Jakarta (SL)-Pakar hukum dari Universitas Nasional Ismail Rumdan menilai Presiden Jokowi harus mengambil cuti selama masa kampanye pilpres yang masih tersisa satu bulan ini. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan wewenang secara masif oleh calon petahan itu.
“Prinsipnya kekhawatiran potensi penyalagunaan wewenang selama masa kampanye itu cukup besar jika calon petahan tidak ambil cuti,” kata Ismail di Jakarta, pekan lalu.
Menurut dia, contoh penyalahgunaan weweang tersebut antara lain, melibatkan para menteri dan kepala daerah untuk kepentingannya sebagai capres. Indikasi praktik kotor semacam itu sudah terlihat sejak jauh-jauh hari. “Seharusnya, Jokowi memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, sebab beberapa kalai pilpres sebelumnya para calon petahana selalu mengambil cuti kampanye,” ujar Ismail.
Ismail pun menduga, Jokowi cemas karena elektabilitasnya mulai merosot. Sehingga berbagai macam cara dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas yang menurut lembaga survei PolMark Indonesia hanya 40,4 persen itu. “Pandangan seperti ini wajar saja, jika Jokowi sebagai kontestan pilpres tidak cuti dari jabatannya selaku presiden. Sebab sulit untuk memisahkan dan membedakan aktifitas Jokowi sebagai presiden dan aktifitas Jokowi sebagai capres,” jelas Ismail.
Dia pun memberikan contoh. Misalnya dalam depat capres terkait penyampaian visi dan misi saja, Jokowi terkesan sulit membedakan posisinya sebagai presiden dengan apres. Sehingga, mantan gubernur DKI Jakarta itu lebih banyak menyampaikan program kerjanya sebagai presiden. “Bukan menyampaikan visi dan misi sebagai calon presiden 2019,” tegas Ismail.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean. Dia mengingatkan bahwa posisi Jokowi sebagai Presiden saat ini jangan sampai digunakan dalam kapasitasnya sebagai capres. “Jokowi tidak boleh mempergunakan kekuasaannya sebagai Presiden untuk membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya sebagai capres,” kata Ferdinand.
Karena menurutnya, hal tersebut juga telah diatur dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya pasal 282, bahwa pejabat struktural, menteri, bupati, dilarang menggunakan jabatannya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain.“Inikan Jokowi banyak membuat kebijakan menguntungkan diri dan merugikan orang lain, tidak boleh. Titik fokus harus di situ. Bukan kepada fasilitas,” kata dia.
Sebaiknya Cuti, Jangan Gunakan Fasilitas Negara saat Kampanye
Jakarta (SL)-Cawapres Idola Generasi Milenial Sandiaga Uno mengaku memprediksi sedari awal bahwa polemik cuti-tidaknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan muncul. Sandiaga mengklaim sudah mengantisipasi sejak dini agar polemik itu tidak menyasar dirinya.
“Makanya saya tegas mundur sebagai Wakil Gubernur DKI walaupun diperbolehkan saya cuti (saat kampanye), karena saya nanti bisa memakai fasilitas negara, fasilitas uang Pemprov DKI,” kata Sandiaga Cawapres muda usia itu saat berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, Rabu (6/3/2019) lalu.
Sandiaga mengaku tak mau statusnya sebagai cawapres atau Wakil Gubernur DKI dipermasalahkan saat kunjungan ke daerah dipermasalahkan. Kini, cawapres nomor urut 02 itu merasa lega karena tidak dipusingkan dengan statusnya selaku wagub atau cawapres. “Keputusan saya kepada Pak Prabowo bahwa saya akan mundur adalah dipicu karena kekhawatiran saya bahwa saya rancu hadir di sini (Bukittinggi) sebagai Wakil Gubernur yang cuti atau Cawapres,” jelasnya.
“Nah sekarang saya Alhamdulillah plong karena saya hadir di sini sebagai cawapres, tidak pakai fasilitas negara saya lakukan semua prinsip keterbukaan,” imbuh Sandiaga.
Namun Sandiaga enggan mengomentari saat dimintai tanggapan soal status cuti-tidaknya Jokowi. Sandiaga menuturkan, salah satu alasannya mundur dari Wagub DKI karena tak mau dicap memakai fasilitas negara untuk kegiatan kampanye. “Saya tidak mau berkomentar tentang Pak Presiden. Tapi (pemanfaatan fasilitas) itu salah satu yang melandasi saya yang mundur dari Wakil Gubernur DKI,” ucapnya.
Sebelumnya, juru debat dan anggota Direktorat Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Indra, menyoroti status Jokowi sebagai capres petahana. Dia meminta Jokowi mengumumkan secara terbuka waktu cutinya.
Indra menyebut kampanye secara terbatas sudah dimulai pada 23 September 2018, sedangkan kampanye terbuka pada 21 hari sebelum hari pencoblosan 17 April 2019. “Supaya tidak terjadi abuse of power, supaya tidak ada dugaan penyalahgunaan, ayo, gentle, dong. Sandi saja mundur, gentle juga Jokowi, minimal cuti. Jadi Jokowi gentle, dia declare tanggal berapa dia cuti. Karena, kalau nggak lakukan, ya potensi penyalahgunaan kekuasaan akan sangat tinggi,” kata Indra, Selasa (26/2).
Namun, Jokowi sendiri menolak untuk cuti dan mundur dengan berbagai alasan dan menyatakan tetap akan mengemban amanah sebagai presiden meskipun statusnya saat ini juga sebagai capres. Dia menyampaikan tidak akan mengambil cuti. “Kalau aturan mengharuskan kita harus cuti total, ya saya akan cuti total. (Tapi) aturan KPU kan tidak mengharuskan itu. Saya masih bisa kerja,” kelit Jokowi seusai panen raya jagung di Desa Motilango, Kabupaten Gorontalo, Jumat (1/3).
Fahri hamzah
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah meminta kepada calon presiden (capres) petahana Joko Widodo atau Jokowi, fair dan memakai etika dalam situasi kampanye seperti sekarang ini. Sebaiknya, Jokowi cuti dari jabatannya saat ini, atau kurangi menkonsolidasi birokrasi dan aparat negara, baik sipil maupun militer.
“Karena itu nanti ada perasaan orang nggak fair, ada perasaan orang curang ini. Menggunakan kewenangan dan kekuasaan negara, serta uang negara dalam masa kampanye untuk menkonsolidasi aparat sipil negara dan militer, itu nggak bagus,” kata Fahri kepada awak media di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Contoh yang paling kontras, menurut Fahri adalah kasus Kartu Pra Kerja yang dijanjikan Jokowi jika terpilih kembali menjadi presiden pada ajang Pilpres April mendatang. “Ini kan sebenarnya kontras jadinya. Karena sebenarnya ini kan janji sepihak pak Jokowi. Sebagai pemerintahan, pak JK (Wapres Jusuf Kalla) menjawab itu tidak benar. Gitu loh,” ujar inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu.
Fahri juga menilai bahwa Kartu pra Kerja yang dijanjikan Jokowi adalah efek dari kampanye semua, karena itu bukan program yang masuk akal. Kenapa? Karena itu kan soal uang. padahal uangnya tidak ada. “Kepala Desa sudah dijanjiin dinaikan gajinya, ditarik lagi. Itu korban gempa di Lombok nggak dibangun, masih tinggal di tenda. Ini sudah hampir setahun loh. Ini aja (korban gempa) diberesin dulu, makanya jangan janji lagi” sindir Anggota DPR dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Lanjut Fahri, dalam situasi kampanye seperti sekarang ini, sebaiknya yan terkait dengan kebijakan pemerintah itu dilakukan oleh JK sebagai wapres, bukan oleh Jokowi. Karena apa yang dilakukan Jokowi itu, tidak fair bagi rivalnya di Pilpres 2019, Prabowo yang tidak boleh bertemu gubernur, bupati dan kepala desa di lapangan. “Kalau pak Prabowo kan nggak bisa menjanjikan naikan gaji, tambah fasilitasnya, nggak bisa dia. Sementara pak Jokowi melakukannya. Ttu tidak etis,” tegasnya.
Dirinya khawatir dengan cara yang dilakukan ini, Jokowi selaku presiden akan menjanjikan semua hal agar dirinya terpilih kembali. Bukan dengan melihat kondisi keuangan negara saat ini. “Pak JK itu lebih fair, melihat kondisi keuangan kita. Makanya nggak mungkin kebijakan Kartu pra Kerja itu diterapkan, karena orang nganggur di Indonesia kan bisa seratus juta. Dan pastinya mengganggu APBN. Nggak masuk akal itu,” pungkas Fahri Hamzah. (net)