Kategori: Opini

  • Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    Kritik Dalam Demokrasi Bukan Bahasa Kejahatan

    AHLI pemerintahan menyebutkan, salah satu esensi ciri negara demokrasi adalah adanya jaminan terhadap seluruh rakyat untuk menyampaikan pendapat, ekspresi dan aspirasi terhadap kelangsungan seluruh aspek kehidupan bernegara. Sesuai dengan pengertiannnya demos (rakyat); cratos (memerintah) maka dalam negara demokrasi sesungguhnya yang berkuasa penuh adalah rakyat (people power) karena rakyatlah yang memberikan amanah kekuasaan terhadap presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara.

    Konstitusi demokrasi memberikan hak penuh terhadap rakyat (masyarakat) untuk melaksanakan fungsi pengawasan atau controlling terhadap berjalannya kekuasaan, dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan sebuah Negara.

    Indonesia masuk Negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, proses mengamanahkan kekuasaan rakyat terhadap presiden dilaksanakan secara demokrasi dengan memakai jembatan politik dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sebagi alat uji legalitas.

    Meski fungsi controling dan kritik hendaklah sesuai dengan rambu-rambu yang berlaku guna tercapainya tujuan nasional. Perjalanan sejarah perkembangan demokrasi mencatat bahwa kritisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara baik telah membawa kemajuan pesat yang menghantarkan suatu negara menjadi bangsa yang besar.

    Tidak sedikit dengan bertamengkan fungsi pengawasan dan kritik terhadap berbagai issue government (pemerintah), policy (kebijakan) dan law (hukum) rentan dilakukan untuk mengambil alih kekuasaan dengan mengeksploitasi power people.  Kritisi terhadap pemerintahan dilakukan secara tidak proporsional dan membabi-buta.

    Kini kitik juga telah dijadikan alat politik untuk melemahkan pemerintah dan mengambil alih pemerintahan secara unconstitutional. Kritik politisasi dilancarkan dengan melakukan doktrinasi terhadap masyarakat untuk menerima dan melaksanakan ajaran atau ajakan yang seakan-akan mengandung nilai-nilai kebenaran.

    Untuk mengatasi itu, kemampuan masyarakat berpikir secara kritis adalah sangat penting untuk keberhasilan sistem demokrasi. Masyarakat yang kritis akan tidak mudah dieksploitasi oleh kelompok atau pihak tertentu yang haus dengan kekuasaan. Dan kini berkembang kata Bahaya atas nama negara.

    Bahaya adalah kata yang layak kita sematkan saat ini terhadap beberapa lini kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Ferdinan Hutahean, dalam laman situs era muslim. Bahaya ancaman infiltrasi asing kepada kedaulatan negara, bahaya ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan bahaya yang terakhir adalah bahaya berbicara.

    Contoh terkini mislanya, dunia politik Indonesia Nasional hingga ke daerah, kerap mudah guncang, meski sesungguhnya keguncangan itu tidak perlu terjadi bila bangsa ini dipimpin dengan mengedepankan keberpihakan pada bangsa daripada sekedar keberpihakan kepada kelompok tertentu.

    Kegaduhan politik saat ini sangat bisa dihindari apabila penguasa menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Terutama agenda politik nasional dalam pilkada serentak tahun 2018.

    Pembungkaman terhadap kelompok aktivis dengan menggunakan instrumen penegakan hukum adalah bentuk langkah represif yang sedang menjadi bahasan hangat disemua lini kelompok masyarakat hingga sekarang.

    Ada hantu bernama Makar, UU ITE, dan Teroris, atau ujaran kebencian, yang dianggap menakutkan merasuki imaginasi atau alam pikir penguasa hingga para aktivis yang sedang memperjuangkan pemikiran ilmiahnya tentang ancaman kerusakan bangsa justru dianggap bahaya.

    Pemikiran ilmiah yang ingin memperjuangkan agar ada kehidupan bermasyarakat lebih baik, timbal balik dan partisipasi public terhadap pemerintahan, bukan tanpa kajian dan keilmuan serta beberan fakta-fakta tentang sistem pemerintahan kita yang sepertinya semakin kacau dan jauh dari cita rasa Indonesia. Ironisnya, memang jika pemikiran ilmiah itu dianggab sebagai bahaya, dan harus dipenjara, padahal memenjarakan orang tentu tidak akan dapat memenjarakan pemikiran.

    Ketika Eko Patrio sang Anggota DPR RI, tiba-tiba harus menghadapi ancaman represifme menggunakan instrumen penegakan hukum karena menyampaikan analisis dan pemikirannya terkait bom di Bintara Jaya yang disebutnya sebagai pengalihan isu misalnya.

    Dan banyak nama lain yang terang-terangan berseberangan dengan penguasa harus berhadapan dengan penegak hukum dengan tuduhan dan segala macam ancaman dalam pasal-pasal KUHP maupun UU ITE.

    Bahkan ketika Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono berbicara ke media menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam, turut menjadi korban dan dibully sebagai provokator.

    SBY berbicara menyampaikan kebenarandan menjawab tuduhan pada dirinya kemudian dicoba dilaporkan oleh pihak tertentu ke Bareskrim dengan tuduhan provokasi dan atau penghasutan, Ferdinan bilang itu bentuk kekonyolan diluar batas toleransi.

    Sudah sejauh itukah jahatnya situasi diera sekarang?. Situasi ini menjadi sangat mengerikan dan menguatirkan ketika bicara saja menjadi menakutkan. Ketika menyampaikan kebenaran dan pemikiran ilmiah menjadi sebuah kejahatan, maka tidak ada yang bisa kita harapkan lagi dari era sekarang ini.

    Kejahatan sesungguhnya adalah mengancam dan membungkam kebebasan berbicara dan bukan sebaliknya. Berbicara dan menyampaikan pemikiran bukanlah sebuah kejahatan yang harus dihabisi menggunakan instrument penegakan hukum.

    Kekeliruan ini harus dihentikan karena untuk mempertahankan kekuasaan bukanlah dengan jalan represif dan memenjarakan pemikiran serta membungkam kebebasan berbicara. Mempertahankan kekuasaan cukup dengan bekerja demi kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada bangsa dan negara yang berideologi Pancasila, serta menempatkan kepentingan negara diatas segala kepentingan, maka niscaya kekuasaan itu tidak perlu dipertahankan karena ia akan bertahan dengan sendirinya.

    Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berbicara adalah hak azasi. Masyarakat dari golongan apapun berhak ikut bicara tentang nasib bangsa dan itu bukan kejahatan, dan membela diri dan menyampaikan kebenaran bukan juga sebuah kejahatan. Semoga. Tabik. (Juniardi)

  • Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    Lampung Butuh Pemimpin Yang Berkarakter

    PESATNYA kemajuan Lampung sebagai Provinsi pintu masuk pulau Sumatera, Indonesia wikayah barat yang terdekat dengan ibukota negara saat ini begitu menggeliat. Kepadatan penduduk, industri dan bisnis industri hingga peningkatan SDM kian terasa, dan itu terus bergerak meski tanpa peran pemerintah daerah. Teruji saat Lampung tanpa Gubernur, ketika PLT Tursandi, kekosongan Kepala daerah, meski banyak gejolak yang seperti dibesar besarkan dianggap sulit di atasi.

    Provinsi Lampung itu mempesona, kaya akan keindahan, serta kekayaan alam nya seharusnya mampu memberikan sebuah harapan yang cemerlang bagi masyarakat nya untuk memiliki kehidupan yang layak disebut “Merdeka”. Namun kondisinya jauh sangat berbeda dengan kondisi yang seharusnya dapat kita bayangkan, Lampung yang menyimpan banyak kekayaan alam dan SDM yang semakin tinggi jusru belum menjamin kesejahteraan bagi “masyarakat” Lampung.

    Jelang konstelasi pemilihan Gubernur Lampung 2018, jika kita memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian yang terbaik. Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif. Apalagi pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).

    Selama ini masyarakat Lampung dibuaikan dengan segala hal yang pragmatis. Gejolak politik menyugukan berbagai intrik politik dan bukan pendidikan politik. Sehingga terkesan keadaan menjadi tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas prima yang kita butuhkan, yaitu pemimpin yang berkarakter dan memiliki integritas serta memiliki visi yang jelas dalam menyelesaikan segala permasalahan daerah hingga mempengaruhi masalah dan kemajuan daerah.

    Dalam catatan seorang sahabta menyebutkan, bahwa di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan salah satu solusi untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Faktanya masyarakat kita semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus menerus diatur oleh pemimpin mereka. Pemimpin saat ini juga diharapkan mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh serta mampu menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan dan keadilan.

    Untuk itu, sepertinya layak Lampung kini membutuhkan pemimpin berkarakter, baik di tingkat kepala daerah, dan legislatif, karena pemimpin pada dasarnya berada di seluruh sektor kekuasaan yang berada dalam sebuah sistem, dan memiliki kewenangan atau kekuasaan, sehingga nasib masyarakat bangsa ini tidak hanya terletak pada presiden dan wakil presiden saja.

    Dalam berbagai teori menyebtukan, kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).

    Artinya, seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.

    Di samping berkarakter pemimpin juga diharapkan memiliki kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula diberi amanah siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Dia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan.

    Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan teknis memimpin. Pemimpin berkarakter juga menjadi inspirasi keteladanan.

    Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan diera terkini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istliah “makoto”, artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Karean pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.

    Bisa dikatakan pemimpin berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Selain keunggulan spesifiknya pada sisi inteligensia, pemimpin yang berkarakter juga dituntut untuk menguasai moral capital yang kuat. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen para pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.

    Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat. Pemimpin berkarater mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan. Tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) untuk mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan.

    Pembentukan karakter seseorang pemimpin pada dasarnya menjadi tanggung jawab semua pihak dan warga masyarakat, termasuk kita semua. Oleh karena itu seluruh komponen lembaga kepemerintahan di Lampung bersama rakyat wajib menyediakan persemaian yang subur untuk pengembangan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan pemimpin yang berkarakter. Semoga, Tabik. (Juniardi)

  • Pejabat Penegakan Hukum Belum Transparan

    Pejabat Penegakan Hukum Belum Transparan

    MANTAN Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung, Juniardi mengingatkan pejabat publik terutama di bidang penegakan hukum, harus lebih cepat merespon kabar yang berkembang di masyarakat. Serta transparan dalam proses penegakan hukum.

    “Cepat tanggap atau respon terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Sejauh ini, responnya lamban dan transparansi penegakan hukum masih lemah. Sementara arus informasi cepat tersebar melalui mendsos dengan kecanggihan era gidital saat ini,” kata Juniardi, yang juga wakil ketua PWI Lampung Bidang Pembelaan Wartawan.

    Hal ini harus juga menjadi perhatian pemerintah karena transparansi dan akuntabilitas merupakan komponen penting dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang baik akutabel dan transparan.

    Menurut Juniardi, sejak dua tahun lalu, misalnya skor Corruption Perception Index (CPI) 2015 terkait korupsi mengalami penurunan khususnya pada institusi kepolisian, pengadilan, badan legistatif, dan badan eksekutif. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bentuk pesimisme publik terhadap penegak hukum akibat proses penegakan hukum yang lemah, banyaknya indikasi tindak pidana korupsi yang tidak diproses, hingga tersangka korupsi yang dibebaskan.

    “Mekanisme sistem transparansi dan akuntabilitas harus dibangun, khususnya di institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” kata Ketua Forum Wartawan Online Lampung ini.

    Menurut Alumni Pasca Sarjana Unila ini, kepolisian belum transparan karena tak membuka sejumlah informasi yang seharusnya diketahui publik. Informasi tersebut misalnya mengenai berapa jumlah Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) yang sudah dikeluarkan, jumlah laporan perkara yang masuk, jumlah perkara yang sudah ditangani, dan jumlah kasus yang tidak ditangani.

    “Informasi itu harusnya transparan, jadi publik tahu berapa kasus yang tidak ditangani beserta alasannya. Saya rasa sampai saat ini informasi belum bisa diakses. Bahkan ada info penangkapan dugaan korupsi, yang sehari dibantah, kemudian tiga hari dibenarkan, dan kini dibantah lagi,” katanya .

    Juniardi mencontohkan, pada institusi kejaksaan, seharusnya transparan mengenai mekanisme pengembalian uang pengganti dari terpidana kasus korupsi. Dari sisi akuntabilitas, kejaksaan juga harus melakukan perbaikan.

    Juniardi, menambahkan idealnya seorang jaksa harus berperan aktif memeriksa perkara sejak kepolisian mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

    “Kewenangan jaksa tidak sekedar dalam hal penuntutan. Itu untuk efisiensi supaya berkasnya tidak bolak-balik, yang kedua menciptakan peradilan murah,” katanya.

    Adapun, institusi pengadilan harus melakukan pembenahan sistem kepaniteraan dan sistem administrasi pengadilan yang lebih transparan.

    Pasalnya, tren kasus korupsi di pengadilan saat ini tidak selalu melibatkan hakim. “Sistem administrasi pengadilan juga harus terus dibenahi agar lebih transparan lagi,” katanya.
    (red)