Ayahnya bertanya, “Anakku, dari pengalaman menjual tiga helai pakaian yang sudah kau lakukan, apakah yang berhasil engkau pahami..?” Jordan menjawab dengan rasa haru, “Selama kita mau berpikir dengan otak, pasti ada caranya.”

    Ayahnya menganggukkan kepala, kemudian menggelengkan kepala, “Yang engkau katakan tidak salah! Tapi bukan itu maksud ayah. Ayah hanya ingin memberitahumu bahwa sehelai pakaian bekas yang bernilai satu dolar juga bisa ditingkatkan nilainya, apalagi kita sebagai manusia yang hidup..? Mungkin kita berkulit lebih gelap dan lebih miskin, tapi apa bedanya..?”

    Seketika dalam pikiran Jordan seakan ada matahari yang terbit. Bahkan sehelai pakaian bekas saja bisa ditingkatkan harkatnya, lalu apakah saya punya alasan untuk meremehkan diri sendiri? Sejak saat itu, dalam hal apapun, Michael Jordan merasa bahwa masa depannya indah dan penuh harapan.

    Makna kisah Jordan, adalah Potensi diri kita begitu besar, jangan dipandang kecil hanya karena kita dilahirkan dari keluarga kurang mampu, pendidikan tidak sampai S1 ataupun memiliki cacat. Teruslah berusaha, belajar dan mengasah kecerdasan kita. Tabik..

  • HATI BAGI ROHINGNYA (Pak Presiden…)

    HATI BAGI ROHINGNYA (Pak Presiden…)

     

    Gunawan Parikesit.

    **Gunawan Parikesit, SH

    Miris tentang Rohingnya, suara kawan bernama Didok, yang sejak beberapa hari ini senyap ditelinga tiba-tiba menukik genderang pendengaranku.

    “Habis, tamat sudah batas nalar yang selama iniw kuberi nama toleransi. iblis sedang menang,” ujarnya tanpa pemahaman yang belum kumengerti.

    Sambil bergetar suaranya berteriak. apa salah saudara-saudara kita muslim rohingnya, bukankah mereka sudah hidup dan beranak pinak berabad lamanya disana. Ini tidak adil, kenapa iblis menang!!!

    Masih dengan semangat Didok menyeringai: Tidak bisa dibiarkan. Sekarang juga kibarkan bendera perang. Tidak berdosa kita melawan dan kembali memberangus mereka. Tuhan pasti meridhoi langkah yang mengarah kepada perlawanan. Kirim saya kesana, kirim saya kesana… Saya ingin menjadi SYUHADA…

    Sampai kalimat ini saya tak sengaja menghentikan frekwensi getar dari pita suaranya yang mulai parau. Kawan, ujarku, berilah do’a tulusmu untuk mereka. Alirkan butiran airmata dari hati yang paling dalam, tengadahkanlah tangan dan memintalah pada Tuhan agar para malaikat diturunkan sang khalik untuk menentramkan saudara-saudara kita yang ada disana.

    “Ragamu saja tak kan bisa menghentikan itu semua. Amarahmu justru akan semakin membuat situasi tak bardaya ini berkepanjangan. Hanya do’a yang saat ini bisa kamu lakukan. Karena sebenarnya do’a mu itu juga akan menenangkan amarahmu, dan butiran aimata yang keluar bersama do’amu itu juga yang akan membuat engkau berarti bagi mereka”, nasihatku membuat didok terdiam sejenak. Kemudian tangisnya terdengar sesaat kemudian.

    Setelah tangis itu, adalah detik-detik yang membuatku berdebar dan menggiring fikirlu nyaris tak berdaya.

    “Ya ALLAH, berilah kekuatan kepada presiden pemimpinku untuk berada pada barisan hambamu sebagai rakyatnya. Bukakanlah pintu hatinya dengan melakukan langkah-langkah mendesak malapetaka ini bisa dihentikan, dan jadikan ia untuk tidak berada pada bagian mereka dengan tidak melakukan tindakan tegas apa-apa. Ya ALLAH, mohoooon jadikan presiden, pemimpin dimana aku berada di Negara Indonesia ini sebagai pemimpin yang tidak cuma berbasa-basi dengan hanya melakukan kecaman dan kalimat belasungkawa saja,” rintihan do’a Didok membuat bathinku lunglai.

    Usai lantunan do’a, dengan nada lembut Didok menyampaikan kata terakhirnya dipengeras suara telepon genggam yang kupegang dengan tangan bergetar.

    Sudah kulafaskan do’a untuk meredam amarah ini, ujarnya, dan telah kutitipkan amarahku dalam do’a agar ALLAH membukakan pintu hati pemimpin kita, presiden kita, untuk bersikap, untuk bertindak, untuk tidak berpura-pura, untuk menghilangkan MYANMAR dari peradaban Bangsa INDONESIA saat ini…

    Jika tidak, lanjutnya, berarti Tuhanpun tidak akan marah kalau aku tidak akan menganggapnya sebagai pemimpinku, tidak menganggapnya sebagai presidenku, bahkan tidak akan menganggapnya sebagai sama seperti ku (Didok menyebutnya sebagai manusia).

    Didoooook… hardikku, setelah mendengar prakata dan penjelasan terakhirnya. “Beranikah engkau pertanggungjawaban bahasa dan pemikiranmu ini dihadapan negara? tanyaku.

    Tuut tuut.. ternyata telpon sudah diputus, sebelum aku mendapat jawaban dari pertanyaan yang mungkin sama dengan pertanyaan khalayak lainnya. Tabik puun. **

    Penulis Dewan Redaksi sinarlampung.com

  • Partai Politik Dalam Progres Kepentingan Publik

    Partai Politik Dalam Progres Kepentingan Publik

    Membaca berbagai referensi tentang partai Politik, bahwa di masa penjajahan Belanda, berbagai partai politik dibentuk tanpa menghiraukan larangan pemerintah kolonial. Banyak yang terang-terangan memperjuangkan Indonesia merdeka, tapi tak sedikit yang bertekad lebih jauh lagi dengan melawan kapitalisme.
    Dan saat Dewan Rakyat (Volksraad) dibuat pemerintah kolonial Belanda sebagai lembaga perwakilan wilayah jajahan, sebagian parpol itu ikut menempatkan para legislatornya untuk menjalankan fungsinya memperjuangkan kepentingan masyarakat.

    Dian Abraham, pokja pemilu, dalam progren Pokja Pemilu menyebutkan, seperti halnya di negara demokrasi nan beradab lainnya, partai politik telah menjadi alat bagi kaum pergerakan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Setelah diselingi masa pelarangan parpol oleh penjajah Jepang, situasi itu berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan hingga munculnya Orde Baru.

    Dan hal itu jauh berubah saat ini. Mayoritas aktivis, terutama yang kiri, bukan cuma meninggalkan ide berpartai, tapi juga melecehkannya. Golput terus dilestarikan, bahkan Pemilu terkesan diboikot. Akibatnya, parpol maupun keluarannya – terutama anggota DPR – disesaki oleh para oportunis dan perampok dana publik. Dan kenyataan itu semakin membuat parpol dilecehkan. Makin paripurnalah lingkaran setan itu.

    Muncul sikap anti parpol ini sangat wajar dan mudah dimengerti, terutama mengingat anggapan busuknya sistem kepartaian saat ini sejak ala orde baru adalah realita bahwa parpol-parpol yang ada saat ini lebih mewakili kepentingan kelompok mereka ketimbang masyarakat banyak.

    Di sisi lain, fenomena diaspora aktivis ke parpol yang ada saat ini tidak cukup membantu mengembalikan kepercayaan terhadap pentingnya parpol bagi kaum pergerakan. Bahkan tak sedikit yang berdiam diri terhadap buruknya sistem registrasi kepartaian yang sejak 1999.

    Sistem registrasi parpol yang diartikan sebagai perangkat aturan berikut tata laksana mulai dari pembentukan suatu parpol hingga parpol tersebut bisa ikut serta dalam pemilihan umum. Yang lazimtertuang dalam dua jenis legislasi: UU tentang parpol dan UU tentang elektoral/pemilu. Tata cara pembentukan parpol umumnya diatur dalam UU tentang parpol sedangkan tata cara maupun persyaratan suatu parpol untuk dapat ikut pemilu diatur dalam UU tentang pemilu.

    Berdasarkan sistem registrasi yang berlaku sekarang, sebuah parpol harus melalui 3 tahap yang rumit dan ketat sebelum dapat ikut pemilu: tahap pembentukan, pendaftaran sebagai badan hukum, dan pendaftaran sebagai peserta pemilu, dll.

    Karena itu, tak mengherankan bila parpol yang tidak memiliki dana besar hampir bisa dipastikan gagal memenuhi persyaratan tersebut dengan cara-cara yang normal.

    Ada beberapa alasan menarik untuk membandingkan sistem registrasi parpol kita dengan negara berkembang lainnya di Asia seperti India. Tidak hanya tingkat kerumitan penyelenggaraan pemilunya setara (jika India tidak lebih rumit), tetapi wilayah geografis yang luas, tingkat populasi yang tinggi beserta data demografis lainnya, termasuk keragaman budaya dan bahasa, juga mirip. Dan alasan penting lainnya adalah negara berpopulasi terbanyak kedua dunia itu juga menganut demokrasi dengan sistem multipartai.

    Nyatanya, sistem registrasi parpol India sangat berbeda dengan Indonesia. Di sana tidak ada UU Parpol yang mengatur tata cara pembentukan parpol. Karena itu, suatu organisasi yang menyatakan dirinya sebagai parpol dapat membentuk cabangnya sesuai kemampuannya, misalnya hanya di satu negara bagian saja. Begitu pula, tidak ada ketentuan jumlah cabang – apalagi ranting – partai di negara bagian tersebut.

    Pengalaman India ini menunjukkan bahwa banyaknya penduduk bukan alasan untuk membatasi atau menyederhanakan jumlah partai politik. Dengan jumlah penduduk 1,3 milyar orang – lima kali lipat dari Indonesia – negara ini mampu menyelenggarakan pemilu tanpa perlu memperketat persyaratan parpol yang berarti mengorbankan hak asasi untuk berserikat (right to association). Selain India, beberapa negara demokrasi yang matang di Eropa, setidaknya, negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang tergabung dalam Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE) memiliki Dokumen Kopenhagen pada 1990 yang mensyaratkan negara anggotanya untuk “menghormati hak warga negaranya untuk memperoleh jabatan politik atau publik, baik secara sendiri-sendiri atau sebagai wakil dari partai atau organisasi politik, tanpa diskriminasi” (paragraf 7.5).

    Lebih tegas lagi, paragraf 7.6 menyatakan bahwa mereka “menghargai hak individu dan kelompok untuk membentuk, dengan kebebasan penuh, partai politik mereka sendiri dan memberikan jaminan hukum yang perlu bagi partai tersebut untuk memungkinkan mereka berkompetisi satu sama lain berdasarkan perlakuan yang setara di depan hukum dan oleh otoritas yang berwenang.”

    Di dalam Pedoman Regulasi Partai Politik yang menjadi implementasi dari Dokumen Kopenhagen tersebut ditegaskan bahwa partai politik adalah perkumpulan privat yang memainkan peran kritis sebagai aktor politik dalam domain publik. Karenanya, negara-negara tersebut berupaya menjaga keseimbangan antara regulasi negara terhadap parpol sebagai aktor politik, dan di sisi lain, penghormatan terhadap hak asasi mereka yang menjadi anggota partai tersebut sebagai warga privat, terutama hak berserikat (right to association) yang salah satunya mewujud dalam bentuk partai politik. Jika ada, legislasi tersebut tidak boleh mengganggu kebebasan berserikat tersebut.

    Tak mengherankan bila setidaknya ada empat negara di Eropa, yakni Belgia, Perancis, Luksemburg dan Malta, yang tidak memiliki UU tentang Parpol dan tidak memiliki syarat apapun bagi parpol terkait dengan pelaksanaan pemilu. Meskipun Belgia dan Perancis memilikinya, aturan tersebut hanya mengatur parpol saat sudah terbentuk, khususnya dibatasi hanya mengatur pendanaan partai oleh negara dan kontrol terhadap keuangannya.
    Dengan demikian, masyarakat di negara-negara tersebut dapat membentuk parpol kapanpun dirasa perlu dan ikut di dalam pemilu jika menginginkannya, tanpa ada campur tangan dari pemerintah.

    Di Inggris, sejak munculnya parpol pada abad ke-19 hingga tahun 1998 lalu, pemerintahnya memang tidak merasa perlu melakukan pendaftaran bagi mereka. Hal itu baru diubah sejak diundangkannya UU Pendaftaran Parpol. Meski demikian, seperti halnya di India, pendaftaran parpol tidak wajib. Parpol dapat mengkampanyekan calonnya di dalam pemilu tanpa perlu mendaftar ke Komisi Elektoral sama sekali.

    Kemunculan legislasi itu pun sebenarnya unik, yakni adanya preseden penggunaan nama partai baru yang mirip dengan partai yang sudah mapan di Inggris, yakni Literal Democrats, Conversative Party dan Labor Party yang mirip dengan Liberal Democrats, Conservative Party dan Labour Party. Oleh karena itu, UU Pendaftaran Parpol tersebut dibuat untuk mengatur nama partai yang digunakan dalam pemilu agar tidak ada yang merasa dirugikan.
    Pengalaman berbagai negara di Eropa dan India menunjukkan bahwa pengetatan persyaratan bagi parpol baru itu bukan saja melanggar hak asasi, yakni hak untuk berserikat (right to association), tetapi juga sama sekali tidak perlu. Perlindungan atas hak membentuk parpol terbukti dapat dilakukan oleh negara-negara demokratis tersebut dengan campur tangan yang minimal dari negara.

    Proses penyelenggaraan pemilu pun dapat diselenggarakan dengan relatif baik. Jadi, alasan kesulitan teknis dari penyelenggara pemilu tidak valid lagi dikemukakan, apalagi dengan mengorbankan hak asasi tersebut.
    Saat ini, yang justru dibutuhkan adalah munculnya kekuatan progresif baru di parlemen maupun pemerintahan, dimana pengaruh para petualang politik yang telah menjadi oligarki partai tersebut di atas minim terhadap parpol-parpol progresif itu.

    Sudah mendesak saatnya kita mendorong demokrasi substansial dimana kualitas partai politiknya beserta legislator dan pemimpin daerah yang menjadi kadernya jauh lebih dipentingkan untuk memperjuangkan kepentingan publik secara luas. Dan sudah saatnya pula publik tidak terus-menerus dininabobokan oleh wacana demokrasi prosedural berupa penyelenggaraan pemilu yang aman dan damai. Semoga.. (Juniardi)

  • Wartawan Bukan Untuk Meresahkan Masyarakat

    Wartawan Bukan Untuk Meresahkan Masyarakat

    WAKIL Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung Juniardi mengingatkan wartawan gadungan, dan LSM abal abal untuk menghentikan aktifitasnya, yang meresahkan masyarakat dengan cara cara menakut nakuti, dan apalagi mengaku ngaku wartawan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Jika tidak maka akan berhadapan dengan aparat menegak hukum.

    Hal itu dikatakan Juniardi, terkait tertangkapnya tiga wartawan gadungan, yang memeras pejabat dengan menjual nama ketua PWI Lampung Supriyadi Alfian.

    “Kita ingatkan kepada masyarakat, terutama para pejabat publik, dan pimpinan lembaga untuk tidak lalu percaya apa bila ada orang atau wartawan yang menjual nama organisasi PWI tanpa kepentingan yang tidak jelas, apalagi meminta minta sejumlah uang. Jika langsung kompirmasikan dulu ke PWI Lampung,” kata Juniardi.

    Menurut Juniardi, hingga kini masih menjamur dari kota hingga ke pelosok Desa, muncul banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM), Ormas maupun mengaku wartawan. Termasuk organisasi mengatasnamakan masyarakat, melancarkan modus yang ujung-ujungnya duit.

    Sementara keberadaan lembaga itu justru jauh akan kepentingan masyarakat, sering memeras kepentingan masyarakat dengan dalih control social untuk kepentingan bersama. Akhirnya masyarakat lagi yang dikorbankan oleh kepentingan segelintir oknum yang mengatasnamakan Anggota LSM, Ormas maupun Wartawan.

    “Kita dapat membedakan mana LSM, Ormas dan Wartawan yang asli dengan oknum-oknum yang mengatas namakan lembaga tersebut,” katanya.

    Seorang wartawan maupun lembaga lainnya dalam kerja jurnalistik maupun control sosialnya tentu dilengkapi dengan identitas diri yang menunjukkan profesinya, termasuk surat kabar atau media yang menjadi bagian dari keberadaan wartawan tersebut.

    Jika ada yang datang mengatasnamakan LSM, atau wartawan, sebaiknya tanyakan indentitas wartawan tersebut, alamat redaksi surat kabarnya dan kantor perwakilannya. wartawan atau Lembaga yang lainnya yang diberikan tugas oleh pimpinan redaksinya meliput atau melakukan kegiatan reportase di institusi atau lembaga publik.

    “Biasanya dalam beretika, LSM atau Wartawan yang akan datang biasa melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak instansi lembaga yang dituju, atau kepada nara sumber yang relevan untuk dijadikan narasumber, baik sebagai key informan maupun informan. Tanpa konfirmasi, pihak instansi maupun lembaga yang hendak diminati keterangan oleh wartawan berhak menolak kehadiran wartawan tersebut.” katanya.

    Wartawan yang datang sebagai tamu –disambut ramah, dipersilakan masuk atau duduk lalu Tanyakan nama, nama medianya, dan jika perlu minta ditunjukkan identitasnya (Press Card). Jika meragukan, minta contoh medianya dan telepon kantor redaksinya untuk konfirmasi.

    Tanyakan maksud kedatangannya. Jika mau wawancara, layani dengan baik. Jika sekadar silaturahmi, ngobrol-ngobrol, layani saja layaknya tamu. Jika ia memeras, mengancam, atau sejenisnya, perlakukan dia sebagai preman berkedok wartawan, dan serahkan ke petugas kemanan atau laporkan ke polisi.

    “Jika ada yang memelas, minta sesuatu selain informasi, berarti dia pengemis berkedok wartawan, ia termasuk kaum dhuafa. Maka, arahkan dia ke dinas sosial, lembaga amil zakat atau lembaga pemberdayaan fakir-miskin,” katanya.

    Wartawan tanpa surat kabar itu dapat ditangkap dengan menggunakan pasal 228 KUHP, karena mereka bekerja tanpa kapasitas. Pasal 228 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) selengkapnya berbunyi, barang siapa dengan sengaja memakai tanda kepangkatan atau melakukan perbuatan yang termasuk jabatan yang tidak dijabatnya atau yang ia sementara dihentikan daripadanya.

    “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ini yang paling rendah pidananya, selain banyak lagi pasal pidana lainnya, terkait pemerasan dan lainn,” katanya.(*/dbs)

  • Bahaya (Laten) Narkoba

    Bahaya (Laten) Narkoba

    SEORANG sahabat yang kebetulan juga sebagai salah satu pengurus masjid di dekat rumah saya, bertanya soal maraknya kasus Narkoba di Indonesia akhir-akhir ini. Menurut sahabat, hal ini sudah sangat mengerikan layaknya ancaman teroris yang tak mengenal waktu dan tempat. Ancaman Narkoba dapat disamakan dengan ancaman teroris yang tidak mengenal, siapa yang akan dijadikan korban (mangsanya). Kakak, adik, saudara, sahabat maupun siapapun pastinya akan dijadikan target atau sasaran.

    Bahkan dengan tegas sahabat juga mengatakan, mengapa baru sekarang pihak aparat penegak hukum bersikap tegas terhadap kasus Narkoba. Sebelumnya ngapain aja pihak penegak hukum (Polisi, Hakim, Jaksa dsb) selama ini. Namun sahabat tersebut tetap memberikan apresiasi dengan kinerja polisi yang mampu membongkar berbagai kasus (walau tidak semuanya).

    Tentu ini semua menjadi cermin bagi kita semua khususnya para orang tua, keluarga, masyarakat maupun penegak hukum di negeri ini. Keberadaan cukong-cukong Narkoba begitu pandai membaca peluang bisnis yang menjanjikan di negeri yang kaya raya dan makmur ini, siapa lagi kalau bukan Indonesia. Di tengah-tengah pemerintah yang begitu gencar memerangi persoalan klasik korupsi, para pebisnis Narkoba mampu memanfaatkan celah yang ada.

    Bahkan dalam kurun dua pekan terakhir, berapa artis yang terjerat Narkoba sibarang haram tersebut. Begitu juga keberhasilan jajaran Polri mengungkap dan membongkar kartel obat terlarang (Sabu) di Serang (Banten), Medan (Sumatera Utara), Pontianak (Kalimantan Barat) dan di Makassar (Sulawesi Selatan). Bagaimana dengan Lampung,..? Berita terbaru bahwa dalam kurun waktu 2 pekan, jajaran Polresta Bandarlampung berhasil membongkar 21 kasus Narkoba dan mengamankan 32 pelaku.

    Itu baru di Kota Bandarlampung, bagaimana dengan kabupaten/kota lainnya di Sai Bumi Ruwa Jurai. Sepertinya bukan rahasia lagi, Lampung kini menjadi surganya bagi para pelaku kejahatan Narkoba. Bukan hanya sebagai lalu lintas, tapi juga sebagai pangsa pasar, baik dari lokal, pendatang luar provinsi maupun pelakunya dari negeri tetangga ASEAN, Asia, Eropa dan Afrika. Peredaran Narkoba di Lampung layaknya seperti bom waktu yang siap meledak dan mematikan.

    Tanpa peran aktif masyarakat luas untuk memerangi Narkoba, tentu jajaran kepolisian juga akan banyak menemui kendala dalam usaha memberantas bisnis yang paling mematikan tersebut. Kita semua harus mampu menjaga generasi penerus bangsa agar dapat terhindar dari penyalahgunaan Narkoba. (*)

  • Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    AHLI pemerintahan menyebutkan, salah satu esensi ciri negara demokrasi adalah adanya jaminan terhadap seluruh rakyat untuk menyampaikan pendapat, ekspresi dan aspirasi terhadap kelangsungan seluruh aspek kehidupan bernegara. Sesuai dengan pengertiannnya demos (rakyat); cratos (memerintah) maka dalam negara demokrasi sesungguhnya yang berkuasa penuh adalah rakyat (people power) karena rakyatlah yang memberikan amanah kekuasaan terhadap presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara.
    Konstitusi demokrasi memberikan hak penuh terhadap rakyat (masyarakat) untuk melaksanakan fungsi pengawasan atau controlling terhadap berjalannya kekuasaan, dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara.
    Indonesia masuk Negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, proses mengamanahkan kekuasaan rakyat terhadap presiden dilaksanakan secara demokrasi dengan memakai jembatan politik dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sebagi alat uji legalitas.
    Meski fungsi controling dan kritik hendaklah sesuai dengan rambu-rambu yang berlaku guna tercapainya tujuan nasional. Perjalanan sejarah perkembangan demokrasi mencatat bahwa kritisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara baik telah membawa kemajuan pesat yang menghantarkan suatu negara menjadi bangsa yang besar.
    Tidak sedikit dengan bertamengkan fungsi pengawasan dan kritik terhadap berbagai issue government (pemerintah), policy (kebijakan) dan law (hukum) rentan dilakukan untuk mengambil alih kekuasaan dengan mengeksploitasi power people.  Kritisi terhadap pemerintahan dilakukan secara tidak proporsional dan membabi-buta.
    Kini kitik juga telah dijadikan alat politik untuk melemahkan pemerintah dan mengambil alih pemerintahan secara unconstitutional. Kritik politisasi dilancarkan dengan melakukan doktrinasi terhadap masyarakat untuk menerima dan melaksanakan ajaran atau ajakan yang seakan-akan mengandung nilai-nilai kebenaran.
    Untuk mengatasi itu, kemampuan masyarakat berpikir secara kritis adalah sangat penting untuk keberhasilan sistem demokrasi. Masyarakat yang kritis akan tidak mudah dieksploitasi oleh kelompok atau pihak tertentu yang haus dengan kekuasaan. Dan kini berkembang kata Bahaya atas nama negara.
    Bahaya adalah kata yang layak kita sematkan saat ini terhadap beberapa lini kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Ferdinan Hutahean, dalam laman situs era muslim. Bahaya ancaman infiltrasi asing kepada kedaulatan negara, bahaya ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan bahaya yang terakhir adalah bahaya berbicara.
    Contoh terkini mislanya, dunia politik Indonesia Nasional hingga ke daerah, kerap mudah guncang, meski sesungguhnya keguncangan itu tidak perlu terjadi bila bangsa ini dipimpin dengan mengedepankan keberpihakan pada bangsa daripada sekedar keberpihakan kepada kelompok tertentu.
    Kegaduhan politik saat ini sangat bisa dihindari apabila penguasa menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Terutama agenda politik nasional dalam pilkada serentak tahun 2018.
    Pembungkaman terhadap kelompok aktivis dengan menggunakan instrumen penegakan hukum adalah bentuk langkah represif yang sedang menjadi bahasan hangat disemua lini kelompok masyarakat hingga sekarang.
    Ada hantu bernama Makar, UU ITE, dan Teroris, atau ujaran kebencian, yang dianggap menakutkan merasuki imaginasi atau alam pikir penguasa hingga para aktivis yang sedang memperjuangkan pemikiran ilmiahnya tentang ancaman kerusakan bangsa justru dianggap bahaya.
    Pemikiran ilmiah yang ingin memperjuangkan agar ada kehidupan bermasyarakat lebih baik, timbal balik dan partisipasi public terhadap pemerintahan, bukan tanpa kajian dan keilmuan serta beberan fakta-fakta tentang sistem pemerintahan kita yang sepertinya semakin kacau dan jauh dari cita rasa Indonesia. Ironisnya, memang jika pemikiran ilmiah itu dianggab sebagai bahaya, dan harus dipenjara, padahal memenjarakan orang tentu tidak akan dapat memenjarakan pemikiran.
    Ketika Eko Patrio sang Anggota DPR RI, tiba-tiba harus menghadapi ancaman represifme menggunakan instrumen penegakan hukum karena menyampaikan analisis dan pemikirannya terkait bom di Bintara Jaya yang disebutnya sebagai pengalihan isu misalnya.
    Dan banyak nama lain yang terang-terangan berseberangan dengan penguasa harus berhadapan dengan penegak hukum dengan tuduhan dan segala macam ancaman dalam pasal-pasal KUHP maupun UU ITE.
    Bahkan ketika Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono berbicara ke media menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam, turut menjadi korban dan dibully sebagai provokator.
    SBY berbicara menyampaikan kebenarandan menjawab tuduhan pada dirinya kemudian dicoba dilaporkan oleh pihak tertentu ke Bareskrim dengan tuduhan provokasi dan atau penghasutan, Ferdinan bilang itu bentuk kekonyolan diluar batas toleransi.
    Sudah sejauh itukah jahatnya situasi diera sekarang?. Situasi ini menjadi sangat mengerikan dan menguatirkan ketika bicara saja menjadi menakutkan. Ketika menyampaikan kebenaran dan pemikiran ilmiah menjadi sebuah kejahatan, maka tidak ada yang bisa kita harapkan lagi dari era sekarang ini.
    Kejahatan sesungguhnya adalah mengancam dan membungkam kebebasan berbicara dan bukan sebaliknya. Berbicara dan menyampaikan pemikiran bukanlah sebuah kejahatan yang harus dihabisi menggunakan instrument penegakan hukum.
    Kekeliruan ini harus dihentikan karena untuk mempertahankan kekuasaan bukanlah dengan jalan represif dan memenjarakan pemikiran serta membungkam kebebasan berbicara. Mempertahankan kekuasaan cukup dengan bekerja demi kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada bangsa dan negara yang berideologi Pancasila, serta menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan, maka niscaya kekuasaan itu tidak perlu dipertahankan karena ia akan bertahan dengan sendirinya.
    Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berbicara adalah hak azasi. Masyarakat dari golongan apapun berhak ikut bicara tentang nasib bangsa dan itu bukan kejahatan, dan membela diri dan menyampaikan kebenaran bukan juga sebuah kejahatan. Semoga. Tabik. (Juniardi)

  • Pejabat Penegakan Hukum Belum Transparan

    MANTAN Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung, Juniardi mengingatkan pejabat publik terutama di bidang penegakan hukum, harus lebih cepat merespon kabar yang berkembang di masyarakat. Serta transparan dalam proses penegakan hukum.
    “Cepat tanggap atau respon terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Sejauh ini, responnya lamban dan transparansi penegakan hukum masih lemah. Sementara arus informasi cepat tersebar melalui mendsos dengan kecanggihan era gidital saat ini,” kata Juniardi, yang juga wakil ketua PWI Lampung Bidang Pembelaan Wartawan.
    Hal ini harus juga menjadi perhatian pemerintah karena transparansi dan akuntabilitas merupakan komponen penting dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang baik akutabel dan transparan.
    Menurut Juniardi, sejak dua tahun lalu, misalnya skor Corruption Perception Index (CPI) 2015 terkait korupsi mengalami penurunan khususnya pada institusi kepolisian, pengadilan, badan legistatif, dan badan eksekutif. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bentuk pesimisme publik terhadap penegak hukum akibat proses penegakan hukum yang lemah, banyaknya indikasi tindak pidana korupsi yang tidak diproses, hingga tersangka korupsi yang dibebaskan.
    “Mekanisme sistem transparansi dan akuntabilitas harus dibangun, khususnya di institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” kata Ketua Forum Wartawan Online Lampung ini.
    Menurut Alumni Pasca Sarjana Unila ini, kepolisian belum transparan karena tak membuka sejumlah informasi yang seharusnya diketahui publik. Informasi tersebut misalnya mengenai berapa jumlah Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) yang sudah dikeluarkan, jumlah laporan perkara yang masuk, jumlah perkara yang sudah ditangani, dan jumlah kasus yang tidak ditangani.
    “Informasi itu harusnya transparan, jadi publik tahu berapa kasus yang tidak ditangani beserta alasannya. Saya rasa sampai saat ini informasi belum bisa diakses. Bahkan ada info penangkapan dugaan korupsi, yang sehari dibantah, kemudian tiga hari dibenarkan, dan kini dibantah lagi,” katanya .
    Juniardi mencontohkan, pada institusi kejaksaan, seharusnya transparan mengenai mekanisme pengembalian uang pengganti dari terpidana kasus korupsi. Dari sisi akuntabilitas, kejaksaan juga harus melakukan perbaikan.
    Juniardi, menambahkan idealnya seorang jaksa harus berperan aktif memeriksa perkara sejak kepolisian mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
    “Kewenangan jaksa tidak sekedar dalam hal penuntutan. Itu untuk efisiensi supaya berkasnya tidak bolak-balik, yang kedua menciptakan peradilan murah,” katanya.
    Adapun, institusi pengadilan harus melakukan pembenahan sistem kepaniteraan dan sistem administrasi pengadilan yang lebih transparan.
    Pasalnya, tren kasus korupsi di pengadilan saat ini tidak selalu melibatkan hakim. “Sistem administrasi pengadilan juga harus terus dibenahi agar lebih transparan lagi,” katanya.
    (red)

  • Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    PESATNYA kemajuan Lampung sebagai Provinsi pintu masuk pulau Sumatera, Indonesia wikayah barat yang terdekat dengan ibukota negara saat ini begitu menggeliat. Kepadatan penduduk, industri dan bisnis industri hingga peningkatan SDM kian terasa, dan itu terus bergerak meski tanpa peran pemerintah daerah. Teruji saat Lampung tanpa Gubernur, ketika PLT Tursandi, kekosongan Kepala daerah, meski banyak gejolak yang seperti dibesar besarkan dianggap sulit di atasi.
    Provinsi Lampung itu mempesona, kaya akan keindahan, serta kekayaan alam nya seharusnya mampu memberikan sebuah harapan yang cemerlang bagi masyarakat nya untuk memiliki kehidupan yang layak disebut “Merdeka”. Namun kondisinya jauh sangat berbeda dengan kondisi yang seharusnya dapat kita bayangkan, Lampung yang menyimpan banyak kekayaan alam dan SDM yang semakin tinggi jusru belum menjamin kesejahteraan bagi “masyarakat” Lampung.
    Jelang konstelasi pemilihan Gubernur Lampung 2018, jika kita memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian yang terbaik. Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif. Apalagi pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).
    Selama ini masyarakat Lampung dibuaikan dengan segala hal yang pragmatis. Gejolak politik menyugukan berbagai intrik politik dan bukan pendidikan politik. Sehingga terkesan keadaan menjadi tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas prima yang kita butuhkan, yaitu pemimpin yang berkarakter dan memiliki integritas serta memiliki visi yang jelas dalam menyelesaikan segala permasalahan daerah hingga mempengaruhi masalah dan kemajuan daerah.
    Dalam catatan seorang sahabta menyebutkan, bahwa di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan salah satu solusi untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Faktanya masyarakat kita semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus menerus diatur oleh pemimpin mereka. Pemimpin saat ini juga diharapkan mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh serta mampu menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan dan keadilan.
    Untuk itu, sepertinya layak Lampung kini membutuhkan pemimpin berkarakter, baik di tingkat kepala daerah, dan legislatif, karena pemimpin pada dasarnya berada di seluruh sektor kekuasaan yang berada dalam sebuah sistem, dan memiliki kewenangan atau kekuasaan, sehingga nasib masyarakat bangsa ini tidak hanya terletak pada presiden dan wakil presiden saja.
    Dalam berbagai teori menyebtukan, kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
    Artinya, seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.
    Di samping berkarakter pemimpin juga diharapkan memiliki kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula diberi amanah siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Dia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan.
    Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan teknis memimpin. Pemimpin berkarakter juga menjadi inspirasi keteladanan.
    Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan diera terkini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istliah “makoto”, artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Karean pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.
    Bisa dikatakan pemimpin berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Selain keunggulan spesifiknya pada sisi inteligensia, pemimpin yang berkarakter juga dituntut untuk menguasai moral capital yang kuat. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen para pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.
    Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat. Pemimpin berkarater mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan. Tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) untuk mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan.
    Pembentukan karakter seseorang pemimpin pada dasarnya menjadi tanggung jawab semua pihak dan warga masyarakat, termasuk kita semua. Oleh karena itu seluruh komponen lembaga kepemerintahan di Lampung bersama rakyat wajib menyediakan persemaian yang subur untuk pengembangan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan pemimpin yang berkarakter. Semoga, Tabik. (Juniardi)