Tag: #2019GantiPresiden

  • Dituntut 2 Tahun Penjara, Ahmad Dhani Tuding Bentuk Balas Dendam Kasus Ahok

    Dituntut 2 Tahun Penjara, Ahmad Dhani Tuding Bentuk Balas Dendam Kasus Ahok

    Jakarta (SL) – Penyanyi terkenal asal Surabaya, Ahmad Dhani dituntut hukuman dua tahun penjara atas kasus dugaan ujaran kebencian. Kasus ini diawali saat dirinya akan deklarasi tagar #2019GantiPresiden yang akan dilaksanakan di Surabaya. Namun ditolak dan didemo oleh massa yang diduga pendukung Capres lawannya.

    Pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai secara sah dan meyakinkan bahwa Dhani melakukan tindak pidana ujaran kebencian melalui informasi dan transaksi elektronik (ITE) di media sosial. Dalam tuntutan tersebut dibacakan, Dhani menganggap bahwa tuntutan jaksa merupakan balas dendam terkait kasus yang pernah menimpa mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

    “Waktu kasus Ahok, jaksa menuntut 1 tahun percobaan bukan penjara, hakim memutuskan Ahok 2 tahun. Ini kayaknya mungkin kebalik ini. Karena hakim telah memberikan keputusan yang lebih berat daripada tuntutan JPU waktu itu kepada Ahok, sekarang balas dendam,” jelas Ahmad Dhani saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/11). “Sekarang tuntutannya 2 tahun untuk Ahmad Dhani, itu adalah tuntutan balas dendam, supaya sama dengan Ahok.”

    Lebih lanjut, pria asal Surabaya itu menilai jika tuntutan jaksa terkait dengan suku agama ras dan antar golongan (SARA). Sehingga baginya, tuntutan jaksa tersebut bersifat abstrak. “Ada golongan yang abstrak yang dituduhkan kepada saya bahwa saya telah memberikan pernyataan kebencian kepada golongan yang abstrak ini,” sambung Ahmad Dhani.

    “Tadi jaksa tidak tidak memberikan siapa yang saya beri pernyataan kebencian itu. Kepada siapa? Jadi itu tadi hanya berdasarkan SARA, itu hanya berupa retorika-retorika saja, tapi detailnya tidak ada, jadi abstrak dan mungkin menurut saya ya ini bukan dari JPU ya. Ya, mungkin ini dari atasnya yang bikin tuntutan ini, saya enggak yakin JPU nya,” papar Ahmad Dhani. “Saya yakin dari atas, karena tuntutannya dua tahun sama seperti Ahok dipenjara. Jadi, ini kayaknya balas dendam nih,” tutupnya.

    Tak hanya itu, Dhani juga merasa sedikit kebingungan saat JPU membacakan tuntutan utuk dirinya. Sebab, jaksa tak berani mengatakan bahwa ia telah memberikan pernyataan kebencian kepada golongan dan pendukung Ahok. (liputanindonesia)

  • Pengamat Asing: Jokowi Berubah Menjadi Otoriter

    Pengamat Asing: Jokowi Berubah Menjadi Otoriter

    Jakarta (SL) – Sejumlah publikasi kajian dan artikel yang ditulis pengamat asing,  menyampaikan sebuah kekhawatiran yang hampir seragam. Jokowi, seorang tokoh populer yang dianggap mewakili wajah politisi baru “di luar elit politik yang pernah terlibat di era Orde Baru”, telah berubah menjadi seorang otoriter.

    Tekanan politik untuk mempertahankan kekuasaan, membuat Jokowi berubah menjadi seorang pemimpin yang   menggunakan berbagai instrumen pemerintahan, untuk memberangus oposisi.

    “Sekarang para kritikus dan para pendukung Jokowi sama-sama bertanya, seberapa aman sebenarnya (demokrasi) Indonesia dari kemunduran menjadi negara otoriter,” tulis Matthew Busch dalam artikelnya berjudul Jokowi’s Panicky Politics yang ditulis di laman Majalah Public Affairs.

    Para pengamat asing menunjuk tindakan Jokowi membubarkan HTI melalui peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu), pembubaran berbagai aksi gerakan #2019GantiPresiden, penggunaan instrumen hukum untuk  menekan lawan politik, dan pelibatan kembali militer dalam  politik  sebagai  indikator perubahan arah dan gaya  pemerintahan Jokowi.

    “Jokowi terbukti menjadi pemimpin yang tidak sabar dan reaktif. Dia dengan mudah tersentak oleh ancaman politik, dan seperti banyak politisi Indonesia, tampaknya nyaman menggunakan alat-alat tidak liberal untuk mempertahankan posisi politiknya,” tulis Eve Warburton dan Edward Aspinall dalam artikel berjudul “Indonesian democracy: from stagnation to regression? di laman The Strategist yang diterbitkan Australian Startegic Policy Institut.

    Tim Lindsey dari University of Melbourne  malah menyebut Jokowi sebagai neo Orde Baru. Dalam artikelnya berjudul Jokowi in Indonesia’s ‘Neo-New Order’ di laman EastAsiaForum.org,  Lindsey menyoroti kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, meningkatnya penggunaan tuduhan kriminal palsu untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan aktivis antikorupsi dan meningkatnya pembunuhan di luar hukum terhadap tersangka narkoba.

    Mengapa para pengamat asing sangat khawatir kecenderungan perubahan pemerintahan Jokowi meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi, dan mengambil jalan otoriter.  Sebuah artikel terbaru yang ditulis oleh Tom Power seorang kandidat PhD dari Australian National University (ANU) mengungkap secara rinci. Berdasarkan hasil diskusinya dengan sejumlah pengamat, termasuk dari Indonesia, Power berkesimpulan ”Jokowi bertindak dengan cara yang tidak liberal atau anti-demokrasi. Ini adalah hasil dari kepekaan politik yang sempit, pemikiran jangka pendek dan pengambilan keputusan secara ad hoc,” tulisnya.

    Berikut beberapa fakta yang disarikan dari artikel berjudul Jokowi’s authoritarian turn, tulisan Tom Power yang dimuat pada laman Newmandala.org edisi 9 Oktober 2018.

    Melanggar Norma Demokrasi

    Upaya Jokowi untuk mengkonsolidasikan posisi politiknya menjelang pemilihan April telah mulai melanggar norma-norma demokrasi fundamental. Memasuki tahun  2018, semakin banyak bukti  pemerintah Jokowi mengambil langkah otoriter yang berkontribusi terhadap percepatan status quo demokrasi Indonesia. Sebagian besar dari proses ini adalah upaya yang konsisten untuk memperoleh manfaat partisan yang sempit dari instrumentalisasi politik lembaga-lembaga utama negara.

    Politisasi Hukum

    Politisasi lembaga hukum dan penegakan hukum bukanlah fenomena baru di Indonesia. Kerumitan peraturan hukum dan kriminalitas di mana-mana ” terutama korupsi ” di dalam negara telah lama memberikan kesempatan bagi para pelindung kuat untuk mengendalikan dan memanipulasi bawahan politik mereka dengan ancaman penuntutan yang implisit maupun eksplisit. Namun, upaya pemerintah untuk menggunakan instrumen hukum dengan cara ini telah menjadi jauh lebih terbuka dan sistematis di bawah Jokowi.

    Tanda-tandanya tampak jelas ketika Jokowi menunjuk politikus Nasdem Muhammad Prasetyo sebagai jaksa agung. Posisi ini  secara tradisional disediakan untuk seorang yang bukan-partisan.

    Kejaksaan Agung di bawah Prasetyo bergerak untuk merusak kubu oposisi yang saat itu menguasai parlemen. Mereka menangkap sejumlah anggota partai oposisi atas tuduhan korupsi.

    Pelemahan kubu  koalisi oposisi berhasil dicapai pada tahun 2015 -2016, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diduduki kader PDIP Jasonna Laoly menggunakan kontrolnya atas verifikasi legal dewan-dewan partai untuk memanipulasi perpecahan faksi dalam Golkar dan PPP, dan akhirnya memaksa mereka masuk ke dalam koalisi yang berkuasa.

    Kriminalisasi terhadap para penyelenggara dan penyokong gerakan 212, terutama terhadap pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang dipaksa mengasingkan diri ke Arab Saudi setelah dituduh melakukan pelanggaran pornografi. Maestro media, dan Ketua Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo tiba-tiba mengubah kesetiaannya kepada Jokowi pada 2017 setelah polisi menuduhnya mencoba mengintimidasi jaksa penuntut umum  melalui SMS. Kasus Hary tidak berlanjut setelah dia bergabung dalam kubu pemerintah.  Hary sebelumnya dikenal sebagai penyokong utama kubu oposisi.

    Di luar penggunaan penuntutan taktis untuk menjinakkan musuh, Jokowi memperkenalkan kekuatan hukum baru untuk menghukum organisasi masyarakat sipil. Keputusan presiden, atau Perppu, pada organisasi-organisasi massa yang dikeluarkan pada pertengahan tahun 2017 berfungsi untuk mencabut “hampir semua perlindungan hukum yang bermakna dari kebebasan berserikat.”

    Menjelang Pilpres 2019, pemerintah telah mengubah strategi represif ini untuk melawan kekuatan oposisi. Dengan mengubah institusi keamanan dan penegakan hukum untuk melawan oposisi, pemerintahan Jokowi telah membuat kabur batas antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah.

    Politik Sandera

    Sejak pertengahan tahun ini, sejumlah pemimpin daerah yang berafiliasi dengan oposisi, mengumumkan dukungan mereka untuk Jokowi. Pandangan yang tersebar luas di kalangan elit adalah bahwa aktor-aktor pemerintah telah mengancam orang-orang ini dengan dakwaan hukum ” khususnya yang berkaitan dengan korupsi ” kecuali mereka bergabung  dengan inkumben.

    Yang paling menonjol dari para “pembelot” ini adalah Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Gubernur Nusa Tenggara Barat dan seorang ulama berpengaruh dan anggota Partai Demokrat. TGB pada tahun 2014  memimpin tim kampanye Prabowo di provinsi NTB, mendukung protes anti-Ahok, dan dinobatkan sebagai salah satu nominasi calon presiden kubu oposisi.

    Pada akhir bulan Mei, KPK mengumumkan akan menyelidiki dugaan keterlibatan TGB menerima gratifikasi dalam penjualan saham di pertambangan raksasa operasi Nusa Tenggara Newmont ke pemerintah Nusa Tenggara Barat. Pada awal Juli, TGB mengumumkan dukungannya kepada Jokowi.

    Penerus TGB sebagai gubernur NTB, politikus PKS Zulkieflimansyah ” yang namanya juga disebut-sebut terkait dengan kasus Newmont ” segera menampilkan foto dirinya bersama Jokowi di profil WhatsApp-nya dan mengisyaratkan kepada rekan-rekannya bahwa ia lebih menyukai Jokowi dibanding Prabowo.

    Di Maluku Utara, gubernur PKS yang berkuasa, Abdul Ghani Kasuba, meninggalkan partainya dan bergabung dengan PDI-P dalam pilkada 2018. Di Papua, juga, Gubernur Lukas Enembe ” yang telah terlibat dalam berbagai skandal korupsi selama masa jabatannya ” juga mengumumkan dukungannya untuk Jokowi setelah memenangkan pemilihan kembali sebagai kader Partai Demokrat.

    Pada bulan Juli, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengklaim bahwa Gubernur Sumatera Barat,Irwan Prayitno, politisi PKS dan anggota tim sukses Prabowo tahun 2014, juga mendukung Jokowi.

    Upaya-upaya yang oleh para kritikus sebut sebagai “kriminalisasi” politisi oposisi, sering dikaitkan dengan Jaksa Agung. “Seorang pejabat PDI-P yang saya ajak bicara menggambarkan kantor Kejaksaan Agung sebagai “senjata politik” yang “sekarang secara rutin digunakan oleh pemerintah untuk mengendalikan politisi oposisi, dan oleh Nasdem untuk memaksa eksekutif di daerah bergabung dengan pemerintah, ” tulis Power.

    Sejumlah besar kepala daerah memang bergabung dengan Nasdem di 2017-2018. Sebagai contoh, selama perjalanan singkat oleh ketua Nasdem Surya Paloh ke Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2018, tiga bupati setempat mengalihkan kesetiaan dari partainya.

    Tim kampanye Jokowi mengklaim mendapat dukungan dari 31 dari 34 gubernur, dan 359 dari 514 walikota dan bupati. Implikasi elektoral beralihnya dukungan para kepala daerah ini  masih harus dilihat.  Tetapi kapasitas para kepala daerah dalam melakukan mobilisasi, dan hasil pemilihan sebelumnya,  menunjukkan tingkat korelasi antara afiliasi gubernur dan walikota, memberi saham suara lokal bagi  calon presiden.

    KPK juga tampak semakin bisa dikompromikan di bawah Jokowi. Ditangkap dan diadilinya Ketua Umum Golkar  Setya Novanto pada kasus e-KTP dipuji sebagai kemenangan bagi agensi. Tetapi KPK mengalah dan mengeluarkan politisi PDIP dari dakwaan. Padahal  dari pengakuan Novanto sejumlah politisi PDIP terlibat dalam kasus tersebut.

    Hingga Oktober 2018, tidak ada politisi PDI-P berprofil tinggi yang ditangkap. Hal ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan: Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, yang diyakini memiliki pengaruh besar di antara para agen KPK yang direkrut dari kepolisian, adalah sekutu dekat ketua PDI-P Megawati Soekarnoputri.

    Melawan Oposisi Akar Rumput

    Penggunaan kasus-kasus korupsi untuk pengaruh politik bukanlah satu-satunya cara dimana aparat negara digunakan oleh pemerintah Jokowi untuk keuntungan partisan menjelang pemilu. Selama tahun 2018, polisi telah meningkatkan upaya untuk menekan gerakan # 2019GantiPresiden.

    Para aktivis #2019GantiPresiden sering menerima laporan bahwa polisi menyita barang dagangan dari penjual dan mengintimidasi orang yang menampilkan hashtag #2019GantiPresiden. Pada bulan Juni hingga September, jadwal acara #2019GantiPresiden di Serang, Bandung, Pekanbaru, Surabaya, Pontianak, Bangka Belitung, Palembang, Aceh dan bagian lain negara dilarang atau dibubarkankan oleh polisi. Seringkali polisi menggunakan bantuan kelompok penentang.

    Setelah pembubaran acara #2019GantiPresiden di Surabaya, Menko Maritim (Power menulisnya sebagai Menko Polhukam.red)  Luhut Pandjaitan berpendapat bahwa kegiatan itu memang harus dilarang. Dengan begitu dapat mencegah perselisihan sosial dan bentrokan antara demonstran pro-pemerintah dan oposisi. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang berusaha menampilkan diri sebagai kekuatan baru untuk politik progresif dan demokratis, juga mendukung penindasan gerakan dengan alasan “mengarahkan kebencian kepada presiden”.

    Banyak justifikasi hukum untuk mendukung tindakan keras tersebut. Pada bulan Maret, polisi mengumumkan sedang menyelidiki aktivis Neno Warisman dengan kecurigaan bahwa pembuatan grup WhatsApp menggunakan tagar #2019GantiPresiden melanggar Undang-undang Transaksi Elektronik (UU ITE), atau bahkan merupakan pengkhianatan.

    Memobilisasi Militer

    Kekhawatiran telah tumbuh selama masa kepresidenan Jokowi tentang munculnya kembali falsafah “Dwi fungsi” di dalam militer. Termasuk melalui konsolidasi struktur komando teritorialnya dan keterlibatan baru tentara dalam program-program sosial dan ekonomi yang dipimpin pemerintah.

    Pada tahun 2018, setelah memperkuat pengaruh pribadinya di dalam angkatan bersenjata melalui pemasangan sekutu pribadi sebagai Panglima TNI (Marsekal TNI Hadi Tjahjono), Jokowi bahkan melangkah lebih jauh dalam mendorong TNI kembali ke politik (repolitisasi).

    Pada bulan Juni, Jokowi mengumumkan kenaikan tunjangan yang cukup besar  besar untuk Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI. Pada bulan Juli, ia menyampaikan pidato kepada para petugas Babinsa di Makassar dimana ia menginstruksikan para prajurit di tingkat desa untuk menghentikan penyebaran “hoax” yang menghubungkannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

    Pada bulan Agustus, Jokowi berpidato lagi di mana dia menginstruksikan polisi dan perwira militer untuk mempromosikan pencapaian program pemerintahnya kepada masyarakat.

    Tindakan Jokowi ini merupakan langkah mundur, dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Salah satu prestasi besar Susilo Bambang Yudhoyono adalah penerimaan oleh elit TNI bahwa “militer adalah alat eksekutif administrasi.” Namun Jokowi tampaknya siap menggunakan alat ini untuk melayani tujuan-tujuan partisan, dalam konteks kampanye pemilihan umum.

    Sejak jatuhnya Orde Baru, militer dan polisi tidak lagi dikerahkan secara sistematis untuk memberikan keuntungan politik kepada pemerintah yang berkuasa. Kecenderungan penggunaan militer dan polisi pada Pilpres 2019, akan menandai langkah lain dalam ketidakseimbangan yang parah dari medan permainan antara pemerintah dan oposisi. Militer dan politisi adalah sebuah fitur yang tidak terkait dengan demokrasi. Itu adalah bentuk otoriterisme pemilihan dan hibriditas sebuah rezim.

    Salah satu alasan penggunaan instrumen penegakan hukum dan lembaga keamanan bagi kemenangan Jokowi,  mungkin  disebabkan kurangnya kepercayaannya pada keandalan dan efektivitas partai politik, organisasi sosial, dan kelompok relawan pendukungnya.

    Interaksi dengan parpol, elit politik dan organisasi masyarakat sipil, tampaknya telah membuat Jokowi belajar bahwa alat-alat negara jauh lebih mudah digunakan dan jauh lebih efektif dalam mengatasi perlawanan politik dari oposisi. (RMOL)

  • Rambo Aceh Diperiksa Polisi Usai Viral Vidionya Tantang Pria Bertopeng Penolak #2019Ganti Presiden

    Rambo Aceh Diperiksa Polisi Usai Viral Vidionya Tantang Pria Bertopeng Penolak #2019Ganti Presiden

    Aceh (SL) – Nir alias Rambo, warga asal Desa Ujong Padang, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, dijemput dan diperiksa petugas Kepolisian Sektor (Polsek) Kuala setelah videonya menantang sejumlah orang bertopeng yang ingin menggagalkan deklarasi #2019GantiPresiden di Aceh, beredar di media sosial.

    Polisi melalui Kepala Bidang Humas Polda Aceh, Kombes Misbahul Munauwar, saat dihubungi CNNIndonesia.com belum dapat berkomentar secara rinci tentang penangkapan dan pemeriksaan Rambo itu.

    Koordinator Relawan #2019GantiPresiden Regional Aceh, Fazil Haitamy menceritakan kronologi saat Rambo dijemput polisi pada Sabtu (1/9) malam.

    Saat itu, anggota polisi berpakaian sipil dan tanpa membawa surat penangkapan mendatangi rumah Rambo. Polisi tersebut, kata Fazil, didampingi kepala desa saat mendatangi rumah Rambo.

    “Setelah magrib beberapa polisi dengan pakaian bukan dinas datang ke desa tempat tinggal bang Nir alias Rambo. Habis Magrib sekitar jam delapan malam,” kata Fazil saat dihubungi CNNIndonesia.com.

    Rambo kemudian dibawa ke Polsek Kuala, Kabupaten Nagan Raya. Di sana, Rambo ditanya perihal video yang dibuatnya. Anggota polisi tersebut meminta Rambo mengklarifikasi ucapannya dan mendesak Rambo meminta maaf melalui rekaman video.

    Video yang dibuat Rambo merupakan respons dari video yang dibuat oleh ‘Manusia Bertopeng’ yang viral sebelumnya. Dalam video, ‘Manusia Bertopeng’ yang mengatasnamakan pasukan Gerilayawan Aceh itu menolak aksi deklarasi #2019GantiPresiden yang rencananya akan digelar di Aceh, 1 September 2018.

    Kata Fazil, Rambo menolak permintaan polisi untuk meminta maaf melalui video karena permintaan maaf Rambo itu sudah dikonsep oleh polisi.

    “Oknum polisi meminta Rambo bikin video klarifikasi, bahkan sudah dikonsepkan kalimatnya berisi kalimat maaf,” kata dia.

    Lagipula, kata Fazil, Rambo merasa tidak bersalah, Rambo menolak membuat video yang diminta oknum polisi tersebut.

    Menurut Fazil, setelah diperiksa polisi akhirnya melepaskan Rambo, Sabtu (1/9) malam ekitar pukul 22.00 WIB.

    Meskipun dilepaskan, Fazil mengatakan, hingga saat ini Rambo masih khawatir atas kejadian tersebut.

    Menurut Fazil, video yang dibuat pada Rabu (5/8) lalu oleh Rambo tidak menunjuk spesifik kepada satu pihak tertentu. Video tersebut merupakan reaksi atas beredarnya video segerombolan orang bertopeng yang mengancam menggangu deklarasi #2019GantiPresiden di Aceh.

    “Kami kaji kalimat per-kalimat tidak ada melanggar hukum, karena ditujukan untuk gerombolan bertopeng itu. Dia (Rambo) menantang orang-orang bertopeng untuk membuka topeng dan jangan berani-berani menggagalkan acara deklarasi #2019GantiPresiden di Aceh,” kata Fazil.

  • Haris Pertama : Gerakan #2019GantiPresiden Bukan Gerakan Makar

    Haris Pertama : Gerakan #2019GantiPresiden Bukan Gerakan Makar

    Jakarta (SL)- Ketua Umum DPP Garda NKRI Haris Pertama menilai fenomena gerakan masyarakat 2019 ganti presiden bukan sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan makar. Hastag harus dilihat sebagai keinginan dan ide demokrasi yang tumbuh.

    “Tidak elok kemudian gerakan berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam undang-undang itu dilarang-larang apa lagi sampai terjadi persekusi. Hastag 2019 ganti Presiden bukanlah gerakan Makar, tak ada upaya bersenjata dan penggalangan massa untuk menyerang dan menguasai jantung kekuasaan pemerintah yang sah,” ujar Haris, Senin (3/9/2018).

    Haris yang juga pengurus DPP KNPI melihat gerakan itu menggunakan momentum 2019 saat pemilu pemilihan Presiden sebagai mekanisme yang sah dan konstitusional untuk mengeksekusi harapan mereka itu.

    “Jadi itu adalah ide dan gerakan yang tidak mesti dihalang-halangi, bebernya.

    Menurutnya, yang terpenting adalah kelompok pendukung Jokowi melahirkan cara cerdas dan santun untuk mengambil atensi publik, salah satunya dengan data dan fakta sejumlah prestasi baik dan monumental yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi-JK.

    Ide dan public sphare tidak boleh dibegal karena keinginan berkuasa dengan cara-cara lama seperti menggunakan tangan aparat/ state aparatus atau bahkan sengaja membenturkan kelompok masyarakat bahkan main hakim sendiri.

    “Justru cara oknum pemerintah merespon gerakan 2019 ganti presiden itu menjadi kampanye negatif bagi pemerintahan Jokowi yang selama ini kita kenal sebagai pribadi yang demokratis, santun dan beradab,” bebernya.

    Di sisi lain, dia menyesalkan dan kecewa dengan ormas-ormas pendukung Jokowi yang juga ikut membully dan terkesan melakukan pembelaan pada tindakan buruk oknum aparat dan sejumlah oknum ormas yang tampil sok heroik dan melakukan pembubaran itu.

    Dia meminta untuk menikmati proses dinamika dan dialektika yang berkembang di masyarakat, yang terpenting semua dialektika tersebut bukan merupakan upaya untuk merusak tatanan berbangsa dan bernegara, karena itu jauhi agenda politik dan dinamika sosial kemasyarakatan yang didasari pada sentimen suku agama dan ras.

    “Keberagaman ini harus kita jaga dalam persatuan Indonesia,” pungkas Haris yang juga Ketua Presidium Komite Aksi Mahasiswa Pemuda untuk Reformasi dan Demokrasi (KAMERAD) tersebut. (rls)

  • Gerakan Deklarasi 2019 Ganti Presiden Dalam Tinjauan Hukum Dan Ketatanegaraan

    Gerakan Deklarasi 2019 Ganti Presiden Dalam Tinjauan Hukum Dan Ketatanegaraan

    Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
    Ketua LBH PELITA UMAT

    Pasca pembatalan rencana deklarasi 2019 ganti Presiden yang diinisiasi oleh Bunda Neno Warisman di Riau, publik prihatin. Kejadian ini, semakin menegaskan kondisi negara sedang absen dalam menjaga hak konstitusional warga negara untuk menjalankan kemerdekaan menyatakan pendapat dimuka umum.

    Situasi ini diperparah, ketika gerakan yang mengatasnamakan ormas tertentu memaksakan kehendak menolak sekaligus menuntut pembubaran gerakan deklarasi 2019 ganti Presiden di Surabaya. Bahkan, di Surabaya tidak saja terjadi penolakan gerakan ganti Presiden, tetapi sampai pada aktivitas persekusi (perburuan) anggota masyarakat yang hendak menjalankan aktivitas beribadah (sholat) di masjid, yang tegas dijamin konstitusi khususnya sebagaimana diatur dalam pasal 29 UUD 1945.

    Cekaknya, situasi ini diperparah dengan adanya anasir liar yang menuding secara sepihak gerakan 2019 ganti Presiden dianggap memecah belah, menimbulkan kebencian dan SARA, pada saat yang sama diam seribu bahasa melihat tindakan radikal dan intoleran yang dipertontonkan oleh ormas tertentu yang memaksakan kehendak membubarkan kegiatan masyarakat yang memiliki aspirasi 2019 ganti Presiden sebagaimana dijamin konstitusi.

    Karena itu, perlu kajian hukum dan ketatanegaraan yang membuat simpulan hukum untuk memberikan predikat atas adanya gerakan rakyat yang menginginkan 2019 ganti Presiden. Predikat hukum ini, menjadi dasar dan pijakan sikap dan tindakan hukum bagi aparat penyelenggara negara dan para penegak hukum agar dapat menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan hak konstitusional untuk beserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

    Predikat hukum ini juga penting, agar tidak ada oknum penegak hukum
    atau ormas yang berdalih berdasarkan logika kamtibmas dan penyebaran kebencian pada pihak tertentu, kemudian menghalangi apalagi sampai membubarkan kegiatan Penyelenggaraan kebebasan berpendapat dimuka umum yang dijamin undang undang.

    GANTI PRESIDEN ADALAH GANTI OKNUM BUKAN STRUKTUR KETATANEGARAAN

    Gerakan 2019 ganti Presiden dimaksudkan untuk mengganti jabatan Presiden oleh anak bangsa yang diyakini lebih kapabel, lebih amanah, jujur dan bertanggung jawab serta dapat menjalankan tugas tugas pemerintahan dan pengelolaan tata kenegaraan agar menjadi lebih baik. Bukan mengganti struktur dan nomenklatur Presiden menjadi perdana menteri dalam sistem parlementer atau menjadi Raja dalam sistem kerajaan.

    Konstitusi tegas menyebut negara berbentuk Republik dengan dikepalai oleh seorang Presiden. Presiden, selain berfungsi sebagai kepala negara juga menjalankan tugas kepala pemerintahan. Bahkan, sistem presidensial memberi mandat penuh kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan eksekutif secara mandiri dan otoritatif.

    “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” (pasal 1 ayat 1 UUD 45).

    “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”. (Pasal 4 ayat 1 UUD 45).

    Karenanya, gerakan ganti presiden yang dilakukan menjelang Pilpres 2019 adalah gerakan yang harus dipahami sebagai aspirasi untuk mengganti pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan dengan orang lain yang dipandang lebih cakap dan amanah. Gerakan ini sah dan legal, sebab jabatan Presiden bukan seumur hidup, tetapi dibatasi 5 (lima) tahun sebagaimana dijelaskan konstitusi.

    “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. (Pasal 7 UUD 45).

    Dalam dinamakan politik menjelang Pilpres 2019, gerakan 2019 ganti Presiden dimaksudkan untuk mengganti posisi Pak Jokowi selaku pejabat Presiden saat ini, dengan cara yang sah dan legal melalui pemungutan suara dalam ajang Pilpres 2018. Meskipun Pak Jokowi dapat dipilih kembali untuk satu kali periode jabatan (lima tahun), adalah sah dan legal jika ada gerakan rakyat yang menyampaikan aspirasi agar Pak Jokowi tidak terpilih lagi sebagai Presiden dan digantikan oleh Presiden lainnya. Dalam konteks itulah secara hukum memaknai gerakan 2019 ganti Presiden, yakni gerakan yang menyampaikan aspirasi untuk mengganti posisi pemegang jabatan Presiden melalu mekanisme yang diatur konstitusi (Pilpres) dan bukan mengubah struktur dan nomenklatur negara dan pemerintahan.

    Lagipula, mekanisme untuk mengubah struktur Presiden, wewenang, hubungan kelembagaan dengan lembaga yudikatif dan legislatif, secara konstitusi diatur melalui mekanisme sidang umum MPR RI dengan agenda amandemen konstitusi. Jika dalam amandemen konstitusi disepakati merubah bentuk dan corak kekuasaan eksekutif, dari presidensial menuju parlementer, bahkan mengubah negara kesatuan menjadi Serikat, sepanjang ditempuh secara konstitusi adalah sah dan legal menurut hukum.

    Sejarah negara dan bangsa, menunjukan bahwa bangsa ini pernah mengalami masa pemerintahan Republik Serikat, pernah menetapkan kekuasaan sentralistik, dan perubahan kembali menuju negara kesatuan dengan konsep desentralisasi kekuasaan ditempuh melalui jalur konstitusi. Satu-satunya cara-cara perubahan struktur dan bentuk negara yang melanggar konstitusi adalah kudeta PKI yang hendak mengubah negara Pancasila menjadi negara komunis melakukan cara pemberontakan.

    Namun, jika gerakan ganti Presiden ini digaungkan setelah Pilpres 2019, setelah dilantiknya Presiden terpilih melalui mekanisme Pilpres sebagaimana diatur konstitusi, barulah gerakan ini bisa dituding gerakan makar dan memiliki agenda untuk merubah struktur dan bentuk negara. Karenanya, tudingan gerakan 2019 adalah gerakan makar yang bertujuan mengganti struktur dan nomenklatur lembaga negara pada saat menjelang Pilpres 2019 adalah tudingan yang tidak berdasar hukum.

    Tudingan makar ini, lebih condong sebagai gerakan politik picisan yang menunjukkan ketidakmampuan menyerap dan beradaptasi dengan perbedaan aspirasi ditengah rakyat, kemudian menebar fitnah dan ancaman agar rakyat meninggalkan aktivitas menjalankan hak konstitusional berupa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

    ALAT NEGARA HARUS MELAYANI RAKYAT BUKAN MELAYANI PENGUASA

    Aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum, tindakan yang diambil lembaga kepolisian adalah memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada segenap elemen raKyat yang hendak menjalankan hak konstitusi.

    Gerakan 2019 ganti Presiden adalah representasi aspirasi rakyat yang ingin diaktualisasikan dalam bentuk penyampaian pendapat dimuka umum. Fungsi kepolisian adalah melindungi dan mengamankan kegiatan. Jika ada aspirasi berbeda, kepolisian wajib memediasi dan melindungi aspirasi setiap warga negara -meskipun memiliki aspirasi berbeda- dengan menjamin keseluruhan kegiatan dapat berjalan dengan baik.

    Kepolisian tidak boleh mengambil tindakan, dengan berdalih ada komponen masyarakat yang tidak setuju gerakan 2019 ganti Presiden, kemudian mengambil tindakan membubarkan kegiatan deklarasi 2019 ganti Presiden dengan dalih adanya potensi gangguan kamtibmas. Sebaliknya, kepolisian wajib melayani, melindungi dan mengayomi semua pihak.

    Cara paling tepat yang bisa dilakukan oleh kepolisian adalah memediasi pihak yang tidak setuju dan menyarankan pihak yang tidak setuju 2019 ganti Presiden dengan melakukan kegiatan lain sesuai aspirasi yang dikehendaki-nya. Bagi yang tidak setuju gerakan 2019 Ganti Presiden, bisa disarankan untuk membuat gerakan lain seperti gerakan dukung Jokowi sampai mati, pejah gesang nderek Jokowi, pokoknya sekali Jokowi tetap Jokowi, biar utang menumpuk asal presidennya Jokowi, biar sengsara asal Jokowi, atau gerakan lain yang semisal untuk menandingi gerakan 2019 ganti Presiden, dengan catatan satu dengan yang lain tidak saling mengganggu dan saling membubarkan.

    Dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum ditegaskan :

    “Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
    Manusia”.

    Karenanya tindakan menghalangi bahkan hingga membubarkan kegiatan masyarakat dalam rangka Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum berupa aspirasi 2019 Ganti Presiden, selain melanggar hukum juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih lagi, setiap tindakan yang dilakukan untuk menghalangi hak warga negara untuk Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dipidana :

    “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan
    Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”. (Pasal 18 UU No. 9/1998).

    Adapun prosedur pelaksanaan hak Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum cukup memberitahu pihak kepolisian, tidak memerlukan izin. Sebab, hak Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum adalah hak konstitusi, bagaimana mungkin warga negara hendak menjalankan hak yang dijamin konstitusi harus ijin polisi ?

    Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 10 UU No. 9/1998 :

    “Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri”.

    Esensi pasal ini adalah bahwa menjalankan hak konstitusi tidak perlu izin, tetapi cukup pemberitahuan. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar kepolisian bisa melakukan serangkaian tindakan yang bisa menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum ini berjalan tertib tanpa gangguan pihak lainnya. Itulah, tugas dan fungsi kepolisian yang melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat untuk melaksanakan hak konstitusi.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Setelah mendalami realitas dan fakta hukum sebagaimana kami jelaskan, maka kami berkesimpulan :

    Pertama, gerakan 2019 Ganti Presiden secara hukum dan konstitusi adalah gerakan yang sah dan legal, dilindungi oleh hukum dan perundangan serta dijamin sebagai salah satu Hak Asasi Manusia.

    Kedua, gerakan 2019 ganti Presiden adalah salah satu ekspresi dan aspirasi menyampaikan pendapat dimuka umum yang dijamin undang undang, sebagai sebuah kemerdekaan konstitusi yang pelaksanaannya cukup memberikan pemberitahuan dan tidak membutuhkan izin dari pihak kepolisian.

    Ketiga, gerakan 2019 ganti Presiden tidak bisa dan tidak boleh dibatalkan atau dibubarkan oleh pihak manapun baik oleh aparat penegak hukum apalagi ormas, karena hal ini bertentangan dengan konstitusi.

    Keempat, setiap pihak yang mencoba mengambil tindakan baik mengatasnamakan ormas atau institusi lainnya, baik dengan menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan yang menghalangi hak untuk menjalankan kemerdekaan menyatakan pendapat dimuka umum, adalah pelanggaran hukum dan merupakan tindak pidana yang dapat diancam dan diberi sanksi pidana.

  • Dikala Oposisi Mengisi Ruang Kosong, Negara Hadir Ibarat Monster Leviatan

    Dikala Oposisi Mengisi Ruang Kosong, Negara Hadir Ibarat Monster Leviatan

    oleh : Natalius Pigai

    PASTI banyak orang berprasangka begitu kejamnya judul tulisan ini. Tentu saja judul ini tidak begitu saja jatuh dari langit, ada akar historisnya dan tidak ironis bahwa landas pijak lahirnya sebuah negara bangsa termasuk Indonesia hadir untuk melindungi segenap warga negara dari ancaman nyata antar individu (homo homini lupus), lantas negeri dihadirkan sebagai monster leviathan untuk menerkam rakyat ( Thomas Hobes).

    Negara ini kita lahir karena adanya sumpa pemuda menyatakan kehendak antar individu melahirkan pejanjian berdirinya sebuah negara bangsa (pactum unionis), maka kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat (John Locke). Harus di sadari oleh Presiden Jokowi bahwa negara ini tidak pernah dilahirkan karena adanya penjanjian antara rakyat dan negara (pactum subjectionis) maka negara tidak bisa serta merta mengatur sesuai kehendak pribadi, presiden memiliki ruang terbatas yang dibatasi oleh kekuasan yang bersumber dari konstitusi.

    Saya bukan Descartesian atau pengikut Rene Descartes yang mengandalkan kehidupan berlogika dan nalar sebagai sentrum kehidupan. Namun bernalar dan berlogika seringkali menjadi penting tidak hanya di dunia akademia tetapi juga pentingnya logika dalam merancang bangun negara bangsa (nation-state) seperti Indonesia yang bangunan tata praja dan pranata hukumnya belum sempurna.

    Apakah bernalar jika seorang Presiden yang pemimpin tertinggi sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan perlu membentengi diri dari oposisi pemerintah?. Begitu jahatkah oposisi sehingga seorang Presiden yang juga adalah orang terpilih, terbersih, terbaik dari sisi pengetahuan (Knowledge), ketrampilan memimpin (skills) juga bermental baik (attitute) yang dipilih oleh partai-partai politik melalui tahapan seleksi secara ketat lantas memanfaatkan segala instrumen negara untuk kepentingan kekuasaan dirinya bukan untuk kepentingan umum atau kebaikan bersama (bonum commune).

    Ironi, bahwa saat ini partai-partai yang justru mengusung kader terbaik mereka menjadi Presiden Republik Indonesia berusaha keras untuk mempertahankan kedigdayaan dengan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dari ancaman hanya sekedar tekanan verbal adalah sesat pikir dan sesat nalar. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan merupakan pengguna kekuasaan yang bersumber dari konstitusi, namun konstitusi negara mengamanatkan kekuasaan Presiden juga Tidak Tak Terbatas. Itu esensi negara yang perlu dipahami oleh Presiden Jokowi.

    Di saat presiden yang berada di Bizantium Kekuasaan yang saban hari disembah sujud oleh semua elemen bangsa justru memanfaatkan semua instrument negara hanya untuk melindungi diri sendiri yang berkuasa luar biasa. Sementara rakyat kecil berjuang setengah mati mencari perlindungan dan keadilan di negeri ini.

    Sangat naif, bilamana Presien menjadikan institusi negara sebagai alat kekuasaan maka tindakannya merupakan perwujudan nyata dari apa yang sering diungkapkan dan dikhawatirkan rakyat bahwa ternyata kekuasaan negara ibarat silet yang menyayat dan menancap tajam ke orang-orang kecil tetapi tumpul pada penguasa di singgasana kekuasaan.

    Harus disadari bahwa dimana-mana di dunia ini, seorang Presiden hanya dilindungi dari ancaman keselamatan jiwa dan fisik yang terdiri ancaman luar (external treath) dan keamanan dan kenyamanan di dalam negeri. Dalam konteks ancaman ini, semua upaya perlindungan secara protokoler telah diberikan oleh negara sehingga tidak terlalu penting diberi perlindungan secara hukum apalagi terkait ujaran, demonstrasi dari rakyat terhadap Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

    Negara kita menganut sistem meritokrasi termasuk jabatan Presiden Republik Indonesia. Terpilih melalui seleksi dan hasil pemilihan umum. Kedaulatan Presiden merupakan resultante dari kedaulatan individu melalui kumpulan satu orang, satu suara, satu nilai (Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu rakyat berhak mencabut kedaulatan, apalagi hanya sekedar menyampaikan pikirkan, perasaan dan pendapat untuk menilai kemajuan (progress) dan kemunduran (regress) atas kinerja Presiden.

    Presiden Pemangku jabatan publik sehingga mutlak untuk dinilai baik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab maupun juga cara bertutur, bertindak, mentalitas dan moralitasnya sebagai panutan seluruh rakyat. Presiden juga harus siap menerima berbagai cacian, makian, kritikan yang berorientasi kepada merendahkan harga diri dan martabat sekalipun sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara jabatan Presiden dan pribadi.

    Sekali lagi bahwa Presiden itu orang yang terseleksi secara ketat termasuk kadar moralitas dan persoalan pribadinya sehingga sejatinya secara otomatis nyaris terhindar atau bahkan jauh dari ujaran kebencian. Namun jika rakyat menyampaikan kata-kata yang mengandung ujaran kebencian maka tentu saja terdapat persoalan yang serius dan kronis dilakukan oleh seorang presiden yang disegani dan dihormati.

    Karena itu justru yang harus diperiksa adalah Pemerintahannya yang tidak mempu mendeliver haluan negara kepada rakyatnya, bukan rakyat yang disalahkan. Karena itu saya menduga para pemimpin kita ini bernalar laba-laba, komplicated atau bahasa saya di Papua disebut logika rumit (bunikigi)!.

    Tagar 2019 Ganti Presiden bukan menghina Presiden. Salah besar Prof Jimly Assidiqie menyatakan menghina Presiden. Rakyat tidak menyatakan mengganti Presiden yang sedang berkuasa pada tahun 2018 karena bisa dianggap makar, tetapi 2019 ganti presiden adanya komitmen rakyat untuk melakukan perubahan pimpinan nasional secara konstitusional melalui momentum pemilihan umum 2019. Sangat wajar jika rakyat menggaungkan opini atau

    keinginan ganti Presiden dari saat ini dimana sudah memasuki momentum politik Pilpres 2019. Apa yang disampaikan oleh Prof Jimly tentang pasal penghinaan bahwa perlu diketahui bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden itu warisan pemerintah orde baru yang otoriter dan kejam. Jika pemerintah berpandangan kembali sistem kadaluwarsa ini maka reformasi secara substansial belum berjalan secara maksimal. Dan inilah problem serius bangsa ini, dimana kita tersandera dengan pola pikir dan nalar orde baru bahwa presiden adalah simbol negara sehingga harus diselamatkan dan dilindungi. Padahal tidak ada satu pasal dalam konstitusi yang menyatakan Presiden simbol negara.

    Jabatan Presiden itu bukan simbol negara bangsa (nation state simbols) seperti Pancasila, UUD 1945, Burung Garuda, adagium unitarian Bhinneka Tunggal Ika. Secara hukum kekuasaan presiden juga tidak tak terbatas artinya kekuasan presiden dibatasi oleh konstitusi, selain sebagai mandataris MPR juga sebagai warga negara biasa dihadapan hukum. Oleh karena itu Presiden memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan juga kewajiban untuk mematuhi hukum.

    Ada pandangan bahwa tindakan Neno Warisman dan rakyat yang menginginkan ganti presiden 2019 adalah Penghinaan terhadap Presiden merupakan sesat logika dan sesat hukum. Bahkan secara politis akan berbahaya karena selain mengkultuskan individu Presiden, juga apapun yang dikatakan Presiden bisa dianggap sebagai sebuah Titah Raja yang tidak terbantahkan, semacam devine right of the King seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Jhon di Inggris aband ke-15 yang pada diakhirnya juga perlawanan rakyat yang melahirkan magna charta.

    Pada saat ini, kita mesti mencari jalan keluar bagaimana negara memberi ruang ekspresi bagi kelompok oposisi dan intelektual atau juga masyarakat untuk menjalankan keseimbangan (check and balances) terhadap kekuasaan. Hal ini penting untuk antisipasi agar kekuasaan tidak memupuk pada seorang individu yang cenderung otoriter dan bernafsu menyalahgunakan kewenangan (Powers tens to corrupt and Will corrupt absolutely).

    Sepertinya para politisi dan birokrat gila jabatan dan penjilat terhadap kekuasan. Untuk kepentingan apa dan siapa dari para punggawa ilmu, para profesional, politisi, bahkan preman jalanan sampai mengatur urusan privat seorang warga negara yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Jika ada tindakan rakyat dan oposisi yang mengarah pada tindakan yang mengandung unsur pidana maka tanggung jawab pribadi untuk menggunakan haknya sebagai warga negara untuk ajukan gugatan hukum. Dan presiden bisa saja menunjuk pengacaranya sendiri tanpa harus menggunakan instrumen negara untuk menekan rakyat atau Jaksa sebagai pengacara negara.

    pemerintah jangan hadir seperti monster leviathan yang menerkam rakyat karena menyalahi kodratiyah lahirnya sebuah negara yaitu demi melindungi dan membawa perlindungan dari bahaya saling menerkam (homo homini lupus).

    Bagaimanapun harus diakui bahwa kelemahan kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 ini adalah ketidakmampuan membangun bangsa dan memantapkan karakter kebangsaan. Kegagalan terbesar adalah membiarkan disharmoni sosial/horisontal juga secara vertikal antara negara dan rakyat dampaknya terjadi kerusakan fundamental soal kebangsaan. Hal ini patut diduga karena kontribusi tumpukan pemilik nalar orde baru di lingkaran istana negara jadi wajar jika nalar progresif dan reformasi stagnan alias tidak berjalan. (Natalius Pigai adalah Kritikus dan Aktivis)

  • Rocky Gerung: Yang Bilang #2019GantiPresiden Makar Itu “Ngaco”

    Rocky Gerung: Yang Bilang #2019GantiPresiden Makar Itu “Ngaco”

    Jakarta (SL) – Akademisi Rocky Gerung mengkritisi pihak-pihak yang melarang digelarnya deklarasi gerakan #2019GantiPresiden di sejumlah daerah. Apalagi muncul tudingan yang menyatakan gerakan tersebut merupakan usaha makar. Rocky menilai, istilah makar tersebut tak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sebab baginya tak ada kaitannya deklarasi yang digelar di beberapa daerah itu dengan sistem pemerintahan yang dipusatkan di Istana Kepresidenan.

    “Bukan kurang tepat, ngaco. Istilah itu yang paling enggak dikenal sama milenial. Itu kan dibuat Belanda pada zaman penjajahan untuk mempertahankan kekuasaan. Istilah makar saja enggak tepat kan sekarang. Kalau orang pasang hashtag di Riau terus apa hubungannya dengan stabilitas politik di depan istana,” kata Rocky di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Rabu (29/8).
    Rocky yakin ke depannya deklarasi #2019GantiPresiden akan terus berlanjut. Apalagi, menurutnya, gerakan ini merupakan kehendak dari masyarakat. “Hashtag itu akan makin ada setelah negara membuat larangan. Misal di Riau kemarin apa terjadi deklarasi? Enggak kan, (tidak deklarasi) karena dihalau. Tidak terjadi di Riau, tapi terjadi di WA oleh ibu-ibu,” jelasnya.
    Ia juga mengimbau kepada pemerintah untuk menerima maraknya gerakan #2019GantiPresiden sebagai bentuk kritik. “Ya udah terima saja sebagai kritik melalui fasilitas dalam bentuk hashtag. Itu enggak usah dipanjang lebar itu dengan adalah upaya untuk ganti dasar negara, upaya untuk menjadikan Suriah sebagai model. Itu adalah otak dungu itu yang bikin kalkulasi model itu dari hashtag, ” pungkasnya. (kumparan)
  • Tolak Premanisme Demokrasi

    Tolak Premanisme Demokrasi

    Jakarta (SL) –  Sehubungan dengan adanya penghadangan oleh sekelompok orang atas kedatangan bunda Neno Warisman beserta rombongan di Bandara Hang Nadim Batam, Sabtu sore , (28/7/2018) ; maka _Adv. Djudju Purwantoro/ Tim Advokasi#2019 GantiPresiden_ atas nama Tim Advokasi#2019 GantiPresiden* menyatakan:

    1. Bahwa kegiatan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang #2019GantiPresiden adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dilindungi undang-undang. Bukan perbuatan melanggar hukum normatif yang berlaku di negara ini.
    2. Kegiatan serupa tersebut selama ini juga telah berlangsung di berbagai kota antara lain: Jakarta, Medan, Solo, dan lain-lain diikuti oleh kekompok masyarakat setempat berjalan lancar dan aman.
    3. Bahwa penghadangan yang telah dilakukan oleh sekelompok orang tersebut, justru merupakan tindakan semena-mena, anarkis dan melawan hukum.
    4. Perbuatan anarkis oleh kelompok masyarakat tersebut, adalah perbuatan melawan hukum yang justru juga telah melanggar Konvensi hukum internasional tentang HAM, dan UU tentang Penerbangan/Bandara yang seharusnya area Bandara bebas dari kegiatan unjuk rasa dan kepentingan politis lainnya.
    5. Aktifitas #2019GantiPresiden merupakan kegiatan yang melibatkan masyarakat umum, adalah sah dan tidak melanggar hukum, sesuai UU No.9/1998 tentang Penyampaian Pendapat di muka umum, UU tentang Pemilu No.7/2017, dan PKPU/2017 tentang Pencalonan Presiden.
    6. Kami meminta kepada aparat keamanan supaya bertindak tegas, adil dan profesional supaya memproses hukum, kepada setiap orang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum di Bandara Batam tersebut.

    Sejalan dengan rilis yang dikeluarkan Juju, Ketua Presidium Ikatan Polisi Mitra Masyarakat Indonesia (IPMMI) Hans Suta mengharapkan agar polisi pro aktif untuk menindak para pengganggu proses demokrasi sehat yang dilakukan oleh Neno dan kawan-kawan.

    “Di negeri ini tidak menghendaki adanya premanisme politik,anarkisme politik,apa lagi terorisme politik.” Kata Hans. (Komandoodp.com)